Kamis, 04 Desember 2014

Argumen mengenai “ barang siapa yang tidak berhukum kepada apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” .



Menanggapi ayat ke-44 dalam surat Al-Maidah yang artinya “ barang siapa yang tidak berhukum kepada apa yang di turunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” . banyak komentar yang berpandangan bahwa orang yang menghukumi  (qadhi) yang menetapkan hukum selain islam maka di anggap kafir tidak hanya hakim yang di anggap kafir yang membuat hukumpun  juga terkena imbasnya dalam hal ini Badan Legislatif bahkan kaum muslimin yang bersengketa kemudian berhukum kepada undang-undang tersebut dan mereka ridho dengan keputusan yang di tetapkan kepada mereka maka semuanya dianggap kafir. Hal tersebut sudah menjadi pembicaraan umum di kalangan kaum muslimin yang taat beragama, dengan berpedoman pada ayat ke-44 dalam surat Al-Maidah.
Menanggapi pernyataan tersebut perlu adanya beberapa analisa secara mendalam dan komprehensif sehingga tidak terjadi kesalah fahaman dalam mengambil kongklusi, perlu di ketahui bahwa hukum islam itu ada dua macam: pertama, hukum yang ditetapkan di dalam Al-qur’an dan sunnah dengan teks yang jelas, sehingga tidak memungkinkan adanya takwil serta tidak menerima adanya ijtihad. Contoh dalam hukum perdata telah di sebutkan bahwa wanita yang sudah dicerai suaminya dengan talak tiga kali maka si suami haram merujuk kembali kecuali wanita tersebut di nikahi oleh laki-laki lain terlebih dahulu. Kedua, hukum yang tidak diterangkan di dalam Al-qur’an maupun As-sunnah, atau terdapat pada salah satu dari dua hal tersebut akan tetapi nash yang menerangkanya tidak qoth’i (dhonni Ad-dilalah) serta maknanya dapat di fahami lebih dari satu , contoh  ayat yang menerangkan bahwa orang yang menuduh zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka hukumanya dijilid 80 kali, tidak deterima persaksianya, serta fasik. Permasalahnya jika orang tersebut sudah bertaubat apakah masih dihukum  sebagai mana jenis-jenis hukuman tersebut?
Menurut imam maliki jika seseorang yang menuduh zina tersebut sudah bertaubat maka persaksian dan fasiknya hilang karna keduanya tersebut adalah haknya Allah (haqqu Allah) dan tetap di had 80 kali. Sedangkan menurut Abu bakar jika seseorang telah bertaubat maka semua hukumanya hilang baik itu menyangkut haqquAllah atau haqqul adami dengan alasan ayat yang menerangkan tersebut disamakan dengan ayat mencerai istri ketika sebelum di dukhul  maka wajib memberikan mahar kecuali jika si mantan istri memaafkanya.  Kondisi seperti itu memberikan ruang bagi para mujtahid  untuk berijtihad.  Dengan demikian pada ayat jenis dhonni ad-dilalah inilah pembuat tasyri’ diberikan wewenang untuk membuat hukum sekalipun pendapatnya nanti bersebrangan dengan semua pendapat madzhab dalam islam, asalakan masih dalam koridornya daalam artian tidak bertentangan dengan nash disamping itu berprinsip pada pencarian hukum yang seadil-adilnya dan demi maslahah umum serta bukan mengikuti hawa-nafsu. Sebagaimana firman Allah Swt. “ waidza hakamtum bainannasi fahkum bil’adli” dalam ayat tersebut terdapat kata bainannaasi bukan bainal muslimiina jadi tidak pandang suku, ras, kelompok, aliran, dan lain sebagainya. Jika kedua komponen tersebut sudah tercakup dalam hukum (undang-undang) maka disitulah letak hukum dan syariat Allah. Yang harus di ingat berulang kali yaitu bahwa hukum itu yang terpenting letaknya pada substansinya bukan teksnya semata.
Hemat penulis apabila hukum telah bersifat qoth’i akan tetapi tidak dijelaskan ketentuan waktu dan tempat atau bisa di sebut sikonya maka penetapan hukum kepada selain hukum Allah dianggap murtad. Akan tetapi jika seorang hakim memutuskan perkara dengan selain hukum Allah  tetapi masih mempunyai keyakinan bahwa hukum Allahlah yang paling benar (paling memenuhi keadilan dan kemaslahatan) akan tetapi hakim tersebut berada di dalam wilayah negara non islam  sehingga terpaksa memutuskan dengan selain hukum Allah, maka kondisi seperti tidak dikatakan sebuah kekafiran, tetapi hanya sebuah kemaksiatan diqiyaskan dengan orang yang minum khamer tetapi ia yakin akan keharamanya.  Jadi dalam kondisi seperti ini hakim harus menolaknya, akan tetapi jika hakim tidak punya kekuasaan untuk menegakkan supremasi hukum islam didepan rezim karana takut akan bahaya yang menumpa dirinya, keluarganya dan kelompoknya, maka islam membolehkan mencari jalan keluar yang lebih ringan bahayanya dari dua bahaya yang ada. Selagi hakim hatinya masih yakin seyakin-yakinya bahwa hukum Allah yang paling sempurna.
Di dalam syar’u manqoblana terdapat tiga pengelompokan: pertama, ayat itu diceritakan dan jelas di naskh. Kedua, diceritakan dan jelas diperintahakan. Ketiga, diceritakan akan tetapi tidak jelas di naskh atau di perintahkan. Dan ayat ke-44 dalam surah Al-Maidah tersebut masuk pada kategori ketiga yaitu di ceritakan dan tidak jelas apakah di naskh atau di perintahkan. Sehingga  pada ayat tersebut substansinya terdapat beberapa perbedaan dalam menafsirkanya.
Kongklusinya: bahwa ayat tersebut berlaku bagi mereka yang memiliki kekuasaan sepenuhnya (independensi) untuk menentukan hukum sendiri dan hidup di negara yang pakemnya menggunakan hukum islam  serta mereka juga mengerti hukum Allah dan mereka memilih untuk menolaknya lebih mementingkan hukum hasil pemikiranya serta rekayasa hawa-nafsunya sendiri. Dasar firman Allah yang artinya” dan jangan kamu mengikuti hawa-nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari dari sebagian apa yang telah di turunkan Allah kepadamu.”(QS. Al-Maidah: 49)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar