BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
DalamMemahamitauhidtanpamemahamikonsepibadah itu maustahil, karna kedua-duanya merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.Olehkarenaitumengetahuinyaadalahsebuahkeniscayaan.Ibadah merupakan wujud penghambaan diri
seorang makhluk terhadap sang khalik(
Allah). Dimana pengahmbaan itu merupakan wujud dari rasa syukur diri seorang
makhluk terhadap penciptanya atas- nikmat-nikmat yang telah di perolehnya baik
ni’mat ijaad( ni’mat yang di wujudkan) maupun ni’mat imdaad(ni’mat yang di
pelihara) karna atas dasar keyakinan seseorang terhadap firman Allah dalam
qur’an surat( Ibrahim ayat 7) yang artinya “ barang siapa yang bersyukur maka
akan di tambahkan ni’matnya dan barang siapa yang kufur maka akan di siksa
dengan azdab yang pedih”. Dan dengan tujuan memperoleh keridhoanya semata.
Namun demikian, pada realitanya banyak
diantara kita yang menjalankan ibadah tersebut hanya sebatas untuk menggugurkan
kewajiban semata, dimana inti dari
ibadah itu sendiri kurang mengena. Padahal
Allah Swt. Sudah berfirman yang artinya”
beribadahlah engkau kepada tuhanmu sampai datangnya keyakinan ( meninggal)”. Kesenjangan
tersebut mungkin disebabkan karna minimnya pengetahuan seseorang akan makna dari ibadah itu sendiri sehingga banyak persepsi yang memandang bahwa
ibadah itu cuman sholat, puasa, zakat, haji semata, selebihnya sudah gak
termasuk ibadah lagi. padahal sudah jelas maksut dari ayat tersebut. Mungkin
juga di sebabkan keimananya yang kurang mendarah daging. Padahal seandainya
cahaya keimanan itu tampak maka akan tampak dan keluar potensi positif manusia,
bahkan orang lain akan dapat pula merasakanya. Perumpamaan seseorang yang
mempunyai cahaya itu berkata kepada orang lain ”wahai manusia, inilah aku,
ciptaan sang pencipta Yang Maha Agung, lihatlah betapa kasih sayang-nya di
limpahkan kepadaku”.
Dengan keimanan, drajad manusia dapat naik
hingga drajad yang tinggi, maka dengan drajad yang tinggi itu manusia menjadi
sebuah nilai yang dapat memasukkan ke dalam surga. Sebaliknya dengan kekafiran
drajad manusia dapat turun hingga drajad yang serendah-rendahnya. Atas dasar
itulah makalah ini kami buat dengan harapan paling tidak mampu mengurangi
anggapan-anggapan yang salah sebagaimana yang telah kami uraikan diatas.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian
ibadah mahdhah dan ghairu mahdah?
2. Apasajakah
prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah?
3.
.Bagaimana
hakikat ibadah itu?
4. Apa saja
syarat-syarat diterimanya ibadah?
5.
Apa hikmah ibadah?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui secara lebih jelas tentang ibadah mahdhah dan
ghoiru mahdhah.
2.
untuk mengetahui prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah.
3.
Untuk mengetahui hakikat dari ibadah.
4.
Untuk mengetahui syarat-syarat di terimanya ibadah.
5. Agar mengetahui Ibadah itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian ibadah
. Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan Ibadah secara
bahasa adalah” perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan”.[1]Adapun
secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka
ragam.Di antara definisi terbaik dan
terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Beliau rahimahullah
mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang
dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang
tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa,
haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua,
menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf,
melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq,
berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang
kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang
dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan
lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta
kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat)
kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap
keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap
qadha atau takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih
sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga
termasuk bagian dari ibadah kepada Allah”.[2]
Dari keterangan
di atas ibadah bisa di bagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan
ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya
wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau bahkan
sampai haram. Begitu juga dalam ibadah lisan, ada yang wajib, sunnah, mubah,
makruh dan haram. Dalam ibadah anggota badan juga demikian. Ada yang yang wajib,
sunnah, mubah, makruh bahkan sampai haram. Sehingga apabila dijumlah secara
keseluruhan ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul
Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul
Majid.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat
bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa
dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:
1. Ta’abbud.
Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla.Hal ini dibuktikan
dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan
pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad
bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah.Inilah pengertian
ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah
adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan
diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi
(batin) maupun yang tampak (lahir)”.
Seperti
contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk
ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang
terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka
apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita
harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang
dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara
ibadah yang disyari’atkan.
Maka ibadah secara
etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk.[3]
Sedangkan menurut terminologis adalah Perendahan diri kepada Allah karena
faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan
perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang
dituntunkan oleh syari’at-Nya.[4]
Oleh sebab itu
orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman
secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada
Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar
beribadah kepada-Nya.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada
tiga macam:
1. Penghambaan
umum.
2. Penghambaan
khusus.
3. Penghambaan
sangat khusus.
Penghambaan
umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta,
mengatur).Penghambaan ini meliputi
semua makhluk.Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah.Allah ta’ala
berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di
bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun
termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun
penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam.
Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang
artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai
bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan
apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami
(Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah
kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis
kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah.[5]
Di antara
ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan
ketiga.Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan
sebab perbuatannya.Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat,
musibah, dan lain sebagainya) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari
Allah kepadanya.Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia
pun bersyukur.Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan
yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan
hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar
kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya.[6]Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah”
jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya
ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba
kepada-Nya. Sebagaimana firman allah dalam surat Al-Dzariyat : 56. Yang
berbunyi:
وما خلقت الجن والانس الا
ليعبدونِ
“Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”. (QS. 51(al-Dzariyat : 56).[7]
“Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”. (QS. 51(al-Dzariyat : 56).[7]
Orang yang tidak memahami dan
menyadari tujuan hidupnya, seperti seorang nahkoda kapal yang kehilangan
petunjuk arah dalam berlayar di luar lautan lepas. Di kemudikanya di tengah
lautan lepas yang tak tentu arah, lama kelamaan bahan bakar habis dan kapal pun
karam di dasar lautyang amat dalam.[8]
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam
Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara
satu dengan lainnya.[9]
. A.
Ibadah Mahdoh
adalah ibadah
yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Alloh
SWT. kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk
mengerjakannya. Seperti sholat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji.
Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah kemudian
wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui
sedikitpun.
Ibadah mahdhah
atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata
cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah,
adalah :
Wudhu,
Tayammum
Mandi hadats
Shalat
Shiyam ( Puasa )
Haji
Umrah
Para ulama
menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini
adalah amalan yang sia-sia.Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam
jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka
amalan itu tertolak.” (HR Muslim).Jadi harus perlu dasar dalam ibadah jenis
ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai
ada dalil yang menuntunkannya”.
Ibadah
mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat
dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan.Sehingga, siapa saja yang
mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk
membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
Landasan kaidah ini adalah hadis
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن
عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Bunda Aisyah, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal
ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah
yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)
Hadits
ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada
tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sehingga, tidak semua
perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan
mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam
itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita
menjalankannya dengan penuh semangat.
Apabila
bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat
dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan
adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, kami lebih
cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam
kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat
hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun
hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang
melakukan segala bentuk ibadah.Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور
بمقادها bahwa
setiap sesuatu tergantung dari niatnya.Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan
tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan
karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik.Allah pasti mengetahui
hal tersebut. Karna apabila hanya
mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang
kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang
sia-sia.
B. Ibadah Ghairu Mahdah
Adalah seluruh perilaku seorang
hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari
Rasulullah. Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw.
bersabda:
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده
من غير أن ينقص من أجورهم شيء
ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها
من بعده من غير أن ينقص
من أوزارهم شيء
“Barangsiapa
merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah),
maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya
sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis
jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia
menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa
berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705,
Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu
Dawud dan Darimi).
Atau dengan kata lain definisi dari
Ibadah ghairu mahdhah atau umunya ialah segala amalan yang diizinkan oleh
Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong
menolong dan lain sebagainya.
Ibadah ghoiru mahdhoh, ini bisa jadi ibadah
dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi
keluarga, tersenyum dengan orang lain, tolong- menolong antar sesama, menafkahkan
harta di jalan Allah semua itu diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan
hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajibn kepala keluarga, maka ini
tidak bernilai pahala.Jadi amalan ini asalnya mubah.Jika diniatkan karena Allah
baru bernilai pahala.Namun perlu diperhatikan bahwa ibadah ghoiru mahdhoh ini
jika dijadikan sebagai ibadah murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti
dikhususkan dengancara dan dikerjakan pada waktu tertentu.Seperti contohnya:
Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan. Ziarah kubur asalnya boleh kapan
saja.Namun jika dikhususkan pada waktu semacam ini, barulah dinilai bid’ah.
Intinya dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
Intinya dalam ibadah ghairu mahdhah adalah :
- Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
- Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
- Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
- Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
2.2 prinsip- prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah
A. Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
A. Keberadaannya
harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan
otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya.
Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.
B. Tatacaranya harus
berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah
adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء
Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk
ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا…
Dan apa saja
yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka
tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan
haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
صلوا كما رايتمونى
اصلى .رواه البخاري . خذوا عنى مناسككم .
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Jika melakukan
ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul
saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer
disebutbid’ah: Sabda Nabi saw.
من احدث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد . متفق عليه . عليكم بسنتى وسنة الخلفآء الراشدين المهديين من بعدى ، تمسكوا بها وعضوا بها بالنواجذ ، واياكم ومحدثات الامور، فان كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة . رواه احمد وابوداود والترمذي وابن ماجه ، اما بعد، فان خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد ص. وشر الامور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة . رواه مسلم
Salah satu
penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena
kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:
ذرونى ما تركتكم، فانما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على انبيآئهم، فاذا امرتكم بشيئ فأتوا منه ماستطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فدعوه . اخرجه مسلم
C. Bersifat supra
rasional (di atas jangkauan akal) artinya
ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan
wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah
tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya,
keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan
apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh
syarat dan rukun yang ketat.
D. Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam
melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Dalam Al- Qur’an sudah di jelaskan
dalam surat ( Ali imran:102) yang artinya” Hai orang-orang yang beriman
bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadanya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”[10]Hamba wajib meyakini bahwa apa yang
diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan
hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk
dipatuhi.
B. prinsip-prinsip ibadah ghoiru mahdhah
Ibadah ghoiru mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
A.
Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak
melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan
oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
B.
Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul,
karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah
“bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan
rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah
hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah
dhalalah.
C.
Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya,
dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut
logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh
dilaksanakan.
D.
Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu
boleh dilakukan.
2.3 Hakikat Ibadah
Sebenarnya dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu:[11]
خُضُوعُ الرُّوْحِ يَنْشَا ُعَنِ اسْتِشْعَارِالقلبِ بمحبة
ِالمعبودِ وعظَمتهِ اعتقادا بان للعالم سلطا نا لايدْرِكُهُ العقلُ حقيقَتَهُ
“ ketundukan
jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud
dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada
kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya".
Adapun seorang
arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :
اصل العبادةِ ان ترضى لله مد براومختارا, وترضى عنه قاسما ومعطيا
ومانعا وترضاه اِلهًا ومعبودا
“ pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku
pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku
pembagi, pemberi penghalang (penahan), dan engkau meridhai Allah menjadi
sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah).
Di dalam refrensi lain menjelaskan
juga mengenai hakikat ibadah, di antaranya:
1.
Cinta, maksutnya cinta kepada Allah dan Rasulnya yang mengandung makna
mendahulukan kehendak Allah dan Rasulnya atas yang lainya. Adapun tanda-tandanya
dengan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
2. Jihad di jalan Allah ( berusaha
sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang di cintai Allah).
3. Takut, maksutnya tidak merasakan
takut sedikitpun terhadap segala bentuk dan jenis makhluk melebehi ketakutanya
terhadap Allah Swt. ( Qs. Ali imran:175).
4.
Harapan, maksutnya seorang hamba di tuntut untuk selalu berharap kepada
allah dengan harapan yang sempurna tanpa pernah merasa putus asa.[12]
Didalam ibadah
itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah.[13]Penghalangnya
yaitu :
1. Rezeki dan
keinginan memilikinya,
2. Bisikan-bisikan dan
keinginan meraih tujuan,
3. Qadha; dan pelbagai
problematika, dan
4. Kesusahan dan
berbagai musibah.
2.4 Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah
perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan
kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di
syari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak ), hal ini
berdasarkan sabda Nabi :
مَنْ عَمَِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ
رَدُّ.
“ Barangsiapa yang beramal tanpa
adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”
Ibadah-ibadah
itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi
syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua
macam yaitu:[14]
1. Ikhlas
قل انى امرت ان اعبد الله مخلصا له الدين. وامرت لان اكون
اول المسلمين (الزمر:11-12)
“Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah
Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang
diperintahkan aku supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri
kepada-Nya.”
Abu qasim Al- Qusyairi di dalam
Al-Risalah mengatakan “ ikhlas adalah menjadikan Allah swt. satu-satunya tujuan
dalam perbuatan taat. Yakni menghendaki dengan perbuatan taat tersebut taqarrub
kepada Allah, bukan kepada yang lain.”[15]
Dalam hadis qudsi yang di kemukakan oleh iman Al-qusyairi Allah Rabb Al-‘izzah
berfirman “ ikhlas itu merupakan salah satu rahasiaku yang aku titipkan di
dalam hati orang yang aku cintai di antara hamba-bambaku.”[16]
Dzun Nun berkata, tiga perkara masuk tanda-tanda ikhlas: (1) sama saja dalam
menghadapi pujian dan cacian dari orang lain; (2) lupa memandang amal dalam
beramal; (3) lupa menuntut pahala amal akhirat.” Sahal ibn Abdullah berkata,”
tidak mengetahui Riya’ kecuali orang yang ikhlas.”[17]
2. Dilakukan secara
sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah
........فمن كان يرجوالقاءربه
فليعمل عملاصالحاولايشرك بعبادةربه احدا (الكهف:110)
“Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh, dan janganlah ia mensekutukan seseorangpun dengan tuhannya dalam beribadah kepada tuhanyanya.”
Syarat yang
pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia
mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik
kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad
Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti
syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Ulama’ ahli
bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu:[18]
الوفاء بالعهدود والمحافطة على الحدودوالصبر على المفقو
والرضا بالموجود
1. Melakasanakan kewajiban-kewajiban Allah
2. Memelihara diri dari semua
yang diharamkan Allah
3. Sabar terhadap rizki yang luput darinya
4. Rela
dengan rizki yang diterimanya.
2.5 Hikmah Ibadah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul
ilaah” (KeEsaan Allah), dan ibadah
mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan
Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Shalat semuanya harus menghadap ke arah
ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan
tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana
untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa.
Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak).
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya
sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian
halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan
gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadahi hanya satu.
c. Tawhiedul
lughah (Kesatuan
ungkapan atau bahasa).
Karena Allah yang disembah (diibadahi) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah
kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah
dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran,
dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca
terjemahannya bukan membaca al-Quran.
BAB III
3.1 KESIMPULAN
dalam Madzhab Syafi'i Ibadah mahdhah adalah sebuah istilah yang digunakan
oleh Ulama Fuqohaa’ (ahli Fiqh) dalam rangka memudahkan mengkelompokkan
ibadah-ibadah yang di syariatkan dalam islam, sedang kitab yang
menerangkan istilah tersebut juga banyak, di antaranya ibaroh (redaksi kitab)
berikut ini :
والحاصل أن
العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي
الطواف تبعا
وإما أن تكون
مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز
التوكيل فيها بالشرط المار
Kesimpulanya dari redaksi kitab tersebut adalah Bahwa Ibadah terbagi atas tiga macam :
1.Adakalanya ibadah tersebut bersifat BADANIYAH MAHDHOH (murni dilakukan
oleh badan, seperti sholat, puasa dan lain-lain.) maka tidak diperkenankan diwakilkan pada
orang lain kecuali dua rokaat thowaf karena itba’.
2.Adakalanya
bersifat MALIYAH MAHDHOH (murni berbentuk harta seperti shodaqoh, zakat dan lain sebagainya.) maka boleh diwakilkan secara muthlaq.
3.Adakalanya bersifat MALIYAH GHOIRU
MAHDHOH (berbentuk harta yang tidak murni, masih menggunakan badan dalam
realisasinya seperti haji) maka boleh juga diwakilkan bila memenuhi
sarat-sarat yang telah lewat.
DAFTAR PUSTAKA
ü
Al- Bantani, Imam
Nawawi. Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.
ü
Al- Ghazali, Abu Hamid. 2007, Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta:
Diva Press.
ü
Al- Qardhawi, Yusuf. 2011, Energi Ikhlas, Bandung: Mizan Media
Utama.
ü
Al- Aziz, Saifullah. Risalah Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya:
Terbit Terang.
ü
Aziz Ali, M.Ag. 2013, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, Surabaya: IAIN
Sunan Ampel Prees.
ü
Arfan, Abbas. 2011, Fiqih Ibadah Praktis, Malang: UIN Maliki Prees.
ü
Ash Shiddieqy,
Hasbi. 1991, Kuliah
Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
ü
Badi’ uz-Zaman Said an-Nursi. 2007, Bersyukurlah....Bersabarlah,
Solo: Indiva Pustaka.
ü
Djumransjah. M,Ed. 2006, Filsafat pendidikan, Malang: Bayumedia
Publishing.
ü Syukur, Prof. Amin MA. 2003, Pengantar Studi Islam.
Semarang :CV. Bima Sakti.
ü Gazali, Imam.2012, Mencari
kebenaran Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil, Mahirsindo Utama.
ü
Alim, Drs. Muhammad. 2006, Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
[3]Prof. Amin Syukur MA, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima
Sakti,2003), Hlm. 80.
[7]Imam ghozali, Mencari Kebenaran Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil,
( Mahirsindo Utama, 2012). Hlm. 225.
[8]Drs. H. M. Djumransjah, M.Ed. Filsafat Pendidikan, (Malang:
banyumedia Publishing, 2006), Hlm. 110.
[9]Drs. Muhammad
Alim, Pendidikan agama islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2006),
Hlm. 144.
[10]Imam ghozali, ( Mahirsindo Utama,
2012). Hlm. 100.
[11]Hasbi ash
Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm.
8-9
[12]H. Abbas Arfan lc., M.H. Fiqih Ibadah Praktis,( Malang: UIN Maliki
Prees, 2011), Hlm. 3-4.
[13]Abu Hamid Al
Ghazali, Minhaj Al Abidin Ila Al Jannah, (Jogjakarta: Diva
Press,2007), Hlm. 183
[14]Hasbi Ash
Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm.
12-13
[15]Yusuf Al-Qardhawi, Energi ikhlas, ( bandung: Mizania, 2011), Hlm.
96-97.
[16]Al-Risalah Al- Qusyairi dengan tahqiq Dr. Abdul halim mahmud dan mahmud
ibnu Al- Syarif (1/443).
[17]Al-Risalah (1/443-446).
[18]Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad, (Toha
Putra : Semarang,), Hlm. 29.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar