Kamis, 04 Desember 2014

Khulu' dan Iddah



Kata Pengantar

بسم الله الرحمن الرحيم

Segala puji bagi Allah swt, yang telah melimpahkan rahmat dan ni’mat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan makalah “ Penelitian Hadist tentang Khitbah dan Mahar “ini dengan baik. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah saw yang telah membimbing dan mengarahkan umatnya ke jalan kehidupan yang penuh dengan cahaya terang ini.
            Dalam kesempatan ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada bapak Ust. H Moh. Toriquddin, Lc, M.Hi selaku dosen pembimbing dan kepada seluruh pihak yang membantu dalam penyelesaian dan penyusunan makalah ini.
            Dalam penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan sehingga saran dan kritik diharapkan untuk menambah dinamika pemikiran islam yang saat ini mulai tampak lemah di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Semoga amal baik kita semua dalam memberikan kontribusi bagi bangkitnya pemikiran islam ditengah masyarakat menjadi investasi akhirat dengan keridhoan-Nya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih dan mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam mengerjakan tugas ini.



BAB I

Pendahuluan

1.1  Latar Belakang

Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki (suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap wanita, oleh karena itu harus kita ketahui bersama bahwa hukum kita (islam) telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami yang biasa dikenal dengan sebutan khulu’, yaitu dengan cara memberikan upah atau iwadh sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.
Selain hal tersebut banyak juga dari kalangan kaum hawa yang kurang mengetahui akan pentingnya ajaran yang berkaitan dengan iddah, hal ini sekali lagi dianggap adanya deskriminasi terhadap kaum wanita, padahal seandainya kita sadari bahwa ajaran yang terkandung dalam hukum islam sangatlah komperhensif,  mulai dari hubungan dengan sang penciptanya hingga sampai hubungan dengan sesama maakhluknya yang tidak lain yaitu manusia itu sendiri.
Oleh sebab itulah kami ingin mencoba untuk mengulas sedikit tentang dua masalah tersebut  yang sekarang ini lagi ngetren di semua kalangan. Khususnya pada kalangan publik figur ( Artis ), dengan tujuan paling tidak dapat memberikan gambran sedikit kepada mereka-mereka yang dimana beranggapan bahwa kedua ajaran tersebut merupakan deskriminasi baginya. Selanjutnya pada makalah ini akan kami jelaskan tentang dua hal tersebut di mana lebih di konsentrasikan pada dasar hukum yang terdapat dalam Al-hadis.




1.2  Rumusan Masalah  

1.      Pengertian khulu’ dan iddah!
2.      Sebutkan hadist yang berkenaan dengan khulu’ dan iddah ! 
3.      Sebutkan hadist pendukung ( jikalau ada ) mengenai bab yang dibahas, yakni khulu’ dan iddah!
4.      Apa kandungan hukum yang terdapat dalam kedua lafadz tersebut ?
5.      Apa tujuan atau hikmah dibalik hukum yang terkandung dalam redaksi hadist yang sedang dianalisis ?

1.3  Tujuan   

1.      Mampu mengetahui maksud dari khulu’ dan iddah.
2.      Mampu menyebutkan hadist-hadits yang terdapat korelasi dengan pembahasan mengenai khulu’ dan iddah.
3.      Mampu menyebutkan hadist-hadist pendukung yang akan dianalisis sebagai bahan perbandingan.
4.      Mampu mengetahui kandungan hukum yang terdapat dalam hadist yang sedang dibahas.
5.      Mengetahui tujuan sekaligus hikmah di balik hukum yang terdapat dalam hadist yang sedang dianalisis.


BAB II

PEMBAHASAN

2.1  Khulu’

A.     pengertian khulu’

 

Khulu’ dengan di dhommah huruf kha’ dan di sukun huruf lamnya adalah nama. Sementara dengan di fathah huruf kha’nya adalah masdar dan kata dasarnya di ambil dari khala’a ats-tsaubu. Dari kata tersebut di ambil ungkapan, “seorang wanita atau istri melepaskan dari dari pakaian suaminya.” Dimana Allah SWT. berfirman, “ mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” ( QS. Al- Baqarah:187).[1] Dikatan khala’a malbasuhu, maksudnya seorang melapaskan pakaianya. Khala’a al-mar’atu zaujaha, maksudnya seorang istri melepaskan diri dari suaminya, apabila ia memberikan hartnya untuk suaminya.
Menurut etimologi kata khulu' berasal dari kata خلع-يخلع-خلعا artinya melepas, mencopot, menanggalkan, seperti kata: خَلَعَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ, laki-laki itu melepas pakaiannya;  خَلَعَ الرَّجُلُ اِمْرَاَتَهُ , laki-laki (suami) melepas isterinya. Khulu’ disebut juga al-fida’   (الفداء) yaitu tebusan, karena isteri menebus dirinya dari suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Dengan adanya tebusan itu isteri melepaskan diri dari ikatan suaminya. Atas dasar ini dipergunakan kata khulu’ untuk mengungkapkan arti melepaskan tali hubungan suami isteri secara majazi.
 Secara termionologi terdapat banyak pengertian, diantara pengertian khulu' yang dikemukakan para ulama’.
As-San’any dalam kitabnya Subul as-Salam merumuskan khulu' dengan:
فِرَاقُ الزِّوْجَةُ عَلَى مَالٍ
“Diceraikannya isteri atas pembayaran sesuatu harta.
Ulama Hanabilah seperti disebutkan oleh al-Jaziry mendefinisikan khulu’ dengan:
فِرَاقُ الزَّوْجُ  اِمْرَأَتَهُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزّوْجُ مِنْ اِمْرَأَتِهِ اَوْغَيْرِهَا بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad (pengganti) yang diterima suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu.

 khulu’ adalah seorang suami berpisah dengan istrinya dengan kompensasi yang diambil suami dari istrinya atau pihak lain dengan ungkapan tertentu. Asy-Syaikh Al Alaamah Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah berpendapat  bahwa khulu’ merupakan ”Perpisahan seorang suami dengan isterinya dengan lafadz tertentu, dinamakan seperti itu, dikarenakan seorang isteri sendirilah yang meminta untuk pisah (lepas) dari suaminya.”[2]
Seorang istri melapaskan diri dari suaminya, dimana tidak ada ruju’ lagi kecuali atas ridho istri serta adanya akad yang baru.
Allah SWT berfirman,” maka tidak ada dosa bagi keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS Al Baqarah: 229).
Khulu’ sah hukumnya dari setiap suami yang sah talaknya baik suaminya cerdas, idiot, dewasa, anak-anak dan waras akalnya.
Kompensasi di dalam khulu’ tersebut sah juga hukumnya dari istri atau orang lain yang boleh melakukan amal suka rela. Barang siapa yang amalan sukarelanya tidak sah, maka tidak sah pula pemberian kompensasi ini karena ia merupakan pemberian yang bukan dengan kompensasi harta dan manfaat suatu barang, maka yang demikian ia menjadi seperti amal suka rela.[3]
B.     Hadis-hadis tentang khulu’
1.      Hadits mengenai khulu’
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ : نَعَمْ  قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم  اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا )
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu Qais dalam hal agama dan prilakunya,  namun aku membenci kekufuran di dalam islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?". Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak." Riwayat Bukhari. Dalam riwayatnya yang lain: Beliau menyuruh untuk menceraikannya.[4]
2.      Hadis kedua tentang khulu’
وَلِأَبِي دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيِّ وَحَسَّنَهُ : ( أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اِخْتَلَعَتْ مِنْهُ , فَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم عِدَّتَهَا حَيْضَةً )
Menurut riwayat Abu Dawud dan hadits hasan Tirmidzi: bahwa istri Tsabit Ibnu Qais meminta cerai kepada beliau, lalu beliau menetapkan masa iddahnya satu kali masa haid.
3.      Hadis ketiga tentang khulu’
وَفِي رِوَايَةِ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ عِنْدَ اِبْنِ مَاجَهْ : ( أَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ كَانَ دَمِيمً ا وَأَنَّ اِمْرَأَتَهُ قَالَتْ : لَوْلَا مَخَافَةُ اَللَّهِ إِذَا دَخَلَ عَلَيَّ لَبَسَقْتُ فِي وَجْهِهِ )
وَلِأَحْمَدَ : مِنْ حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ أَبِي حَثْمَةَ : ( وَكَانَ ذَلِكَ أَوَّلَ خُلْعٍ فِي اَلْإِسْلَامِ )
Menurut riwayat Ibnu Majah dari Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata: Seandainya aku tidak takut murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya.
Menurut riwayat Ahmad dari haditsh Sahal Ibnu Abu Hatsmah: Itu adalah permintaan cerai yang pertama dalam Islam.

C.     Hadits Pendukung.

1.      Hadits pendukung hadis pertama
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ فَكَسَرَ يَدَهَا وَ هِيَ جَمِيْلَةُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ، فَاَتَى اَخُوْهَا يَشْتَكِيْهِ اِلَى رَسُوْلِ اللهِ ص: فَاَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَى ثَابِتٍ فَقَالَ لَهُ: خُذِ الَّذِيْ لَهَا عَلَيْكَ وَ خَلّ سَبِيْلَهَا. قَالَ: نَعَمْ. فَاَمَرَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص اَنْ تَتَرَبَّصَ حَيْضَةً وَاحِدَةً وَ تَلْحَقَ بِاَهْلِهَا. النسائى، فى نيل الاوطار.
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan istrinya yang bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus (seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”. Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. (HR. Nasai)[5]
عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ كَانَتْ عِنْدَهُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ بْنِ سَلُوْلٍ وَ كَانَ اَصْدَقَهَا حَدِيْقَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيْقَتَهُ الَّتِى اَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَ زِيَادَةً. فَقَالَ النَّبِيُّ ص: اَمَّا الزّيَادَةُ فَلاَ، وَ لكِنْ حَدِيْقَتُهُ. قَالَتْ: نَعَمْ. فَاَخَذَهَا لَهُ. وَ خَلَّى سَبِيْلَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذلِكَ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ قَالَ: قَبِلْتُ قَضَاءَ رَسُوْلِ اللهِ ص. الدارقطنى باسناد صحيح و قال: سمعه ابو الزبير من غير واحد، فى نيل الاوطار.
Dari Abu Zubair bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari ‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan Rasulullah SAW”. HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”.[6]

2.      hadis pendukung hadis kedua
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّهَا اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَوْ اُمِرَتْ اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. الترمذى و قال: حديث الربيع الصحيح انها امرت ان تعتد بحيضة، فى نيل الاوطار.
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa Rasulullah SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah dengan sekali haidl.[7]
D.    kandungan hukum
a)      Kandunga hukum hadis pertama
a)    seorang istri meminta khulu’ dengan alasan syar’i
Boleh seorang istri meminta khulu’ dari suaminya menurut kesepakatan para ulama jika dia membenci kejelekan akhlak, agama, atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya. Berkata Asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : ”Khulu’ hukumnya boleh apabila terpenuhi sebabnya yang telah diisyaratkan oleh ayat yang mulia, yaitu ketakutan suami isteri apabila tetap berada didalam ikatan pernikahannya, mereka tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah.”[8]
b)   seorang istri meminta khulu’ tanpa alasan syar’i
Berkata Asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : ”…Dan apabila disana tidak ada alasan  untuk meminta pisah, maka hal itu dimakruhkan dan sebagian ulama berpendapat jika demikian halnya (meminta khulu’ tanpa alasan syar’i) haram hukumnya. Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan maka diharamkan baginya bau harumya surga.” (Diriwayatkan oleh imam yang lima kecuali Imam Nasai).[9]
Khulu’ sendiri merupakan alternatif fiqh didalam meringankan beban berat dari masalah rumah tangga, contoh akad khulu’ adalah wanita atau istri mengucapkan kepada suaminya: “Ceraikanlah aku dan engkau akan mendapatkan ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang seribu dirham”.[10] Akad khulu’ yang sah itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya wanita yang melakukan khulu’.[11]
b)      kandungan hukum hadis kedua
a)      Apakah Istri boleh meminta khulu’ pada saat haidh
Para ulama membolehkan hal yang demikian dikarenakan khulu’ bukanlah talak karena Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada hadits yang lalu tidak memberikan perincian atau bertanya kepada istri Tsabit bin Qois, apakah dia dalam keadaan haid atau tidak, dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta khulu’ ketika haid. Itu menunjukkan bolehnya hal tersebut.
c)      khulu’ tidak jatuh tanpa dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh jika suami menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Ini pendapat yang rajih. Contohnya seorang suami mengatakan: “saya mengkhulu’ kamu dengan tebusan itu”.
Ibnu Qudamah rahimahullah menegaskannya berdasarkan alasan berikut:
1.   Khulu’ adalah tindakan terkait dengan kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami, seperti halnya pernikahan dan talak.
2.   Mengambil harta yang diberikan istri adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili jatuhnya khulu’.
Hal ini ditunjukkan oleh hadits Ibnu Abbas tentang permintaan khulu Istri Tsabit bin Qais. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Tsabit bin Qais: “Nabi shallallahu ‘alihi wasallam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya, maka dia pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lainnya dari Imam Bukhari dengan lafadz: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia”
Riwayat-riwayat diatas menunjukkan bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya khulu’.[12]
d)     Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika seeorang istri meminta khulu’ dengan alasan yang dibolehkan secara syar’i, tentang hal ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri. Sebagaian ulama mengatakan hukumnya wajib berdasarkan yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais (hadits diatas ) dan ada yang berpendapat hukumnya tidak wajib, dengan alasan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais adalah arahan semata.
Wallahu a’lam pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat. Alasannya, inilah yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais. Disamping itu, kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudharat terhadapnya, sedangkan mencegah mudharat serta meniadakannya dari seorang muslimah wajib. Pendapat ini dirajihkan oleh al-Imam ash-Shan’ani dan Ibnu Utsaimin. Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksa suami agar menerima khulu istrinya jika dia (suami) enggan.
Berkata asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Rahimahullah: ”Dan pendapat yang lain: bolehnya (seorang hakim) mengharuskan seorang suami untuk menerima khulu’ dengan kondisi tidak memungkinkannya lagi untuk bersatu antara suami dan istri sesuai dengan ijtihadnya seorang hakim”.[13]
e)      besar kecil tebusan yang diterima suami
Wajib khulu’ dengan tebusan, namun para ulama berselisih pendapat tentang mengambil lebih banyak dari mahar yang pernah diberikan suami, adapun jumhur (mayoritas) ulama serta imam madzhab yang empat berpendapat boleh bagi suami mengambil tebusan lebih besar dari mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Berkata Asy-Syaikh Al-Allamah Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam Rahimahullah wajib khulu’ dengan tebusan, berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
” Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqarah : 229 )
Dan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda ”Terimalah kebunnya dan thalaklah (cerailah)”.
Dan beliau (Syaikh Abdullah Al Bassam) juga berkata : ”Boleh tebusan untuk khulu lebih banyak dari mahar berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
” Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya oleh istri untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqqarah : 229)
Akan tetapi para ulama memakruhkan mengambil lebih banyak dari mahar berdasarkan sabda Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
” Apakah kamu bisa mengembalikan kebun kepadanya “.
Dan berdasarkan firman Allah Ta’ala
وَلا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
” Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu “ (Qs. Al Baqaroh : 237).
Kadar iwadh yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan antara ulama:
1.      Menurut jumhur ulama, adalah seluruh hartanya. Sedangkan;
2.      Menurut Abu Hanifah adalah tafsil (perinci); jika penyebab dari perceraian itu timbul dari suami, maka tidak boleh mengambil sepeserpun dari harta yang ada, namun jika penyebab itu timbul dari istri, maka suami boleh mengambil kembali harta yang pernah diberikannya pada istrinya, tidak boleh lebih.
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU perkawinan. Namun KHI ada mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 124 yang bunyinya:
Pasal 1
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas persetujuan suaminya.
Pasal 124
Khulu’ harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.[14]
Jadi pada intinya di perbolehkannya khulu’ dengan tebusan yang di sepakati oleh keduanya ini pendapat kebanyakan ulama.[15]

Dari uraian hadits diatas memberikan petunjuk, bahwa dalam proses khulu’ terdapat pemberian ganti rugi iwadh kepada suami, dalam hal ini menurut interpretasi para ulama ahli fiqh dihukumi wajib dan menjadi syarat dalam akad khulu’.
f)       istri yang pisah dengan khulu baginya untuk Istibra’ (memastikan bersihnya rahim dari janin)
Dalam sebuah hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz rahiyallahu ‘anha, ia berkata : “aku khulu’ dari suamiku, lalu aku mendatngi Utsman lantas bertanya akan kewajiban ‘iddah atasmu, kecuali jika kamu baru saja berpisah dengannya, maka hendaklah kamu menanti hingga haidh satu kali.’
Utsman berkata, ‘Dalam hal ini, saya mengikuti hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Maryam al-Maghaliyah, yang sebelumnya sebagai istri Tsabit bin Qais bis Syammas lalu khulu’ darinya” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah, dihasankan oleh syaikh al-Albani dan al-Wadi’i)
Berkata asy-Syaikh Al-Alaamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah : ”Iddahnya satu kali haid untuk istibra’ yaitu mengosongkan rahimnya, dikarenakan wanita yang hamil tidak haid apabila haid di ketahui bahwa rahimnya kosong dari janin dan oleh karena itu dibolehkan untuknya menikah.”[16]
g)      Apakah seorang suami bisa rujuk (kembali) kepada istrinya setelah pisah dengan khulu’
Ketika seorang suami telah menjatuhkan khulu’ atas istrinya dengan tebusan yang disepakati dan tebusannya telah dibayarkan, terjadilah perpisahan antara keduanya dan putuslah hubungan keduanya yang diistilahkan bainunah shugra’ (perpisahan kecil) yang dia (suami) tidak mempunyai hak rujuk.
Berkata asy-Syaikh Al ‘Alaamah Muhammad Al Utsaimin rahimahullah: ”Wanita yang telah pisah karena khulu’ tidak ada rujuk dan tidak mungkin bagi suaminya untuk rujuk’ kepadanya kecuali dengan pernikahan yang baru.” [17]
E.     Tujuan dan  hikmah di balik hukum yang terdapat dalam hadis
Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Adapun hikmah dari hukum khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’.
Hal ini didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh istrinya, kecuali dengan cara lain.[18]
2.2  IDDAH
A.    Pengertian
Kata iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira. Menurut istilah. Al- iddah di ambil dari kata adad, karna masa iddah terbatas.[19] ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
a)      Syarbini Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau karena sedih atas meninggal suaminya.[20]
b)      Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”[21]
c)      Prof. Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau bercerai darinya.”[22]
d)     Sayyid Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”[23]
Selain pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh kawin lagi.
Dasar hukum iddah terdapat dalam Al-qur’an, yang artinya “ wanita-wanita yang di talak hendaklah menahan diri (menunggu).” (QS. Al- Baqarah:228).

B.     hadis-hadis tentang iddah
1)      hadis mengenai iddah
عَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ سُبَيْعَةَ الْأَسْلَمِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ, فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ, فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ )  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ  وَأَصْلُهُ فِي اَلصَّحِيحَيْنِ  وَفِي لَفْظٍ: ( أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً  وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ اَلزُّهْرِيُّ: ( وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى تَطْهُرَ 
Dari al-Miswar Ibnu Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah. Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz: Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci.[24]
C.    hadis pendukung
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ اِمْرَأَةٍ, إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ 
Dari Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: Janganlah sekali-kai seorang laki-laki bermalam di rumah seorang perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." Riwayat Muslim.[25]
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ, إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ )  أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyepi bersama seorang perempuan kecuali bersama mahramnya." Riwayat Bukhari.[26]
D.    kandungan hukum yang terkandung dalam hadis-hadis di bawah ini
Para ulama sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228 yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya: “Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”
1.      Wanita yang haid, ‘iddahnya 3 kali quru’ (tiga kali haidl/tiga kali suci).
عَنِ اْلاَسْوَدِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: اُمِرَتْ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حِيَضٍ. ابن ماجه، فى نيل الاوطار 6:326
Dari Aswad, dari ‘Aisyah, ia berkata, “Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya ber’iddah tiga kali haidl”. (HR. Ibnu Majah).[27]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَ اْلمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاحًا. البقرة:228
Wanita-wanita yang dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.(QS. Al-Baqarah : 228).[28]
2.       Wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya 4 bulan 10 hari.
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. البخارى و مسلم، فىنيل الاوطار 6:329
Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. (HR Bukhari dan Muslim). [29]
عَنْ اُمّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُنْهَى اَنْ نُحِدَّ عَلَى مَيّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ عَشْرًا. وَ لاَ نَكْتَحِلَ وَ لاَ نَتَطَيَّبَ وَ لاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا مَصْبُوْغًا اِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَ قَدْ رُخّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ اِذَا اغْتَسَلَتْ اِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِى نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ اَظْفَارٍ. البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 6:332
Dari Ummu ‘Athiyah, ia berkata, “Kami dilarang berkabung terhadap orang mati lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak boleh bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh memakai pakaian yang dicelup, kecuali kain genggang (pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi keringanan pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami mandi dari haidnya (menggunakan) sedikit qust adhfar (sejenis kayu yang berbau harum)”. (HR. Bukhari dan Muslim).[30]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّ عَشْرًا، فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْ اَنْفُسِهِنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. البقرة:234
Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 234).[31]
3.      Wanita yang telah berhenti dari haid atau tidak haid, ‘iddahnya 3 bulan.
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ بِثَلَاثِ حِيَضٍ. رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ, لَكِنَّهُ مَعْلُولٌ 
Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma’lul.[32]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَالّئِيْ يَئِسْنَ مِنَ اْلمَحِيْضِ مِنْ نِسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلثَةُ اَشْهُرٍ وَالّئِيْ لَمْ يَحِضْنَ. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang tidak haidl lagi (menopause) diantara wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita yang tidak hail. (QS. Ath-Thalaaq : 4).[33]
4.      Wanita yang hamil, ‘iddahnya hingga melahirkan.
وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا أَوْطَاسٍ: ( لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً )  أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ 
وَلَهُ شَاهِدٌ: عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ
Dari Abu Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya sekali." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.
Ada hadits saksi riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu.[34]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:

وَ اُولاَتُ اْلاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ، وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَّه مِنْ اَمْرِه يُسْرًا. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaaq : 4).[35]
5.      Iddah Wanita yang Meminta Cerai (Khulu’)
حدّثني عبادة بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة عليك الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى ذلك قضاء رسول الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش فاختلعت منه
Menceritakan kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz: “ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”. Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya: “berapa hari masa iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu, kecuali jika kamu telah bergaul dengan suamimu. Maka sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini aku mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan suaminya.”
Dalam Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal 153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :
(2) Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a.       Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b.      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c.       Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d.      Apabila perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qabla dukhul.
(4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu suci.
(6) Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”
E.     Tujuan dan  hikmah di balik hukum yang terdapat dalam hadis

1.      Untuk mengetahui kebersihan rahim, yaitu agar tidak bertemu air sperma dari dua suami di dalam satu rahim, lalu terjadi percampuran nasab. Sehingga membahayakan dan mengandung kerusakan.
2.      Demikian agungnya akad pernikahan, kehormatanya yang luhur dan kemulyaan yang nampak jelas.
3.      Sebagai ujian terhadap kesabaran.
4.      Dari lamanya masa rujuk bagi suami yang menthalak istrinya, karna barang kali ia menyesal dimana ia masih memiliki wanita yang memungkinkanya untuk kembali melakukan ruju’. Bagi masa iddah dari talak raj’i. Al- qur’an mengisyaratkanya dengan firmanya,” kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”( QS. Ath-Thalaaq: 1).
5.      Untuk menghabiskan hak suami dan menampakkan efek ketiadaan suami. Bagi wanita yang di tinggal wafat suaminya.
6.      Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
7.      Memenuhi hak Allah, dengan menjalankan perintahnya. Karna hanya dengan mengikuti perintahnya, maka akan terdapat rahasia yang agung yang merupakan rahasia syari’at islam.( Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya ).[36]






BAB III

PENUTUP

3.1  Kesimpulan

A.    khulu’ merupakan ”Perpisahan seorang suami dengan isterinya dengan lafadz tertentu, dinamakan seperti itu, dikarenakan seorang isteri sendirilah yang meminta untuk pisah (lepas) dari suaminya.
Kandungan hukum khulu’:
§  Boleh seorang istri meminta khulu’ dari suaminya menurut kesepakatan para ulama jika dia membenci kejelekan akhlak, agama, atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya.
§  seorang istri meminta khulu’ tanpa alasan syar’i adalah di makruhkan
§  Kadar iwadh yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan antara ulama:
ü  Menurut jumhur ulama, adalah seluruh hartanya. Sedangkan;
ü  Menurut Abu Hanifah adalah tafsil (perinci); jika penyebab dari perceraian itu timbul dari suami, maka tidak boleh mengambil sepeserpun dari harta yang ada, namun jika penyebab itu timbul dari istri, maka suami boleh mengambil kembali harta yang pernah diberikannya pada istrinya, tidak boleh lebih.
Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Adapun hikmah dari hukum khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’.
B.     iddah menurut  Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi adalah “Masa yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah bercerai.”
Batasan-batasan dalam iddah:
1.       Iddah wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
2.      Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya (menopause) = tiga bulan.
3.       Iddah wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
4.       Iddah wanita hamil = sampai melahirkan.
5.      Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.
Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah untuk:
1.             Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari kehamilan;
2.             Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan rasulNya.
3.             Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya;
4.              Tenggang waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan ;
5.              Sebagai ujian terhadap kesabaran.








Daftar Pustaka


As-Syarbini Al-Khatib. Mughni al-Muhtaj. Beirut: Dar al-Kutub aI-ilmiyah, 1994.
Abdullah bin abdurrahman Al bassam., Syarah Bulughul Maram, jakarta: pustaka Azzam, 2006.
Abdurrahman I Doi.Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta: Renika Cipta,1992.
Abdul Fatah, Abd. Ahmadi. Fiqh Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta. 1994
Al Asqalani, Alhafidz Ibn Hajar. Bulughul Maram, Semarang: Toha Putra. 1985.
Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press. cet. 19. 1999.
Imam. Mukhtasor Kitab Al-Umm fi Al-Fiqh. Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2002.
M. Nashiruddin Al- Albani., Ringkasan Sahih Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Nasa’iy, Abu Abdur Rahman Ahmad An. Sunan An Nasa’iy, Semarang: CV. Asy Syifa’. 1992.
Syekh Faishol bin abdul ‘aziz., Nailul Authar, Surabaya: PT. Bina Ilmu,2001.










[1] Al Mulakhos Al Fiqhi, Jilid 2 Hal : 319.
[2] Fiqih Muyyasar
[3] Abdullah bin abdurrahman Al bassam, syarah bulughul maram, ( jakarta: pustaka Azzam, 2006, cet-1) jil. 5, hal. 546.
[4] Sunan Nasa’I, juz 5. hal. 168.
[5] Syekh Faishol bin abdul ‘aziz, Nailul Authar, ( surabaya: PT. Bina Ilmu, cet-1)  juz  6, hal. 2348.
[6] Ibid. Hal. 2350.
[7] Ibid. Hal. 2349.
[8] Al Mulakhos Al Fiqhi, Jilid 2 Hal : 320.
[9] Ibid.
[10] AL-Muhadzab, juz 2. Hal. 1496.
[11] Hasiyah aL-Bayjuri,  juz 2. Hal. 138.
[12] majalah asy-Syariah, edisi tentang talak.
[13] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhihul ahkam min Buluughil Maraam  jil. 5, hal. 474.
[14]Prof. DR. Amir Syarifuddin.  Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Hal.  241.
[15] Opcit. Hal. 472.
[16] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam , Fathu Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam, jili. 4, hal. 653.
[17] Ibid.
[18] Loc, cit. Hal. 234.
[19] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhihul ahkam min Buluughil Maraam  jil. 5, hal. 651.
[20] Asy- syarbini Al-kathib, mughni Al-muhtajh,( Beirut: Dar Al-kutub al-ilmiyah).
[21] Abdul Fatah, Abd. Ahmadi. Fiqh Islam Lengkap.( Jakarta: Rineka Cipta)
[22] Abdurrahman I Doi.Perkawinan dalam Syari’at Islam.( Jakarta: Renika Cipta). cet. I
[23] Al Asqalani, Alhafidz Ibn Hajar. Bulughul Maram. (Semarang: Toha Putra)
[24] Abdullah bin abdurrahman Al bassam, syarah  bulughul  maram, ( jakarta: pustaka Azzam, 2006, cet-1) jil. 5, hal. 652.
[25] M. Nashiruddin Al- Albani., Ringkasan Sahih Muslim, (Jakarta: Gema Insani, 2008, cet.-4 ) hal. 409.
[26] Ibid, hal. 408.
[27] Syekh Faishol bin abdul ‘aziz, Nailul Authar, ( surabaya: PT. Bina Ilmu, cet-1)  juz  6, hal.326.
[28] Aisar Tafasir oleh Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi,( Maktabah al-Ulum wa al-Hikmah.).
[29] Opcit. Hal. 329.
[30] Ibid. Hal. 332.
[31] Tafsir al-Quran al-Karim oleh Syaikh Muhammad bin Shaleh al-Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
[32] Opcit.
[33] Taisir al-Karim ar-Rahman (tafsir as-Sa’di).
[34] Opcit.
[35] 0pcit.
[36] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam , Fathu Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam, jili. 4, hal. 651-652.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar