BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Hak-hak wanita dalam al-Qur’an sangat diperhatikan, apalagi
mengenai perceraian yang dimungkinkan dapat menjadikan adanya pelecehan dan
kebencian pada masing-masing individu. Karena dimungkinkan hal tersebut terjadi
maka islam mengatur dalam al-Qur’an yang sungguh indah unuk masing-masing
individu. Sehingga diharapkan dapat tercipta keindahan dan kebaikan pada
hubungan silaturrahim.
Dalam surat al-Baqarah ayat 241 dijeaskan mengenai adanya
perceraian yang masih menjunjung adanya pemerhatian kepada perempuan. Yaitu
“dan isteri-isteri yang sudah dijatuhi thalak itu berhak mendapatkan pembekalan
kesenangan yang diberikan oleh bekas suaminya dengan baik-baik, itu adalah hak
yang dipikulkan kepada para suami yang bertakwa.”Telah jelaslah yang dalam
al-Qur’an begitu indah tertata, bahwa menghargai hubungan perceraian, meskipun
hal itu tidak di sukai Allah.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang surat al-Baqarah ayat
236-237, mengenai perceraian yang terjadi sebelum terpenuhinya seluruh
kewajiban dalam pernikahan, yaitu disebabkan belum melakukan hubungan dan belum
adanya penyerahan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk memenuhinya.
Meskipun dianggap lebih tidak etis jika sebelum terpenuhinya seluruh hak-hak
dalam perkawinan akan tetapi telah dianjurkan suami untuk memberikan mahar dan
pemberian (mut’ah). Tetapi itulah yang diatur dalam al-Qur’an sebagai aturan
bagi umat islam. Bukan suatu kerugian tapi menjadi hal yang sangat berhikmah
bagi silaturrahim umat islam agar tetap terjalinnnya hubungan yang harmonis.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa makna ayat yang pada surat al-Baqarah 236-237 dari segi anlisis
kata juga makna global?
2.
Bagaimana hubungan ayat (munasabah) antara ayat sebelum dan
sesudahnya?
3.
Hukum apakah yang terkandung di dalamnya?
4.
Hikmah apakah yang bisa diambil dari ayat diatas?
BAB II
PEMBAHASAN
Pada makalah ini terdapat pembahasan
mengenai pemberian mut’ah kepada istri ketika dicerai sebelum di dukhul. Adapun
ayatnya yaitu pada surat al-Baqarah ayat 236-237. Berikut akan dipaparkan
dibawah ini
. w
yy$uZã_
ö/ä3øn=tæ
bÎ)
ãLäêø)¯=sÛ
uä!$|¡ÏiY9$#
$tB
öNs9
£`èdq¡yJs?
÷rr&
(#qàÊÌøÿs?
£`ßgs9
ZpÒÌsù
4 £`èdqãèÏnFtBur
n?tã
ÆìÅqçRùQ$#
¼çnâys%
n?tãur
ÎÏIø)ßJø9$#
¼çnâys%
$Jè»tGtB
Å$râ÷êyJø9$$Î/
( $)ym
n?tã
tûüÏZÅ¡ósçRùQ$#
ÇËÌÏÈ bÎ)ur
£`èdqßJçFø)¯=sÛ
`ÏB
È@ö6s%
br&
£`èdq¡yJs?
ôs%ur
óOçFôÊtsù
£`çlm;
ZpÒÌsù
ß#óÁÏYsù
$tB
÷LäêôÊtsù
HwÎ)
br&
cqàÿ÷èt
÷rr&
(#uqàÿ÷èt
Ï%©!$#
¾ÍnÏuÎ/
äoyø)ãã
Çy%s3ÏiZ9$#
4 br&ur
(#þqàÿ÷ès?
ÛUtø%r&
3uqø)G=Ï9
4 wur
(#âq|¡Ys?
@ôÒxÿø9$#
öNä3uZ÷t/
4 ¨bÎ)
©!$#
$yJÎ/
tbqè=yJ÷ès?
îÅÁt/
ÇËÌÐÈ
236. Tidak ada kewajiban atas kamu (membayar mahar), jika
kamu menceraikan wanita-wanita selama kamu belum menyentuh mereka dan sebelum
kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian)
kepada mereka.Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin
menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut.Yang demikian itu
merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
237. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika
istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan
nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu
melupakan keutamaan diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa
yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 236-237).
Adapun mengenai penjelasan ayat-ayat diatas
akan dipaparkan dibawah ini sebagai suatu yang akan menjadi penjelasan lebih. Baik dari hal yang dalam maupun luar kandungan ayat tersebut. Jadi
hal-hal yang berkenaan dalam ayat diatas sangat diperlukan, sebagai hukum islam
yang harus dipelajari.
A.
Tahlil Lafdli (Analisis Kata)
Untuk mengetahui arti ayat diatas secara lafdiyah atau dengan kata
perkata maka akan dijelaskan dibawah ini:
1.
Al-Baqarah ayat 236
a.
لَا جُنَاحَ عَلَيْكُم: Tidak
ada kewajiban atas kamu. Wahai para suami tidak ada kewajiban untuk membayar
mahar atau yang lain (kecuali yang akan ditetapkan nanti).
b.
إِنْ طَلَّقْتُمُ النَّسَاءَ:
Menceraikan wanita-wanita. Yaitu wanita yang telah menjalin perkawinan dengan
kamu. Kata النَّسَاءdalam ayat ini bermakna istri-istri.
c.
مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ: Selama
kamu belum menyentuhnya. Yakni mencampuri atau berhubungan dengannya. Dalam
ayat ini selama kamu belum menyentuhnya yaitu merupakan istilah yang sangat
sopan dan halus yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk hubungan seks.
Al-Qur’an pada ayat ini dan QS. Maryam: 20 menggunakan kata mass dalam
arti bersetubuh. Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur’an dalam konteks
hubungan antara dua pihak, yaitu:
1.
مس(Mass)
yang bermakna persentuhan dua benda tanpa ada yang membatasinya, tetapi
sentuhan yang halus dan hanya sebentar sehingga tidak menimbulkan kehangatan
bahkan boleh jadi tidak terasa.
2.
لمس(Lams) yang bukan sekedar sentuhan antara subjek dan objek, tetapi pegangan
selama beberapa saat sehingga pasti terasa dan menimbulkan kehangatan.
3.
لامس(Lamas), maknanya lebih dari sekedar menimbulkan kehangatan.
d.
تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً: Mewajibkan
atas kamu untuk mereka suatu kewajiban membayar mahar. Artinya bahwa mas kawin
bukanlah rukun pada akan nikah. Dengan demikian, bila mas kawin tidak
disebutkan pada saat akad maka pernikahan tetap dinilai sah.
e.
وَمَتِّعُوْهُنَّ: Dan
hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Mut’ah diberikan
sebagai ganti rugi atau lambang hubungan dengan bekas suami meskipun telah
dicerai.
f.
عَلَى المُوْسِعِ قَدَرُهُ وَ عَلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ:
yang luas menurut kemampuannya dan
orang yang miskin menurut kemampuannya pula. Yang luas yakni rezekinya, ada
juga yang memahaminya dalam arti yang luas geraknya di pentas bumi ini untuk
mencari rezeki. Maksudnya, orang yang lebih banyak bergerak akan dapat
memperoleh rizeki sedangkan yang berpangku tangan tidak akan memperoleh rezeki
yang memadai.
g.
حَقًّا عَلَى المُحْسِنِيْنَ: Yang
demikian itu merupakan hak (ketentuan) atas al-muhsinin, yakni orang-orang yang
berbuat kebajikan.[1]
2.
Al-Baqarah ayat 237
a.
وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً: Padahal
kamu sudah menentukan maharnya, artinya kalian telah mewajibkan diri kalian
untuk memberikan sesuatu kepada mereka yaitu mahar.
b.
إِلَّا أَنْ يَعْفُوْنَ: kecuali
jika mereka (membebaskan), tepatnya perempuan-perempuan yang kalian nikahi.
Memaafkan maksudnya adalah meninggalkan haknya untuk mendapatkan mahar.
c.
الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ: Dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah, yaituDia adalah suami
d.
وَلَا تَنْسَوُ الفَضْلَ بَيْنَكُمْ: dan
janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu, yaitu cinta dan perbuatan
baik.[2]
B.
Makna Ijmaly (Arti Global)
a.
Al-Baqarah ayat 236
Dengan
menggunakan kata mass yang bermakna menyentuh menjadi berhubungan. Demikianlah
al-Qur’an tidak mengabaikan pembicaraan tentang hubungan pria dan wanita bahkan
mengakuinya. Hanya saja itu dihidangkan dengan kalimat-kalimat yang sopan dan
penu kesucian, karena hubungan tersebut adalah hubungan yang suci, dan
al-Qur’an menghendaki agar ia selalu diliputi oleh kesopanan dan kesucian.
Adapun mas kawin atau mahar yang dilukiskan oleh ayat ini dengan
redaksi mewajibkan (atas dirimu) untuk mereka suatu kewajiban. Ini untuk
menjelaskan bahwa mas kawin adalah
kewajiban seorang suami yang diberikan kepada istrinya. Tetapi hendaknya mas
kawin tersebut diberikan dengan ikhlas dari lubuk hati sang suami yaitu karena
dirinya sendiri bukan lainnya. Ditempat Pada ayat 236 menjelaskan tentang
maharnya seorang istri yang di cerai oleh suaminya sebelum berhubungan dan
belum dibayarkan maharnya akan tetapi belum ditentukan tentang mahar tersebut.
Yang diceritakan dalam ayat ini yaitu seorang suami yang menceraikan istrinya,
tidak berhak membayar mahar apabila istri tersebut tidak digaulinya, dan tidak
pula ia menetapkan mahar ketika berlangsung akad nikah.
lain
Allah memerintahkan pemberian mas
kawin itu dengan firman Nya:
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%ß|¹
\'s#øtÏU
4 bÎ*sù
tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã
&äóÓx«
çm÷ZÏiB
$T¡øÿtR
çnqè=ä3sù
$\«ÿÏZyd
$\«ÿÍ£D
ÇÍÈ
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai
pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)
Dalam ayat ini mengandung makna sebenarnya mahar bukanlah beban
bagi suami dan bukan harga diri seorang istri akan tetapi sebagai bentuk rasa
tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun
dalam ayat ini dijelaskan bahwa menceraikan istri sebelum di dukhul dan belum
ditentukan maharnya tidak ada bagi istri mahar dari laki-laki, akan tetapi ada
mut’ah yang harus diberikan kepada istri sebagai pemberian karena itu merupakan
suatu kebijaksanaan seorang suami atas keadaan perceraian itu.
Agaknya dalam ayat ini adanya pandangan yang menyatakan bahwa
perintah tersebut merupakan anjuran yaitu perintah memberikan mahar karena awal
ayat ini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar mahar.Walaupun demikian,
harus digaris bawahi bahwa perintah tersebut sangat dianjurkan.
b. Al-Baqarah ayat 237
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai istri yang dicerai
sebelum didukhul dan belum ditentukan maharnya, maka tidak ada kewajiban membayarkan
mahar kepada istrinya. Sedangkan pada
ayat selanjutnya ini menjelaskan tentang suami yang menceraikan istrinya
sebelum didukhul akan tetapi sudah menentukan maharnya. Yaitu kalau perceraian
dijatuhkan sebelum terjadi hubungan seks tetapi telah disepakati kadar mahar
sebelum perceraian, maka wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah
yang ditetapkan itu. Ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum
terlaksana yakni hubungan seks.
Kemudian lanjutan ayat ini menganjurkan pembebasan atau penambahan
itu dengan menegaskan bahwa pemaafan kamu wahai istri dan/atau wali, serta
pembayaran melebihi setengah dari kewajiban kamu, wahai suami, lebih dekat
kepada takwa.
Perceraian merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi dan apabila
tetap terjadi diharapkan dengan keadaan baik-baik tanpa ada kebencian diantara
keduanya.Ditegaskan dalam ayat, dan janganlah kamu melupakan jasa (hubungan
baik) maksudnya hubungan yang baik terjadi saat adanya perkawinan.Hal ini
dicerminkan dari adanya saling memberi dan memaafkan.Sesungguhnya Allah
mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan baik sebelum maupun sesudah
adanya perceraian.[3]
Dalam referensi buku lain dijelaskan, dalam al-Baqarah ayat 237
yakni yang wajib adalah setengah dari apa yang telah ditentukan, kecuali wanita
yang diceraikan memaafkan atau orang yang memiliki hak melakukan akad nikah,
yaitu suami, memaafkan. Kemudian setelah penetapan hukum yang adil dan penuh
kasih sayang ini, Allah Ta’ala mengajak kedua belah pihak untuk saling
memaafkan, dan bahwa orang yang memaafkan diantara keduanya itu lebih mendekati
takwa.Dengan ini Allah melarang untuk melupakan cinta dan berbuat baik.
Walaupun dalil ini sesuai untuk suami maupun istri, hanya saja
pemaafan dari suami itu lebih utama karena perceraian berasal dari dia.
Andaikan istri yang menjadi sebab perceraian maka pemaafannya lebih utama.Dan
mungkin inilah rahasia firman Allah ta’ala “dan pemaafan kamu itu lebih
dekat kepada takwa”.[4]
C.
Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul
ayat diatas yaitu, Al- Khazin berkata dalam tafsirnya: Ayat ini diturunkan
tentang seseorang laki-laki Anshar yang mengawini seorang perempuan Bani
Hanifah dengan tidak menyebutkan maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri.
Begitulah lalu turun ayat tersebut dan sesudah itu lalu Rasulullah Saw.bersabda
kepada laki-laki tersebut: “Berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu.”[5]
D.
Munasabah Ayat
Ayat-ayat sebelum ini membicarakan tentang istri-istri Nabi Saw.
serta beberapa kewajiban yang harus ditunaikan seperti taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, tidak menginginkan harta dunia, harus suci (batinnya) dengan
sempurna karena mereka itu tidak seperti perempuan-perempuan biasa, dan Allah
Swt. memang bermaksud hendak menjaga kehormatan mereka selaku istri-istri Nabi
Saw. yang juga sebagai ummahatul mukminin.
Sesudah itu kemudian diikuti dengan kisah Zaid bin Haritsah serta
penceraiannya terhadap Zainab yang kemudian dikawini sendiri oleh Rasulullah
Saw. dengan perintah langsung dari Allah, dengan tujuan yang tinggi sekali
yaitu dalam rangka pembatalan adopsi ala Jahiliyah.
Kemudian disini datang pula khitab kepada segenap kam muslimin
tentang hukum seorang istri yang ditalak sebelum disentuh serta kewajiban apa
yang harus dilakukan terhadap perempuan yang ditalak itu? Hukum-hukum apakah
yang harus dipegang teguh dalam kondisi seperti itu?Inilah kaitannya dengan
ayat-ayat sebelumnya.
Adapun dengan ayat yang sesudahnya yaitu menjelaskan tentang
sholat. Dalam bab kewajiban mengerjakan sholat biarpun dalam keadaan takut
tidak ada keterkaitannya dengan pembahasan pada ayat tentang thalak. Jadi
al-Baqarah 236-237 hanya berkaitan dengan ayat yang sebelumnya.Wallahu a’lam.
E.
Kandungan Hukum
1.
Talak sebelum nikah
Para Ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa talak sebelum nikah itu tidak
bisa jatuh, berdasarkan firman Allah: “Apakah kamu telah menikah dengan
perempuan-perempuan mukminah kemudian mereka itu kamu cerai”. Jelas sekali
dalam ayat itu Allah menetapkan urutan talak adalah setelah nikah dan
dipergunakannya ‘athaf (kata penghubung) dengan “tsumma” yang menunjukkan arti
tertib dengan berjangka.
Juga berdasarkan sabda Nabi Saw: لا طلاق قبل النكاح
Artinya: “tidak ada talak sebelum nikah.”
Tetapi para ulama’ berbeda pendapat tentang
masalah ta’liq talak, misalnya orang mengatakan begini: “jika saya kawin dengan
si fulanah maka dia tertalak” atau “setiap perumpamaan yang ku kawini adalah
tertalak”. Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.
Pendapat Syafi’I dan Ahmad mengatakan, bahwa talak demikian itu
tidak bisa jatuh. Pendapat itu diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas r.a.
b.
Pendapat Abu Hanifah dan Malik mengatakan, bahwa talak demikian itu
bisa jatuh, sesudah berlangsung akad nikah. Pendapat itu diriwayatkan juga dari
Ibnu Mas’ud r.a.
Ringkasnya, bahwa talak setelah
nikah itu tetap jadi, dengan kesepakatan ahli-ahli fiqih, dan talak yang
berlangsung sebelum nikah tidak jatuh, dengan kesepakatan ahli-ahli fiqih
pula.Sedang talak yang digantungkan atas pernikahan itu tetap jatuh, menurut ulama’
Hanafiyah dan Malikiyah, sedang menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
dipandang tidak jatuh.Masing-masing mempunyai pegangan.
2.
Apakah terjadinya khalwat itu mengharuskan adanya ‘iddah dan mahar?
Menurut dzahirnya ayat yang mengatakan “sebelum kamu sentuh mereka
itu” yang merupakan kata sindiran tentang jima’, menunjukkan bahwa khalwat itu
sekalipun sudah benar-benar terjadi, tidak mengharuskan adanya ‘iddah dan mahar
seperti halnya kewajiban ‘iddah dan mahar yang disebabkan oleh jima’. Ini
adalah madzhab (pendirian) Imam Syafi’I berdasar dalil bahwa Allah Swt. tidak
mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang ditalak sebelum jima’, karena khalwat
bukanlah jima’. Oleh karena itu ‘iddah dan mahar pun tidak diwajibkan karena
khalwat itu.
Sementara Jumhur (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah) berpendapat
bahwa khalwat itu sama dengan jima’.Oleh karena itu ‘iddah dan mahar tetap
diwajibkan lantaran sudah berkhalwat.
3.
Perempuan yang ditalak raj’I lalu diruju’ oleh suaminya, kemudian
ditalak lagi sebelum bercampur, apakah harus ber’iddah baru lagi?
Dalam
hal ini ada beberapa pendapat:
a.
Madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa perempuan tersebut tidak harus
ber’iddah baru lagi, sedang ‘iddah yang pertama tersebut dibatalkan dengan
talak kedua. Jadi dia tidak wajib menyempurnakan (melanjutkan) ‘iddahnya yang
pertama tadi (pendapat ini dinilai lemah).
b.
Madzhab Syafi’I mengatakan, bahwa dia harus melanjutkan ‘iddahnya
yang pertama tadi, tidak harus memulai dengan ‘iddah baru.
c.
Madzhab Malik dan Abu Hanifah mengatakan, bahwa perempuan tersebut
wajib ‘iddah baru lagi. Qurthubi berkata: inilah yang dipegangi oleh kebanyakan
ahli ilmu.
4.
Tentang kewajiban Mut’ah (Mata’)
Dzahirnya firman Allah “akan tetapi berilah mereka itu mut’ah” itu
menunjukkan wajibnya mut’ah untuk perempuan yang dicerai sebelum dicampuri baik
sudah ditentukan maharnya ataupun belum. Ini diperkuat firman Allah yang lain
yang berbunyi: وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعُ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى
الْمُتَّقِينَ
Artinya:
perempuan-perempuan yang dicerai itu berhak mendapatkan mata’ dengan wajar,
sebagai satu kewajiban atas orang-orang (suami-suami) yang bertaqwa. (QS.
Al-Baqarah: 241)
Menurut ayat yang kedua ini justru mut’ah itu ada pada setiap
perempuan yang ditalak. Namun dalam hal ini para ahli fiqih berbeda pendapat:
a.
Ada yang mengatakan, bahwa mut’ah itu hukumnya wajib baik untuk
perempuan yang sudah ditentukan maharnya ataupun yang belum ditentukan,
berdasar dzahir ayat. Yang berpendapat demikian itu ialah Hasan Basri.
b.
Ada yang berpendapat, bahwa mut’ah itu wajib untuk perempuan yang
dicerai sebelum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Demikian itu adalah
pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah yang juga pernah dikatakan oleh Ibnu Abbas.
Sedang untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sekedar
sunnat.
c.
Ada pula yang berpendapat, bahwa mut’ah itu hukumnya sekedar sunnat
secara mutlak, untuk semua perempuan yang dicerai. Demikian itu adalah pendapat
Malikiyah.
Adapun sebab terjadinya perbedaan yaitu pada ulama’ ahli fiqih
berbeda pendapat tentang masalah wajib dan sunnahnya masalah mut’ah ini,
lantaran beberapa ayat yang membicarakan masalah tersebut lahiriyahnya terdapat
ta’arudh (pertentangan), ada yang mewajibkan mut’ah itu secara mutlak ada yang
mewajibkan mut’ah itu ketika mahar belum ditentukan dan ada pula yang sama
sekali tidak menyebutkan tentang mut’ah. Ayat-ayat yang membicarakan tentang
mut’ah itu adalah: QS. Al-Ahzab: 49, QS. Al-Baqarah: 236, QS: al-Baqarah: 237.
Ayat pertama mutlak, sedangkan ayat yang kedua muqayyad (terikat)
dengan dua persyaratan, yaitu belum disentuh dan belum ditentukan maharnya, dan
ayat ketiga hanya menetapkan setengah/separuh mahar tanpa menyebut mut’ah.Oleh
karena itu diantara fuqaha’ ada yang menetapkan ayat 236 al-Baqarah
mentakhshish ayat 49 al-Ahzab.
Kalau untuk perempuan yang ditalak sebelum dicampuri dan telah
ditentukan maharnya maka wajib bagi suaminya untuk membayarkan separuh dari
maharnya.Sedang yang demikian itu sudah dapat mengatasi kekejaman suami, maka
diwaktu itu mut’ah sudah tidak diwajibkan lagi atasnya.
F.
Hikmatut Tasyri’
Allah mensyariatkan perkawinan demi melestarikan manusia.Seluruh
ikatan dan persendian diperkokoh.Kekeluargaan dikelilingi dengan anyaman yang
suci, penuh penghormatan dan penghargaan.Kehidupan berumah tangga antara suami istri
ditegakkan atas dasar tafahum, saling pengertian dan cinta kasih.
Kemudian dalam situasi yang tidak normal, islam juga memperkenankan
perceraian, sebagai uapaya kemelut yang tak kunjung terselesaikan, demi
melepaskan problema yang dapat menghalang-halangi terwujudnya kebahagiaan dalam
hidup.
Namun perlu diketahui, perceraian dalam islam dipandang sebagai
barang halal tetapi amat dibenci oleh Allah karena bisa merusak keluarga dan
menelantakan ana-anak. Tetapi juga bisa dilakukan jika terdapat faktor tertentu.
Jadi faktor itu harus jelas dan tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian.
Salah satu peraturan akhlak tentang talak ini yaitu ketika suami
menceraikan istrinya sebelum dicampuri.Dia ini tidak bisa menghalang-halangi
hak istrinya untuk kawin lagi, sebab itu istrinya tidak diwajibkan beridah.
Karena idah pada dasarnya untuk
mengetahuinya keadaan rahim. Sekalipun demikian suami tetap diwajibkan
mu’asyarah bil ‘ruf dengan memberikannya mut’ah.
Allah sangat memperhatikan dan melindungi kehormatan perempuan
yaitu dengan cara menghindarkan kejahatan suami atas istriinya serta melindungi
hak masing-masing. Sehingga demikian suami tidak berbuat dzalim terhadap istri,
juga hak suami tidak terabaikan. Maka masing-masing suami istri yang sudah
bercerai itu akan mendapatkan kebahagiaan hidup.
G.
Analisis Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam
Kompilasi Hukum Islam BAB V tentang Mahar pada Pasal 35, yaitu:
1)
Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar
setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2)
Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar
belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Telah jelas bahwa dalam KHI juga telah di atur mengenai perceraian
yang belum dukhul. Karena hal ini berkaitan dengan pemberian mahar kepada
istri, baik telah ditentukan maupun belum itu telah terdapat aturannya sendiri
dan tidak sama pemberiannya. Bahkan dalam KHI telah ditetapkan mengenai suami
yang meninggal dunia sebelum dukhul.Karena hal ini berkaitan dengan waris dan pemberian
maharnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Seorang muslim harus memilih calon istrinya itu seorang perempuan
mukminah yang suci
2.
Talaq itu bisa meruntuhkan sendi-sendi rumah tangga, karena itu
tidak layak dijatuhkan kecuali dalam situasi darurat.
3.
Perempuan yang belum pernah dicampuri, apabila di cerai tidak wajib
idah dengan kesepakatan para ulama.
4.
Seorang suami harapa mengatasi bahaya (kegoncangan jiwa) istrinya
yang dicerai itu dengan cara member mut’ah.
5.
Menyakiti hati perempuan yang di talaq itu diharamkan, bahkan harus
dilepas dengan cara yang sopan dan baik.
B.
Saran dan Kritik
Apa yang ada dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan
tetapi kami ambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang
ditugaskan kepada kami, untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Dan dalam penyusunan makalah
ini, kami menyadari masih ada kekurangan baik dalam hal penulisan ataupun isi
materi dari makalah ini. Untuk itu kami mohon adanya kritik maupun saran yang
membangun dari pembaca, untuk perbaikan dalam penyusunan makalah kami
kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA
AbuBakar, Bahrun. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Juz 2.
Bandung: Sinar Baru
Algensindo. 2000.
Al-Barudi,
Imad Zaki.Tafsir al-Qur’an Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2007.
Al-Jazairi,
Abu Bakar Jabir.Tafsir Al-Aisar. Jakarta: Darus Sunnah. 2006.
Shihab,
Quraish.Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Hamidy, Mu’ammal. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni.
Surabaya: Bina Ilmu
Offset. 2008.
Hamidy,
Mu’ammal. Imron Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni I. Surabaya: PT
[1] M.
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 479-480
[2]
Imad Zaki al-Barudi, Tafsir al-Qur’an Wanita (Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2007), 256
[3] M.
Quraish Shihab, Op. Cit., 482.
[4] Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar(Jakarta: Darus Sunnah, 2006),
400-401.
[5]
Mu’ammal Hamidy, Drs. Imron Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni I,
(Surabaya: PT Bina Ilmu Offset Surabaya, 1985), 310.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar