Kamis, 04 Desember 2014

Artikel keinginan penunjukan jati diri



Disadari atau tidak pada hakikatnya kehidupan merupakan sebuah kompetisi di segala dimensi bidang, mulai dari pendidikan,sosial,ekonomi,serta budaya. Semua yang hidup berkompetisi dengan pesaingnya sebagai penunujukan eksistensi dan jati dirinya untuk menjadi yang terbaik sekaligus meraih keinginan dan kemenangan yang di damba-dambakan.
Untuk dapat meraih semua itu seseorang harus mempunyai motivasi, strategi, metode, kompetensi yang lebih di atas kekuatan yang di butuhkan sehingga mampu mengatasi berat dan besarnya problematika yang di hadapi. Sering terlintas di pendengaran kita perkataan yang kurang lebih berbunyi ” kun fiddunya kaanaka ghoriibun au ‘abiru sabilin wa’udda nafsaka min Ahlil quburi.” ( jadilah kamu didunia seakan-akan asing atau pencari jalan pintas dan hati-hatilah bahwa dirimu akan meninggal) maksutnya adalah jika berkeinginan lebih dari yang lain maka harus melalui jalan pintas dan biasanya jalan pintas itu banyak penyelwengan sehingga dalam melewati jalan pintas tersebut harus ingat bahwa diri ini akan mengalami sebuah tidur yang panjang (kematian). Terdapat perkataan lain ” i’maluu fauqo ma ‘amilu.” Seberapa besar dan kekuatan serta kemampuan yang ia miliki maka sebesar itu pula yang ia dapatkan.
Nafsu selalu ingin unggul dan ingin mendapatkan kepuasan pribadi sebanyak-banyaknya  merupakan faktor internal yang terdapat di dalam semua jiwa manusia. Barang siapa yang selalu mengikuti nafsunya maka hilanglah ruh insaniyahnya (esensi) yang ada hanyalah jasad yang selalu di selimuti oleh tipu daya syaitan. Nafsu yang selalu mengajak kepada maksiat tersebut tidak bisa di musnahkan hanya saja dapat ditekan dan diarahkan untuk menjadi nafsu mutmainnah yang diterima dan di izinkan untuk menghadap kepada penguasa Alam jagad raya ini (Allah Swt). Di samping itu juga terdapat hawa dimana selalu mengajak kepada hal-hal yang bersifat kesenangan (pelampiasan keinginan). Dan barang siapa yang selalu mengikuti hawa maka hilanglah akalnya. Akal merupakan alat bekerja jika di nisbatkan dengan alat pemotong setaraf dengan pisau. Akan tetapi tidak dapat di pungkiri bahwa hawa juaga masih dibutuhkan oleh manusia untuk memompa dan mendorong agar tetap bersemangat menggapai mimpi-mimpinya dan juga membuat manusia untuk dapat menikmati dunia dan seisinya. jadi keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan bahkan tidak dapat dipisahkan. Sehingga menjadi kesatuan makna yang sering di sebut dengan hawa-nafsu.
Sebagai manusia biasa yang di anugrahi akal dan hawa-nafus sudah merupakan sebuah kewajaran jika melakukan kesalahan dalam mengemban amanah sebagai khalifah di muka bumi ini. Karna manusia itu tempatnya salah dan lupa. Kata manusia itu sendiri diambil dari bahasa arab yaitu naasia -yansaa yang artinya pelupa. Jika bersih tanpa melakukan sebuah kesalahan dan kekhilafan maka tidak dapat dikatakan sebagai manusia biasa (malaikat), begitu juga sebaliknya, jika selalu berbuat salah dan dusta maka tidak dapat dikatan manusia biasa (syaitan).



Artikel : sony suke

Tidak ada komentar:

Posting Komentar