KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan
semesta alam yang selalu melimpahkan
rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua . Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan membahas“Pengertian,
dalil kehujjahan, syarat- syrat, dan lain- lain yang berhubungan dengan ijma’.
Sholawat ber-iring salam semoga tetap
terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari
zaman belum mengenal ilmu pengetahuan menuju zaman yang terang benderang di
bawah naungan agama islam.
Makalah yang membahas tentang “Pengertian, dalil kehujjahan, syarat-
syrat, dan lain- lain yang berhubungan dengan ijma’ ini dibuat untuk
membahas silabus yang telah diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa
Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang khususnya semester II Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah,
dapat memahami masalah yang penting
tersebut.dengan baik dan benar.
Dalam kesempatan ini penulis berusaha
semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini dengan sebaik- baiknya, akan
tetapi karena keterbatasan kami mungkin masih banyak kekurangan dalam hal tata cara penulisan ataupun
pembahasan..Namun dengan adanya
penyusunan makalah ini semoga kita dapat mengambil banyak pelajaran.dan
manfaatnya Dan juga dapat menjadi
sumbangsih pemikiran khususnya dalam bidang akademika.
Malang, Maret 2013
Penyusun
|
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Ijma’ merupakan sumber hukum yang
ke- tiga setelah Al- Qur’an dan Al- Hadits, akan tetapi tidak semua aliran yang sependapat dengan
Aliran yang menjadikan ijma’ sebagai pedoman atau sumber hukum misalnya saja
mu’tazilla, Syi’ah, dan aliran- aliran lainya. Karna beberapa alasan- alasan
yang alasan tersebut sudah kami jelaskan dalam pembahsan nanti.
Perbedaan tersebut memang suatu hal yang sangat wajar dan merupakan rahamat bagi umat nabi
Muhammad dengan cacatan perbedaan
tersebut hanya pada masalah- masalh furu’ ( cabang) saja, akan tetapi jika
perbedaan tersebut sudah pada ushul( dasar) dalam artian yaitu: Al- qur”an dan
Al- hadits, maka itu sudah tidak bisa di sebut rahmat, akan tetapi hal tersebut
merupakan sebuah tantangan bagi kita
sebagai kaum muslimin untuk selalu menjaga dan melestarikan ajaran- ajaran yang
di bawa oleh nabi Muhammad Saw. ( islam).
Ikhtilaf masalh furu’ (cabang) ini
tidak hanya di anggap sebagai hal yang biasa atau lazim ( rahamat), namun juga
bisa merupakan harta karun yaitu warisan dari nenek moyang kita yang amat berharga,karna
perbedaan pendapat para ulama’ itu adalah peninggalan yang bisa di jadikan
sebagai bahan kajian bagi perkembangan fiqih itu sendiri di masa mendatang, di
samping itu juga sebagai bahan pertimbangan dan masuk yang amat berharga
nilainya.
Perbedaan pendapat dalam madzhab fiqih ini tidak bisa di lepaskan secara
historis dari masa- masa terdahulu, ketika pada masanya para sahabat Nabi Saw,
tabiin, dan seterusnya sampai terbentuknya beberapa mazdhab fiqih yang sekarang
ini kita buat rujukan, dimana taqlid kepada salah satu madzhab atau beberapa
madzhab masih sangat di butuhkan walupun pintu ijtihad juga masih terbuka.oleh
karna itu kurang etis kalau kita hanya menyoroti mazdhab fiqih dan pertentangan
antar pengikut- pengikutnya saja tanpa mau mencari sebab – sebab terjadinya
perbedaan pada masa lalu. Karna ada pepatah yang mengatakan “ perbedaan umat
islam saat ini adalah merupakan buah dan bias dari perbedaan- perbedaan masa
lalu, dan dan perbedaan di masa mendatang akan sangat di pengaruhi oleh
perbedaan- perbedaan di masa sebelumnya.
Namun saying sebagian kelompok umat islam yang tidak mengetahui hal ini
atau pura- pura tidak mengetahuinya. Memandang sebelah mata, mereka meng-klaim
bahwa kelompok dan ibadah mereka yang paling benar, mengkritik kelompok lain,
bahkan sampai mengkafirkanya.Naudhu billahi min dzalik.
.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang di maksud dengan ijma’ itu?
2.
Bagaimana bunyi dalil atau landasan ijma’?
3.
Apa syarat- syarat atau rukun- dari ijma’ itu?
4.
Ijma’ itu di bagi menjadi berapa? dan apa sajakah macam- macamnya?
5.
Kelompok apa saja yang tidak menerima ijma’? dan apa alasanya?
6.
Bagaimana dengan pandang jumhurul ulama’ mengenai ijma’?
7.
Kasus- kasus hukum apa sajakah yang telah memperoleh landasab ijma’?
C.
Tujuan Makalah
1.
Untuk memahami pengertian ijama’.
2.
Untuk mengetahui dalil- dalil atau landasan- landasan
mengenai kehujjahan ijma’.
3.
Agar mengetahui syarat-syarat atau rukun- rukun ijma’.
4.
Agar mengetahui macam-macam ijma’
5.
Agara dapat mengetahui kelompok – kelompok yang tidak menerima ijma’ beserta argumenya
juga.
6.
Untuk memahami dan mengetahui pendapat jumhurul ulama’.
7.
Agar dapat mengetahui kasus- kasus yang telah di peroleh
dari hasil ijma’.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengetian ijma’
Ijma’ menurut bahasa adalah mempunyai arti dua yaitu
kesengajaan dan mufakat.[1]
Dalam refrensi lain di jelaskan bahwa lafal ijma’
menurut bahasa arab berarti tekad seperti dalam firman Allah Swt.
فأجمعواأمركموشركائكم
(يونس:71)
Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- srkutumu untuk
membinasakanmu.( QS. Yunus:71)
Kesepakatan para mujtahid di sebut ijma’, karna
kesepakatan mereka atas suatu huukm adalah kebulatan tekat mereka atas hal itu.[2]
Sedang menurut istilah ada banyak
definisi diantaranya:
Menurut Muhammad bin Hamzah Al- Ghifari (w. 834 H.)
mengemukakan devinisi ijma’, yakni :
اتّفاق
المجتهدين من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم في عصر على حكم شرعي
Ungkapan “pada suatu masa” dalam definisi ijam’
tersebut menunjukkan bahwa kesatuan masa
hidup para mujtahid terkait merupakan syarat sahnya suatu ijama. Sedang ungkapan “ hukum syara’”
mengandung makna yang sama dengan istilah “ terhadap perkara agama ”. Versi
Ghazali menyebutkannya dengan istilah” terhadap hukum perkara aktua”( hukm al-
haditsah). Menurut JuhainiUngkapan
tersebut juga menegaskan perkara non- hukum syara’, seperti: prkara ‘urf atau
kebiasaan dan perkara yantg bersifat penalaran rasional (‘aqliyyah).[4]
Sedangkan
al- Kamal bin Human menyatakan bahwa ijma’ adalah :
اتّفاق
مجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم في عصر علىى أمر شرعي
Kesepatan
semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan Muhammad terhadap perkara syara’.
Definisi yang paling tepat ialah yang di kemukakan
oleh al- syaukani yakni:
اتّفاق
المجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم بعد وفاته في عصر من الاعصار على امر
من الامور
Kesepakatan
semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW.Setelah wafatnya beliau pada suatu
masa terhadap suatu perkaara.
Banyak para Ulama’ yang membuat definisi hampir sama
sama, namun kata “Mujtahid” di situ ada banyak fersi sebutan. Antara lain:
§ Tajuddin al- subki menyebut kata
“Mujtahid” dengan sebutan ahli hukum isalam (ahl al- fiqh atau al- fuqoha’).
§ Ibnu Hazm menyebutkanya dengan sebutan “
Ulama’ umat Muhammad”.
§ Shafiyuddin al- huli menyebutkanya
dengan sebutan “ahl al- hall wa al-‘aqd”.
§ Al- Bazdawi dan al- Ghazali menggunakan
ungkapan “ ahl al- ra’y wa al-ijtihad”.
Yang dimaksud dengan kata ijtihad dan macam-macamnya
tersebut adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat dan mempunyai
kapabilitas dan kompetensi untuk menghasilkan hukum dari sumber-sumbernya.
Jadi, Penggunaan beberapa istilah
mujtahid di atas yaitu untuk menegaskan orang awam atau orang yang tidak
mempunyai kapabilitas ijtihad.[5]
Dari beberapa devinisi di atas
dapat di tarik dengan bebarapa proporsi atau kesimpulan , yaitu:
1. Kesepakatan ornag awam tidak bisa di
sebut dengan ijma’ karna mereka tidak termasuk orang yang mempunyai kapabilitas
dalam beriijtihad.
2. Kesepakatan sebagian mujtahid juga tidak
bisa di sebut sebagai ijma’ karna hal demikian tidak mencerminkan kesepakatan
bulat.
3. Kesepakatan umat-umat terdahulu juga
tidak bisa di sebut sebagai ijma’ karna mereka bukanlah umat nabi Muhammad.
4. Kesepakatan semua mujtahid (para
sahabat) pada masa nabi Muhammad juga tidak bisa di sebut sebagai ijma’ karna
pada masa nabi para sahabat tidak mempunyai implikasi tasyri’ apapun ( semua
masalah di tanyakan kepada nabi Muhammad).
5.
Ungkapan
suatu masa menjadi unsur penting dalam pengertian ijma’ dalam rangka menegaskan pandangan yang menyatakan ijma’
itu kesepatan semua mujtahid umat pada seluruh masa hingga hari kiamat.[6]
B.
Kekuatan ijma’ sebagai dalil atau hujjah
.Ahl al- ssunnah wa al- jamaah (sunni) berkeyakinan
bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah.Menurut mereka ijma’ merupakan dalil
yang berbobot qat’iy.
Dalil- dalil yang merupakan bukti kehujjahan ijma’ :
A. Dalil Naqli.
a. Surat al- Taubah (9):16:
أم
حسبتم أنتتركوا ولمّا يعلم الله اللذين جاهدوا منكم ولم يتّخذوا من دون الله ولا
رسوله ولا المؤمنين وليجه والله خبير بما تعملون
Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan di biarkan( begitu saja), sedang Allah belum
mengetahui ( dalam kenyataan ) orang-orang yang berijtihad di antara kamu dan
tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah. Rosulnya dan orang-orang
mukmin. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
b. Surat al- A’raf (7): 181:
يعدلونوبهباالحقّيهدوناْمّةخلقناوممّن
Dan
diantara orang-orang yang kami ciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan
kebenaran, dan dengan kebenaran itu pula mereka menjalankan keadilan.
c. Surat an- Nisa’ (4): 59:
وأطيعوااللهأطيعواءامنوااللذينياْيّها
والرّسولالىفردّوهشئفىزعتمتنافاءنمنكمالامروألىالرّسول
Hai
orang- orang yang beriman taatilah Allah, taatilah rasul, dan taatilah penguasa
atau pemimpin diantara kamu, lalu jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu,
kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasulnya.
d.
Surat an-nisa’ (4) : 15 :
“dan
barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti
jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadp
kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia keda;am jahana.m, dan
jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
Dalam ayat ini “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa
yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin.Iniilah yang disebut dengan
ijma’ kaum mukminin.Orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin mendapat
ancaman neraka jahanam.Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang
diikuti kaum mukminin, dan disuruh mengikuti ijma’.
e.
Surat al-Baqarah (2) ;143 :
“Dan
demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan
pilihan agar kau menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…
Ayat ini mensifati umat islam dengan “wasath”, yang berarti “adil”.
Ayat ini memandang umat islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang
mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebgaimana ucapan
Rasul menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan
kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali
pendapat mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.
f.
Surat Ali Imron (3) : 110 :
“Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
makruh, dan mencegah dari yang mungkar……”
Alif
Lam bila
ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku secara umum.Kebenaran berita ini
menghendaki menyuruh mereka melakukan setiap yang makruf dan melarang mereka
dari setiap perbuatan yang mungkar.Hal ini berarti umat dapat menetapkan
suruhan dan larangan.
Disamping
itu di landasi pula oleh bebrapa hadits:
1. Hadits yang di riwayatkan oleh
al_Turmudzi:
الخطاءعلىامّتيلاتجتممع
Tidak
(mungkin) bersepakat umatku terhadap sesuatu yang keliru.
2. Hadits Ibnu Mas’ud yang di riwayatkan
oleh Ahmad dan al-tabrani:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Apa
yang di pandang baik oleh orang- orang islam maka di pandang baik pula oleh
Allah SWT.[7]
B. Dalil Aqli.
Tidak masuk akal menurut kebiasaan apabila mujtahid
bersepakat tanpa menggunakan atau berpegang pada Al- quran dan al- Hadits.
Seperti tidak masuk akalnya mujtahid yang salah dalam ijtihad tanpa salah satu dari
mereka yang mengingatkan. Maka kesepakatan Mujtahid besar kemungkinan benar,
yang harus di peganggi dan di amalkan.[8]
C.
Syarat- syarat atau Rukun- rukun ijma’
1. Di saat terjadinya kejadian itu terdapat
beberapa adanya mujtahid. Karna kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari
beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak
ada beberapa mujtahid atau tidak ada sama sekali atau hanya ada seorang
mujtahid saja , maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu
masa rosulullah tidak ada ijma’ karna beliau sendiri sebagai Mujtahid.
2. Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai
suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat
asal Negara, kebangsaan, atau kelompok.Bila kesepakatanya hanya oleh Mujtahid
dari kalangan tertentu saja maka tidak sah menurut hukum syara’. Karna ijma’
tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua ( yang memiliki kapasitas
sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3. Adanya kesepakatan tersebut jelas. Dalam
artian tidak ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid.
4. Kesepakatan mereka di awali dengan
pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid. Pendapat itu di ungkapkan dalam
bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa atau perbuatan seperti
bentuk putusan hukum. Bisa juga di ungkapkan secara perorangan mujtahid ,
kemudian setelah pendaptnya masing- masing di kumpulkan di temukan adanya kesepakatan.
D.
Macam- macam ijma’
Ijma’ di pandang dari segi cara- cara keberhasilanya
atau penetapanya di bagi menjadi dua,
yaitu:
1. Ijma’ Shorikh ( pasti)
Yaitu
para mujtahid pada suatu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian
denga menyampaikan pendapat masing- masing yang di perkuat dengan fatwa atau
keputusan yakni masing- masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk
ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.Ijma’ ini di sebut dengan
Ijma’ Haqiqi dan bisa di buat hujjah dalam Negara.Seperti masalah bersentuhan
dengan wanita ajnabiyyah pendapat Nahdlotul Ulama’ yaitu menggunakan hukum
hasil ijma’.
2. Ijma’ Sukuti ( dugaan)
Yaitu
sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas
terhadap suatu peristiwa dengann fatwa atau putusan hukum, sebagian yang lainya
diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat
yang telah di kemukakan tersebut. Ijma’ ini di sebut juga dengan ijma’
I’tibari, sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan ijma’ ini untuk di buat
sebagai hujjah.
Dalam
pandangan jumhurul Ulama’ ijma’ shorikh adalah ijma’ yang sesungguhnya ( suatu
hujjah hukum syara’) sedangkan ijma’ sukuti adalah ijma’ yang seakan- akan,
karna diam tidak berarti sepakat sehingga tidak di katakan pasti adanya
kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’. Jumhurul Ulama’ berpendapat bahwa
ijma’ sukuti bukan berarti ijma’ melainkan hanya pendapat sebagian mujtahid
secara individu.Sedang Ulama’ kelompok
Hanafi berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’. Dengan beberapa alasan
yaitu: jika mujtahid yang diam itu telah di ajukan kepadanya kejadian yang di
maksud, sudah di tunjukkan kepadanya pendapat yang telah di kemukakan para
mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya,
tetapi ia diam dan tidak di temukan
alasan diamnya,apakah karna takut atau terkena bujukan atau payah atau bisa
juga karna mendapat ejekan. Karna diamnya seorang Mujtahid dalam kedudukanya
sebagai pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syara’ dalam waktu yang
cukup untuk membahas dan mempelajarinya, juga tidak ada halangan untuk
menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatannya
dengan pendapat yang telah di kemukakan oleh mujtahid yang lain. Sebab, jika
pendaptnya bertentangan tidak mungkin diam.[9]
E.
Kelompok yang
menolak ijma’ beserta argumentasinya
Sehubungan dengan ijma’, Umat islam di bedakan
menjadi dua golongan, yakni golongan Ahl al- sunnah wa al- jamaah (sunni) dan
golongan non_ Sunni (Syiah, Khawarij, Dan Mu’tazillah).Golongan non-sunni
memandang bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyyah.
Sekelompok ulama’, trmasuk diantara kelompok an
Nadz- dzam an sebagian Syi’ah berkata: Ijma’ dengan unsur- unsur yang telah
jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, kana sulit untuk memahami
semua unsur- unsurnya. Hal itu dikarnakan tidak ada ukuran yang pasti,
seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum.Juga tiidak ada patokan
hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak.Sehingga sulit untuk mengetahui
mujtahid selain oleh mujtahid itu sendiri.
Diantara alasanlain yang memperkuat bahwa ijma’ tidak
mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan, maka harus di sandarkan kepada
dalil, karna seorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika
dalil yang di sepakati itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena
bagi umat islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka
butuh merujuk pada para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika dalil itu
dugaan, menurut kebiasaan, tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan,
karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
Alasan lain tidak menerima adanya ijtuhad ( menolak)
adalah setelah masa sahabat kecuali sebagian masa kekuasaan Muawiyyah di
Andalusia, ketika mereka pada tahun ke dua Hijriyah membentuk kelompok
ulama’ syura , setelah itu tidak
penah terjadi yang namanya ijma’, karna tidak terbukti adanya ijma’ oleh
mayoritas mujtahid untuk menetapkan hukum syara’, dan tidak pernah ada
penetapan hukum dari jama’ah, akan tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di
Negara dan lingkungannya sendiri- sendiri. Sehingga penetap hukum itu bersifat
individu atau kolektifitas, bukan hasil musyawarah, kadang- kadang ada kesamaan
dan kadang- kadang pula ada pertentangan atau perbedaan.
Alasan berikutnya atau yang ketiga adalah Ibnu Hazm
dalam kitabnyaal- Ahkaammeriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin
Hambal: Saya mendengar ayah berkata,” Apa yang di akui oleh seseorang adalah
bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma’ dia adalah pembohong. Yang dia
tahu, barang kali orang- orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan itu
belum berakhir, maka katakanlah: Kami tidak tahu bahwa orang- orang telah
berselisih pendapat.Dan alasan- alasan lainya.
F. Pandangan
jumhurul ulama’ beserta alasan- alasanya
Jumhurul ulama’ berpendapat bahwa mungkin dapat di
adakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata: “ Apa yang di katakana oleh
penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti karna meragukan masalah yang
terjadi. “ Mereka menyebutkan beberapa contoh hal- hal yang di tangkap sebagai
hasil ijma’; seperti pengangkatan kholifah Abu bakar, keharaman minyak babi,
bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki- laki dan anak laki-
laki tidak mendapat bagian waris karna ada anak laki- laki, dan diantara hukum
rinci dan hukum glbal lainya.
Jadi inti dari pandangan kelompok- kelompok yang menolak
ijma’ dan pandangan jumhurul ulma’ adalah bahwa ijma’ dengan definisi dan
unsur- unsur seperti yang telah di jelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin di
adakan bila di serahkan kepada masing- masing umat islam dan kelompknya. Tapi
ijma’ mungkin dapat di adakan bila di kuasai oleh pemerintah islam di mana
saja. Masing- masing pemerintahan islam dapat menentukan syarat- syarat
seseorang di anggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan titel ijtihad
kepada orang- orang yang memenuhi syarat- syarat tersebut. Dengan cara
demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan pendapat-
pendapatnya mengenai peristiwa apa saja. Bila semua atau masing- masing pemerintahan telah mengetahui seluruh pendapat mujtahidnya
tentang suatu peristiwa kemudian di temukan kesepakatan para mujtahid di
seluruh pemerintah islam atas satu hukum pada peristiwa di maksud, berarti
telah terjadi ijma’, dan hukum yang telah di sepakati itu menjadi hukum syara’
yang wajib di ikuti oleh umat islam.[10]
G. Kasus- kasus hukum yang telah memperoleh
landasan ijma’
Adapun Kasus- kasus yang telah
memperoleh landasan ijma’ antara lain:
1. perihal sifat suci- mensucikan yang
tetap melekat pada air yang banyak, yang kejatuhan najis dan tidak warna, rasa,
dan bau dari air tersebut.
2. Perihal sifat suci- mensucikan air sisa
minuman binatang yang halal dagingnya.
3. Perihal batalnya wudhu lantaran
keluarnya kotoran dari dubur dan qubul.
4. Perihal najisnya air seni.
5. Perihal awal waktu dhuhur, yakni sejak
tergelincirnya matahari.
6. Perihal awal waktu maghrib, yakni sejak
terbenamnya matahari
7. .perihal awal waktu subuh, yakni sejak
terbitnya faajar.
8. Perihal hukum sunnah sholat tarawih,
sholat dhuha, dan sholat tahajjud.
9. Perihal gugurnya kewajiban sholat fardhu
bagi perempuan lantaran kondisi sedang menstruasi.
10. Perihal gugurnya kewajiban shola t
jum’at bagi perempuan.
11. Perihal bilangan sholat jum’at yakni dua
rokaat.
12. Perihal huukm sunnah menghadap kiblat
ketika beradzan.
13. Perihal tidak sah sholat kecual di
sertai niat.
14. Perihal batalnya sholat lantaran tertawa
15. Perihal batalnya sholat lantaran
berkata- kata.
16. Perihal batalnya sholat lantaran mabuk.
17. Perihal hukum sunnah mengangkat tangan
ketika membaca takbiratul ihram dalam sholat.
18. Perihal bolehnya meng-qashor sholat
dhuhur, ashar, dan isya’ masing- masing menjadi dua rakaat, dan tidak bolehnya
menjamak sholat maghrib dan subuh.
19. Perihal waktu sholat witir, yakni antara
waktu isya’ dan waktu terbit fajar.
20. Perihal kesamaan tata cara memandikan
mayat dan mandi junub.
21. Perihal bolehnya orang perempuan
memandikan mayat suaminya dan mayat anaknya laki- laki.
22. Perihal bolehnya memanfaatkan bulu
binatang yang halal untuk berbagai keperluan apabila binatang itu masih hidup
ketika bulunya di ambil.
23. Perihal haramnya babi termasuk lemak
babi.
24. Perihal haramnya darah dan bangkai
hewan.
25. Perihal halalnya ikan laut termasuk
bangkainya.
26. Perihal wajibnya zakat termasuk ternak
unta, sapi, dan domba
27. Perihal wajibnya zakat fitrah.
28. Perihal ketidak bolehan menyalurkan
harta zakat kepada ibu- bapak, anak, dan istri dari si wajib zakat.
29. Perihal hukum sunnah makan sahur untuk
berpuasa.
30. Perihal batalnya puasa lantaran muntah
dengan sengaja.
31. Perihal keringanan untuk tidak berpuasa
bagi orang yang sudah tua renta.
32. Perihal kebolehnya orang yang beri’tikaf
untuk keluar masjid karena keperluan buang hajat.
33. Perihal keharaman bersetubuh dengan
istri bagi orang yang beri’tikaf.
34. Perihal wajibnya haji bagi seorang
muslim yang mampu, hanya untuk sekali seumur hidup.
35. Perihal bolehnya ber-ihram tanpa mandi
dahulu.
36. Perihal bolehnya ber-siwak bagi orang yang
ber- ihram.
37. Perihal keharaman bagi orang yang
ber-ihram untuk bersetubuh, membunuh hewan buruan, memakai wangi- wangian,
mengenakan pakaian berjahit, dan memotong kuku.
38. Perihal ketidak bolehan menyembelih
hewan qurban sebelum terbit fajar Hari
Raya Idul Adha.
39. Perihal kehalalan semua binatang laut.
40. Perihal kebolehan perlombaan memanah.
41. Perihal pembebanan terhadap penggugat
atau pendakwa untuk mendatangkan bukti- bukti di luar sumpah dan pemmbebanan
terhadap tergugat atau terdakwa untuk mendatangkan bukti sumpah.[11]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijma’ menurut bahasa mempunyai arti dua yaitu kesengajaan, mufakat,
tekad seperti dalam firman Allah Swt.
فأجمعواأمركموشركائكم
(يونس:71)
Karena
itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- srkutumu untuk
membinasakanmu.( QS. Yunus:71)
Sedang
menurut istilah ada banyak definisi diantaranya:
Menurut Muhammad bin Hamzah Al-
Ghifari (w. 834 H.) mengemukakan devinisi ijma’, yakni:Kesepakatan semua
mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara’.Sedangkan
al- Kamal bin Human menyatakan bahwa ijma’ adalah :Kesepatan semua mujtahid
pada suatu masa dari kalangan Muhammad terhadap perkara syara’.
Definisi yang paling tepat ialah yang di kemukakan
oleh al- syaukani yakni:
اتّفاق
المجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم بعد وفاته في عصر من الاعصار على امر
من الامور
Kesepakatan
semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW.Setelah wafatnya beliau pada suatu masa
terhadap suatu perkara.
Syarat-syarat ijma’ diantaranya:Di
saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna
kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling
memiliki kesesuaian.Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada
saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara,
kebangsaan, atau kelompok.Adanya kesepakatan tersebut jelas.Dalam artian tidak
ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid.Kesepakatan mereka di
awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid.
Macam- macam ijma’:Ijma’
Shorikh ( pasti) dan Ijma’
Sukuti ( dugaan).
Kelompokumat islam
di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan Ahl al- sunnah wa al- jamaah
(sunni) dan golongan non_ Sunni (Syiah, Khawarij, Dan Mu’tazillah).Golongan
non-sunni memandang bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyyah.
B. Saran
Apa yang ada
dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami ambil dari
berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditugaskan kepada kami,
untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Dan dalam
penyusunan makalah ini, kami menyadari
masih ada kekurangan baik dalam hal penulisan ataupun isi materi dari makalah
ini. Untuk itu kami mohon adanya kritik maupun saran yang membangun dari
pembaca, untuk perbaikan dalam penyusunan makalah kami kedepannya.
o
Asmawi,
Dr. M. Ag..perbandingan ushul fiqih, AMZAH, Jakarta: 2011.
o
Arfan,
Abbas lc.,M.H..Geneologi pluralitas mazhab dalam hukum islam,UIN-
Malng pers, malang: 2008.
o
Athoillah
dkk..Rangkuman pelajran ushul fiqih semeseter satu kelas XI MA,2010.
o
Wahhab,
Abdul khallaf prof. Dr..ILMU USHUL FIQIH dalam kaidah hukum islam ,Pustaka Amani,
Jakarta:2003.
[2] Prof. Dr. Abdul wahhab Khallaf,ilmu ushul fiqih kaidah hukum
islam,(Jakarta: 2003),cet. 1, hal.54.
[3]Dr. Asmawi, M. Ag,perbandingan ushul fiqih,( Jakarta: 2011),cet.1 ,
hal. 82.
[4]Ibid, hal. 83.
[5]Ibid, hal. 82.
[6]Ibid, hal. 84.
[7]Ibid, hal. 86-89.
[8] Athoillah dkk., Rangkuman pelajaran ushul feqih, semester 1 kelas
11 MA. hal.27.
[9] Prof. Dr. Abdul wahhab Khallaf,ilmu ushul fiqih kaidah hukum
islam,(Jakarta: 2003),cet. 1, hal.
55-63.
[10]Ibid, hal.59-62.
[11] Dr. Asmawi, M. Ag,perbandingan ushul fiqih,( Jakarta: 2011),cet.1 ,
hal.90-92.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar