Kata Pengantar
بسم الله الرحمن الرحيم
Segala puji bagi Allah swt, yang telah
melimpahkan rahmat dan ni’mat-Nya, sehingga kami mampu menyelesaikan penulisan
makalah “ Penelitian Hadist tentang Khitbah dan Mahar “ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada Rasulullah saw yang telah
membimbing dan mengarahkan umatnya ke jalan kehidupan yang penuh dengan cahaya
terang ini.
Dalam
kesempatan ini saya tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada bapak Ust. H
Moh. Toriquddin, Lc, M.Hi selaku dosen pembimbing dan kepada seluruh pihak yang
membantu dalam penyelesaian dan penyusunan makalah ini.
Dalam
penulisan makalah ini tentunya tidak lepas dari kekurangan dan kelemahan
sehingga saran dan kritik diharapkan untuk menambah dinamika pemikiran islam
yang saat ini mulai tampak lemah di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Semoga
amal baik kita semua dalam memberikan kontribusi bagi bangkitnya pemikiran
islam ditengah masyarakat menjadi investasi akhirat dengan keridhoan-Nya.
Akhir kata, kami ucapkan terima kasih dan
mohon maaf apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam mengerjakan tugas ini.
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Dalam masyarakat kita sering menjumpai berbagai
macam kasus atau kejadian rumah tangga, seperti keretakan rumah tangga yang
berujung pada perceraian, namun lazimnya hak cerai itu dimiliki oleh laki-laki
(suami), namun bukan berarti hal ini menunjukan bentuk diskriminasi terhadap
wanita, oleh karena itu harus kita ketahui bersama bahwa hukum kita (islam)
telah memberikan solusi bagi wanita yang mengalami gencatan atau beban rumah
tangga untuk melakukan gugatan cerai pada suami yang biasa dikenal dengan
sebutan khulu’, yaitu dengan cara memberikan upah atau iwadh
sebagai bentuk membebaskan dirinya dari ikatan suami istri.
Selain hal tersebut banyak juga dari kalangan
kaum hawa yang kurang mengetahui akan pentingnya ajaran yang berkaitan dengan
iddah, hal ini sekali lagi dianggap adanya deskriminasi terhadap kaum wanita,
padahal seandainya kita sadari bahwa ajaran yang terkandung dalam hukum islam
sangatlah komperhensif, mulai dari
hubungan dengan sang penciptanya hingga sampai hubungan dengan sesama
maakhluknya yang tidak lain yaitu manusia itu sendiri.
Oleh sebab itulah kami ingin mencoba untuk
mengulas sedikit tentang dua masalah tersebut
yang sekarang ini lagi ngetren di semua kalangan. Khususnya pada
kalangan publik figur ( Artis ), dengan tujuan paling tidak dapat memberikan
gambran sedikit kepada mereka-mereka yang dimana beranggapan bahwa kedua ajaran
tersebut merupakan deskriminasi baginya. Selanjutnya pada makalah ini akan kami
jelaskan tentang dua hal tersebut di mana lebih di konsentrasikan pada dasar
hukum yang terdapat dalam Al-hadis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Pengertian khulu’ dan iddah!
2.
Sebutkan hadist yang berkenaan dengan khulu’ dan iddah !
3.
Sebutkan hadist pendukung ( jikalau ada ) mengenai bab yang
dibahas, yakni khulu’ dan iddah!
4.
Apa kandungan hukum yang terdapat dalam kedua lafadz tersebut ?
5.
Apa tujuan atau hikmah dibalik
hukum yang terkandung dalam redaksi hadist yang sedang dianalisis ?
1.3 Tujuan
1.
Mampu mengetahui maksud dari khulu’ dan iddah.
2.
Mampu menyebutkan hadist-hadits yang terdapat korelasi dengan
pembahasan mengenai khulu’ dan iddah.
3.
Mampu menyebutkan hadist-hadist pendukung yang akan dianalisis
sebagai bahan perbandingan.
4.
Mampu mengetahui kandungan hukum yang terdapat dalam hadist yang sedang
dibahas.
5.
Mengetahui tujuan sekaligus hikmah
di balik hukum yang terdapat dalam hadist yang sedang dianalisis.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Khulu’
A. pengertian khulu’
Khulu’ dengan di dhommah huruf kha’ dan di
sukun huruf lamnya adalah nama. Sementara dengan di fathah huruf kha’nya adalah
masdar dan kata dasarnya di ambil dari khala’a ats-tsaubu. Dari kata
tersebut di ambil ungkapan, “seorang wanita atau istri melepaskan dari dari
pakaian suaminya.” Dimana Allah SWT. berfirman, “ mereka itu adalah pakaian
bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” ( QS. Al- Baqarah:187).[1]
Dikatan khala’a malbasuhu, maksudnya seorang melapaskan pakaianya. Khala’a
al-mar’atu zaujaha, maksudnya seorang istri melepaskan diri dari suaminya,
apabila ia memberikan hartnya untuk suaminya.
Menurut etimologi kata khulu' berasal dari
kata خلع-يخلع-خلعا artinya melepas, mencopot, menanggalkan, seperti kata: خَلَعَ الرَّجُلُ ثَوْبَهُ, laki-laki itu melepas
pakaiannya; خَلَعَ الرَّجُلُ اِمْرَاَتَهُ , laki-laki (suami) melepas isterinya. Khulu’
disebut juga al-fida’ (الفداء) yaitu tebusan, karena isteri menebus dirinya dari
suaminya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Dengan adanya
tebusan itu isteri melepaskan diri dari ikatan suaminya. Atas dasar ini
dipergunakan kata khulu’ untuk mengungkapkan arti melepaskan tali hubungan
suami isteri secara majazi.
Secara termionologi terdapat banyak
pengertian, diantara pengertian khulu' yang dikemukakan para ulama’.
As-San’any dalam kitabnya Subul as-Salam merumuskan khulu' dengan:
فِرَاقُ الزِّوْجَةُ عَلَى مَالٍ
“Diceraikannya isteri atas pembayaran sesuatu harta.”
Ulama Hanabilah seperti disebutkan oleh al-Jaziry
mendefinisikan khulu’ dengan:
فِرَاقُ
الزَّوْجُ اِمْرَأَتَهُ بِعِوَضٍ يَأْخُذُهُ الزّوْجُ مِنْ اِمْرَأَتِهِ
اَوْغَيْرِهَا بِأَلْفَاظٍ مَخْصُوْصَةٍ
“Suami menceraikan isterinya dengan suatu iwad (pengganti) yang diterima
suami dari isteri atau orang lain dengan ucapan tertentu.”
khulu’ adalah seorang suami berpisah dengan istrinya dengan
kompensasi yang diambil suami dari istrinya atau pihak lain dengan ungkapan
tertentu. Asy-Syaikh Al Alaamah Shaleh Al Fauzan Hafidzahullah berpendapat bahwa khulu’ merupakan ”Perpisahan
seorang suami dengan isterinya dengan lafadz tertentu, dinamakan seperti itu,
dikarenakan seorang isteri sendirilah yang meminta untuk pisah (lepas) dari
suaminya.”[2]
Seorang istri melapaskan diri dari suaminya,
dimana tidak ada ruju’ lagi kecuali atas ridho istri serta adanya akad yang
baru.
Allah SWT berfirman,” maka tidak ada dosa bagi
keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh istri untuk menebus dirinya.” (QS
Al Baqarah: 229).
Khulu’ sah hukumnya dari setiap suami yang sah
talaknya baik suaminya cerdas, idiot, dewasa, anak-anak dan waras akalnya.
Kompensasi di dalam khulu’ tersebut sah juga
hukumnya dari istri atau orang lain yang boleh melakukan amal suka rela. Barang
siapa yang amalan sukarelanya tidak sah, maka tidak sah pula pemberian
kompensasi ini karena ia merupakan pemberian yang bukan dengan kompensasi harta
dan manfaat suatu barang, maka yang demikian ia menjadi seperti amal suka rela.[3]
B. Hadis-hadis tentang
khulu’
1. Hadits mengenai khulu’
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- ( أَنَّ اِمْرَأَةَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ : يَا
رَسُولَ اَللَّهِ ! ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا
دِينٍ , وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي اَلْإِسْلَامِ , قَالَ رَسُولُ
اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ ? , قَالَتْ
: نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم اِقْبَلِ
اَلْحَدِيقَةَ , وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي
رِوَايَةٍ لَهُ : ( وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا )
Dari Ibnu Abbas
Radliyallaahu 'anhu bahwa istri Tsabit Ibnu Qais menghadap Nabi Shallallaahu
'alaihi wa Sallam dan berkata: Wahai Rasulullah, aku tidak mencela Tsabit Ibnu
Qais dalam hal agama dan prilakunya, namun aku membenci kekufuran di dalam islam. Lalu Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa
Sallam bersabda: "Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?".
Ia menjawab: Ya. Maka Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
(kepada Tsabit Ibnu Qais): "Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali
talak." Riwayat Bukhari. Dalam riwayatnya yang lain: Beliau menyuruh untuk
menceraikannya.[4]
2. Hadis kedua tentang
khulu’
وَلِأَبِي دَاوُدَ , وَاَلتِّرْمِذِيِّ وَحَسَّنَهُ : ( أَنَّ اِمْرَأَةَ
ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اِخْتَلَعَتْ مِنْهُ , فَجَعَلَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم عِدَّتَهَا حَيْضَةً )
Menurut riwayat Abu
Dawud dan hadits hasan Tirmidzi: bahwa istri Tsabit Ibnu Qais meminta cerai
kepada beliau, lalu beliau menetapkan masa iddahnya satu kali masa haid.
3. Hadis ketiga tentang
khulu’
وَفِي
رِوَايَةِ عَمْرِوِ بْنِ شُعَيْبٍ , عَنْ أَبِيهِ , عَنْ جَدِّهِ عِنْدَ اِبْنِ
مَاجَهْ : ( أَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسٍ كَانَ دَمِيمً ا وَأَنَّ اِمْرَأَتَهُ
قَالَتْ : لَوْلَا مَخَافَةُ اَللَّهِ إِذَا دَخَلَ عَلَيَّ لَبَسَقْتُ فِي
وَجْهِهِ )
وَلِأَحْمَدَ : مِنْ حَدِيثِ سَهْلِ بْنِ أَبِي
حَثْمَةَ : ( وَكَانَ ذَلِكَ أَوَّلَ خُلْعٍ فِي اَلْإِسْلَامِ )
Menurut
riwayat Ibnu Majah dari Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, r.a: Bahwa Tsabit
Ibnu Qais itu jelek rupanya, dan istrinya berkata: Seandainya aku tidak takut
murka Allah, jika ia masuk ke kamarku, aku ludahi wajahnya.
Menurut
riwayat Ahmad dari haditsh Sahal Ibnu Abu Hatsmah: Itu adalah permintaan cerai
yang pertama dalam Islam.
C. Hadits Pendukung.
1. Hadits
pendukung hadis pertama
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ
قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ ضَرَبَ امْرَأَتَهُ فَكَسَرَ يَدَهَا وَ هِيَ جَمِيْلَةُ
بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ، فَاَتَى اَخُوْهَا يَشْتَكِيْهِ اِلَى رَسُوْلِ
اللهِ ص: فَاَرْسَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص اِلَى ثَابِتٍ فَقَالَ لَهُ: خُذِ الَّذِيْ
لَهَا عَلَيْكَ وَ خَلّ سَبِيْلَهَا. قَالَ: نَعَمْ. فَاَمَرَهَا رَسُوْلُ اللهِ ص
اَنْ تَتَرَبَّصَ حَيْضَةً وَاحِدَةً وَ تَلْحَقَ بِاَهْلِهَا. النسائى، فى نيل
الاوطار.
Dari Rubayyi’ binti
Mu’awwidz bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas memukul tangan istrinya yang
bernama Jamilah binti ‘Abdullah bin Ubaiy sehingga patah, kemudian saudaranya
datang kepada Rasulullah SAW untuk mengadukannya, lalu Rasulullah SAW mengutus
(seseorang) kepada Tsabit, kemudian Nabi SAW bersabda kepadanya, “Ambillah
kembali apa yang pernah kamu berikan kepada istrimu, dan lepaskanlah dia”.
Tsabit menjawab, “Ya”. Lalu Rasulullah SAW menyuruh Jamilah agar menunggu satu
kali haidl dan pulang kepada keluarganya”. (HR. Nasai)[5]
عَنْ اَبِى الزُّبَيْرِ اَنَّ ثَابِتَ بْنَ قَيْسِ
بْنِ شَمَّاسٍ كَانَتْ عِنْدَهُ بِنْتُ عَبْدِ اللهِ بْنِ اُبَيّ بْنِ سَلُوْلٍ وَ
كَانَ اَصْدَقَهَا حَدِيْقَةٌ، فَقَالَ النَّبِيُّ ص اَتَرُدّيْنَ عَلَيْهِ
حَدِيْقَتَهُ الَّتِى اَعْطَاكِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ، وَ زِيَادَةً. فَقَالَ
النَّبِيُّ ص: اَمَّا الزّيَادَةُ فَلاَ، وَ لكِنْ حَدِيْقَتُهُ. قَالَتْ: نَعَمْ.
فَاَخَذَهَا لَهُ. وَ خَلَّى سَبِيْلَهَا. فَلَمَّا بَلَغَ ذلِكَ ثَابِتَ بْنَ
قَيْسٍ قَالَ: قَبِلْتُ قَضَاءَ رَسُوْلِ اللهِ ص. الدارقطنى باسناد صحيح و قال:
سمعه ابو الزبير من غير واحد، فى نيل الاوطار.
Dari Abu Zubair
bahwasanya Tsabit bin Qais bin Syammas mempunyai istri anak perempuan dari
‘Abdullah bin Ubaiy bin Salul. Dahulu ia memberikan mahar kepada istrinya
berupa sebuah kebun. Kemudian Nabi SAW bertanya (kepada si istri), “Maukah kamu
mengembalikan kebun pemberian suamimu itu ?”. Ia menjawab, “Ya, dan akan saya
tambah”. Lalu Nabi SAW bersabda, “Adapun tambahan itu tidak usah, cukup
kebunnya saja”. Ia berkata, “Ya”. Kemudian Nabi SAW mengambil kebun itu untuk
diberikan kepada Tsabit dan beliau menceraikannya. Kemudian setelah hal itu
sampai kepada Tsabit bin Qais, ia berkata, “Sungguh aku menerima putusan
Rasulullah SAW”. HR. Daruquthni dengan sanad yang sah, ia berkata, “Hadits ini
didengar oleh Abu Zubair tidak hanya dari seorang saja”.[6]
2.
hadis pendukung hadis kedua
عَنِ الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ اَنَّهَا
اخْتَلَعَتْ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ ص فَاَمَرَهَا النَّبِيُّ ص اَوْ
اُمِرَتْ اَنْ تَعْتَدَّ بِحَيْضَةٍ. الترمذى و قال: حديث الربيع الصحيح انها امرت
ان تعتد بحيضة، فى نيل الاوطار.
Dari Rubayyi’ binti
Mu’awwidz, bahwasanya ia pernah menebus dirinya (khulu’) di masa Rasulullah
SAW, kemudian Nabi SAW menyuruhnya atau dia disuruh agar ber’iddah sekali
haidl. [HR. Tirmidzi, dan ia berkata, “Hadits Rubayyi’ ini sah, bahwa ia
disuruh oleh Nabi SAW agar ber’iddah dengan sekali haidl.[7]
D.
kandungan hukum
a) Kandunga
hukum hadis pertama
a) seorang
istri meminta khulu’ dengan alasan syar’i
Boleh
seorang istri meminta khulu’ dari suaminya menurut kesepakatan para ulama jika
dia membenci kejelekan akhlak, agama, atau fisik suaminya, serta khawatir tidak
mampu menegakkan hak-hak suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup
bersamanya. Berkata Asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : ”Khulu’
hukumnya boleh apabila terpenuhi sebabnya yang telah diisyaratkan oleh ayat
yang mulia, yaitu ketakutan suami isteri apabila tetap berada didalam ikatan
pernikahannya, mereka tidak bisa melaksanakan hukum-hukum Allah.”[8]
b) seorang
istri meminta khulu’ tanpa alasan syar’i
Berkata
Asy-Syaikh Al ‘Alaamah Shalih Al Fauzan Hafidzahullah : ”…Dan apabila
disana tidak ada alasan untuk meminta pisah, maka hal itu dimakruhkan dan
sebagian ulama berpendapat jika demikian halnya (meminta khulu’ tanpa alasan
syar’i) haram hukumnya. Bersabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
أَيُّمَا
امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِي غَيْرِ مَا بَأْسٍ ، فَحَرَامٌ
عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
”Setiap
isteri yang meminta cerai kepada suaminya dengan sesuatu yang tidak dibolehkan
maka diharamkan baginya bau harumya surga.” (Diriwayatkan oleh imam yang
lima kecuali Imam Nasai).[9]
Khulu’
sendiri merupakan alternatif fiqh didalam meringankan beban berat dari masalah
rumah tangga, contoh akad khulu’ adalah wanita atau istri mengucapkan kepada
suaminya: “Ceraikanlah aku
dan engkau akan mendapatkan ganti rugi atau iwadh dari saya berupa uang seribu
dirham”.[10]
Akad khulu’ yang sah itu mempunyai implikasi hukum bahwa tertalak ba’in-nya
wanita yang melakukan khulu’.[11]
b) kandungan
hukum hadis kedua
a) Apakah
Istri boleh meminta khulu’ pada saat haidh
Para
ulama membolehkan hal yang demikian dikarenakan khulu’ bukanlah talak karena
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam pada hadits yang lalu tidak memberikan
perincian atau bertanya kepada istri Tsabit bin Qois, apakah dia dalam keadaan
haid atau tidak, dan tidak adanya dalil yang mengatakan tidak boleh meminta
khulu’ ketika haid. Itu menunjukkan bolehnya hal tersebut.
c) khulu’
tidak jatuh tanpa dijatuhkan oleh suami
Khulu’ hanya jatuh
jika suami menjatuhkannya dengan mengucapkan lafadz khulu’ atau yang semakna
dengannya. Tanpa dijatuhkan dengan lafadz, maka khulu’ tidak jatuh. Ini
pendapat yang rajih. Contohnya seorang suami mengatakan: “saya mengkhulu’ kamu
dengan tebusan itu”.
Ibnu Qudamah rahimahullah
menegaskannya berdasarkan alasan berikut:
1.
Khulu’ adalah tindakan terkait
dengan kepentingan biologis, sehingga tidak sah tanpa dilafadzkan oleh suami,
seperti halnya pernikahan dan talak.
2.
Mengambil harta yang diberikan
istri adalah semata menggenggam tebusan. Ini tidak berkedudukan mewakili jatuhnya
khulu’.
Hal ini ditunjukkan
oleh hadits Ibnu Abbas tentang permintaan khulu Istri Tsabit bin Qais.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada Tsabit bin Qais: “Nabi
shallallahu ‘alihi wasallam memerintahkan Tsabit untuk memisahkannya, maka dia
pun memisahkannya.” (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lainnya
dari Imam Bukhari dengan lafadz: “Terimalah kebun itu dan talaklah dia”
Riwayat-riwayat diatas
menunjukkan bahwa lafadz suami menjatuhkan khulu’ adalah syarat jatuhnya
khulu’.[12]
d)
Hukum suami menanggapi permintaan khulu’ istri
Jika
seeorang istri meminta khulu’ dengan alasan yang dibolehkan secara syar’i,
tentang hal ini para ulama berbeda pendapat tentang hukum suami menanggapi
permintaan khulu’ istri. Sebagaian ulama mengatakan hukumnya wajib berdasarkan
yang nampak dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit
bin Qais (hadits diatas ) dan ada yang berpendapat hukumnya tidak wajib, dengan
alasan perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais
adalah arahan semata.
Wallahu
a’lam pendapat yang mengatakan wajib lebih kuat. Alasannya, inilah yang nampak
dari perintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Tsabit bin Qais.
Disamping itu, kebersamaan wanita itu bersama suaminya akan bermudharat terhadapnya,
sedangkan mencegah mudharat serta meniadakannya dari seorang muslimah wajib.
Pendapat ini dirajihkan oleh al-Imam ash-Shan’ani dan Ibnu Utsaimin.
Berdasarkan hal ini, hakim berwenang memaksa suami agar menerima khulu istrinya
jika dia (suami) enggan.
Berkata
asy-Syaikh Al-Allaamah Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh Rahimahullah: ”Dan
pendapat yang lain: bolehnya (seorang hakim) mengharuskan seorang suami untuk
menerima khulu’ dengan kondisi tidak memungkinkannya lagi untuk bersatu antara
suami dan istri sesuai dengan ijtihadnya seorang hakim”.[13]
e) besar
kecil tebusan yang diterima suami
Wajib
khulu’ dengan tebusan, namun para ulama berselisih pendapat tentang mengambil
lebih banyak dari mahar yang pernah diberikan suami, adapun jumhur (mayoritas)
ulama serta imam madzhab yang empat berpendapat boleh bagi suami mengambil
tebusan lebih besar dari mahar yang telah dia berikan kepada istrinya. Berkata
Asy-Syaikh Al-Allamah Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam Rahimahullah
wajib khulu’ dengan tebusan, berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ
فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ به
” Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya
untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqarah : 229 )
Dan Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda ”Terimalah kebunnya dan thalaklah
(cerailah)”.
Dan
beliau (Syaikh Abdullah Al Bassam) juga berkata : ”Boleh tebusan untuk khulu
lebih banyak dari mahar berdasarkan firman Allah Ta’ala
فَإِنْ
خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا
افْتَدَتْ به
” Maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang di berikan oleh isterinya
oleh istri untuk menebus dirinya”. (Qs. Al Baqqarah : 229)
Akan
tetapi para ulama memakruhkan mengambil lebih banyak dari mahar berdasarkan
sabda Rasullullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam
” Apakah kamu bisa mengembalikan kebun
kepadanya “.
Dan
berdasarkan firman Allah Ta’ala
وَلا
تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ
” Dan
janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu “ (Qs. Al
Baqaroh : 237).
Kadar iwadh
yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan antara ulama:
1. Menurut
jumhur ulama, adalah seluruh hartanya. Sedangkan;
2. Menurut
Abu Hanifah adalah tafsil (perinci); jika penyebab dari perceraian itu timbul
dari suami, maka tidak boleh mengambil sepeserpun dari harta yang ada, namun
jika penyebab itu timbul dari istri, maka suami boleh mengambil kembali harta
yang pernah diberikannya pada istrinya, tidak boleh lebih.
Khulu’ sebagai salah satu bentuk putusnya
perkawinan tidak diatur sama sekali dalam UU perkawinan. Namun KHI ada
mengaturnya dalam dua tempat, yaitu pada Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 124 yang
bunyinya:
Pasal 1
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi atas
permintaan istri dengan memberikan tebusan atau iwadh kepada dan atas
persetujuan suaminya.
Pasal 124
Khulu’
harus berdasarkan atas alasan perceraian sesuai ketentuan Pasal 116.[14]
Jadi
pada intinya di perbolehkannya khulu’ dengan tebusan yang di sepakati oleh
keduanya ini pendapat kebanyakan ulama.[15]
Dari uraian hadits diatas memberikan petunjuk,
bahwa dalam proses khulu’ terdapat pemberian ganti rugi iwadh kepada
suami, dalam hal ini menurut interpretasi para ulama ahli fiqh dihukumi wajib
dan menjadi syarat dalam akad khulu’.
f) istri
yang pisah dengan khulu baginya untuk Istibra’ (memastikan bersihnya rahim dari
janin)
Dalam
sebuah hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz rahiyallahu ‘anha, ia berkata : “aku
khulu’ dari suamiku, lalu aku mendatngi Utsman lantas bertanya akan kewajiban
‘iddah atasmu, kecuali jika kamu baru saja berpisah dengannya, maka hendaklah
kamu menanti hingga haidh satu kali.’
Utsman
berkata, ‘Dalam hal ini, saya mengikuti hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam terhadap Maryam al-Maghaliyah, yang sebelumnya sebagai istri Tsabit
bin Qais bis Syammas lalu khulu’ darinya” (HR. an-Nasa’i dan Ibnu Majah,
dihasankan oleh syaikh al-Albani dan al-Wadi’i)
Berkata
asy-Syaikh Al-Alaamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah : ”Iddahnya
satu kali haid untuk istibra’ yaitu mengosongkan rahimnya, dikarenakan wanita
yang hamil tidak haid apabila haid di ketahui bahwa rahimnya kosong dari janin
dan oleh karena itu dibolehkan untuknya menikah.”[16]
g) Apakah
seorang suami bisa rujuk (kembali) kepada istrinya setelah pisah dengan khulu’
Ketika
seorang suami telah menjatuhkan khulu’ atas istrinya dengan tebusan yang
disepakati dan tebusannya telah dibayarkan, terjadilah perpisahan antara
keduanya dan putuslah hubungan keduanya yang diistilahkan bainunah shugra’
(perpisahan kecil) yang dia (suami) tidak mempunyai hak rujuk.
Berkata
asy-Syaikh Al ‘Alaamah Muhammad Al Utsaimin rahimahullah: ”Wanita yang telah
pisah karena khulu’ tidak ada rujuk dan tidak mungkin bagi suaminya untuk
rujuk’ kepadanya kecuali dengan pernikahan yang baru.” [17]
E. Tujuan dan
hikmah di balik hukum yang terdapat dalam hadis
Tujuan dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk
menghindarkan si istri dari kesulitan dan kemudaratan yang dirasakannya bila
perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh
dari istrinya atas permintaan cerai dari istrinya itu.
Adapun hikmah dari hukum khulu’ itu adalah
tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan hubungan suami istri. Bila suami
berhak melepaskan diri dari hubungan dengan istrinya menggunakan cara thalaq,
istri juga mempunyai hak dan kesempatan bercerai dari suaminya dengan
menggunakan cara khulu’.
Hal ini didasarkan kepada pandangan fiqh bahwa
perceraian itu merupakan hak mutlak seorang suami yang tidak dimiliki oleh
istrinya, kecuali dengan cara lain.[18]
2.2 IDDAH
A.
Pengertian
Kata
iddah berasal dari bahasa Arab yang berarti menghitung, menduga, mengira.
Menurut istilah. Al- iddah di ambil dari kata adad, karna masa iddah terbatas.[19]
ulama-ulama memberikan pengertian sebagai berikut :
a) Syarbini
Khatib dalam kitabnya Mugnil Muhtaj mendifinisikan iddah dengan “Iddah adalah nama
masa menunggu bagi seorang perempuan untuk mengetahui kekosongan rahimnya atau
karena sedih atas meninggal suaminya.[20]
b) Drs.
Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi memberikan pengertian iddah dengan “Masa
yang tertentu untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan
rahimnya sesudah bercerai.”[21]
c) Prof.
Abdurrahman I Doi, Ph.D memberikan pengertian iddah ini dengan “suatu masa
penantian seorang perempuan sebelum kawin lagi setelah kematian suaminya atau
bercerai darinya.”[22]
d) Sayyid
Sabiq memberikan pengertian dengan “masa lamanya bagi perempuan (istri)
menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya.”[23]
Selain
pengertian tersebut diatas, banyak lagi pengertian-pengertian lain yang
diberikan para ulama, namun pada prinsipnya pengertian tersebut hampir
bersamaan maksudnya yaitu diterjemahkan dengan masa tunggu bagi seorang
perempuan untuk bisa rujuk lagi dengan bekas suaminya atau batasan untuk boleh
kawin lagi.
Dasar
hukum iddah terdapat dalam Al-qur’an, yang artinya “ wanita-wanita yang di talak
hendaklah menahan diri (menunggu).” (QS. Al- Baqarah:228).
B. hadis-hadis tentang iddah
1) hadis
mengenai iddah
عَنْ اَلْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ رضي الله عنه ( أَنَّ سُبَيْعَةَ
الْأَسْلَمِيَّةَ -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا- نُفِسَتْ بَعْدَ وَفَاةِ زَوْجِهَا بِلَيَالٍ,
فَجَاءَتْ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَاسْتَأْذَنَتْهُ أَنْ تَنْكِحَ,
فَأَذِنَ لَهَا, فَنَكَحَتْ ) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَأَصْلُهُ فِي
اَلصَّحِيحَيْنِ وَفِي لَفْظٍ: ( أَنَّهَا وَضَعَتْ بَعْدَ وَفَاةِ
زَوْجِهَا بِأَرْبَعِينَ لَيْلَةً وَفِي لَفْظٍ لِمُسْلِمٍ, قَالَ
اَلزُّهْرِيُّ: ( وَلَا أَرَى بَأْسًا أَنْ تَزَوَّجَ وَهِيَ فِي دَمِهَا, غَيْرَ
أَنَّهُ لَا يَقْرَبُهَا زَوْجُهَا حتَّى تَطْهُرَ
Dari al-Miswar Ibnu
Makhramah bahwa Subai'ah al-Aslamiyyah Radliyallaahu 'anhu melahirkan anak
setelah kematian suaminya beberapa malam. Lalu ia menemui Nabi Shallallaahu 'alaihi
wa Sallam meminta izin untuk menikah. Beliau mengizinkannya, kemudian ia nikah.
Riwayat Bukhari dan asalnya dalam shahih Bukhari-Muslim. Dalam suatu lafadz:
Dia melahirkan setelah empat puluh malam sejak kematian suaminya. Dalam suatu
lafadz riwayat Muslim bahwa Zuhry berkata: Aku berpendapat tidak apa-apa
seorang laki-laki menikahinya meskipun darah nifasnya masih keluar, hanya saja
suaminya tidak boleh menyentuhnya sebelum ia suci.[24]
C. hadis pendukung
وَعَنْ جَابِرٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ
رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( لَا يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ اِمْرَأَةٍ,
إِلَّا أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا, أَوْ ذَا مَحْرَمٍ ) أَخْرَجَهُ
مُسْلِمٌ
Dari
Jabir Radliyallaahu 'anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
bersabda: Janganlah sekali-kai seorang laki-laki bermalam di rumah seorang
perempuan kecuali ia kawin atau sebagai mahram." Riwayat Muslim.[25]
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا, عَنْ
اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( لَا يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِاِمْرَأَةٍ,
إِلَّا مَعَ ذِي مَحْرَمٍ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas
Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda:
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki menyepi bersama seorang perempuan
kecuali bersama mahramnya." Riwayat Bukhari.[26]
D. kandungan hukum yang terkandung dalam hadis-hadis di bawah ini
Para ulama
sepakat atas wajibnya iddah bagi seorang perempuan yang telah bercerai dengan
suaminya. Mereka mendasarkan dengan firman Allah pada surah Al Baqarah ayat 228
yang artinya “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga
kali quru”. Rasulullah juga pernah bersabda kepada Fatimah bin Qais Artinya:
“Beriddahlah kamu di rumah Ummi Kaltsum.”
1.
Wanita yang haid, ‘iddahnya 3 kali quru’ (tiga kali haidl/tiga kali suci).
عَنِ اْلاَسْوَدِ عَنْ
عَائِشَةَ قَالَتْ: اُمِرَتْ بَرِيْرَةُ اَنْ تَعْتَدَّ بِثَلاَثِ حِيَضٍ. ابن
ماجه، فى نيل الاوطار 6:326
Dari Aswad, dari
‘Aisyah, ia berkata, “Barirah disuruh (oleh Nabi SAW) supaya ber’iddah tiga
kali haidl”. (HR. Ibnu Majah).[27]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَ اْلمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ
ثَلثَةَ قُرُوْءٍ، وَ لاَ يَحِلُّ لَهُنَّ اَنْ يَّكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللهُ فِيْ
اَرْحَامِهِنَّ اِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلاخِرِ، وَ
بُعُوْلَتُهُنَّ اَحَقُّ بِرَدّهِنَّ فِيْ ذلِكَ اِنْ اَرَادُوْا اِصْلاحًا.
البقرة:228
Wanita-wanita yang
dithalaq hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman
kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa
menanti itu, jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah.(QS. Al-Baqarah :
228).[28]
2. Wanita yang ditinggal mati suaminya, iddahnya 4 bulan 10 hari.
عَنْ اُمّ سَلَمَةَ اَنَّ النَّبِيَّ ص قَالَ: لاَ
يَحِلُّ لاِمْرَأَةٍ مُسْلِمَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَ اْليَوْمِ اْلآخِرِ اَنْ
تُحِدَّ فَوْقَ ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجِهَا اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ
عَشْرًا. البخارى و مسلم، فىنيل الاوطار 6:329
Dari Ummu Salamah
bahwasanya Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang
beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari kecuali
terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”. (HR Bukhari dan Muslim). [29]
عَنْ اُمّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: كُنَّا نُنْهَى اَنْ
نُحِدَّ عَلَى مَيّتٍ فَوْقَ ثَلاَثٍ اِلاَّ عَلَى زَوْجٍ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَ
عَشْرًا. وَ لاَ نَكْتَحِلَ وَ لاَ نَتَطَيَّبَ وَ لاَ نَلْبَسَ ثَوْبًا
مَصْبُوْغًا اِلاَّ ثَوْبَ عَصْبٍ. وَ قَدْ رُخّصَ لَنَا عِنْدَ الطُّهْرِ اِذَا
اغْتَسَلَتْ اِحْدَانَا مِنْ مَحِيْضِهَا فِى نُبْذَةٍ مِنْ كُسْتِ اَظْفَارٍ.
البخارى و مسلم، فى نيل الاوطار 6:332
Dari Ummu ‘Athiyah, ia
berkata, “Kami dilarang berkabung terhadap orang mati lebih dari tiga hari
kecuali terhadap suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak boleh
bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh memakai pakaian yang
dicelup, kecuali kain genggang (pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi
keringanan pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami mandi dari
haidnya (menggunakan) sedikit qust adhfar (sejenis kayu yang berbau harum)”.
(HR. Bukhari dan Muslim).[30]
Di dukung dengan ayat
Al-qur’an yang berbunyi:
وَ الَّذِيْنَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَ يَذَرُوْنَ
اَزْوَاجًا يَّتَرَبَّصْنَ بِاَنْفُسِهِنَّ اَرْبَعَةَ اَشْهُرٍ وَّ عَشْرًا،
فَاِذَا بَلَغْنَ اَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيْمَا فَعَلْنَ فِيْ
اَنْفُسِهِنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ، وَ اللهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ. البقرة:234
Orang-orang yang meninggal
dunia diantaramu dengan meninggalkan istri-istri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya,
maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah :
234).[31]
3. Wanita yang telah berhenti dari haid atau tidak haid, ‘iddahnya 3 bulan.
وَعَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( أُمِرَتْ بَرِيرَةُ أَنْ تَعْتَدَّ
بِثَلَاثِ حِيَضٍ. رَوَاهُ اِبْنُ مَاجَهْ, وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ,
لَكِنَّهُ مَعْلُولٌ
Aisyah Radliyallaahu ‘anhu berkata: Barirah diperintahkan untuk
menghitung masa iddah tiga kali haid. Riwayat Ibnu Majah dan para perawinya
dapat dipercaya, namun hadits tersebut ma’lul.[32]
Di dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَالّئِيْ يَئِسْنَ
مِنَ اْلمَحِيْضِ مِنْ نِسَآئِكُمْ اِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلثَةُ
اَشْهُرٍ وَالّئِيْ لَمْ يَحِضْنَ. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang
tidak haidl lagi (menopause) diantara wanita-wanitamu jika kamu ragu-ragu (tentang
masa ‘iddahnya) maka ‘iddah mereka adalah tiga bulan, dan begitu (pula) wanita-wanita
yang tidak hail. (QS. Ath-Thalaaq : 4).[33]
4. Wanita yang hamil, ‘iddahnya hingga melahirkan.
وَعَنْ أَبِي
سَعِيدٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ فِي سَبَايَا
أَوْطَاسٍ: ( لَا تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ, وَلَا غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ
حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً ) أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ
اَلْحَاكِمُ
وَلَهُ شَاهِدٌ:
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ فِي اَلدَّارَقُطْنِيِّ
Dari Abu
Said Radliyallaahu 'anhu bahwa Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda
tentang tawanan wanita Authas: "Tidak boleh bercampur dengan wanita yang
hamil hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil hingga datang haidnya
sekali." Riwayat Abu Dawud. Hadits shahih menurut Hakim.
Ada
hadits saksi riwayat Daruquthni dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu.[34]
Di
dukung dengan ayat Al-qur’an yang berbunyi:
وَ اُولاَتُ
اْلاَحْمَالِ اَجَلُهُنَّ اَنْ يَّضَعْنَ حَمْلَهُنَّ، وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ
يَجْعَلْ لَّه مِنْ اَمْرِه يُسْرًا. الطلاق:4
Dan wanita-wanita yang
hamil, waktu ‘iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan
barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan
dalam urusannya. (QS. Ath-Thalaaq : 4).[35]
5. Iddah Wanita
yang Meminta Cerai (Khulu’)
حدّثني
عبادة بن الوليدبن عبادة بن الصامت عن ربيع بنت معوّذ قال قلت لها حدّثني حديثك
قالت اختلعت من زوجي ثم جئت عثمان فسألته ماذا علىّ من العدّة فقال لاعدّة عليك
الاّان تكون حديثة عهد به فتمكني حتى تحيضى حيضة قال وانا متّبع فى ذلك قضاء رسول
الله ص.م. فى مريم المغاليّة كانت تحت ثابت بن قيس بن شمّاش فاختلعت منه
Menceritakan
kepadaku Ubadah Ibnu Walid Ibnu Shamit bertanya pada Rubayyi’ binti Mu’awidz:
“ceritakan kisahmu padaku”. Ia berkata: “aku telah meminta cerai dari suamiku”.
Kemudian aku datang pada Usman dan aku bertanya padanya: “berapa hari masa
iddahku.” Jawabnya: “tidak ada iddah atasmu, kecuali jika kamu telah bergaul
dengan suamimu. Maka sekarang tunggulah hingga kamu haid sekali. Dalam hal ini
aku mengikuti keputusan Rasulullah atas diri Maryam Al Maghalibiyah, yang
menjadi istri Tsabit Ibnu Qais Ibnu Syamas, dan kemudian ia meminta diceraikan
suaminya.”
Dalam
Kompilasi Hukum Islam, iddah diistilahkan dengan waktu tunggu. Yang dalam Pasal
153 ayat (2) sampai dengan (6) nya berbunyi :
(2) Waktu
tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :
a. Apabila
perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh)
hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila
perkawinan putus karena perceraian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila
perkawinan putus karena kematian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
(3) Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus
perkawinan karena perceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas
suaminya qabla dukhul.
(4) Bagi perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang
putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.
(5) Waktu tunggu bagi istri yang pernah haid
sedang pada waktu menjalani iddah tidak karena menyusui, maka iddahnya tiga
kali waktu suci.
(6)
Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama
satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia berhaid
kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.”
E. Tujuan dan hikmah di balik hukum yang terdapat dalam
hadis
1. Untuk mengetahui kebersihan rahim, yaitu agar
tidak bertemu air sperma dari dua suami di dalam satu rahim, lalu terjadi
percampuran nasab. Sehingga membahayakan dan mengandung kerusakan.
2. Demikian agungnya akad pernikahan,
kehormatanya yang luhur dan kemulyaan yang nampak jelas.
3. Sebagai ujian
terhadap kesabaran.
4. Dari lamanya masa rujuk bagi suami yang
menthalak istrinya, karna barang kali ia menyesal dimana ia masih memiliki
wanita yang memungkinkanya untuk kembali melakukan ruju’. Bagi masa iddah dari
talak raj’i. Al- qur’an mengisyaratkanya dengan firmanya,” kamu tidak
mengetahui barang kali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru.”( QS.
Ath-Thalaaq: 1).
5. Untuk menghabiskan hak suami dan menampakkan
efek ketiadaan suami. Bagi wanita yang di tinggal wafat suaminya.
6. Lamanya batas
boleh berkabung seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
7. Memenuhi hak Allah, dengan menjalankan
perintahnya. Karna hanya dengan mengikuti perintahnya, maka akan terdapat
rahasia yang agung yang merupakan rahasia syari’at islam.( Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap perintah Allah dan
rasulNya ).[36]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
A.
khulu’ merupakan ”Perpisahan seorang suami dengan
isterinya dengan lafadz tertentu, dinamakan seperti itu, dikarenakan seorang
isteri sendirilah yang meminta untuk pisah (lepas) dari suaminya.
Kandungan hukum khulu’:
§ Boleh seorang istri meminta khulu’ dari
suaminya menurut kesepakatan para ulama jika dia membenci kejelekan akhlak,
agama, atau fisik suaminya, serta khawatir tidak mampu menegakkan hak-hak
suaminya yang wajib ditunaikannya ketika hidup bersamanya.
§ seorang
istri meminta khulu’ tanpa alasan syar’i adalah di makruhkan
§ Kadar iwadh
yang harus diberikan pada suami masih terdapat perbedaan antara ulama:
ü
Menurut jumhur ulama, adalah seluruh hartanya.
Sedangkan;
ü
Menurut Abu Hanifah adalah tafsil (perinci);
jika penyebab dari perceraian itu timbul dari suami, maka tidak boleh mengambil
sepeserpun dari harta yang ada, namun jika penyebab itu timbul dari istri, maka
suami boleh mengambil kembali harta yang pernah diberikannya pada istrinya,
tidak boleh lebih.
Tujuan
dari kebolehan khulu’ itu adalah untuk menghindarkan si istri dari kesulitan
dan kemudaratan yang dirasakannya bila perkawinan dilanjutkan tanpa merugikan
pihak si suami karena ia sudah mendapat iwadh dari istrinya atas
permintaan cerai dari istrinya itu.
Adapun
hikmah dari hukum khulu’ itu adalah tampaknya keadilan Allah sehubungan dengan
hubungan suami istri. Bila suami berhak melepaskan diri dari hubungan dengan
istrinya menggunakan cara thalaq, istri juga mempunyai hak dan
kesempatan bercerai dari suaminya dengan menggunakan cara khulu’.
B.
iddah menurut
Drs. Abdul Fatah Idris dan Drs. Abu Ahmadi adalah “Masa yang tertentu
untuk menungu, hingga seorang perempuan diketahui kebersihan rahimnya sesudah
bercerai.”
Batasan-batasan dalam iddah:
1.
Iddah
wanita yang masih haid = tiga kali suci dari haid.
2.
Iddah wanita yang telah lewat masa iddahnya
(menopause) = tiga bulan.
3.
Iddah
wanita yang kematian suami = empat bulan sepuluh hari.
4.
Iddah
wanita hamil = sampai melahirkan.
5.
Tidak ada iddah bagi wanita yang belum dicampuri.
Manfaat dari adanya iddah diantaranya adalah
untuk:
1.
Mengetahui kekosongan rahim seorang wanita dari
kehamilan;
2.
Gambaran nilai ketaatan seseorang terhadap
perintah Allah dan rasulNya.
3.
Lamanya batas boleh berkabung seorang wanita
yang ditinggal mati oleh suaminya;
4.
Tenggang
waktu berfikir tentang positif atau negatifnya untuk rujuk kembali atau
meneruskan perceraian bagi pasangan suami istri yang bercerai, dan ;
5.
Sebagai
ujian terhadap kesabaran.
Daftar Pustaka
As-Syarbini Al-Khatib. Mughni al-Muhtaj.
Beirut: Dar al-Kutub aI-ilmiyah, 1994.
Abdullah bin abdurrahman Al bassam., Syarah Bulughul Maram, jakarta:
pustaka Azzam, 2006.
Abdurrahman
I Doi.Perkawinan dalam Syari’at Islam, Jakarta: Renika Cipta,1992.
Abdul
Fatah, Abd. Ahmadi. Fiqh Islam Lengkap, Jakarta: Rineka Cipta. 1994
Al
Asqalani, Alhafidz Ibn Hajar. Bulughul Maram, Semarang: Toha Putra.
1985.
Azhar
Basyir. Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: UII Press. cet. 19. 1999.
Imam. Mukhtasor Kitab Al-Umm fi Al-Fiqh.
Jakarta selatan: Pustaka Azzam, 2002.
M. Nashiruddin Al-
Albani., Ringkasan Sahih Muslim, Jakarta: Gema Insani, 2008.
Nasa’iy,
Abu Abdur Rahman Ahmad An. Sunan An Nasa’iy, Semarang: CV. Asy Syifa’. 1992.
Syekh Faishol bin abdul ‘aziz., Nailul Authar, Surabaya: PT. Bina
Ilmu,2001.
[3] Abdullah bin abdurrahman Al bassam, syarah
bulughul maram, ( jakarta: pustaka Azzam, 2006, cet-1) jil. 5, hal. 546.
[5] Syekh Faishol bin abdul
‘aziz, Nailul Authar, ( surabaya: PT. Bina Ilmu, cet-1) juz 6,
hal. 2348.
[13] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhihul
ahkam min Buluughil Maraam jil. 5, hal. 474.
[16] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam , Fathu
Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam, jili. 4, hal. 653.
[19] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam, Taudhihul
ahkam min Buluughil Maraam jil. 5, hal. 651.
[24] Abdullah bin abdurrahman Al bassam, syarah bulughul maram, ( jakarta: pustaka Azzam, 2006,
cet-1) jil. 5, hal. 652.
[25] M. Nashiruddin Al- Albani., Ringkasan Sahih Muslim, (Jakarta: Gema
Insani, 2008, cet.-4 ) hal. 409.
[27] Syekh Faishol bin abdul ‘aziz, Nailul Authar, ( surabaya: PT. Bina Ilmu, cet-1)
juz 6, hal.326.
[36] Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Al-Bassam , Fathu
Dzil Dzalalil Wal Ikraam Bi Syarhi Bulughil Maraam, jili. 4, hal. 651-652.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar