Menanggapi ayat ke-44 dalam surat Al-Maidah yang artinya “
barang siapa yang tidak berhukum kepada apa yang di turunkan Allah, maka mereka
itu adalah orang-orang yang kafir” . banyak komentar yang berpandangan
bahwa orang yang menghukumi (qadhi) yang
menetapkan hukum selain islam maka di anggap kafir tidak hanya hakim yang di
anggap kafir yang membuat hukumpun juga
terkena imbasnya dalam hal ini Badan Legislatif bahkan kaum muslimin yang
bersengketa kemudian berhukum kepada undang-undang tersebut dan mereka ridho
dengan keputusan yang di tetapkan kepada mereka maka semuanya dianggap kafir.
Hal tersebut sudah menjadi pembicaraan umum di kalangan kaum muslimin yang taat
beragama, dengan berpedoman pada ayat ke-44 dalam surat Al-Maidah.
Menanggapi pernyataan tersebut perlu adanya beberapa analisa secara
mendalam dan komprehensif sehingga tidak terjadi kesalah fahaman dalam
mengambil kongklusi, perlu di ketahui bahwa hukum islam itu ada dua macam: pertama,
hukum yang ditetapkan di dalam Al-qur’an dan sunnah dengan teks yang jelas,
sehingga tidak memungkinkan adanya takwil serta tidak menerima adanya ijtihad. Contoh
dalam hukum perdata telah di sebutkan bahwa wanita yang sudah dicerai suaminya
dengan talak tiga kali maka si suami haram merujuk kembali kecuali wanita
tersebut di nikahi oleh laki-laki lain terlebih dahulu. Kedua, hukum
yang tidak diterangkan di dalam Al-qur’an maupun As-sunnah, atau terdapat pada
salah satu dari dua hal tersebut akan tetapi nash yang menerangkanya tidak
qoth’i (dhonni Ad-dilalah) serta maknanya dapat di fahami lebih dari satu ,
contoh ayat yang menerangkan bahwa orang
yang menuduh zina dan tidak dapat mendatangkan empat orang saksi maka hukumanya
dijilid 80 kali, tidak deterima persaksianya, serta fasik. Permasalahnya jika
orang tersebut sudah bertaubat apakah masih dihukum sebagai mana jenis-jenis hukuman tersebut?
Menurut imam maliki jika seseorang yang menuduh zina tersebut sudah
bertaubat maka persaksian dan fasiknya hilang karna keduanya tersebut adalah
haknya Allah (haqqu Allah) dan tetap di had 80 kali. Sedangkan menurut Abu
bakar jika seseorang telah bertaubat maka semua hukumanya hilang baik itu
menyangkut haqquAllah atau haqqul adami dengan alasan ayat yang menerangkan
tersebut disamakan dengan ayat mencerai istri ketika sebelum di dukhul maka wajib memberikan mahar kecuali jika si
mantan istri memaafkanya. Kondisi
seperti itu memberikan ruang bagi para mujtahid
untuk berijtihad. Dengan demikian
pada ayat jenis dhonni ad-dilalah inilah pembuat tasyri’ diberikan wewenang
untuk membuat hukum sekalipun pendapatnya nanti bersebrangan dengan semua
pendapat madzhab dalam islam, asalakan masih dalam koridornya daalam artian
tidak bertentangan dengan nash disamping itu berprinsip pada pencarian hukum
yang seadil-adilnya dan demi maslahah umum serta bukan mengikuti hawa-nafsu. Sebagaimana
firman Allah Swt. “ waidza hakamtum bainannasi fahkum bil’adli” dalam
ayat tersebut terdapat kata bainannaasi bukan bainal muslimiina jadi tidak
pandang suku, ras, kelompok, aliran, dan lain sebagainya. Jika kedua komponen
tersebut sudah tercakup dalam hukum (undang-undang) maka disitulah letak hukum
dan syariat Allah. Yang harus di ingat berulang kali yaitu bahwa hukum itu yang
terpenting letaknya pada substansinya bukan teksnya semata.
Hemat penulis apabila hukum telah bersifat qoth’i akan tetapi tidak
dijelaskan ketentuan waktu dan tempat atau bisa di sebut sikonya maka penetapan
hukum kepada selain hukum Allah dianggap murtad. Akan tetapi jika seorang hakim
memutuskan perkara dengan selain hukum Allah
tetapi masih mempunyai keyakinan bahwa hukum Allahlah yang paling benar
(paling memenuhi keadilan dan kemaslahatan) akan tetapi hakim tersebut berada
di dalam wilayah negara non islam
sehingga terpaksa memutuskan dengan selain hukum Allah, maka kondisi
seperti tidak dikatakan sebuah kekafiran, tetapi hanya sebuah kemaksiatan diqiyaskan
dengan orang yang minum khamer tetapi ia yakin akan keharamanya. Jadi dalam kondisi seperti ini hakim harus
menolaknya, akan tetapi jika hakim tidak punya kekuasaan untuk menegakkan
supremasi hukum islam didepan rezim karana takut akan bahaya yang menumpa
dirinya, keluarganya dan kelompoknya, maka islam membolehkan mencari jalan
keluar yang lebih ringan bahayanya dari dua bahaya yang ada. Selagi hakim
hatinya masih yakin seyakin-yakinya bahwa hukum Allah yang paling sempurna.
Di dalam syar’u manqoblana terdapat tiga pengelompokan: pertama,
ayat itu diceritakan dan jelas di naskh. Kedua, diceritakan dan jelas
diperintahakan. Ketiga, diceritakan akan tetapi tidak jelas di naskh
atau di perintahkan. Dan ayat ke-44 dalam surah Al-Maidah tersebut masuk pada
kategori ketiga yaitu di ceritakan dan tidak jelas apakah di naskh atau di
perintahkan. Sehingga pada ayat tersebut
substansinya terdapat beberapa perbedaan dalam menafsirkanya.
Kongklusinya: bahwa ayat tersebut berlaku bagi mereka yang memiliki
kekuasaan sepenuhnya (independensi) untuk menentukan hukum sendiri dan hidup di
negara yang pakemnya menggunakan hukum islam
serta mereka juga mengerti hukum Allah dan mereka memilih untuk
menolaknya lebih mementingkan hukum hasil pemikiranya serta rekayasa
hawa-nafsunya sendiri. Dasar firman Allah yang artinya” dan jangan kamu
mengikuti hawa-nafsu mereka, dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya
mereka tidak memalingkan kamu dari dari sebagian apa yang telah di turunkan
Allah kepadamu.”(QS. Al-Maidah: 49)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar