Syariat Islam dan Teori-teori Pemberlakuan
Hukum Islam di Indonesia
A. Syariat Islam tentang penataan Hukum
Syariat Islam
adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Rasulullah untuk disampaikan kepada
umatnya. Ia bukan sebuah teori, akan tetapi
merupakan ajaran ilahi yang harus dipalajari, dan diberlakukan untuk
menciptakan keteraturan dalam kehidupan masyarakat serta keseimbangan antara
kewajiban dan hak. Syariat Islam akan berlaku bagi semua umat manusia di dunia
sampai akhirat, tetapi bila syariat Islam dijadikan hukum positif disuatu
negara, maka keberlakuannya hanya bagi masyarakat Islam. Ajaran tentang
penataan hukum dalam kajian ilmu hukum memang merupakan sebuah teori yang
dikemukakan oleh ahli hukum berdasarkan proses hukum yang terjadi di masyarakat,
tetapi dari segi syariat Islam hal itu tidak saja disebut sebagai teori,
melainkan merupakan prinsip yang wajib diberlakukan[1]. Secara konseptual
terdapat prinsip-prinsip syariat Islam yang mencakup penataan dan penerapan
hukum Islam bagi orang Islam. Bahwa Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada
orang yang beriman agar menjalankan hukumnya.[2]
Para ahli hukum di Indonesia
mempelajari tentang teori-teori penerapan hukum Islam melalui sistem hukum yang
pernah berlaku di Indonesia selama masa kolonial Belanda. Adanya teori-teori
ini menggambarkan, betapa akrabnya hukum Islam dengan penduduk, masyarakat, dan
bangsa Indonesia. Hal ini merupakan indikator bagaimana perjuangan masyarakat
Indonesia yang beragama Islam ingin memberlakukan syariat Islam sesuai perintah
Allah dan rasul-Nya[3].
Membicarakan tentang teori-teori
permberlakuan hukum Islam, maka akan sangat berkaitan dengan proses bagaimana
unsur-unsur hukum Islam itu dapat menjadi hukum positif atau bagian dari hukum
nasional, disamping hukum adat dan hukum Barat. Adanya politisasi hukum yang
dilakukan oleh kolonial Belanda kearah mereduksi syariat Islam serta menjauhkan
dari masyarakatnya, menyebabkan hukum Islam sampai saat ini selalu
terpinggirkan dalam proses positivasi hukum dalam perspektif tata hukum
Indonesia[4]. Proses penerapan hukum islam yang pernah
terjadi pada waktu itu, di rumuskan oleh para ahli hukum Indonesia sebagai
teori-teori pemberlakuan hukum hukum islam sekaligus menjadi objek kajian ilmu
hukum.
Ajaran Islam tentang penataan hukum
memberi gambaran, bagaimana sesungguhnya Islam telah menata kehidupan manusia
ini dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan. Teori atau ajaran tentang
penataan hukum menurut perspektif Islam bersumber dari Allah yang di sampaikan kepada rosulullah Muhammad
Saw., sebagai
pencipta syariat dalam bentuk wahyu, yaitu al-Qur’an. Ia merupakan hukum
normatif bersifat universal dan berlaku untuk seluruh manusia tanpa membedakan
kedudukan, ras, politik, dan sosial-budaya. Keuniversalan hukum al-Qur’an itu
memerlukan penjelasan dalam bentuk implementasi hukum yang bersifat praktis.
Hal ini dilakukan Rasulullah melalui kehidupan sehari-hari, dalam bentuk hukum
normatif bersifat aplikatif, yaitu As-Sunnah[5]. Manakalah terjadi
ketiadaan atau ketidakjelasan hukum yang dimaksud oleh Allah dan rasul-Nya
dalam al-Qur’an dan as-sunnah, maka pembentukan hukumnya diserahkan kepada
manusia, melalui metode ijtihad.
Ajaran tentang penataan hukum ini
menyatakan bahwa bagi setiap orang yang beriman agar menjalankan syariatnya
secara kaffah. Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan
dan penerapan hukum Islam, menegaskan
bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah dan
rasul-Nya serta kepada pemerintah. Orang Islam tidak dibenarkan mengambil
pilihan hukum lain manakala Allah dan rasul-Nya telah menetapkan hukum yang
pasti dan jelas. Apabila mengabil pilihan hukum selain syariat Islam, maka
dianggap zalim, kafir, dan fasik. Oleh karena itu dari segi syariat Islam
semestinya berlaku teori penataan hukum, bahwa setiap orang Islam berlaku hukum
Islam dan wajib menjalankannya sebagai tuntutan akidah.
Oleh karena itu tanpa dikaitan
dengan keberadaan hukum di masyarakat, umat Islam harus tetap berpegang kepada
prinsip bahwa bagi orang Islam berlaku hukum Islam. Apabila ternyata dalam
masyarakat ada norma-norma hukum adat
atau hukum Barat, dengan kekuatan otoritas yang sama atau lebih kuat, maka akan
muncul masalah hubungan sistem hukum. Hukum mana yang akan diterapkan dalam
lingkungan masyarakat, hal ini sangat tergantung pada politik hukum pemerintah
atau politik hukum dalam konstitusi negara. Ketaatan orang Islam terhadap
pemerintah dalam menjalankan hukumnya merupakan bagian dari teori penataan
hukum atau prinsip syariat Islam juga. Dalam posisi ini, maka ketaatan terhadap
pemerintah dalam memberlakukan hukum positif yang bersumber dari hukum adat dan
hukum Barat, bagi umat Islam harus bersifat selektif, sepanjang hukum itu tidak
bertentangan secara prinsipil dengan syariat Islam.
B. Syariat Islam dan Teori Penerimaan Otoritas
Hukum
Teori Penerimaan Otoritas Hukum
diperkenalkan oleh seorang orientalis Kristen, H.A.R. Gibb, dalam bukunya The
Modern Ternds of Islam, seperti dikutip H. Ichtijanto[6] bahwa orang Islam jika
menerima Islam sebagai agamanya, ia akan menerima otoritas hukum Islam kepada
dirinya. Berdasarkan teori ini, secara sosilogis, orang yang memeluk Islam akan
menerima otoritas hukum Islam dan taat dalam menjalankan syariat Islam. Namun
ketaatan ini akan berbeda satu dengan lainnya, dan sangat bergantung pada
tingkat ketakwaan masing-masing.
Selain Gibb, Charles J. Adams[7], mengungkapkan bahwa hukum
Islam merupakan subjek terpenting dalam kajian Islam karena sifatnya yang menyeluruh;
meliputi semua bidang hidup dan kehidupan muslim. Berbeda degan cara
mempelajari hukum -hukum lain, studi tentang hukum Islam memerlukan pendekatan
khusus, sebab yang termasuk bidang hukum Islam itu bukan hanya apa yang disebut
dengan istilah law dalam hukum Eropa, tetapi juga termasuk masalah sosial lain
diluar wilayah yang dikatakan law itu.
Sebagai sebuah fakta yang terjadi
pada masyarakat yang telah menerima Islam, semua orang Islam akan terus
menjalankan syariat berdasarkan akidah yang dianutnya. Akan sangat sulit
memisahkan masyarakat Islam dengan syariatnya yang menjadi tuntutan hukum dan
moral dalam kehidupannya. Pada masyarakat Indonesia yang keislamannya dianut
oleh fanatisme ajaran atau ketokohannya, akan selalu mempertahankan syariat dan
akidahnya sampai mati[8].
Dari gambaran diatas terlihat bahwa
hukum Islam tidak dapat dilepaskan dari agama Islam dan tidak dapat dipisahkan
dari masyarakat Islam. Bahkan – sebagaimana dikatakan Gibb – hukum Islamlah
yang telah berhasil menjaga tetap utuhnya masyarakat Islam. Hukum Islam adalah
aparat yang paling utama bagi kehidupan masyarakat Islam, jika telah menerima
Islam sebagai agamanya, langsung mengakui dan menerima otoritas serta kekuatan
mengikat hukum Islam terhadap mereka.
C. Syariat Islam dan Teori Receptie in Complexu
(RIC)
Teori Receptie in Complexu
diperkenalkan oleh Prof. Mr. Lodewijk Willem Christian Van den Berg. Ia
mengatakan bahwa, bagi orang Islam berlaku penuh hukum Islam, sebab mereka
telah memeluk agamanya, walaupun dalam pelaksanaanya terdapat
penyimpangan-peyimpangan. Juga mengusahakan agar hukum kewarisan dan hukum
perkawinan Islam dijalankan oleh hakim-hakim Belanda dengan bantuan para
penghulu qadhi Islam[9].
Teori RIC menyatakan bahwa hukum
adat bangsa Indonesia adalah hukum agamanya masing-masing. Jadi menurut teori
ini bahwa hukum yang berlaku bagi pribumi yang beragama Islam adalah hukum
Islam, hukum yang berlaku bagi penduduk asli yang beragama Khatolik adalah
hukum Khatolik, demikian juga bagi penganut agama lain.
Kondisi di atas tidak berlangsung
lama, seiring dengan perubahan orientasi politik Belanda, kemudian dilakukan
upaya penyempitan ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Perubahan politik
ini telah mengantarkan hukum Islam pada posisi kritis. Melalui ide Van Vollenhoven
dan C.S. Hurgronje yang dikemas dalam konsep Het Indiche Adatrecht yang dikenal
dengan teori Receptie.
Merekonstruksi catatan sejarah yang
ada pada masa pasca kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum
Islam boleh dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas hukum Islam
tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum Islam sebagai subsistem hukum
yang hidup di masyarakat, tetapi juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu
legalisasi dan legislasi. Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari
sistem hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara legal
formal dan positif. Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai menampakkan
hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai
peraturan perundang-undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab
fikih – yang dianggap representatif – telah disahkan oleh pemerintah Indonesia.
Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang
berhubungan erat dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah lembaga
peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal ini mempunyai nilai
strategis, sebab keberadaannya telah membuka kran lahirnya peraturan-peraturan
baru sebagai pendukung (subtansi hukumnya).
D.
Syariat Islam dan Teori Receptie
Teori Receptie diperkenalkan oleh
Prof. Christian Snouck Hurgronye. Dalam teori ini Hurgronye mengatakan, bahwa
bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku
apabila norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat[10].
Hurgronye mengemukakan teori ini
karena ia khawatir adanya pengaruh Pan-Islamisme yang dipelopori oleh
Jamaluddin al-Afgani yang berpengaruh di Indonesia. Ia menyampaikan usul kepada
pemerintah Hindia Belanda tentang kebijakannya terhadap Islam, yang dikenal
dengan Islam Policy[11]. Rumusan kebijakan
terhadap hukum Islam antara lain; (1) dalam bidang agama, pemerintah Hindia
Belanda hendaknya memberikan kebebasan secara jujur dan penuh tanpa syarat bagi
orang Islam. (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah Hindia Belanda
hendaknya menghormati adat istiadat dan kebiasaan rakyat yang berlaku. (3)
dalam bidang ketatanegaraan, mencegah tumbuhnya ideologi yang dapat membawa dan
menumbuhkan gerakan Pan Islamisme, yang mempunyai tujuan mencari
kekuatan-kekuatan lain dalam mengahadapi pemerintah Hindia Belanda.
Menurut Dr. Alfian[12], teori receptive berpijak
pada asumsi dan pemikiran bahwa jika orang-orang pribumi mempunyai kebudayaan
yang sama atau dekat dengan kebudayaan Eropa, maka penjahahan atas Indonesia
akan berjalan dengan baik dan tidak akan timbul guncagan-guncangan terhadap
kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Oleh karena itu, pemerintah Belanda harus
mendekati golongan-golongan yang akan menghidupkan hukum adat dan memberikan
dorongan kepada mereka, untuk mendekatkan golongan hukum adat kepada
pemerintahannya.
Melalui kebijakan ini, Hurgronye
telah berhasil meminimalisasi hukum Islam dari masyarakat Indonesia. Hukum
Islam yang hidup di dalam masyarakat Islam ditekan menjadi hukum rakyat
rendahan.
E. Syariat Islam dan Teori Receptie Exit
Teori Receptie yang dikembangkan
oleh Hurgronye mendapat tantangan bukan hanya selama Indonesia masih dijajah
oleh Belanda, tetapi berlanjut hingga memasuki kemerdekaan. Salah satu
penentangnya adalah Hazairin, yang berpendirian bahwa setelah Indonesia memproklamirkan
kemerdekaan, melalui pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang dasar 1945 yang
menyatakan bahwa warisan kolonial Belanda masih tetap berlaku selama jiwanya
tidak bertentangan dengan UUD, maka seluruh peraturan perundang-undangan
pemerintah Hindia Belanda yang mendasarkan pada teori Receptie dianggap tidak
berlaku lagi karena jiwaya bertentangan dengan UUD 1945. Teori Receptie harus
exit karena bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah. Hazairin menyebut teori
Receptie adalah “teori iblis”[13].
Berdasarkan pemikiran dan
penentangannya terhadap teori Receptie, Hazairin memberikan kesimpulan bahwa;
(1) teori Receptie dianggap tidak berlaku dan exit dari tata hukum negara
Indonesia sejak tahun 1945, (2) sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 1, maka
Indonesia berkewajiban membentuk hukum nasional yang salah satu sumbernya
adalah hukum agama, (3) sumber hukum nasional itu selain agama Islam, juga
agama lain bagi pemeluk agamanya masing-masing, baik dibidang hukum perdata
maupun hukum pidana sebagai hukum nasional[14].
Pemikirian Hazairin di atas sangat
penting untuk dijadikan pedoman dalam mengembalikan pemurnian hukum Islam yang
sejalan dengan ajaran tentang penataan hukum. Memperkuat teori Penataan
Otoritas Hukum dan juga mempertajan teori receptive in complexu yang
disampaikan oleh para ahli Belanda sebelumnya terhadap kebijakan hukum Islam di
Indonesia.
Pemikiran yang membuahkan teori
receptie exit ini, sekaligus merupakan upaya menentang atau meng-exit teori
receptive yang memberikan prasayarat bagi hukum Islam untuk dapat diterima
sebagai hukum bila diterima oleh hukum adat. Teori receptive harus exit dari
sistem hukum nasional karena dianggap bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah
serta tidak sejalan dengan konstitusi negara Indonesia.
F.
Syariat Islam dan Teori Receptio a Contrario
Teori ini dikembangkan oleh H.
Sayuti Thalib, yang mengungkapkan perkembangan hukum Islam dari segi politik
hukum, berkaitan dengan politik hukum penjajah Belanda selama di Indonesia.
Dinamakan teori receptio a contrario karena memuat teori tentang kebalikan
(contra) dari teori receptie. Teori ini muncul berdasarkan hasil penelitian
terhadap hukum perkawinan dan kewarisan yang berlaku saat ini, dengan
mengemukakan pemikirannya sebagai berikut; (1) bagi orang Islam berlaku hukum Islam,
(2) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin,
dan moralnya, (3) hukum adat berlaku bagi orang Islam jika tidak bertentangan
dengan agama Islam dan hukum Islam. Teori ini disebut teori reception a
contrario karena memuat tentang kebalikan dari teori receptive.
Sayuti Thalib berpendirian bahwa di
Indonesia yang mendasarkan hukumnya pada pancasila dan UUD 1945, semestinya
orang yang beragama menaati hukum agamnya, sesuai dengan sila “Ketuhanan Yang
Maha Esa.” Terhadap aturan-aturan lain, hukum adat misalnya, atuaran-aturan itu
dapat dierlakukan bagi orang Islam kalau tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Dalam pertumbuhan masyarkat modern
yang berhubungan dengan norma-norma pancasila, ada kemungkinan norma-norma adat
bertentangan dengan hukum Islam, oleh karena itu bagi orang Islam Indonesia,
norma-norma adat yang bertentangan dengan Pancasila dan hukum Islam mestinya
tidak dapat diberlakukan[15].
Kalau teori receptie melihat
kedudukan hukum adat didahulukan keberlakuannya dari pada hukum Islam, maka
teori receptio a contrario mendudukkan hukum adat pada posisi sebaliknya, dan
hukum adat dapat diberlakukan jika benar-benar tidak bertentangan dengan hukum
Islam.
G.
Syariat Islam dan Teori Eksistensi
Teori eksistensi ini dikemukakan
oleh H. Ichtijanto S.A, yang berpendapat bahwa teori eksistensi dalam kaitannya
dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam
didalam hukum nasional. Teori ini mengungkapkan, bentuk eksistensi hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional ialah sebagai berikut: (1) Merupakan
bagian integral dari hukum nasional Indonesia. (2) Keberadaan, kemandirian,
kekuatan, dan wibawanya diakui oleh hukum nasional serta diberi status sebagai
hukum nasional. (3) Norma-norma hukum Islam (Agama) berfungsi sebagai penyaring
bahan-bahan hukum nasional Indonesia. dan (4) Sebagai bahan utama dan unsur
utama hukum nasional Indonesia.
Kerangka pemikiran yang berkembang
dalam peraturan dan perundang-undangan nasional didasarkan pada kenyataan hukum
Islam yang berjalan di masyarakat. Pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam yang
berkenan dengan puasa, zakat, haji, infak, sedekah, hiba, baitul-mal, hari-hari
raya besar Islam, selalu ditatai oleh masyarakat dan bangsa Indonesia. Melihat
adanya hubungan yang sangat sinergis antara hukum Islam dan hukum nasional,
maka dapat menjadi suatu indikator bahwa hukum Islam telah eksis dan semestinya
diakomodasi sebagai sumber hukum nasional[16].
Eksistensi hukum Islam dalam tata
hukum nasional ini nampak melalui berbagai peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku saat ini. Hukum Islam tetap ada walaupun belum merupakan hukum
tertulis. Dalam hukum tertulis juga ada nuansa hukum Islam yang tercantum dalam
hukum nasional.
Dari gambaran diatas dapat dikatakan
bahwa hukum Islam ada di dalam hukum nasional sebagai salah satu sumber
hukumnya. Eksistensi hukum Islam dalam hukum nasional dibuktikan dengan
terakomodasinya hukum Islam secara tertulis dalam berbagai bentuk peraturan dan
perundang-undangan, seperti undang-undang penyelenggaraan ibadah haji,
pengelolaan zakat, dan perbankan syariah. Demikian juga dapat dikatakan bahwa
hukum Islam yang tidak tertulis itu ada karena dalam praktiknya masih tetap
dilaksanakan melalui acara ritual kenegaraan dan kegamaan, seperti isra’ mi’raj,
nuzunul qur’an, maulid Nabi Muhammad.
[1] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, dalam: Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan,
(Bandung, Remaja Rosdakarya, 1991), Hal.
95-149
[2] A. Rahmat Rosyadi, dan H. M.
Rais Ahmad, Formalisasi Syariat Islam dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia,
(Bogor; Ghalia Indonesia; 2006) Hal. 67
[6] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, Hal. 114
[7] Charles J. Adams, dalam Muhammad Daud Ali, Hukum
Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta, RadjaGrafindo Persada, 1999), Hal. 11
[12] Alfian (editor), Segi-Segi Sosial Masyarakat Aceh,
(Jakarta, LP3S, 1997), Hal. 207-209.
[13] H. Ichtijanto S.A, Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di
Indonesia, Hal. 127-128
Tidak ada komentar:
Posting Komentar