Kamis, 04 Desember 2014

Ijma' (pengertian, syarat-syarat, dan pembagianya)



KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT., Tuhan semesta alam  yang selalu melimpahkan rahmat, taufiq, dan hidayah-Nya kepada kita semua . Sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan membahas“Pengertian, dalil kehujjahan, syarat- syrat, dan lain- lain yang berhubungan dengan ijma’.

Sholawat ber-iring salam semoga tetap terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW. yang telah membimbing kita dari zaman belum mengenal ilmu pengetahuan menuju zaman yang terang benderang di bawah naungan agama islam.

Makalah yang membahas tentang “Pengertian, dalil kehujjahan, syarat- syrat, dan lain- lain yang berhubungan dengan ijma’ ini dibuat untuk membahas silabus yang telah diberikan kepada mahasiswa dengan tujuan agar mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang khususnya semester II Fakultas Syari’ah Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah, dapat memahami masalah yang penting  tersebut.dengan baik dan benar.
                                     
Dalam kesempatan ini penulis berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun makalah ini dengan sebaik- baiknya, akan tetapi karena keterbatasan kami mungkin masih banyak kekurangan dalam  hal tata cara penulisan ataupun pembahasan..Namun  dengan adanya penyusunan makalah ini semoga kita dapat mengambil banyak pelajaran.dan manfaatnya  Dan juga dapat menjadi sumbangsih pemikiran khususnya dalam bidang akademika.

Malang,  Maret 2013




Penyusun


                                                  BAB I     
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah

Ijma’ merupakan sumber hukum  yang ke- tiga setelah Al- Qur’an dan Al- Hadits, akan tetapi  tidak semua aliran yang sependapat dengan Aliran yang menjadikan ijma’ sebagai pedoman atau sumber hukum misalnya saja mu’tazilla, Syi’ah, dan aliran- aliran lainya. Karna beberapa alasan- alasan yang alasan tersebut sudah kami jelaskan dalam pembahsan nanti.
Perbedaan tersebut memang suatu hal yang sangat wajar dan  merupakan rahamat bagi umat nabi Muhammad  dengan cacatan perbedaan tersebut hanya pada masalah- masalh furu’ ( cabang) saja, akan tetapi jika perbedaan tersebut sudah pada ushul( dasar) dalam artian yaitu: Al- qur”an dan Al- hadits, maka itu sudah tidak bisa di sebut rahmat, akan tetapi hal tersebut merupakan  sebuah tantangan bagi kita sebagai kaum muslimin untuk selalu menjaga dan melestarikan ajaran- ajaran yang di bawa oleh nabi Muhammad Saw. ( islam).
Ikhtilaf masalh furu’ (cabang)  ini tidak hanya di anggap sebagai hal yang biasa atau lazim ( rahamat), namun juga bisa merupakan harta karun yaitu warisan dari nenek moyang kita yang amat berharga,karna perbedaan pendapat para ulama’ itu adalah peninggalan yang bisa di jadikan sebagai bahan kajian bagi perkembangan fiqih itu sendiri di masa mendatang, di samping itu juga sebagai bahan pertimbangan dan masuk yang amat berharga nilainya.
Perbedaan pendapat dalam madzhab fiqih ini tidak bisa di lepaskan secara historis dari masa- masa terdahulu, ketika pada masanya para sahabat Nabi Saw, tabiin, dan seterusnya sampai terbentuknya beberapa mazdhab fiqih yang sekarang ini kita buat rujukan, dimana taqlid kepada salah satu madzhab atau beberapa madzhab masih sangat di butuhkan walupun pintu ijtihad juga masih terbuka.oleh karna itu kurang etis kalau kita hanya menyoroti mazdhab fiqih dan pertentangan antar pengikut- pengikutnya saja tanpa mau mencari sebab – sebab terjadinya perbedaan pada masa lalu. Karna ada pepatah yang mengatakan “ perbedaan umat islam saat ini adalah merupakan buah dan bias dari perbedaan- perbedaan masa lalu, dan dan perbedaan di masa mendatang akan sangat di pengaruhi oleh perbedaan- perbedaan di masa sebelumnya.
Namun saying sebagian kelompok umat islam yang tidak mengetahui hal ini atau pura- pura tidak mengetahuinya. Memandang sebelah mata, mereka meng-klaim bahwa kelompok dan ibadah mereka yang paling benar, mengkritik kelompok lain, bahkan sampai mengkafirkanya.Naudhu billahi min dzalik.


.


B.     Rumusan Masalah

1.      Apakah yang di maksud dengan ijma’ itu?
2.      Bagaimana bunyi dalil atau landasan ijma’?
3.      Apa syarat- syarat atau rukun- dari ijma’ itu?
4.      Ijma’ itu di bagi menjadi berapa? dan apa sajakah macam- macamnya?
5.      Kelompok apa saja yang tidak menerima ijma’? dan apa alasanya?
6.      Bagaimana dengan pandang jumhurul ulama’ mengenai ijma’?
7.      Kasus- kasus hukum apa sajakah yang telah memperoleh landasab ijma’?








C.    Tujuan Makalah

1.      Untuk memahami pengertian ijama’.
2.      Untuk mengetahui dalil- dalil atau landasan- landasan mengenai kehujjahan ijma’.
3.      Agar mengetahui syarat-syarat atau rukun- rukun ijma’.
4.      Agar mengetahui macam-macam ijma’
5.      Agara dapat mengetahui kelompok – kelompok  yang tidak menerima ijma’ beserta argumenya juga.
6.      Untuk memahami dan mengetahui pendapat jumhurul ulama’.
7.      Agar dapat mengetahui kasus- kasus yang telah di peroleh dari hasil ijma’.










                                                 BAB II    
PEMBAHASAN

A.                        Pengetian ijma’
                                                                               
Ijma’ menurut bahasa adalah mempunyai arti dua yaitu kesengajaan dan mufakat.[1]
Dalam refrensi lain di jelaskan bahwa lafal ijma’ menurut bahasa arab berarti tekad seperti dalam firman Allah Swt.
فأجمعواأمركموشركائكم (يونس:71)
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- srkutumu untuk membinasakanmu.( QS. Yunus:71)
Kesepakatan para mujtahid di sebut ijma’, karna kesepakatan mereka atas suatu huukm adalah kebulatan tekat mereka atas hal itu.[2]
            Sedang menurut istilah ada banyak definisi diantaranya:
Menurut Muhammad bin Hamzah Al- Ghifari (w. 834 H.) mengemukakan devinisi ijma’, yakni :
اتّفاق المجتهدين من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم في عصر على حكم شرعي
raKesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara’.[3]
Ungkapan “pada suatu masa” dalam definisi ijam’ tersebut  menunjukkan bahwa kesatuan masa hidup para mujtahid terkait merupakan syarat sahnya suatu  ijama. Sedang ungkapan “ hukum syara’” mengandung makna yang sama dengan istilah “ terhadap perkara agama ”. Versi Ghazali menyebutkannya dengan istilah” terhadap hukum perkara aktua”( hukm al- haditsah). Menurut  JuhainiUngkapan tersebut juga menegaskan perkara non- hukum syara’, seperti: prkara ‘urf atau kebiasaan dan perkara yantg bersifat penalaran rasional (‘aqliyyah).[4]
Sedangkan al- Kamal bin Human menyatakan bahwa ijma’ adalah :
اتّفاق مجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم في عصر علىى أمر شرعي
Kesepatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan Muhammad terhadap perkara syara’.
Definisi yang paling tepat ialah yang di kemukakan oleh al- syaukani yakni:
اتّفاق المجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم بعد وفاته في عصر من الاعصار على امر من الامور
Kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW.Setelah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkaara.
Banyak para Ulama’ yang membuat definisi hampir sama sama, namun kata “Mujtahid” di situ ada banyak fersi sebutan. Antara lain:
§  Tajuddin al- subki menyebut kata “Mujtahid” dengan sebutan ahli hukum isalam (ahl al- fiqh atau al- fuqoha’).
§  Ibnu Hazm menyebutkanya dengan sebutan “ Ulama’ umat Muhammad”.
§  Shafiyuddin al- huli menyebutkanya dengan sebutan “ahl al- hall wa al-‘aqd”.
§  Al- Bazdawi dan al- Ghazali menggunakan ungkapan “ ahl al- ra’y wa  al-ijtihad”.
Yang dimaksud dengan kata ijtihad dan macam-macamnya tersebut adalah orang muslim dewasa yang berakal sehat dan mempunyai kapabilitas dan kompetensi untuk menghasilkan hukum dari sumber-sumbernya. Jadi, Penggunaan  beberapa istilah mujtahid di atas yaitu untuk menegaskan orang awam atau orang yang tidak mempunyai kapabilitas ijtihad.[5]
Dari beberapa devinisi di atas dapat di tarik dengan bebarapa proporsi atau kesimpulan , yaitu:
1.      Kesepakatan ornag awam tidak bisa di sebut dengan ijma’ karna mereka tidak termasuk orang yang mempunyai kapabilitas dalam beriijtihad.
2.      Kesepakatan sebagian mujtahid juga tidak bisa di sebut sebagai ijma’ karna hal demikian tidak mencerminkan kesepakatan bulat.
3.      Kesepakatan umat-umat terdahulu juga tidak bisa di sebut sebagai ijma’ karna mereka bukanlah umat nabi Muhammad.
4.      Kesepakatan semua mujtahid (para sahabat) pada masa nabi Muhammad juga tidak bisa di sebut sebagai ijma’ karna pada masa nabi para sahabat tidak mempunyai implikasi tasyri’ apapun ( semua masalah di tanyakan kepada nabi Muhammad).
5.      Ungkapan suatu masa menjadi unsur penting dalam pengertian ijma’ dalam rangka  menegaskan pandangan yang menyatakan ijma’ itu kesepatan semua mujtahid umat pada seluruh masa hingga hari kiamat.[6]

B.   Kekuatan  ijma’ sebagai dalil atau hujjah

.Ahl al- ssunnah wa al- jamaah (sunni) berkeyakinan bahwa ijma’ merupakan hujjah syar’iyyah.Menurut mereka ijma’ merupakan dalil yang berbobot qat’iy.
            Dalil- dalil yang merupakan bukti  kehujjahan ijma’ :
A.    Dalil Naqli.

a.       Surat al- Taubah (9):16:
أم حسبتم أنتتركوا ولمّا يعلم الله اللذين جاهدوا منكم ولم يتّخذوا من دون الله ولا رسوله ولا المؤمنين وليجه والله خبير بما تعملون
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan di biarkan( begitu saja), sedang Allah belum mengetahui ( dalam kenyataan ) orang-orang yang berijtihad di antara kamu dan tidak mengambil menjadi teman yang setia selain Allah. Rosulnya dan orang-orang mukmin. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.

b.      Surat al- A’raf (7): 181:
يعدلونوبهباالحقّيهدوناْمّةخلقناوممّن
Dan diantara orang-orang yang kami ciptakan, ada umat yang memberi petunjuk dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itu pula mereka menjalankan keadilan.
c.       Surat an- Nisa’ (4): 59:
وأطيعوااللهأطيعواءامنوااللذينياْيّها
والرّسولالىفردّوهشئفىزعتمتنافاءنمنكمالامروألىالرّسول
Hai orang- orang yang beriman taatilah Allah, taatilah rasul, dan taatilah penguasa atau pemimpin diantara kamu, lalu jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasulnya.

d.      Surat an-nisa’ (4) : 15 :

“dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia berkuasa terhadp kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia keda;am jahana.m, dan jahanam itu seburuk-buruknya tempat kembali.”
Dalam ayat ini “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin.Iniilah yang disebut dengan ijma’ kaum mukminin.Orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancaman neraka jahanam.Hal ini berarti larangan mengikuti jalan selain apa yang diikuti kaum mukminin, dan disuruh mengikuti ijma’.

e.       Surat al-Baqarah (2) ;143 :

“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat islam), umat yang adil dan pilihan agar kau menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…
Ayat ini mensifati umat islam dengan “wasath”, yang berarti “adil”. Ayat ini memandang umat islam itu sebagai adil dan dijadikan hujjah yang mengikat terhadap manusia untuk menerima pendapat mereka sebgaimana ucapan Rasul menjadi hujjah terhadap kita untuk menerima semua ucapan yang ditujukan kepada kita. Ijma’ berkedudukan sebagai hujjah tidak lain artinya kecuali pendapat mereka itu menjadi hujah terhadap yang lain.

f.       Surat Ali Imron (3) : 110 :

“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruh, dan mencegah dari yang mungkar……”
Alif Lam bila ditempatkan pada jenis menunjukkan berlaku secara umum.Kebenaran berita ini menghendaki menyuruh mereka melakukan setiap yang makruf dan melarang mereka dari setiap perbuatan yang mungkar.Hal ini berarti umat dapat menetapkan suruhan dan larangan.


Disamping itu di landasi pula oleh bebrapa hadits:

1.      Hadits yang di riwayatkan oleh al_Turmudzi:
الخطاءعلىامّتيلاتجتممع
Tidak (mungkin) bersepakat umatku terhadap sesuatu yang keliru.
2.      Hadits Ibnu Mas’ud yang di riwayatkan oleh Ahmad dan al-tabrani:
ما رأه المسلمون حسنا فهو عندالله حسن
Apa yang di pandang baik oleh orang- orang islam maka di pandang baik pula oleh Allah SWT.[7]

B.     Dalil Aqli.
Tidak masuk akal menurut kebiasaan apabila mujtahid bersepakat tanpa menggunakan atau berpegang pada Al- quran dan al- Hadits. Seperti tidak masuk akalnya mujtahid yang  salah dalam ijtihad tanpa salah satu dari mereka yang mengingatkan. Maka kesepakatan Mujtahid besar kemungkinan benar, yang harus di peganggi dan di amalkan.[8]

C.   Syarat- syarat atau Rukun- rukun ijma’

1.      Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian. Bila pada waktu itu tidak ada beberapa mujtahid atau tidak ada sama sekali atau hanya ada seorang mujtahid saja , maka menurut syara’ ijma’ tersebut tidak sah. Oleh sebab itu masa rosulullah tidak ada ijma’ karna beliau sendiri sebagai Mujtahid.
2.      Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau kelompok.Bila kesepakatanya hanya oleh Mujtahid dari kalangan tertentu saja maka tidak sah menurut hukum syara’. Karna ijma’ tidak sah kecuali dengan kesepakatan umum dari semua ( yang memiliki kapasitas sebagai) mujtahid dunia islam pada masa terjadinya peristiwa itu.
3.      Adanya kesepakatan tersebut jelas. Dalam artian tidak ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid.
4.      Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid. Pendapat itu di ungkapkan dalam bentuk perkataan seperti fatwa atas suatu peristiwa atau perbuatan seperti bentuk putusan hukum. Bisa juga di ungkapkan secara perorangan mujtahid , kemudian setelah pendaptnya masing- masing di kumpulkan di temukan adanya kesepakatan.

D.   Macam- macam ijma’

Ijma’ di pandang dari segi cara- cara keberhasilanya atau penetapanya  di bagi menjadi dua, yaitu:
1.      Ijma’ Shorikh ( pasti)
Yaitu para mujtahid pada suatu masa itu sepakat atas hukum terhadap suatu kejadian denga menyampaikan pendapat masing- masing yang di perkuat dengan fatwa atau keputusan yakni masing- masing mujtahid mengungkapkan pendapatnya dalam bentuk ucapan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya.Ijma’ ini di sebut dengan Ijma’ Haqiqi dan bisa di buat hujjah dalam Negara.Seperti masalah bersentuhan dengan wanita ajnabiyyah pendapat Nahdlotul Ulama’ yaitu menggunakan hukum hasil ijma’.
2.      Ijma’ Sukuti ( dugaan)
Yaitu sebagian mujtahid pada suatu masa mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu peristiwa dengann fatwa atau putusan hukum, sebagian yang lainya diam, artinya tidak mengemukakan komentar setuju atau tidak terhadap pendapat yang telah di kemukakan tersebut. Ijma’ ini di sebut juga dengan ijma’ I’tibari, sebagian Ulama’ tidak memperbolehkan ijma’ ini untuk di buat sebagai  hujjah.
                        Dalam pandangan jumhurul Ulama’ ijma’ shorikh adalah ijma’ yang sesungguhnya ( suatu hujjah hukum syara’) sedangkan ijma’ sukuti adalah ijma’ yang seakan- akan, karna diam tidak berarti sepakat sehingga tidak di katakan pasti adanya kesepakatan dan tidak pasti terjadinya ijma’. Jumhurul Ulama’ berpendapat bahwa ijma’ sukuti bukan berarti ijma’ melainkan hanya pendapat sebagian mujtahid secara individu.Sedang  Ulama’ kelompok Hanafi berpendapat bahwa ijma’ sukuti adalah ijma’. Dengan beberapa alasan yaitu: jika mujtahid yang diam itu telah di ajukan kepadanya kejadian yang di maksud, sudah di tunjukkan kepadanya pendapat yang telah di kemukakan para mujtahid, sudah melewati waktu yang cukup untuk membahas dan menetapkan pendapatnya, tetapi ia diam  dan tidak di temukan alasan diamnya,apakah karna takut atau terkena bujukan atau payah atau bisa juga karna mendapat ejekan. Karna diamnya seorang Mujtahid dalam kedudukanya sebagai pemberi fatwa, penjelas, dan pembentuk hukum syara’ dalam waktu yang cukup untuk membahas dan mempelajarinya, juga tidak ada halangan untuk menyampaikan pendapatnya meskipun bertentangan adalah bukti kesepakatannya dengan pendapat yang telah di kemukakan oleh mujtahid yang lain. Sebab, jika pendaptnya bertentangan tidak mungkin diam.[9]

E.   Kelompok  yang menolak ijma’ beserta argumentasinya
    
Sehubungan dengan ijma’, Umat islam di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan Ahl al- sunnah wa al- jamaah (sunni) dan golongan non_ Sunni (Syiah, Khawarij, Dan Mu’tazillah).Golongan non-sunni memandang bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyyah.
Sekelompok ulama’, trmasuk diantara kelompok an Nadz- dzam an sebagian Syi’ah berkata: Ijma’ dengan unsur- unsur yang telah jelas ini, menurut adat tidak mungkin untuk diadakan, kana sulit untuk memahami semua unsur- unsurnya. Hal itu dikarnakan tidak ada ukuran yang pasti, seseorang sudah mencapai tingkat ijtihad atau belum.Juga tiidak ada patokan hukum, seseorang termasuk mujtahid atau tidak.Sehingga sulit untuk mengetahui mujtahid selain oleh mujtahid itu sendiri.
Diantara  alasanlain yang memperkuat bahwa ijma’ tidak mungkin diadakan adalah bila ijma’ itu diadakan, maka harus di sandarkan kepada dalil, karna seorang mujtahid harus menyandarkan ijtihadnya kepada dalil. Jika dalil yang di sepakati itu pasti, menurut kebiasaan pasti diketahui, karena bagi umat islam tidak sulit mengetahui dalil syara’ yang pasti sehingga mereka butuh merujuk pada para mujtahid dan kesepakatan mereka. Dan jika dalil itu dugaan, menurut kebiasaan, tidak mungkin akan terwujud suatu kesepakatan, karena dalil dugaan pasti menimbulkan banyak pertentangan.
Alasan lain tidak menerima adanya ijtuhad ( menolak) adalah setelah masa sahabat kecuali sebagian masa kekuasaan Muawiyyah di Andalusia, ketika mereka pada tahun ke dua Hijriyah membentuk kelompok ulama’ syura , setelah itu  tidak penah terjadi yang namanya ijma’, karna tidak terbukti adanya ijma’ oleh mayoritas mujtahid untuk menetapkan hukum syara’, dan tidak pernah ada penetapan hukum dari jama’ah, akan tetapi para mujtahid melakukan ijtihad di Negara dan lingkungannya sendiri- sendiri. Sehingga penetap hukum itu bersifat individu atau kolektifitas, bukan hasil musyawarah, kadang- kadang ada kesamaan dan kadang- kadang pula ada pertentangan atau perbedaan.
Alasan berikutnya atau yang ketiga adalah Ibnu Hazm dalam kitabnyaal- Ahkaammeriwayatkan pendapat Abdullah bin Ahmad bin Hambal: Saya mendengar ayah berkata,” Apa yang di akui oleh seseorang adalah bohong dan siapa yang mengakui adanya ijma’ dia adalah pembohong. Yang dia tahu, barang kali orang- orang telah berbeda pendapat, sedangkan perbedaan itu belum berakhir, maka katakanlah: Kami tidak tahu bahwa orang- orang telah berselisih pendapat.Dan alasan- alasan lainya.

F.      Pandangan jumhurul ulama’ beserta alasan- alasanya

Jumhurul ulama’ berpendapat bahwa mungkin dapat di adakan, menurut kebiasaan. Mereka berkata: “ Apa yang di katakana oleh penentang kemungkinan ijma’ itu adalah pasti karna meragukan masalah yang terjadi. “ Mereka menyebutkan beberapa contoh hal- hal yang di tangkap sebagai hasil ijma’; seperti pengangkatan kholifah Abu bakar, keharaman minyak babi, bagian waris seperenam bagi nenek perempuan, cucu laki- laki dan anak laki- laki tidak mendapat bagian waris karna ada anak laki- laki, dan diantara hukum rinci dan hukum glbal lainya.
Jadi inti dari pandangan kelompok- kelompok yang menolak ijma’ dan pandangan jumhurul ulma’ adalah bahwa ijma’ dengan definisi dan unsur- unsur seperti yang telah di jelaskan, menurut kebiasaan tidak mungkin di adakan bila di serahkan kepada masing- masing umat islam dan kelompknya. Tapi ijma’ mungkin dapat di adakan bila di kuasai oleh pemerintah islam di mana saja. Masing- masing pemerintahan islam dapat menentukan syarat- syarat seseorang di anggap mencapai tingkatan ijtihad dan memberikan titel ijtihad kepada orang- orang yang memenuhi syarat- syarat tersebut. Dengan cara demikian, setiap pemerintahan dapat mengetahui para mujtahid dan pendapat- pendapatnya mengenai peristiwa apa saja. Bila semua  atau masing- masing pemerintahan  telah mengetahui seluruh pendapat mujtahidnya tentang suatu peristiwa kemudian di temukan kesepakatan para mujtahid di seluruh pemerintah islam atas satu hukum pada peristiwa di maksud, berarti telah terjadi ijma’, dan hukum yang telah di sepakati itu menjadi hukum syara’ yang wajib di ikuti oleh umat islam.[10]

G.  Kasus- kasus hukum yang telah memperoleh landasan ijma’

Adapun Kasus- kasus yang telah memperoleh landasan ijma’ antara lain:

1.      perihal sifat suci- mensucikan yang tetap melekat pada air yang banyak, yang kejatuhan najis dan tidak warna, rasa, dan bau dari air tersebut.
2.      Perihal sifat suci- mensucikan air sisa minuman binatang yang halal dagingnya.
3.      Perihal batalnya wudhu lantaran keluarnya kotoran dari dubur dan qubul.
4.      Perihal najisnya air seni.
5.      Perihal awal waktu dhuhur, yakni sejak tergelincirnya matahari.
6.      Perihal awal waktu maghrib, yakni sejak terbenamnya  matahari
7.      .perihal awal waktu subuh, yakni sejak terbitnya faajar.
8.      Perihal hukum sunnah sholat tarawih, sholat  dhuha, dan sholat tahajjud.
9.      Perihal gugurnya kewajiban sholat fardhu bagi perempuan lantaran kondisi sedang menstruasi.
10.  Perihal gugurnya kewajiban shola t jum’at bagi perempuan.
11.  Perihal bilangan sholat jum’at yakni dua rokaat.
12.  Perihal huukm sunnah menghadap kiblat ketika beradzan.
13.  Perihal tidak sah sholat kecual di sertai niat.
14.  Perihal batalnya sholat lantaran tertawa
15.  Perihal batalnya sholat lantaran berkata- kata.
16.  Perihal batalnya sholat lantaran mabuk.
17.  Perihal hukum sunnah mengangkat tangan ketika membaca takbiratul ihram dalam sholat.
18.  Perihal bolehnya meng-qashor sholat dhuhur, ashar, dan isya’ masing- masing menjadi dua rakaat, dan tidak bolehnya menjamak sholat maghrib dan subuh.
19.  Perihal waktu sholat witir, yakni antara waktu isya’ dan waktu terbit fajar.
20.  Perihal kesamaan tata cara memandikan mayat dan mandi junub.
21.  Perihal bolehnya orang perempuan memandikan mayat suaminya dan mayat anaknya laki- laki.
22.  Perihal bolehnya memanfaatkan bulu binatang yang halal untuk berbagai keperluan apabila binatang itu masih hidup ketika bulunya di ambil.
23.  Perihal haramnya babi termasuk lemak babi.
24.  Perihal haramnya darah dan bangkai hewan.
25.  Perihal halalnya ikan laut termasuk bangkainya.
26.  Perihal wajibnya zakat termasuk ternak unta, sapi, dan domba
27.  Perihal wajibnya zakat fitrah.
28.  Perihal ketidak bolehan menyalurkan harta zakat kepada ibu- bapak, anak, dan istri dari si wajib zakat.
29.  Perihal hukum sunnah makan sahur untuk berpuasa.
30.  Perihal batalnya puasa lantaran muntah dengan sengaja.
31.  Perihal keringanan untuk tidak berpuasa bagi orang yang sudah tua renta.
32.  Perihal kebolehnya orang yang beri’tikaf untuk keluar masjid karena keperluan buang hajat.
33.  Perihal keharaman bersetubuh dengan istri bagi orang yang beri’tikaf.
34.  Perihal wajibnya haji bagi seorang muslim yang mampu, hanya untuk sekali seumur hidup.
35.  Perihal bolehnya ber-ihram tanpa mandi dahulu.
36.  Perihal bolehnya ber-siwak bagi orang yang ber- ihram.
37.  Perihal keharaman bagi orang yang ber-ihram untuk bersetubuh, membunuh hewan buruan, memakai wangi- wangian, mengenakan pakaian berjahit, dan memotong kuku.
38.  Perihal ketidak bolehan menyembelih hewan qurban sebelum terbit  fajar Hari Raya Idul Adha.
39.  Perihal kehalalan semua binatang laut.
40.  Perihal kebolehan perlombaan memanah.
41.  Perihal pembebanan terhadap penggugat atau pendakwa untuk mendatangkan bukti- bukti di luar sumpah dan pemmbebanan terhadap tergugat atau terdakwa untuk mendatangkan bukti sumpah.[11]




BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Ijma’ menurut bahasa  mempunyai arti dua yaitu kesengajaan, mufakat, tekad seperti dalam firman Allah Swt.
فأجمعواأمركموشركائكم (يونس:71)
Karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu- srkutumu untuk membinasakanmu.( QS. Yunus:71)
Sedang menurut istilah ada banyak definisi diantaranya:
            Menurut Muhammad bin Hamzah Al- Ghifari (w. 834 H.) mengemukakan devinisi ijma’, yakni:Kesepakatan semua mujtahid dari kalangan umat Muhammad pada suatu masa terhadap hukum syara’.Sedangkan al- Kamal bin Human menyatakan bahwa ijma’ adalah :Kesepatan semua mujtahid pada suatu masa dari kalangan Muhammad terhadap perkara syara’.
Definisi yang paling tepat ialah yang di kemukakan oleh al- syaukani yakni:
اتّفاق المجتهدي من أمّة محمّد صلّ الله عليه وسلّم بعد وفاته في عصر من الاعصار على امر من الامور
Kesepakatan semua mujtahid dari umat Nabi Muhammad SAW.Setelah wafatnya beliau pada suatu masa terhadap suatu perkara.
Syarat-syarat ijma’ diantaranya:Di saat terjadinya kejadian itu terdapat beberapa adanya mujtahid. Karna kesepakatan tidak mungkin tercapai kecuali dari beberapa pendapat yang saling memiliki kesesuaian.Kesepakatan atas hukum syara’ mengenai suatu peristiwa pada saat terjadi oleh seluruh mujtahid muslim tanpa melihat asal Negara, kebangsaan, atau kelompok.Adanya kesepakatan tersebut jelas.Dalam artian tidak ada pertentangan dari sebagian atau minoritas mujtahid.Kesepakatan mereka di awali dengan pengungkapan pendapat masing- masing mujtahid.
Macam- macam ijma’:Ijma’ Shorikh ( pasti) dan Ijma’ Sukuti ( dugaan).
Kelompokumat  islam di bedakan menjadi dua golongan, yakni golongan Ahl al- sunnah wa al- jamaah (sunni) dan golongan non_ Sunni (Syiah, Khawarij, Dan Mu’tazillah).Golongan non-sunni memandang bahwa ijma’ bukan merupakan hujjah syar’iyyah.




B.     Saran

Apa yang ada dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami ambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditugaskan kepada kami, untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Dan dalam penyusunan  makalah ini, kami menyadari masih ada kekurangan baik dalam hal penulisan ataupun isi materi dari makalah ini. Untuk itu kami mohon adanya kritik maupun saran yang membangun dari pembaca, untuk perbaikan dalam penyusunan makalah kami kedepannya.










DAFTAR PUSTAKA


o   Asmawi, Dr. M. Ag..perbandingan ushul fiqih, AMZAH, Jakarta: 2011.
o   Arfan, Abbas lc.,M.H..Geneologi pluralitas mazhab dalam hukum islam,UIN- Malng  pers, malang: 2008.
o   Athoillah dkk..Rangkuman pelajran ushul fiqih semeseter satu kelas XI MA,2010.
o   Wahhab, Abdul khallaf prof. Dr..ILMU USHUL FIQIH dalam  kaidah hukum islam ,Pustaka Amani, Jakarta:2003.
                                                       
                                                                                                                   
           






[1] Athoillah dkk..rangkuman pelajaran ushul fiqih semester satu kelas 11 MA. Hal. 25
[2] Prof. Dr. Abdul wahhab Khallaf,ilmu ushul fiqih kaidah hukum islam,(Jakarta:  2003),cet. 1, hal.54.
[3]Dr. Asmawi, M. Ag,perbandingan ushul fiqih,( Jakarta: 2011),cet.1 , hal. 82.
[4]Ibid, hal. 83.                                                                                                           
[5]Ibid, hal. 82.                                                                                                           
[6]Ibid, hal. 84.
[7]Ibid, hal. 86-89.
[8] Athoillah dkk., Rangkuman pelajaran ushul feqih, semester 1 kelas 11 MA. hal.27.
[9] Prof. Dr. Abdul wahhab Khallaf,ilmu ushul fiqih kaidah hukum islam,(Jakarta:  2003),cet. 1, hal. 55-63.
[10]Ibid, hal.59-62.
[11] Dr. Asmawi, M. Ag,perbandingan ushul fiqih,( Jakarta: 2011),cet.1 , hal.90-92.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar