HUKUM WARIS BW
A. Pendahuluan
Dalam pembagian warisan
sering menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang di
tinggal mati pewarisnya. Hubungan persaudaraan bisa berantakan jika masalah
pembagian harta warisan seperti rumah atau tanah tidak dilakukan dengan adil.
Untuk menghindari masalah, sebaiknya pembagian warisan diselesaikan dengan
adil. Salah satu caranya adalah menggunakan Hukum Waris menurut Undang-Undang
(KUH Perdata). Atas dasar itulah Hukum waris merupakan suatu hal yang penting
dan mendapat perhatian yang besar.
Sebenarnya banyak
permasalahan yang terjadi seputar perebutan warisan, seperti masing-masing ahli
waris merasa tidak menerima harta waris dengan adil atau ada ketidaksepakatan
antara masing-masing ahli waris tentang hukum yang akan mereka gunakan dalam
membagi harta warisan. Naluriah manusia yang menyukai harta benda tidak jarang
memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta
benda tersebut, bahkan sampai saling bunuh-membunuh antara Ahli waris yang satu
dengan yang lainya, termasuk didalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya
sendiri. Kenyataan demikian telah ada dalam sejarah umat manusia hingga
sekarang ini. Terjadinya kasus-kasus gugat waris di pengadilan, baik Pengadilan
Agama maupun Pengadilan Negeri menunjukkan fenomena ini.
Oleh karenanya, dalam
pembagian warisan harus di lihat terlebih dahulu hukum yang mana yang akan di
gunakan oleh para ahli waris dalam menyelesaikan sengketa waris yang terjadi.
B.
Pengertian Hukum Waris
Menurut Pitlo Hukum waris adalah kumpulan peraturan yang
yang mengatur hukum mengenai kekayaan karna wafatnya seseorang. Dalam artian
mengenai pemindahan kekayaan yang ditinggalkan oleh simati dan akibat dari
pemindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya, baik dalam hubungan antara
mereka dengan mereka maupun dalam hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[1]
Sedangkan menurut K.U.H Perdata bahwa hukum waris adalah
hukum-hukum atau peraturan-peraturan yang mengatur tentang apakah dan
bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang pada
waktu ia meninggal dunia akan beralih pada orang lain yang masih hidup.
Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum perdata
mengemukakan asas Hukum Warisan sebagai berikut” dalam Hukum Waris KUH perdata
berlaku suatu asas bahwa banyak hak-hak dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan
hukum kekayaan harta benda saja yang dapat di wariskan. Oleh karna itu hak-hak
dan kewajiban-kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan pada umumnya,
sementara hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat di wariskan,
misalnya peran suami dan ayah, begitu pula peran sebagai anggota suatu
perkumpulan.”
Dalam
hukum waris berlaku suatu asas, bahwa hanyalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam lapangan hukum kekayaan harta benda saja yang dapat diwariskan. Apabila
seseorang meninggal dunia, maka seketika itu juga segala hak dan kewajibannya
beralih pada sekalian ahliwarisnya. Asas tersebut tercantum dalam suatu pepatah
perancis yang berbunyi: “le mort saisit le vit”. Sedangkan pengoperan
segala hak dan kewajiban dari si meninggal oleh para ahliwaris itu dinamakan “saisine”.[2]
Dari beberapa pengertian
diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Hukum
waris adalah kumpulan peraturan akidah-akidah yang mengatur tentang pemindahan
harta kekayaan pewaris dengan pihak ketiga (orang-orang memperolehnya).
Menurut pasal 833 ayat I KUH Perdata bahwa yang dapat
diwariskan atau sebagai obyek kewarisan adalah segala barang yang dimiliki si pewaris, segala hak dan
segala kewajiban dari si pewaris. Adapun
unsur-unsur waris sebagai berikut:
1. Kaidah
hukum
2. Pemindahan
harta kekayaan pewaris
3. Ahli
waris
4. Bagian
yang diterima
5. Hubungan
ahli waris dengan pihak keluarga
Hukum
waris dapat dibedakan menjadi dua:
1. Hukum waris
tertulis : kaidah-kaidah hukum yang
terdapat dan perundang-undangan dan jurisprudensi.
C. Dasar-dasar Hukum Kewarisan
Hukum waris yang telah diatur dalam buku II KUH
Perdata sebanyak 300 pasal dari 830-1130. Mengenai hokum waris juga diatur
dalam inpres No.1 tahun 1991.
Hokum waris diatur dalam buku II tentang benda,
khususnya dalam:
Titel XII :
Tentang Kewarisan Karena Kematian
Titel
XIII : Tentang surat wasiat
Titel
XIV : Tentang pelaksanaan wasiat
dan pengurusan harta warisan
Titel XV : Tentang hak pemikir dan hak istimewa
untuk mengadakan pendaftaran nama
harta peninggalan
Titel
XVI : Tenteng menerima dan menolak
warisan
Titel
XVII : Tentang pemisahan harta
peninggalan
D.
Prinsip-prinsip dalam
waris
Adapun
prinsip umum dalam kewarisan perdata antara lain :
§ Pewarisan
terjadi karena meninggalnya pewaris dengan sejumlah harta;
§ Hak-hak
dan kewajiban dibidang harta kekayaan “beralih” demi hukum. Hal ini berdasarkan
Pasal 833 KUHPerdata, yang menimbulkan hak untuk menuntut (Heriditatis Petitio);
§ Yang
berhak mewaris menurut UU adalah mereka yang memiliki hubungan darah, hal ini
berdasarkan Pasal 832 KUHPerdata;
§ Harta
tidak boleh dibiarkan tidak terbagi; dan
§
Setiap orang cakap untuk mewaris
(terkecuali ketentuan pada Pasal 838 KUHPerdata).
E.
Ahli Waris dan Penggolonganya
Sistem hukum
waris BW tidak membagi harta sebuah keluarga menjadi 2, harta asal maupun harta
gono-gini, hal ini berbeda dengan yang dianut oleh UU No. 1/1974 dan KHI yang
membagi 2 harta tersebut. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 849 BW, yang
menyatakan bahwa :
“Undang-undang tidak memandang akan sifat atau asal daripada
barang-barang dalam suatu peninggalan, untuk mengatur pewarisan terhadapnya.”[5]
Dalam ketentuan BW ditetapkan orang-orang yang
berhak mendapatkan harta warisan atau yang disebut sebagai hak mutlak ( legitieme portie )
yaitu suatu bagian tertentu dari harta peninggalan yang tidak dapat
dihapuskan oleh orang yang meninggalkan harta warisan. Seseorang yang berhak atas
suatu legitieme portie dinamakan “ legitimaris “.
Undang-undang
telah menetapkan tertib keluarga yang menjadi ahli waris, yaitu: Isteri atau
suami yang ditinggalkan dan keluarga sah atau tidak sah dari pewaris. Ahli
waris menurut undang undang atau ahli waris ab intestato berdasarkan hubungan
darah terdapat empat golongan, yaitu:
a)
Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anak-anak
beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau
yang hidup paling lama. Suami atau isteri yang ditinggalkan atau hidup paling lama ini baru
diakui sebagai ahli waris pada tahun 1935, sedangkan sebelumnya suami atau isteri tidak saling mewarisi; Bagian golongan
pertama yang meliputi anggota keluarga dalam garis lurus ke bawah, yaitu
anak-anak beserta keturunan mereka, dan janda atau duda yang hidup paling lama,
masing-masing memperoleh satu bagian yang sama. Jadi bila terdapat empat orang
anak dan janda, mereka masing-masing mendapat 1/5 bagian. Apabila salah seorang
anak telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris akan tetapi mempunyai
empat orang anak, yaitu cucu pewaris, maka bagian anak yang 1/5 dibagi di
antara anak-anak yang menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal
itu (plaatsvervulling), sehingga masing-masing cucu memperoleh
1/20 bagian. Jadi hakikat bagian dari golongan pertama ini, jika pewaris hanya
meninggalkan seorang anak dan dua orang cucu, maka cucu tidak memperoleh
warisan selama anak pewaris masih ada, baru apabila anak pewaris itu telah
meninggal lebih dahulu dari pewaris, kedudukannya digantikan oleh anakanaknya
atau cucu pewaris.[6]
b)
Golongan kedua, keluarga dalam garis lurus ke atas, meliputi orang tua dan
saudara, baik laki-laki maupun perempuan, serta keturunan mereka. Bagi orang
tua ada peraturan khusus yang menjamin bahwa bagian mereka tidak akan kurang
dari ¼ (seperempat) bagian dari harta peninggalan, walaupun mereka mewaris
bersamasama saudara pewaris; Bagian golongan kedua yang meliputi anggota
keluarga dalam garis lurus ke atas yaitu orang tua, ayah dan ibu, serta
saudara, baik laki-laki maupun perempuan beserta keturunan mereka. Menurut
ketentuan BW, baik ayah, ibu maupun sudara-saudara pewaris masing-masing
mendapat bagian yang sama. Akan tetapi bagian ayah dan ibu senantiasa
diistimewakan karena mereka tidak boleh kurang dari ¼ bagian dari seluruh harta
warisan. Jadi apabila terdapat tiga orang saudara yang mewaris bersama-sama
dengan ayah dan ibu, maka ayah dan ibu masing-masing akan memperoleh ¼ bagian
dari seluruh harta warisan. Sedangkan separoh dari harta warisan itu akan
diwarisi oleh tiga orang saudara, masing-masing dari mereka akan memperoleh 1/6
bagian. Jika ibu atau ayah salah seorang sudah meninggal dunia, yang hidup
paling lama akan memperoleh bagian sebagai berikut:
- ½ (setengah) bagian
dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama dengan seorang saudaranya,
baik laki-laki
maupun perempuan, sama saja;
- 1/3 bagian dari
seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan dua orang saudara
pewaris;
- ¼ (seperempat) bagian
dari seluruh harta warisan, jika ia mewaris bersama-sama dengan tiga orang atau
lebih saudara pewaris.
Apabila
ayah dan ibu semuanya sudah meninggal dunia, maka harta peninggalan seluruhnya
jatuh pada saudara-saudara pewaris,[7]
sebagai ahli waris golongan dua yang masih ada. Apabila di antara
saudara-saudara yang masih ada itu ternyata hanya ada yang seayah atau seibu saja
dengan pewaris, maka harta warisan terlebih dahulu dibagi dua, bagian yang satu
bagian saudara seibu. Jika pewaris mempunyai saudara seayah dan seibu di
samping saudara kandung, maka bagian saudara kandung itu diperoleh dari dua
bagian yang dipisahkan tadi.
c)
Golongan ketiga, meliputi kakek, nenek, dan leluhur selanjutnya ke atas dari
pewaris; Bagian golongan ketiga yang meliputi kakek, nenek,
dan leluhur selanjutnya ke atas dari pewaris, apabila pewaris sama sekali tidak
meninggalkan ahli waris golongan pertama maupun kedua. Dalam keadaan seperti
ini sebelum harta warisan dibuka, terlebih dahulu harus dibagi dua (kloving). Selanjutnya
separoh yang satu merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ayah pewaris, dan
bagian yang separohnya lagi merupakan bagian sanak keluarga dari pancer ibu
pewaris. Bagian yang masing-masing separoh hasil dari kloving itu
harus diberikan pada kakek pewaris untuk bagian dari pancer ayah, sedangkan
untuk bagian dari pancer ibu harus diberikan kepada nenek.
d) Golongan
keempat, meliputi anggota keluarga dalam garis ke samping dan sanak keluarga
lainnya sampai derajat keenam. Apabila dalam bagian pancer ibu sama sekali tidak
ada ahli waris sampai derajat keenam, maka bagian pancer ibu jatuh kepada para
ahli waris dari pancer ayah, demikian pula sebaliknya.
Seandainya saja ke-4 golongan
tersebut tidak ada ( jangka waktu untuk mengakui sebagai ahli waris adalah 3
tahun ), maka harta warisan jatuh pada Negara, dan dalam hal ini dikuasai oleh
Balai Harta Peninggalan. Dalam pasal 832 ayat (2) BW disebutkan: ”Apabila
ahli waris yang berhak atas harta peninggalan sama sekali tidak ada, maka
seluruh harta peninggalan jatuh menjadi milik negara.[8]
Selanjutnya negara wajib melunasi hutang-hutang peninggal warisan, sepanjang harta
warisan itu mencukupi”.
Yang dimaksud keturunannya disini adalah dapat merupakan anak-anak yang sah
yang lahir dalam perkawianan maupun anak-anak yang tidak sah tetapi diakui
yaitu anak-anak yang lahir diluar perkawinan tetapi diakui ( erkend
natuurlijk).
Dalam
pembagian warisan untuk golongan 1 dan golongan 2 dimungkinkan adanya ahli
waris pengganti, yaitu ahli waris yang menggantikan tempat ahli waris yang
sebenarnya karena telah meninggal dunia lebih dahulu dari si pewaris.
Menurut undang-undang ada tiga macam
penggantian (representatie) yaitu :
1. Penggantian dalam garis lurus ke bawah.
Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal lebih dahulu
digantikan oleh semua anak-anaknya.
2. Penggantian dalam garis samping ( zijlinie ). Bahwa tiap saudara
yang meninggal lebih dahulu maka kedudukannya digantikan oleh anak-anaknya. Ini
juga dapat terjadi tiada batas.
3. Penggatian dalam garis samping, dalam hal
yang tampil ke muka sebagai ahli waris anggota keluarga yang lebih jauh tingkat
hubungannya daripada seorang saudara, misalnya seorang paman atau
keponakan. Disini ditetapkan bahwa saudara dari seorang yang tampil ke muka
sebagai ahli waris itu meninggal lebih dahulu, dapat digantikan anak-anaknya.
F. Ahli waris yang tidak patut menerima harta
warisan
Undang-undang menyebut empat
hal yang menyebabkan seseorang ahli waris menjadi tidak patut mewaris karena
kematian, yaitu sebagai berikut:
a.
seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena
dipersalahkan membunuh atau setidaktidaknya mencoba membunuh pewaris;
b.
seorang ahli waris yang dengan putusan hakim telah dipidana karena
dipersalahkan memfitnah dan mengadukan pewarisbahwa pewaris difitnah melakukan
kejahatan yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih;
c.
ahli waris yang dengan kekerasan telah nyata-nyata menghalangi atau
mencegah pewaris untuk membuat atau menarik kembali surat wasiat;
G. Study Kasus
Ahli waris tolak jalan Wan
Amir di ganti
Dumaiheadlines.com I
Pihak keluarga dari ahli waris Wan Amir, menolak pergantian nama Jalan Wan
Amir, menjadi Jalan Gatot Soebroto. Penolakan dilakukan berdasarkan tidak ada
permintaan izin pihak pemerintah kepada ahli waris, terkait penggantian nama
jalan.Senin, (13/01/14).
Kekesalan ahli waris
Wan Amir, pemilik lahan seluas 3000 meter x 750 meter di sepanjang Jalan Wan
Amir sangat terasa, ketika nama almarhum Wan Amir yang sudah ditetapkan sebagai
nama jalan, diganti menjadi Jalan Gatot Soebroto. Sebab selaku ahli waris,
tidak pernah ada pembicaraan atau undangan dari pemerintah untuk membahas
perubahan nama jalan.
Ini diungkapkan Wan
Amri, anak ketiga dari tujuh bersaudara dari almarhum Wan Amir, ” Ayah saya
almarhum Wan Amir adalah salah seorang tokoh terbentuknya Kelurahan Purnama.
Apalagi sampai detik ini jalan utama yang melintang ditengah lahan mengikuti
alur parit sepanjang 3000 meter, belum pernah memintan izin membangun jalan,
sudah selayaknya nama jalan Wan Amir tidak diganti menjadi jalan Gatot
Soebroto,” ulas Wan Amri.
Sementara, menurut ahli
waris lain Wan pauzi, pihaknya akan mencabut plang nama Jalan Gatot Soebroto,
jika pemerintah tidak segera menyikapi aksi dan keinginan ahli waris Wan Amir,
yang merasa hak-haknya terzalimi.
H. Analisis Kasus
Dalam pasal 830 BW disebutkan bahwa pewarisan hanya
terjadi karena kematian. Jadi kematian orang yang meninggalkan harta merupakan
syarat dari terjadinya pewarisan. Dengan meninggalnya orang yang memiliki harta
warisan, maka beralihlah harta warisan itu kepada ahli waris.
Kasus waris merupakan kasus yang seringkali muncul
setelah pewaris meninggal. Dalam kejadian ini, kasus waris yang diangkat tidak
sampai pada perebutan harta warisan karna perselisihan tidak terjadi antara
Ahli waris, melainkan penyalahgunaan hak-hak yang semestinya di peroleh oleh
para ahli waris.
Dalam menanggapi kasus diatas bahwa pihak keluarga
dari ahli waris Wan Amir bersikap tegas agar nama jalan Wan Amir tidak di ganti
dengan nama Gatot Soebroto. Atas dasar karna tidak adanya permintaan izin baik
secara lisan maupun tulisan dari pihak pemerintah terhadap ahli waris Wan Amir.
Bahkan , menurut ahli waris lain Wan pauzi, pihaknya akan mencabut plang nama
Jalan Gatot Soebroto, jika pemerintah tidak segera menyikapi aksi dan keinginan
ahli waris Wan Amir.
Pasal-pasal yang bersangkutan:
Pasal 833 BW menjelaskan sekalian ahli waris dengan sendirinya
karena hukum memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala
piutang Si yang meninggal. Jadi obyek kewarisan adalah segala barang yang
dimiliki si pewaris, segala hak dan segala kewajiban dari si pewaris.
Untuk menduduki hak milik seperti diatas, Negara harus
meminta keputusan Hakim terlebih dahulu, dan atas ancaman hukuman mengganti
segala biaya, rugi dan bunga, berwajib pula menyelenggarakan penyegelan dan
pendaftaran akan barang-barang harta peninggalan dalam bentuk yang sama seperti
ditentukan terhadap cara menerima warisan dengan hak istimewa akan pendaftaran
barang.
Sedangkan menurut pasal 834 BW menyebutkan
bahwa tiap-tiap ahli waris dapat menuntut apa saja yang termasuk harta
peninggalan si meninggal diserahkan padanya berdasarkan haknya sebagai ahli
waris, si ahli waris boleh mengajukan gugatan baik untuk seluruhnya apabila ia
adalah ahli waris satu-satunya atau hanya sebagian apabila ada beberapa ahli
waris yang lain.
Gugatan demikian guna untuk menuntut supaya diserahkan
kepadanya segala apa yang dengan dasar hak apapun juga terkandung dalam warisan
serta segala hasil pendapatan dan ganti rugi.
Jika melihat pada penjelasan di atas memang pihak
pemetintah melakukan sebuah tindakan yang salah dimana tidak meminta izin
terlebih dahulu kepada para ahli waris Wan Amir sebelum mengganti nama jalan
yang asalnya “Wan Amir” menjadi “Gatot Subroto”. Sehingga pihak ahli waris Wan
Amir bersi keras untuk menolak pergantian nama jalan tersebut. Bahkan dengan
tegasnya pihak ahli waris lain (Wan Fauzi), akan mencabut plang nama jalan
Gatot Subroto jika pemerintah tidak
segera mensikapi aksi dan keingina dari pihak Wan Amir.
Sesuai dengan pasal-pasal yang terdapat dalam BW
diatas, jadi kesimpulanya adalah
bahwa pihak ahli waris Wan Amir berhak
dengan sepenuhnya untuk menuntut haknya agar nama jalan Wan Amir tidak dengan
semudah itu diganti dengan “Gatot Subroto” sebelum meminta Izin terlebih dahulu
kepada pihaknya. Karna yang namanya hak merupakan sesuatu yang mutlak harus di
tuntut. Hal ini di lakukan oleh pihak
ahli waris Wan Amir semata-mata hanya ingin memperjuangkan hak-haknya dan
sebagai salah satu tindakan untuk membalas budi terhadap apa yang telah di
lakukan oleh Almarhum Wan Amir selama hidupnya
dimana almarhum juga sebagai salah seorang tokoh terbentuknya Kelurahan
Purnama.
Daftar Pustaka
Chandra, Darusnal. Hukum Waris Perdata, Makalah Universitas Batam,
2009.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2003.
Saifullah M.Hum. Buku Ajar Wawasan
Hukum Perdata Di Indonesia, Malang: Fakultas Syari’ah UIN Malang, 2011.
Salim. pengantar hukum Perdata
Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika, 2003.
Subekti, dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang hukum Perdata,
Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008.
Subekti. Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta:
Intermasa, 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar