Kamis, 04 Desember 2014

Syariat Islam dan Teori-teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia



Syariat Islam dan Teori-teori Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
A. Syariat Islam tentang penataan Hukum
            Syariat Islam adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada umatnya. Ia bukan sebuah teori, akan tetapi merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat, tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori, melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan[1]. Secara konseptual terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.[2]
Para ahli hukum di Indonesia mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah Allah dan rasul-Nya[3].
Membicarakan tentang teori-teori permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum Indonesia[4]. Proses penerapan hukum islam yang pernah terjadi pada waktu itu, di rumuskan oleh para ahli hukum Indonesia sebagai teori-teori pemberlakuan hukum hukum islam sekaligus menjadi objek kajian ilmu hukum.
Ajaran Islam tentang penataan hukum memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah yang di sampaikan kepada rosulullah Muhammad Saw., sebagai pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis. Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah[5]. Manakalah terjadi ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya dalam al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada manusia, melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya secara kaffah. Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan dan penerapan hukum Islam, menegaskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hukum yang pasti dan jelas. Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka dianggap zalim, kafir, dan fasik. Oleh karena itu dari segi syariat Islam semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam masyarakat ada norma-norma  hukum adat atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan hukum atau prinsip syariat Islam juga. Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
B.  Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto[6] bahwa orang Islam jika menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams[7], mengungkapkan bahwa hukum Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh; meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan akidahnya sampai mati[8].
Dari gambaran diatas terlihat bahwa hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan mengikat hukum Islam terhadap mereka.
C.  Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu (RIC)
Teori Receptie in Complexu diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para penghulu qadhi Islam[9].
Teori RIC menyatakan bahwa hukum adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.
Kondisi di atas tidak berlangsung lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal dengan teori Receptie.
Merekonstruksi catatan sejarah yang ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
D. Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh Prof. Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat[10].
Hurgronye mengemukakan teori ini karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal dengan Islam Policy[11]. Rumusan kebijakan terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang agama, pemerintah Hindia Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku. (3) dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Dr. Alfian[12], teori receptive berpijak pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas Indonesia akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat rendahan.
E.  Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori Receptie adalah “teori iblis”[13].
Berdasarkan pemikiran dan penentangannya terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa; (1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata maupun hukum pidana sebagai hukum nasional[14].
Pemikirian Hazairin di atas sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.
F. Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H. Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia. Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan (contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam, (2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin, dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia, norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya tidak dapat diberlakukan[15].
Kalau teori receptie melihat kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum Islam.
G. Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan oleh H. Ichtijanto S.A, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut: (1) Merupakan bagian integral dari hukum nasional Indonesia. (2) Keberadaan, kemandirian, kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai hukum nasional. (3) Norma-norma hukum Islam (Agama) berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional Indonesia. dan (4) Sebagai bahan utama dan unsur utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional, maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya diakomodasi sebagai sumber hukum nasional[16].
Eksistensi hukum Islam dalam tata hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji, pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra’ mi’raj, nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.



[1] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, (Bandung, Remaja Rosdakarya,  1991), Hal. 95-149
[2]  A. Rahmat Rosyadi, dan H. M. Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, (Bogor; Ghalia Indonesia; 2006) Hal. 67
[3] Ibid. Hal. 68
[4] Ibid. Hal. 69.
[5] Ibid. Hal. 69.
[6] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Hal. 114
[7] Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, RadjaGrafindo Persada, 1999), Hal. 11
[8] Loc. Cit., Formalisasi Syariat Islam. Hal. 73
[9] Op cit., Formalisasi Syariat Islam. Hal. 73-74
[10] Ibid.,  Formalisasi Syariat Islam. Hal. 78
[11] Ibid.,, Formalisasi Syariat Islam.
[12] Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh, (Jakarta, LP3S, 1997), Hal. 207-209.
[13] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia, Hal. 127-128
[14] Ibid., Hal. 131
[15] Loc. Cit.,, Formalisasi Syariat Islam. Hal. 85
[16] Ibid., Hal. 89

Tidak ada komentar:

Posting Komentar