Kamis, 04 Desember 2014

Ibadah Mahdhoh dan Ghoiru Mahdhoh



BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah

DalamMemahamitauhidtanpamemahamikonsepibadah itu maustahil, karna kedua-duanya merupakan satu-kesatuan yang tidak dapat di pisahkan.Olehkarenaitumengetahuinyaadalahsebuahkeniscayaan.Ibadah merupakan wujud penghambaan diri seorang  makhluk terhadap sang khalik( Allah). Dimana pengahmbaan itu merupakan wujud dari rasa syukur diri seorang makhluk terhadap penciptanya atas- nikmat-nikmat yang telah di perolehnya baik ni’mat ijaad( ni’mat yang di wujudkan) maupun ni’mat imdaad(ni’mat yang di pelihara) karna atas dasar keyakinan seseorang terhadap firman Allah dalam qur’an surat( Ibrahim ayat 7) yang artinya “ barang siapa yang bersyukur maka akan di tambahkan ni’matnya dan barang siapa yang kufur maka akan di siksa dengan azdab yang pedih”. Dan dengan tujuan memperoleh keridhoanya semata.
Namun demikian, pada realitanya banyak diantara kita yang menjalankan ibadah tersebut hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban  semata, dimana inti dari ibadah itu sendiri kurang mengena. Padahal Allah Swt. Sudah berfirman yang artinya” beribadahlah engkau kepada tuhanmu sampai  datangnya keyakinan ( meninggal)”. Kesenjangan tersebut mungkin disebabkan karna minimnya pengetahuan seseorang  akan makna dari  ibadah itu sendiri  sehingga banyak persepsi yang memandang bahwa ibadah itu cuman sholat, puasa, zakat, haji semata, selebihnya sudah gak termasuk ibadah lagi. padahal sudah jelas maksut dari ayat tersebut. Mungkin juga di sebabkan keimananya yang kurang mendarah daging. Padahal seandainya cahaya keimanan itu tampak maka akan tampak dan keluar potensi positif manusia, bahkan orang lain akan dapat pula merasakanya. Perumpamaan seseorang yang mempunyai cahaya itu berkata kepada orang lain ”wahai manusia, inilah aku, ciptaan sang pencipta Yang Maha Agung, lihatlah betapa kasih sayang-nya di limpahkan kepadaku”.
Dengan keimanan, drajad manusia dapat naik hingga drajad yang tinggi, maka dengan drajad yang tinggi itu manusia menjadi sebuah nilai yang dapat memasukkan ke dalam surga. Sebaliknya dengan kekafiran drajad manusia dapat turun hingga drajad yang serendah-rendahnya. Atas dasar itulah makalah ini kami buat dengan harapan paling tidak mampu mengurangi anggapan-anggapan yang salah sebagaimana yang telah kami uraikan diatas.

1.2 Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian ibadah mahdhah dan ghairu mahdah?
2.      Apasajakah prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah?
3.      .Bagaimana hakikat ibadah itu?
4.      Apa saja syarat-syarat diterimanya ibadah?
5.      Apa hikmah ibadah?

1.3 Tujuan
1.      Untuk mengetahui secara lebih jelas tentang ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah.
2.      untuk mengetahui prinsip-prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah.
3.      Untuk mengetahui hakikat dari ibadah.
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat di terimanya ibadah.
5.      Agar mengetahui Ibadah itu sendiri.












BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian ibadah
            . Penulis syarah Al-Wajibat menjelaskan Ibadah secara bahasa adalah” perendahan diri, ketundukan dan kepatuhan”.[1]Adapun secara istilah syari’at, para ulama memberikan beberapa definisi yang beraneka ragam.Di antara definisi terbaik dan terlengkap adalah yang disampaikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.Beliau rahimahullah mengatakan, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir). Maka shalat, zakat, puasa, haji, berbicara jujur, menunaikan amanah, berbakti kepada kedua orang tua, menyambung tali kekerabatan, menepati janji, memerintahkan yang ma’ruf, melarang dari yang munkar, berjihad melawan orang-orang kafir dan munafiq, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, ibnu sabil (orang yang kehabisan bekal di perjalanan), berbuat baik kepada orang atau hewan yang dijadikan sebagai pekerja, memanjatkan do’a, berdzikir, membaca Al Qur’an dan lain sebagainya adalah termasuk bagian dari ibadah. Begitu pula rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, takut kepada Allah, inabah (kembali taat) kepada-Nya, memurnikan agama (amal ketaatan) hanya untuk-Nya, bersabar terhadap keputusan (takdir)-Nya, bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya, merasa ridha terhadap qadha atau takdir-Nya, tawakal kepada-Nya, mengharapkan rahmat (kasih sayang)-Nya, merasa takut dari siksa-Nya dan lain sebagainya itu semua juga termasuk bagian dari ibadah kepada Allah”.[2]
Dari keterangan di atas ibadah bisa di bagi menjadi tiga, yaitu: ibadah hati, ibadah lisan dan ibadah anggota badan. Dalam ibadah hati ada perkara-perkara yang hukumnya wajib, ada yang sunnah, ada yang mubah dan adapula yang makruh atau bahkan sampai haram. Begitu juga dalam ibadah lisan, ada yang wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dalam ibadah anggota badan juga demikian. Ada yang yang wajib, sunnah, mubah, makruh bahkan sampai haram. Sehingga apabila dijumlah secara keseluruhan ada 15 bagian. Demikian kurang lebih kandungan keterangan Ibnul Qayyim yang dinukil oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan dalam Fathul Majid.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah di dalam kitabnya yang sangat bagus berjudul Al Qaul Al Mufid menjelaskan bahwa istilah ibadah bisa dimaksudkan untuk menamai salah satu diantara dua perkara berikut:
1. Ta’abbud. Penghinaan diri dan ketundukan kepada Allah ‘azza wa jalla.Hal ini dibuktikan dengan melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Dzat yang memerintah dan melarang (Allah ta’ala).
2. Muta’abbad bihi. Yaitu sarana yang digunakan dalam menyembah Allah.Inilah pengertian ibadah yang dimaksud dalam definisi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, baik yang tersembunyi (batin) maupun yang tampak (lahir)”.
Seperti contohnya sholat. Melaksanakan sholat disebut ibadah karena ia termasuk bentuk ta’abbud (menghinakan diri kepada Allah). Adapun segala gerakan dan bacaan yang terdapat di dalam rangkaian sholat itulah yang disebut muta’abbad bihi. Maka apabila disebutkan kita harus mengesakan Allah dalam beribadah itu artinya kita harus benar-benar menghamba kepada Allah saja dengan penuh perendahan diri yang dilandasi kecintaan dan pengagungan kepada Allah dengan melakukan tata cara ibadah yang disyari’atkan.
Maka ibadah secara etimologis berasal dari bahasa arab yaitu عبد- يعبد -عبادة yang artinya melayani patuh, tunduk.[3] Sedangkan menurut terminologis adalah Perendahan diri kepada Allah karena faktor kecintaan dan pengagungan yaitu dengan cara melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana yang dituntunkan oleh syari’at-Nya.[4]
Oleh sebab itu orang yang merendahkan diri kepada Allah dengan cara melaksanakan keislaman secara fisik namun tidak disertai dengan unsur ruhani berupa rasa cinta kepada Allah dan pengagungan kepada-Nya tidak disebut sebagai hamba yang benar-benar beribadah kepada-Nya.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan bahwa penghambaan ada tiga macam:
1.      Penghambaan umum.
2.      Penghambaan khusus.
3.      Penghambaan sangat khusus.
Penghambaan umum adalah penghambaan terhadap sifat rububiyah Allah (berkuasa, mencipta, mengatur).Penghambaan ini meliputi semua makhluk.Penghambaan ini disebut juga ‘ubudiyah kauniyah.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi melainkan pasti akan datang menemui Ar Rahman sebagai hamba.” (QS. Maryam [19] : 93). Sehingga orang-orang kafir pun termasuk hamba dalam kategori ini.
Sedangkan penghambaan khusus ialah penghambaan berupa ketaatan secara umum.Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan hamba-hamba Ar Rahman adalah orang-orang yang berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati.” (QS. Al Furqan [25] : 63). Penghambaan ini meliputi semua orang yang beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari’at-Nya.
Adapun penghambaan sangat khusus ialah penghambaan para Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Hal itu sebagaimana yang Allah firmankan tentang Nuh ‘alaihissalam (yang artinya), “Sesungguhnya dia adalah seorang hamba yang pandai bersyukur.” (QS. Al Israa’ [17]: 3). Allah juga berfirman tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya), “Dan apabila kalian merasa ragu terhadap wahyu yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)…” (QS. Al Baqarah [2] : 23). Begitu pula pujian Allah kepada para Rasul yang lain di dalam ayat-ayat yang lain. penghambaan jenis kedua dan ketiga ini bisa juga disebut ‘ubudiyah syar’iyah.[5]
Di antara ketiga macam penghambaan ini, maka yang terpuji hanyalah yang kedua dan ketiga.Karena pada penghambaan yang pertama manusia tidak melakukannya dengan sebab perbuatannya.Walaupun peristiwa-peristiwa yang ada di dunia ini (nikmat, musibah, dan lain sebagainya) yang menimpanya bisa juga menyebabkan pujian dari Allah kepadanya.Misalnya saja ketika seseorang memperoleh kelapangan maka dia pun bersyukur.Atau apabila dia tertimpa musibah maka dia bersabar. Adapun penghambaan yang kedua dan ketiga jelas terpuji karena ia terjadi berdasarkan hasil pilihan hamba dan perbuatannya, bukan karena suatu sebab yang berada di luar kekuasaannya semacam datangnya musibah dan lain sebagainya.[6]Manusia adalah hamba Allah “‘Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk  ibadah atau menghamba kepada-Nya. Sebagaimana firman allah dalam surat Al-Dzariyat : 56. Yang berbunyi:
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدونِ     
“Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepadaKu”. (QS. 51(al-Dzariyat : 56).[7]
Orang yang tidak memahami dan menyadari tujuan hidupnya, seperti seorang nahkoda kapal yang kehilangan petunjuk arah dalam berlayar di luar lautan lepas. Di kemudikanya di tengah lautan lepas yang tak tentu arah, lama kelamaan bahan bakar habis dan kapal pun karam di dasar lautyang amat dalam.[8]
Ditinjau dari jenisnya, ibadah dalam Islam terbagi menjadi dua jenis, dengan bentuk dan sifat yang berbeda antara satu dengan lainnya.[9]
.     A.   Ibadah Mahdoh
adalah ibadah yang dari segi perkataan, perbuatan telah didesain oleh Alloh SWT. kemudian diperintahkan kepada Rasulullah untuk mengerjakannya. Seperti sholat fardu 5 kali, ibadah puasa ramadhan dan haji. Semuanya adalah bentuk paket dari Allah turun kepada Rasulullah kemudian  wajib ditirukan oleh umatnya tanpa boleh menambah atau memperbaharui sedikitpun.
Ibadah mahdhah atau ibadah khusus ialah ibadah yang telah ditetpkan Allah akan tingkat, tata cara dan perincian-perinciannya. Jenis ibadah yang termasuk mahdhah, adalah :
*      Wudhu,
*      Tayammum
*      Mandi hadats
*      Shalat
*      Shiyam ( Puasa )
*      Haji
*      Umrah
Para ulama menjelaskan bahwa ibadah mahdhoh jika dikerjakan tanpa tuntunan, jelas hal ini adalah amalan yang sia-sia.Seperti shalat yg dilakukan diniatkan pada malam jumat kliwon, ini jelas tidak ada tuntunan.Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Barangsiapa melakukan suatu amalan tanpa tuntunan dari kami, maka amalan itu tertolak.” (HR Muslim).Jadi harus perlu dasar dalam ibadah jenis ini. Sehingga ada kaedah dalam ibadah: “Hukum asal ibadah itu terlarang, sampai ada dalil yang menuntunkannya”.
Ibadah mahdhah, pada dasarnya, kita dilarang untuk melakukannya, kecuali jika terdapat dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut dituntunkan.Sehingga, siapa saja yang mengajak kita untuk melakukan suatu ibadah maka kita menuntutnya untuk membawakan bukti nyata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkannya.
Landasan kaidah ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
عن عَائِشَةُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
Dari Bunda Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang melakukan amal ibadah yang tidak kami ajarkan, maka amal ibadah tersebut adalah amal ibadah yang tertolak.” (HR. Muslim, no. 4590)
Hadits ini jelas menunjukkan terlarangnya melakukan amal ibadah yang tidak ada tuntunannya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.Sehingga, tidak semua perkara yang dikatakan oleh orang-orang sebagai ibadah boleh kita telan mentah-mentah, namun kita perlu bersikap selektif. Jika memang ibadah semacam itu dituntunkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka mari kita menjalankannya dengan penuh semangat.
Apabila bersandarkan kepada kaidah di atas, sebenarnya seperti itulah yang dapat dijadikan pegangan, sebab ibadah mahdhah tersebut harus berdasarkan adanya dasar dari agama yang memerintahkannya. Namun demikian, kami lebih cenderung sependapat dengan pendapatnya Syekh Nawawi Albantani dalam kitanya Nihayatuz Zain bahwa shalat sunnah seperti shalat hadiah dan yang lainnya yang tidak ada tuntunannya baik dari Alquran atau pun hadis nabi boleh dilakukan. Saya meyakini Allah Maha Tahu maksud seseorang melakukan segala bentuk ibadah.Hal ini sesuai dengan kaidah الأمور بمقادها bahwa setiap sesuatu tergantung dari niatnya.Maksudnya walaupun ibadah yang dilakukan tidak ada tuntunannya, terlebih tidak ada tuntutannya, tetapi tetap dilakukan karena niatnya juga baik, maka hasilnya pun juga baik.Allah pasti mengetahui hal tersebut. Karna  apabila hanya mengandalkan niat seperti pada kaidah di atas, tetapi tidak adanya dasar yang kuat, maka hal tersebut juga berpeluang untuk dikatakan sebagai ibadah yang sia-sia. 
B. Ibadah Ghairu Mahdah

 Adalah seluruh perilaku seorang hamba yangdiorientasikan untuk meraih ridho Allah (ibadah). Dalam hal ini tidak ada aturan baku dari Rasulullah. Dalam hadis Jarir ibn `Abdullah disebutkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها بعده من غير أن ينقص من أجورهم شيء
ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص
من أوزارهم شيء
Barangsiapa merintis jalan yang baik dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan hasanah), maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun pahala mereka; dan barangsiapa merintis jalan yang buruk dalam Islam (man sanna fîl Islâm sunnatan sayyi-ah), maka dia menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya, tanpa berkurang sedikit pun dosa mereka.” (Lihat antara lain: Shahih Muslim, II: 705, Hadis senada diriwayatkan oleh 5 imam antara lain, Nasa’i, Ahmad, Turmudi, Abu Dawud dan Darimi).
Atau dengan kata lain definisi dari Ibadah ghairu mahdhah atau umunya ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah. misalnya ibadaha ghairu mahdhah ialah belajar, dzikir, dakwah, tolong menolong dan lain sebagainya.
Ibadah ghoiru mahdhoh, ini bisa jadi ibadah dan berpahala jika diniatkan untuk ibadah, seperti cari nafkah untuk hidupi keluarga, tersenyum dengan orang lain, tolong- menolong antar sesama, menafkahkan harta di jalan Allah semua itu diniatkan karena Allah. Namun jika diniatkan hanya untuk cari kerja saja sebagaimana kewajibn kepala keluarga, maka ini tidak bernilai pahala.Jadi amalan ini asalnya mubah.Jika diniatkan karena Allah baru bernilai pahala.Namun perlu diperhatikan bahwa ibadah ghoiru mahdhoh ini jika dijadikan sebagai ibadah murni, maka bisa dinilai bid’ah seperti dikhususkan dengancara dan dikerjakan pada waktu tertentu.Seperti contohnya: Ziarah kubur sebelum masuk ramadhan. Ziarah kubur asalnya boleh kapan saja.Namun jika dikhususkan pada waktu semacam ini, barulah dinilai bid’ah.
            Intinya dalam ibadah ghairu mahdhah adalah : 
  1. Tidak adanya dalil baik dari Alquran dan pun Nabi yang melarang melakukan ibadah ghairu mahdhah. Artinya, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang tau mengharamkan maka ibadah bentuk ini boleh dilaksanakan.
  2. Pola atau style pelaksanaan ibadah tersebut tidak selalu persis sama seperti pola yang dilakukan Nabi. Misalnya, cara berinfaq dan bersedekah, jumlah yang diinfaqkan dan disedekahkan atau yang lainnya. Semuanya itu tidak harus sama dengan yang dilakukan nabi.
  3. Ibadah yang dilakukan adalah ibadah yang logis, sehingga baik atau buruk, untung atau pun rugi, bermanfaat atau mengandung mudarat, semuanya dapat ditentukan oleh akal atau logika. Oleh karena itu jika menurut akal sehat, amal yang dianggap ibadah tersebut mengandung keburukan, merugikan, dan berakibat mudharat, maka amal tersebut tidak boleh dilakukan.
  4. Mengandung asas manfaat. Artinya selama amal atau perbuatan yang itu mengandung manfaat, maka ia dapat dikatakan ibadah ghairu mahdhah dan hal ini dibolehkan melakukannya.
2.2 prinsip- prinsip ibadah mahdhah dan ghoiru mahdhah
A. Prinsip-prinsip ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah mempunyai beberapa prinsip, diantaranya:
A.    Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah, baik dari al-Quran maupun al- Sunnah, jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Haram kita melakukan ibadah ini selama tidak ada perintah.

B.      Tatacaranya harus berpola kepada contoh Rasul saw. Salah satu tujuan diutus rasul oleh Allah adalah untuk memberi contoh:
وماارسلنا من رسول الا ليطاع باذن الله … النسآء
 Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah…(QS. 64)
 وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا… 
Dan apa saja yang dibawakan Rasul kepada kamu maka ambillah, dan apa yang dilarang, maka tinggalkanlah…( QS. 59: 7).
Shalat dan haji adalah ibadah mahdhah, maka tatacaranya, Nabi bersabda:
صلوا كما رايتمونى اصلى .رواه البخاري   . خذوا عنى مناسككم  .
Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat. Ambillah dari padaku tatacara haji kamu
Jika melakukan ibadah bentuk ini tanpa dalil perintah atau tidak sesuai dengan praktek Rasul saw., maka dikategorikan “Muhdatsatul umur” perkara mengada-ada, yang populer disebutbid’ah: Sabda Nabi saw.

من احدث فى امرنا هذا ما ليس منه فهو رد . متفق عليه .  عليكم بسنتى وسنة الخلفآء الراشدين المهديين من بعدى ، تمسكوا بها وعضوا بها بالنواجذ ، واياكم ومحدثات الامور، فان كل محدثة بدعة، وكل بدعة ضلالة  . رواه احمد وابوداود والترمذي وابن ماجه ،  اما بعد، فان خير الحديث كتاب الله ، وخير الهدي هدي محمد  ص. وشر الامور محدثاتها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة . رواه مسلم
Salah satu penyebab hancurnya agama-agama yang dibawa sebelum Muhammad saw. adalah karena kebanyakan kaumnya bertanya dan menyalahi perintah Rasul-rasul mereka:

ذرونى ما تركتكم، فانما هلك من كان قبلكم بكثرة سؤالهم واختلافهم على انبيآئهم، فاذا امرتكم بشيئ فأتوا منه ماستطعتم واذا نهيتكم عن شيئ فدعوه . اخرجه مسلم

C.     Bersifat supra rasional (di atas jangkauan akal) artinya ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu, akal hanya berfungsi memahami rahasia di baliknya yang disebuthikmah tasyri’. Shalat, adzan, tilawatul Quran, dan ibadah mahdhah lainnya, keabsahannnya bukan ditentukan oleh mengerti atau tidak, melainkan ditentukan apakah sesuai dengan ketentuan syari’at atau tidak. Atas dasar ini, maka ditetapkan oleh syarat dan rukun yang ketat.
D.     Azasnya “taat”, yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaatan. Dalam Al- Qur’an sudah di jelaskan dalam surat ( Ali imran:102) yang artinya” Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepadanya, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.”[10]Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah kepadanya, semata-mata untuk kepentingan dan kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salah satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.


B. prinsip-prinsip ibadah ghoiru mahdhah

 Ibadah ghoiru mahdhah memiliki beberapa prinsip, diantaranya:
A.    Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang. Selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh diselenggarakan. Selama tidak diharamkan oleh Allah, maka boleh melakukan ibadah ini.
B.      Tatalaksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasul, karenanya dalam ibadah bentuk ini tidak dikenal istilah “bid’ah” , atau jika ada yang menyebutnya, segala hal yang tidak dikerjakan rasul bid’ah, maka bid’ahnya disebut bid’ah hasanah, sedangkan dalam ibadah mahdhah disebut bid’ah dhalalah.
C.     Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau madharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, buruk, merugikan, dan madharat, maka tidak boleh dilaksanakan.
D.     Azasnya “Manfaat”, selama itu bermanfaat, maka selama itu boleh dilakukan.

2.3 Hakikat Ibadah

 Sebenarnya dalam ibadah itu terdapat hakikatnya, yaitu:[11]
خُضُوعُ الرُّوْحِ يَنْشَا ُعَنِ اسْتِشْعَارِالقلبِ بمحبة ِالمعبودِ وعظَمتهِ اعتقادا بان للعالم سلطا نا لايدْرِكُهُ العقلُ حقيقَتَهُ
“ ketundukan jiwa yang timbul dari karena hati (jiwa) merasakan cinta akan Tuhan yang ma’bud dan merasakan kebesaran-Nya, lantaran beri;tiqad bahwa bagi alam ini ada kekuasaan yang akal tak dapat mengetahui hakikatnya".

Adapun seorang arif juga mengatakan bahwa hakikat ibadah yaitu :
اصل العبادةِ ان ترضى لله مد براومختارا, وترضى عنه قاسما ومعطيا ومانعا وترضاه اِلهًا ومعبودا
“ pokok ibadah itu, ialah engkau meridhoi Allah selaku pengendali urusan; selaku orang yang memilih; engkau meridhai Allah selaku pembagi, pemberi penghalang (penahan), dan engkau meridhai Allah menjadi sembahan engkau dan pujaan (engkau sembah).
Di dalam refrensi lain menjelaskan juga mengenai hakikat ibadah, di antaranya:
1.      Cinta, maksutnya cinta kepada Allah dan Rasulnya yang mengandung makna mendahulukan kehendak Allah dan Rasulnya atas yang lainya. Adapun tanda-tandanya dengan mengikuti sunnah Rasulullah Saw.
2.      Jihad di jalan Allah ( berusaha sekuat tenaga untuk meraih segala sesuatu yang di cintai Allah).
3.      Takut, maksutnya tidak merasakan takut sedikitpun terhadap segala bentuk dan jenis makhluk melebehi ketakutanya terhadap Allah Swt. ( Qs. Ali imran:175).
4.      Harapan, maksutnya seorang hamba di tuntut untuk selalu berharap kepada allah dengan harapan yang sempurna tanpa pernah merasa putus asa.[12]

Didalam ibadah itu terdapat berbagai macam penghalang ibadah.[13]Penghalangnya yaitu :
1.      Rezeki dan keinginan memilikinya,
2.      Bisikan-bisikan dan keinginan meraih tujuan,
3.      Qadha; dan pelbagai problematika, dan
4.      Kesusahan dan berbagai musibah.


2.4 Syarat-Syarat Diterimanya Ibadah
Ibadah adalah perkara taufiqiyyah, yaitu tidak ada suatu ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah. Apa yang tidak di syari’atkan berarti bid’ah mardudah (bid’ah yang ditolak ), hal ini berdasarkan sabda Nabi :
مَنْ عَمَِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ.
“ Barangsiapa yang beramal tanpa adanya tuntutan dari Kami, maka amalan tersebut tertolak.”

Ibadah-ibadah itu bersangkut penerimaannya kepada dua faktor yang penting, yang menjadi syarat bagi diterimanya. Syarat-syarat diterimanya suatu amal (ibadah) ada dua macam yaitu:[14]

1.      Ikhlas
قل انى امرت ان اعبد الله مخلصا له الدين. وامرت لان اكون اول المسلمين (الزمر:11-12)
Katakan olehmu, bahwasannya aku diperintahkan menyembah Allah (beribadah kepada-Nya) seraya mengikhlaskan ta’at kepada-Nya; yang diperintahkan aku supaya aku merupakan orang pertama yang menyerahkan diri kepada-Nya.”
            Abu qasim Al- Qusyairi di dalam Al-Risalah mengatakan “ ikhlas adalah menjadikan Allah swt. satu-satunya tujuan dalam perbuatan taat. Yakni menghendaki dengan perbuatan taat tersebut taqarrub kepada Allah, bukan kepada yang lain.”[15] Dalam hadis qudsi yang di kemukakan oleh iman Al-qusyairi Allah Rabb Al-‘izzah berfirman “ ikhlas itu merupakan salah satu rahasiaku yang aku titipkan di dalam hati orang yang aku cintai di antara hamba-bambaku.”[16] Dzun Nun berkata, tiga perkara masuk tanda-tanda ikhlas: (1) sama saja dalam menghadapi pujian dan cacian dari orang lain; (2) lupa memandang amal dalam beramal; (3) lupa menuntut pahala amal akhirat.” Sahal ibn Abdullah berkata,” tidak mengetahui Riya’ kecuali orang yang ikhlas.”[17]

2.      Dilakukan secara sah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah
........فمن كان يرجوالقاءربه فليعمل عملاصالحاولايشرك بعبادةربه احدا (الكهف:110)
Barang siapa mengharap supaya menjumpai Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang sholeh, dan janganlah ia mensekutukan  seseorangpun dengan tuhannya dalam beribadah kepada tuhanyanya.”

Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Sedangkan syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan.
Ulama’ ahli bijak berkata: inti dari sekian banyak ibadah itu ada 4, yaitu:[18]
الوفاء بالعهدود والمحافطة على الحدودوالصبر على المفقو والرضا بالموجود
1. Melakasanakan kewajiban-kewajiban Allah                                                                                  
2. Memelihara diri dari semua yang diharamkan Allah
3. Sabar terhadap rizki yang luput darinya
4. Rela dengan rizki yang diterimanya.




2.5 Hikmah Ibadah
Pokok dari semua ajaran Islam adalah “Tawhiedul ilaah” (KeEsaan Allah),  dan ibadah mahdhah itu salah satu sasarannya adalah untuk mengekpresikan ke Esaan Allah itu, sehingga dalam pelaksanaannya diwujudkan dengan:
a. Tawhiedul wijhah (menyatukan arah pandang).
Shalat semuanya harus menghadap ke arah ka’bah, itu bukan menyembah Ka’bah, dia adalah batu tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi madharat, tetapi syarat sah shalat menghadap ke sana  untuk menyatukan arah pandang, sebagai perwujudan Allah yang diibadati itu Esa. Di mana pun orang shalat ke arah sanalah kiblatnya  (QS. 2: 144).
b. Tawhiedul harakah (Kesatuan gerak).
Semua orang yang shalat gerakan pokoknya sama, terdiri dari berdiri, membungkuk (ruku’), sujud dan duduk. Demikian halnya ketika thawaf dan sa’i, arah putaran dan gerakannya sama, sebagai perwujudan Allah yang diibadahi hanya satu.
c. Tawhiedul lughah (Kesatuan ungkapan atau bahasa).
Karena Allah yang disembah (diibadahi) itu satu maka bahasa yang dipakai mengungkapkan ibadah kepadanya hanya satu yakni bacaan shalat, tak peduli bahasa ibunya apa, apakah dia mengerti atau tidak, harus satu bahasa, demikian juga membaca al-Quran, dari sejak turunnya hingga kini al-Quran adalah bahasa al-Quran yang membaca terjemahannya bukan membaca al-Quran.













BAB III

3.1 KESIMPULAN
           
dalam Madzhab Syafi'i Ibadah mahdhah adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Ulama Fuqohaa’ (ahli Fiqh) dalam rangka memudahkan mengkelompokkan ibadah-ibadah yang di syariatkan dalam islam, sedang kitab yang menerangkan istilah tersebut juga banyak, di antaranya ibaroh (redaksi kitab) berikut ini :

والحاصل أن العبادة على ثلاثة أقسام إما أن تكون بدنية محضة فيمتنع التوكيل فيها إلا ركعتي الطواف تبعا
وإما أن تكون مالية محضة فيجوز التوكيل فيها مطلقا وإما أن تكون مالية غير محضة كنسك فيجوز التوكيل فيها بالشرط المار
Kesimpulanya dari redaksi kitab tersebut adalah Bahwa Ibadah terbagi atas tiga macam :
1.Adakalanya ibadah tersebut bersifat BADANIYAH MAHDHOH (murni dilakukan oleh badan, seperti sholat, puasa dan lain-lain.) maka tidak diperkenankan diwakilkan pada orang lain kecuali dua rokaat thowaf karena itba’.
2.Adakalanya bersifat MALIYAH MAHDHOH (murni berbentuk harta seperti shodaqoh, zakat dan lain sebagainya.) maka boleh diwakilkan secara muthlaq.
3.Adakalanya bersifat MALIYAH GHOIRU MAHDHOH (berbentuk harta yang tidak murni, masih menggunakan badan dalam realisasinya seperti haji) maka boleh juga diwakilkan bila memenuhi sarat-sarat yang telah lewat.






DAFTAR PUSTAKA


ü  Al- Bantani, Imam Nawawi. Nashaihul Ibad. Toha Putra : Semarang.
ü  Al- Ghazali, Abu Hamid. 2007, Minhaj al Abidin Ila al Jannah. Jogjakarta: Diva Press.
ü  Al- Qardhawi, Yusuf. 2011, Energi Ikhlas, Bandung: Mizan Media Utama.
ü  Al- Aziz, Saifullah. Risalah Memahami Ilmu Tasawwuf, Surabaya: Terbit Terang.
ü  Aziz Ali, M.Ag. 2013, 60 Menit Terapi Shalat Bahagia, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Prees.
ü  Arfan, Abbas. 2011, Fiqih Ibadah Praktis, Malang: UIN Maliki Prees.
ü  Ash Shiddieqy, Hasbi. 1991, Kuliah Ibadah. Yogyakarta: Bulan Bintang.
ü  Badi’ uz-Zaman Said an-Nursi. 2007, Bersyukurlah....Bersabarlah, Solo: Indiva Pustaka.
ü  Djumransjah. M,Ed. 2006, Filsafat pendidikan, Malang: Bayumedia Publishing.
ü  Syukur, Prof. Amin MA. 2003, Pengantar Studi Islam. Semarang :CV. Bima Sakti.
ü  Gazali, Imam.2012, Mencari kebenaran Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil, Mahirsindo Utama.
ü  Alim, Drs. Muhammad. 2006, Pendidikan Agama Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.



[1]Tanbihaat Mukhtasharah, hal. 28.
[2]Al ‘Ubudiyah, cet. Maktabah Darul Balagh hal. 6.
[3]Prof. Amin Syukur MA, Pengantar Studi Islam, (Semarang :CV. Bima Sakti,2003), Hlm. 80.
[4]Syarh Tsalatsati Ushul, hal. 37.
[5]Al-Qaul Al-Mufid I/16, Syarh Tsalatsatul Ushul, hal. 38-39.
[6]Syarh Tsalatsatil Ushul, hal. 38-39.
[7]Imam ghozali, Mencari Kebenaran Hati Nurani Agar Menjadi Insan Kamil, ( Mahirsindo Utama, 2012). Hlm. 225.
[8]Drs. H. M. Djumransjah, M.Ed. Filsafat Pendidikan, (Malang: banyumedia Publishing, 2006), Hlm. 110.
[9]Drs. Muhammad Alim, Pendidikan agama islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2006), Hlm. 144.
[10]Imam ghozali,  ( Mahirsindo Utama, 2012). Hlm. 100.
[11]Hasbi ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 8-9
[12]H. Abbas Arfan lc., M.H. Fiqih Ibadah Praktis,( Malang: UIN Maliki Prees, 2011), Hlm. 3-4.
[13]Abu Hamid Al Ghazali, Minhaj Al Abidin Ila Al Jannah, (Jogjakarta: Diva Press,2007), Hlm. 183
[14]Hasbi Ash Shiddieqy, Kuliah Ibadah, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1991), Hlm. 12-13
[15]Yusuf Al-Qardhawi, Energi ikhlas, ( bandung: Mizania, 2011), Hlm. 96-97.
[16]Al-Risalah Al- Qusyairi dengan tahqiq Dr. Abdul halim mahmud dan mahmud ibnu Al- Syarif (1/443).
[17]Al-Risalah (1/443-446).
[18]Imam Nawawi Al Bantani, Nashaihul Ibad, (Toha Putra : Semarang,), Hlm. 29.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar