Disadari atau tidak pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah
kompetisi di segala dimensi bidang, mulai dari pendidikan,sosial,ekonomi,serta
budaya. Semua yang hidup berkompetisi dengan pesaingnya sebagai penunujukan
eksistensi dan jati dirinya untuk menjadi yang terbaik sekaligus meraih
keinginan dan kemenangan yang di damba-dambakan.
Untuk dapat meraih semua itu seseorang harus mempunyai motivasi,
strategi, metode, kompetensi yang lebih di atas kekuatan yang di butuhkan
sehingga mampu mengatasi berat dan besarnya problematika yang di hadapi. Sering
terlintas di pendengaran kita perkataan yang kurang lebih berbunyi ” kun
fiddunya kaanaka ghoriibun au ‘abiru sabilin wa’udda nafsaka min Ahlil quburi.”
( jadilah kamu didunia seakan-akan asing atau pencari jalan pintas dan
hati-hatilah bahwa dirimu akan meninggal) maksutnya adalah jika berkeinginan
lebih dari yang lain maka harus melalui jalan pintas dan biasanya jalan pintas
itu banyak penyelwengan sehingga dalam melewati jalan pintas tersebut harus
ingat bahwa diri ini akan mengalami sebuah tidur yang panjang (kematian). Terdapat
perkataan lain ” i’maluu fauqo ma ‘amilu.” Seberapa besar dan kekuatan
serta kemampuan yang ia miliki maka sebesar itu pula yang ia dapatkan.
Nafsu selalu ingin unggul dan ingin mendapatkan kepuasan pribadi
sebanyak-banyaknya merupakan faktor
internal yang terdapat di dalam semua jiwa manusia. Barang siapa yang selalu
mengikuti nafsunya maka hilanglah ruh insaniyahnya (esensi) yang ada hanyalah
jasad yang selalu di selimuti oleh tipu daya syaitan. Nafsu yang selalu
mengajak kepada maksiat tersebut tidak bisa di musnahkan hanya saja dapat
ditekan dan diarahkan untuk menjadi nafsu mutmainnah yang diterima dan di
izinkan untuk menghadap kepada penguasa Alam jagad raya ini (Allah Swt). Di samping
itu juga terdapat hawa dimana selalu mengajak kepada hal-hal yang bersifat
kesenangan (pelampiasan keinginan). Dan barang siapa yang selalu mengikuti hawa
maka hilanglah akalnya. Akal merupakan alat bekerja jika di nisbatkan dengan
alat pemotong setaraf dengan pisau. Akan tetapi tidak dapat di pungkiri bahwa
hawa juaga masih dibutuhkan oleh manusia untuk memompa dan mendorong agar tetap
bersemangat menggapai mimpi-mimpinya dan juga membuat manusia untuk dapat
menikmati dunia dan seisinya. jadi keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit
untuk dipisahkan bahkan tidak dapat dipisahkan. Sehingga menjadi kesatuan makna
yang sering di sebut dengan hawa-nafsu.
Sebagai manusia biasa yang di anugrahi akal dan hawa-nafus sudah
merupakan sebuah kewajaran jika melakukan kesalahan dalam mengemban amanah
sebagai khalifah di muka bumi ini. Karna manusia itu tempatnya salah dan lupa.
Kata manusia itu sendiri diambil dari bahasa arab yaitu naasia -yansaa yang
artinya pelupa. Jika bersih tanpa melakukan sebuah kesalahan dan kekhilafan
maka tidak dapat dikatakan sebagai manusia biasa (malaikat), begitu juga
sebaliknya, jika selalu berbuat salah dan dusta maka tidak dapat dikatan
manusia biasa (syaitan).
Artikel
: sony suke
Tidak ada komentar:
Posting Komentar