Kamis, 04 Desember 2014

Pemberian mut’ah kepada istri ketika dicerai sebelum di dukhul



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Hak-hak wanita dalam al-Qur’an sangat diperhatikan, apalagi mengenai perceraian yang dimungkinkan dapat menjadikan adanya pelecehan dan kebencian pada masing-masing individu. Karena dimungkinkan hal tersebut terjadi maka islam mengatur dalam al-Qur’an yang sungguh indah unuk masing-masing individu. Sehingga diharapkan dapat tercipta keindahan dan kebaikan pada hubungan silaturrahim.
Dalam surat al-Baqarah ayat 241 dijeaskan mengenai adanya perceraian yang masih menjunjung adanya pemerhatian kepada perempuan. Yaitu “dan isteri-isteri yang sudah dijatuhi thalak itu berhak mendapatkan pembekalan kesenangan yang diberikan oleh bekas suaminya dengan baik-baik, itu adalah hak yang dipikulkan kepada para suami yang bertakwa.”Telah jelaslah yang dalam al-Qur’an begitu indah tertata, bahwa menghargai hubungan perceraian, meskipun hal itu tidak di sukai Allah.
Pada makalah ini akan dijelaskan tentang surat al-Baqarah ayat 236-237, mengenai perceraian yang terjadi sebelum terpenuhinya seluruh kewajiban dalam pernikahan, yaitu disebabkan belum melakukan hubungan dan belum adanya penyerahan mahar sebagai kewajiban bagi suami untuk memenuhinya. Meskipun dianggap lebih tidak etis jika sebelum terpenuhinya seluruh hak-hak dalam perkawinan akan tetapi telah dianjurkan suami untuk memberikan mahar dan pemberian (mut’ah). Tetapi itulah yang diatur dalam al-Qur’an sebagai aturan bagi umat islam. Bukan suatu kerugian tapi menjadi hal yang sangat berhikmah bagi silaturrahim umat islam agar tetap terjalinnnya hubungan yang harmonis.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa makna ayat yang pada surat al-Baqarah 236-237 dari segi anlisis kata juga makna global?
2.      Bagaimana hubungan ayat (munasabah) antara ayat sebelum dan sesudahnya?
3.      Hukum apakah yang terkandung di dalamnya?
4.      Hikmah apakah yang bisa diambil dari ayat diatas?

BAB II
PEMBAHASAN
Pada makalah ini terdapat pembahasan mengenai pemberian mut’ah kepada istri ketika dicerai sebelum di dukhul. Adapun ayatnya yaitu pada surat al-Baqarah ayat 236-237. Berikut akan dipaparkan dibawah ini
. žw yy$uZã_ ö/ä3øn=tæ bÎ) ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# $tB öNs9 £`èdq¡yJs? ÷rr& (#qàÊ̍øÿs? £`ßgs9 ZpŸÒƒÌsù 4 £`èdqãèÏnFtBur n?tã ÆìÅqçRùQ$# ¼çnâys% n?tãur ÎŽÏIø)ßJø9$# ¼çnâys% $Jè»tGtB Å$râ÷êyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÏZÅ¡ósçRùQ$# ÇËÌÏÈ   bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù HwÎ) br& šcqàÿ÷ètƒ ÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ Ï%©!$# ¾ÍnÏuÎ/ äoyø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4 br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9 4 Ÿwur (#âq|¡Ys? Ÿ@ôÒxÿø9$# öNä3uZ÷t/ 4 ¨bÎ) ©!$# $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ÅÁt/ ÇËÌÐÈ  
236. Tidak ada kewajiban atas kamu (membayar mahar), jika kamu menceraikan wanita-wanita selama kamu belum menyentuh mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka.Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula, yaitu pemberian menurut yang patut.Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.
237. Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu, sesungguhnya Allah Maha Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Baqarah: 236-237).
Adapun mengenai penjelasan ayat-ayat diatas akan dipaparkan dibawah ini sebagai suatu yang akan menjadi penjelasan lebih. Baik dari hal yang dalam maupun luar kandungan ayat tersebut. Jadi hal-hal yang berkenaan dalam ayat diatas sangat diperlukan, sebagai hukum islam yang harus dipelajari.

A.    Tahlil Lafdli (Analisis Kata)
Untuk mengetahui arti ayat diatas secara lafdiyah atau dengan kata perkata maka akan dijelaskan dibawah ini:
1.      Al-Baqarah ayat 236
a.       لَا جُنَاحَ عَلَيْكُم: Tidak ada kewajiban atas kamu. Wahai para suami tidak ada kewajiban untuk membayar mahar atau yang lain (kecuali yang akan ditetapkan nanti).
b.      إِنْ طَلَّقْتُمُ النَّسَاءَ: Menceraikan wanita-wanita. Yaitu wanita yang telah menjalin perkawinan dengan kamu. Kata النَّسَاءdalam ayat ini bermakna istri-istri.
c.       مَا لَمْ تَمَسُّوْهُنَّ: Selama kamu belum menyentuhnya. Yakni mencampuri atau berhubungan dengannya. Dalam ayat ini selama kamu belum menyentuhnya yaitu merupakan istilah yang sangat sopan dan halus yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk hubungan seks. Al-Qur’an pada ayat ini dan QS. Maryam: 20 menggunakan kata mass dalam arti bersetubuh. Ada beberapa istilah yang digunakan al-Qur’an dalam konteks hubungan antara dua pihak, yaitu:
1.             مس(Mass) yang bermakna persentuhan dua benda tanpa ada yang membatasinya, tetapi sentuhan yang halus dan hanya sebentar sehingga tidak menimbulkan kehangatan bahkan boleh jadi tidak terasa.
2.             لمس(Lams) yang bukan sekedar sentuhan antara subjek dan objek, tetapi pegangan selama beberapa saat sehingga pasti terasa dan menimbulkan kehangatan.
3.             لامس(Lamas), maknanya lebih dari sekedar menimbulkan kehangatan.
d.      تَفْرِضُوْا لَهُنَّ فَرِيْضَةً: Mewajibkan atas kamu untuk mereka suatu kewajiban membayar mahar. Artinya bahwa mas kawin bukanlah rukun pada akan nikah. Dengan demikian, bila mas kawin tidak disebutkan pada saat akad maka pernikahan tetap dinilai sah.
e.       وَمَتِّعُوْهُنَّ: Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Mut’ah diberikan sebagai ganti rugi atau lambang hubungan dengan bekas suami meskipun telah dicerai.
f.       عَلَى المُوْسِعِ قَدَرُهُ وَ عَلَى المُقْتِرِ قَدَرُهُ: yang luas menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula. Yang luas yakni rezekinya, ada juga yang memahaminya dalam arti yang luas geraknya di pentas bumi ini untuk mencari rezeki. Maksudnya, orang yang lebih banyak bergerak akan dapat memperoleh rizeki sedangkan yang berpangku tangan tidak akan memperoleh rezeki yang memadai.
g.      حَقًّا عَلَى المُحْسِنِيْنَ: Yang demikian itu merupakan hak (ketentuan) atas al-muhsinin, yakni orang-orang yang berbuat kebajikan.[1]
2.      Al-Baqarah ayat 237
a.       وَ قَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيْضَةً: Padahal kamu sudah menentukan maharnya, artinya kalian telah mewajibkan diri kalian untuk memberikan sesuatu kepada mereka yaitu mahar.
b.      إِلَّا أَنْ يَعْفُوْنَ: kecuali jika mereka (membebaskan), tepatnya perempuan-perempuan yang kalian nikahi. Memaafkan maksudnya adalah meninggalkan haknya untuk mendapatkan mahar.
c.       الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ: Dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, yaituDia adalah suami
d.      وَلَا تَنْسَوُ الفَضْلَ بَيْنَكُمْ: dan janganlah kamu melupakan keutamaan diantara kamu, yaitu cinta dan perbuatan baik.[2]





B.     Makna Ijmaly (Arti Global)
a.    Al-Baqarah ayat 236
Dengan menggunakan kata mass yang bermakna menyentuh menjadi berhubungan. Demikianlah al-Qur’an tidak mengabaikan pembicaraan tentang hubungan pria dan wanita bahkan mengakuinya. Hanya saja itu dihidangkan dengan kalimat-kalimat yang sopan dan penu kesucian, karena hubungan tersebut adalah hubungan yang suci, dan al-Qur’an menghendaki agar ia selalu diliputi oleh kesopanan dan kesucian.
Adapun mas kawin atau mahar yang dilukiskan oleh ayat ini dengan redaksi mewajibkan (atas dirimu) untuk mereka suatu kewajiban. Ini untuk menjelaskan bahwa mas  kawin adalah kewajiban seorang suami yang diberikan kepada istrinya. Tetapi hendaknya mas kawin tersebut diberikan dengan ikhlas dari lubuk hati sang suami yaitu karena dirinya sendiri bukan lainnya. Ditempat Pada ayat 236 menjelaskan tentang maharnya seorang istri yang di cerai oleh suaminya sebelum berhubungan dan belum dibayarkan maharnya akan tetapi belum ditentukan tentang mahar tersebut. Yang diceritakan dalam ayat ini yaitu seorang suami yang menceraikan istrinya, tidak berhak membayar mahar apabila istri tersebut tidak digaulinya, dan tidak pula ia menetapkan mahar ketika berlangsung akad nikah.
lain Allah memerintahkan pemberian mas kawin itu dengan firman Nya:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D ÇÍÈ
“Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.” (QS. An-Nisa’: 4)
Dalam ayat ini mengandung makna sebenarnya mahar bukanlah beban bagi suami dan bukan harga diri seorang istri akan tetapi sebagai bentuk rasa tanggung jawab suami untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anaknya. Meskipun dalam ayat ini dijelaskan bahwa menceraikan istri sebelum di dukhul dan belum ditentukan maharnya tidak ada bagi istri mahar dari laki-laki, akan tetapi ada mut’ah yang harus diberikan kepada istri sebagai pemberian karena itu merupakan suatu kebijaksanaan seorang suami atas keadaan perceraian itu.
Agaknya dalam ayat ini adanya pandangan yang menyatakan bahwa perintah tersebut merupakan anjuran yaitu perintah memberikan mahar karena awal ayat ini menyatakan bahwa tidak ada kewajiban membayar mahar.Walaupun demikian, harus digaris bawahi bahwa perintah tersebut sangat dianjurkan.
b. Al-Baqarah ayat 237
Pada ayat sebelumnya telah dijelaskan mengenai istri yang dicerai sebelum didukhul dan belum ditentukan maharnya, maka tidak ada kewajiban membayarkan mahar  kepada istrinya. Sedangkan pada ayat selanjutnya ini menjelaskan tentang suami yang menceraikan istrinya sebelum didukhul akan tetapi sudah menentukan maharnya. Yaitu kalau perceraian dijatuhkan sebelum terjadi hubungan seks tetapi telah disepakati kadar mahar sebelum perceraian, maka wajib diserahkan oleh suami adalah seperdua jumlah yang ditetapkan itu. Ini karena salah satu tujuan utama perkawinan belum terlaksana yakni hubungan seks.
Kemudian lanjutan ayat ini menganjurkan pembebasan atau penambahan itu dengan menegaskan bahwa pemaafan kamu wahai istri dan/atau wali, serta pembayaran melebihi setengah dari kewajiban kamu, wahai suami, lebih dekat kepada takwa.
Perceraian merupakan hal yang seharusnya tidak terjadi dan apabila tetap terjadi diharapkan dengan keadaan baik-baik tanpa ada kebencian diantara keduanya.Ditegaskan dalam ayat, dan janganlah kamu melupakan jasa (hubungan baik) maksudnya hubungan yang baik terjadi saat adanya perkawinan.Hal ini dicerminkan dari adanya saling memberi dan memaafkan.Sesungguhnya Allah mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan baik sebelum maupun sesudah adanya perceraian.[3]
Dalam referensi buku lain dijelaskan, dalam al-Baqarah ayat 237 yakni yang wajib adalah setengah dari apa yang telah ditentukan, kecuali wanita yang diceraikan memaafkan atau orang yang memiliki hak melakukan akad nikah, yaitu suami, memaafkan. Kemudian setelah penetapan hukum yang adil dan penuh kasih sayang ini, Allah Ta’ala mengajak kedua belah pihak untuk saling memaafkan, dan bahwa orang yang memaafkan diantara keduanya itu lebih mendekati takwa.Dengan ini Allah melarang untuk melupakan cinta dan berbuat baik.
Walaupun dalil ini sesuai untuk suami maupun istri, hanya saja pemaafan dari suami itu lebih utama karena perceraian berasal dari dia. Andaikan istri yang menjadi sebab perceraian maka pemaafannya lebih utama.Dan mungkin inilah rahasia firman Allah ta’ala “dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa”.[4]

C.    Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat diatas yaitu, Al- Khazin berkata dalam tafsirnya: Ayat ini diturunkan tentang seseorang laki-laki Anshar yang mengawini seorang perempuan Bani Hanifah dengan tidak menyebutkan maharnya, lalu dicerainya sebelum dicampuri. Begitulah lalu turun ayat tersebut dan sesudah itu lalu Rasulullah Saw.bersabda kepada laki-laki tersebut: “Berilah dia mut’ah sekalipun dengan kopiahmu itu.”[5]
D.    Munasabah Ayat
Ayat-ayat sebelum ini membicarakan tentang istri-istri Nabi Saw. serta beberapa kewajiban yang harus ditunaikan seperti taat kepada Allah dan Rasul-Nya, tidak menginginkan harta dunia, harus suci (batinnya) dengan sempurna karena mereka itu tidak seperti perempuan-perempuan biasa, dan Allah Swt. memang bermaksud hendak menjaga kehormatan mereka selaku istri-istri Nabi Saw. yang juga sebagai ummahatul mukminin.
Sesudah itu kemudian diikuti dengan kisah Zaid bin Haritsah serta penceraiannya terhadap Zainab yang kemudian dikawini sendiri oleh Rasulullah Saw. dengan perintah langsung dari Allah, dengan tujuan yang tinggi sekali yaitu dalam rangka pembatalan adopsi ala Jahiliyah.
Kemudian disini datang pula khitab kepada segenap kam muslimin tentang hukum seorang istri yang ditalak sebelum disentuh serta kewajiban apa yang harus dilakukan terhadap perempuan yang ditalak itu? Hukum-hukum apakah yang harus dipegang teguh dalam kondisi seperti itu?Inilah kaitannya dengan ayat-ayat sebelumnya.
Adapun dengan ayat yang sesudahnya yaitu menjelaskan tentang sholat. Dalam bab kewajiban mengerjakan sholat biarpun dalam keadaan takut tidak ada keterkaitannya dengan pembahasan pada ayat tentang thalak. Jadi al-Baqarah 236-237 hanya berkaitan dengan ayat yang sebelumnya.Wallahu a’lam.






E.     Kandungan Hukum
1.      Talak sebelum nikah
Para Ulama’ ahli fiqih sepakat bahwa talak sebelum nikah itu tidak bisa jatuh, berdasarkan firman Allah: “Apakah kamu telah menikah dengan perempuan-perempuan mukminah kemudian mereka itu kamu cerai”. Jelas sekali dalam ayat itu Allah menetapkan urutan talak adalah setelah nikah dan dipergunakannya ‘athaf (kata penghubung) dengan “tsumma” yang menunjukkan arti tertib dengan berjangka.
Juga berdasarkan sabda Nabi Saw: لا طلاق قبل النكاح
Artinya: “tidak ada talak sebelum nikah.”
Tetapi para ulama’ berbeda pendapat tentang masalah ta’liq talak, misalnya orang mengatakan begini: “jika saya kawin dengan si fulanah maka dia tertalak” atau “setiap perumpamaan yang ku kawini adalah tertalak”. Dalam hal ini ada dua pendapat:
a.       Pendapat Syafi’I dan Ahmad mengatakan, bahwa talak demikian itu tidak bisa jatuh. Pendapat itu diriwayatkan juga dari Ibnu ‘Abbas r.a.
b.      Pendapat Abu Hanifah dan Malik mengatakan, bahwa talak demikian itu bisa jatuh, sesudah berlangsung akad nikah. Pendapat itu diriwayatkan juga dari Ibnu Mas’ud r.a.
Ringkasnya, bahwa talak setelah nikah itu tetap jadi, dengan kesepakatan ahli-ahli fiqih, dan talak yang berlangsung sebelum nikah tidak jatuh, dengan kesepakatan ahli-ahli fiqih pula.Sedang talak yang digantungkan atas pernikahan itu tetap jatuh, menurut ulama’ Hanafiyah dan Malikiyah, sedang menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah dipandang tidak jatuh.Masing-masing mempunyai pegangan.
2.      Apakah terjadinya khalwat itu mengharuskan adanya ‘iddah dan mahar?
Menurut dzahirnya ayat yang mengatakan “sebelum kamu sentuh mereka itu” yang merupakan kata sindiran tentang jima’, menunjukkan bahwa khalwat itu sekalipun sudah benar-benar terjadi, tidak mengharuskan adanya ‘iddah dan mahar seperti halnya kewajiban ‘iddah dan mahar yang disebabkan oleh jima’. Ini adalah madzhab (pendirian) Imam Syafi’I berdasar dalil bahwa Allah Swt. tidak mewajibkan ‘iddah bagi perempuan yang ditalak sebelum jima’, karena khalwat bukanlah jima’. Oleh karena itu ‘iddah dan mahar pun tidak diwajibkan karena khalwat itu.
Sementara Jumhur (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah) berpendapat bahwa khalwat itu sama dengan jima’.Oleh karena itu ‘iddah dan mahar tetap diwajibkan lantaran sudah berkhalwat.
3.      Perempuan yang ditalak raj’I lalu diruju’ oleh suaminya, kemudian ditalak lagi sebelum bercampur, apakah harus ber’iddah baru lagi?
Dalam hal ini ada beberapa pendapat:
a.       Madzhab Zhahiri berpendapat, bahwa perempuan tersebut tidak harus ber’iddah baru lagi, sedang ‘iddah yang pertama tersebut dibatalkan dengan talak kedua. Jadi dia tidak wajib menyempurnakan (melanjutkan) ‘iddahnya yang pertama tadi (pendapat ini dinilai lemah).
b.      Madzhab Syafi’I mengatakan, bahwa dia harus melanjutkan ‘iddahnya yang pertama tadi, tidak harus memulai dengan ‘iddah baru.
c.       Madzhab Malik dan Abu Hanifah mengatakan, bahwa perempuan tersebut wajib ‘iddah baru lagi. Qurthubi berkata: inilah yang dipegangi oleh kebanyakan ahli ilmu.
4.      Tentang kewajiban Mut’ah (Mata’)
Dzahirnya firman Allah “akan tetapi berilah mereka itu mut’ah” itu menunjukkan wajibnya mut’ah untuk perempuan yang dicerai sebelum dicampuri baik sudah ditentukan maharnya ataupun belum. Ini diperkuat firman Allah yang lain yang berbunyi: وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعُ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

Artinya: perempuan-perempuan yang dicerai itu berhak mendapatkan mata’ dengan wajar, sebagai satu kewajiban atas orang-orang (suami-suami) yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah: 241)
Menurut ayat yang kedua ini justru mut’ah itu ada pada setiap perempuan yang ditalak. Namun dalam hal ini para ahli fiqih berbeda pendapat:
a.       Ada yang mengatakan, bahwa mut’ah itu hukumnya wajib baik untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya ataupun yang belum ditentukan, berdasar dzahir ayat. Yang berpendapat demikian itu ialah Hasan Basri.
b.      Ada yang berpendapat, bahwa mut’ah itu wajib untuk perempuan yang dicerai sebelum dicampuri dan belum ditentukan maharnya. Demikian itu adalah pendapat Hanafiyah dan Syafi’iyah yang juga pernah dikatakan oleh Ibnu Abbas. Sedang untuk perempuan yang sudah ditentukan maharnya, mut’ah itu hukumnya sekedar sunnat.
c.       Ada pula yang berpendapat, bahwa mut’ah itu hukumnya sekedar sunnat secara mutlak, untuk semua perempuan yang dicerai. Demikian itu adalah pendapat Malikiyah.
Adapun sebab terjadinya perbedaan yaitu pada ulama’ ahli fiqih berbeda pendapat tentang masalah wajib dan sunnahnya masalah mut’ah ini, lantaran beberapa ayat yang membicarakan masalah tersebut lahiriyahnya terdapat ta’arudh (pertentangan), ada yang mewajibkan mut’ah itu secara mutlak ada yang mewajibkan mut’ah itu ketika mahar belum ditentukan dan ada pula yang sama sekali tidak menyebutkan tentang mut’ah. Ayat-ayat yang membicarakan tentang mut’ah itu adalah: QS. Al-Ahzab: 49, QS. Al-Baqarah: 236, QS: al-Baqarah: 237.
Ayat pertama mutlak, sedangkan ayat yang kedua muqayyad (terikat) dengan dua persyaratan, yaitu belum disentuh dan belum ditentukan maharnya, dan ayat ketiga hanya menetapkan setengah/separuh mahar tanpa menyebut mut’ah.Oleh karena itu diantara fuqaha’ ada yang menetapkan ayat 236 al-Baqarah mentakhshish ayat 49 al-Ahzab.
Kalau untuk perempuan yang ditalak sebelum dicampuri dan telah ditentukan maharnya maka wajib bagi suaminya untuk membayarkan separuh dari maharnya.Sedang yang demikian itu sudah dapat mengatasi kekejaman suami, maka diwaktu itu mut’ah sudah tidak diwajibkan lagi atasnya.

F.     Hikmatut Tasyri’
Allah mensyariatkan perkawinan demi melestarikan manusia.Seluruh ikatan dan persendian diperkokoh.Kekeluargaan dikelilingi dengan anyaman yang suci, penuh penghormatan dan penghargaan.Kehidupan berumah tangga antara suami istri ditegakkan atas dasar tafahum, saling pengertian dan cinta kasih.
Kemudian dalam situasi yang tidak normal, islam juga memperkenankan perceraian, sebagai uapaya kemelut yang tak kunjung terselesaikan, demi melepaskan problema yang dapat menghalang-halangi terwujudnya kebahagiaan dalam hidup.
Namun perlu diketahui, perceraian dalam islam dipandang sebagai barang halal tetapi amat dibenci oleh Allah karena bisa merusak keluarga dan menelantakan ana-anak. Tetapi juga bisa dilakukan jika terdapat faktor tertentu. Jadi faktor itu harus jelas dan tidak ada jalan lain kecuali hanya perceraian.
Salah satu peraturan akhlak tentang talak ini yaitu ketika suami menceraikan istrinya sebelum dicampuri.Dia ini tidak bisa menghalang-halangi hak istrinya untuk kawin lagi, sebab itu istrinya tidak diwajibkan beridah. Karena idah pada dasarnya untuk  mengetahuinya keadaan rahim. Sekalipun demikian suami tetap diwajibkan mu’asyarah bil ‘ruf dengan memberikannya mut’ah.
Allah sangat memperhatikan dan melindungi kehormatan perempuan yaitu dengan cara menghindarkan kejahatan suami atas istriinya serta melindungi hak masing-masing. Sehingga demikian suami tidak berbuat dzalim terhadap istri, juga hak suami tidak terabaikan. Maka masing-masing suami istri yang sudah bercerai itu akan mendapatkan kebahagiaan hidup.

G.    Analisis Dalam Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB V tentang Mahar pada Pasal 35, yaitu:
1)      Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.
2)      Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Telah jelas bahwa dalam KHI juga telah di atur mengenai perceraian yang belum dukhul. Karena hal ini berkaitan dengan pemberian mahar kepada istri, baik telah ditentukan maupun belum itu telah terdapat aturannya sendiri dan tidak sama pemberiannya. Bahkan dalam KHI telah ditetapkan mengenai suami yang meninggal dunia sebelum dukhul.Karena hal ini berkaitan dengan waris dan pemberian maharnya.





















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Seorang muslim harus memilih calon istrinya itu seorang perempuan mukminah yang suci
2.      Talaq itu bisa meruntuhkan sendi-sendi rumah tangga, karena itu tidak layak dijatuhkan kecuali dalam situasi darurat.
3.      Perempuan yang belum pernah dicampuri, apabila di cerai tidak wajib idah dengan kesepakatan para ulama.
4.      Seorang suami harapa mengatasi bahaya (kegoncangan jiwa) istrinya yang dicerai itu dengan cara member mut’ah.
5.      Menyakiti hati perempuan yang di talaq itu diharamkan, bahkan harus dilepas dengan cara yang sopan dan baik.

B.     Saran dan Kritik
Apa yang ada dalam makalah ini bukan semata pemikiran kami, akan tetapi kami ambil dari berbagai referensi yang berkaitan dengan judul yang ditugaskan kepada kami, untuk itu marilah kita ambil hikmah dan manfaatnya.
Dan dalam penyusunan  makalah ini, kami menyadari masih ada kekurangan baik dalam hal penulisan ataupun isi materi dari makalah ini. Untuk itu kami mohon adanya kritik maupun saran yang membangun dari pembaca, untuk perbaikan dalam penyusunan makalah kami kedepannya.






DAFTAR PUSTAKA
AbuBakar, Bahrun. Terjemah Tafsir Ibnu Katsir Juz 2. Bandung: Sinar Baru
                   Algensindo. 2000.
Al-Barudi, Imad Zaki.Tafsir al-Qur’an Wanita. Jakarta: Pena Pundi Aksara. 2007.
Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir.Tafsir Al-Aisar. Jakarta: Darus Sunnah. 2006.
Shihab, Quraish.Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
Hamidy, Mu’ammal. Terjemah Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni. Surabaya: Bina Ilmu
Offset. 2008.
Hamidy, Mu’ammal. Imron Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni I. Surabaya: PT
Bina Ilmu Offset Surabaya. 1985





[1] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), 479-480
[2] Imad Zaki al-Barudi, Tafsir al-Qur’an Wanita (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2007), 256
[3] M. Quraish Shihab, Op. Cit., 482.
[4] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Tafsir Al-Aisar(Jakarta: Darus Sunnah, 2006), 400-401.
[5] Mu’ammal Hamidy, Drs. Imron Manan. Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni I, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset Surabaya, 1985), 310.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar