BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil
dari sebuah mesyarakat dimana didalamnya hanya terdiri dari suami, istri, dan sebagian
anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan sebuah keluarga yang di
dalamnya terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun ketika
berada diluar rumah. Dimana seluruh hak dan kewajiban bisa mereka dapatkan dan
laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup bersama.
Dalam realitas sosial yang terjadi
di masyarakat zaman sekarang seperti yang kita ketahui dari media-media yang
ada seperti media elektronik, cetak dan yang lainnya banyak sekali keluarga
yang mengalami perceraian. Diantara sebab-sebab yang mengakibatkan perceraian
tersebut salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara
suami istri dan terjadinya pembangkangan (nusyus) seorang istri kepada suami dan/atau suami terhadap
istrinya. Hal semacam ini, biasanya tidak lepas dari dilatarbelakanginya adanya
suatu kecurigaan antara kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh pikiran bahwa
dirinya lebih baik dan/atau merasa lebih memiliki kekuasaan, dll.
Melihat fenomena tersebut, dalam
pembahasan kali ini akan lebih diuraikan kembali tentang konsep an-Nusyuz
dan asy-Syiqaq dalam kehidupan berumah tangga keluarga islam.
2.
Rumusan
Masalah
1.
Apa yang
dimaksud dengan An-nusyuz ?
2.
Bagaimanakah
cara mengatasi istri yang berbuat Nusyuz ?
3.
Apa pengertian
dan dasar hukum Asy-Syiqaq?
4.
Apakah yang
dimaksud Hakamain ?
3.
Tujuan
1.
Menjelaskan
pengertian An-Nusyuz.
2.
Menggambarkan
solusi mengatasi istri yang berbuat Nusyus.
3.
Menjelaskan
pengertian dan dasar hukum Asy-Syiqaq.
4.
Menjelaskan
pengertian Hakamain.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian An-Nusyus
Secara bahasa
kata nusyuz berasal dari kata dasar nasyz yang berarti tempat
yang tinggi. Sedangkan menurut istilah, nusyuz adalah pelanggaran yang
dilakukan oleh seorang istri terhadap kewajibannya yang ditetapkan oleh Allah
SWT. Agar taat kepada suami. Sehingga seolah-olah istri menempatkan dirinya
lebih tinggi daripada suami[1].
Menurut Ibnu Katsir, nusyus artinya menantang. Istri yang nusyus
adalah istri yang menantang suaminya, tidak melaksanakan
perintahnya, berpaling dari suami dan membuatnya marah[2].
Menurut Hussein bahreisj, nusyuz
adalah suatu sikap membangkang atau durhaka dari isteri kepada suaminya atau
terjadi penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suami terhadap isterinya
Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan
al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau
istri) terhadap pasanganya.
Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada
Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu
pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap
pasangannya.
Menurut Slamet Abidin dan Amunudin, nusyuz adalah durhaka,
artinya kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Kedurhakaan disini
adalah ketika seorang istri menentang
permintaan suami tanpa alas an yang dapat diterima hukum syara'.
Misalnya :
a.
Suami telah
menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau
pindah ke rumah tersebut, atau istri meninggalkan rumah tanpa ijin dari suami.
b.
Apabila istri
bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, walaupun perjalan itu wajib,
seperti pergi haji, maka perbuatan tersebut terhitung haram [3].
c.
Penolakan
istri ketika suami mengajak berjima' tanpa adanya alas an yang syar'i.
d.
Memasukkan
orang yang tidak disukai suaminya kedalam rumah[4].
Dalam kitab Fath Al-Mu'in, disebutkan termasuk perbuatan nusyus,
jika seorang istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun
ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu[5].
Hukum berbuat nusyuz
adalah haram baginya (seorang istri). Allah SWT. Sudah menyiapkan hukuman yang
sangat pedih bagi perempuan yang tidak mengindahkan suaminya dan tidak mau
menerima nasihat suaminya. Dan hukuman hanya diberikan kepada orang yang
melakukan perbuatan haram dan/atau meninggalkan perbuatan wajib (suatu
kewajiban)[6].
Menjadi batasan nusyuz seoarang istri, misalanya sudah menjadi
kebiasaan masyarakat bahwa memasak, mencuci dan menyapu adalah tugas isteri.
Sebenarnya rutinitas tersebut adalah kewajiban suami. Andai rutinitas ini
diperintahkan suami kepada isteri, maka isteri tidak wajib memenuhinya. Pengingkaran
atas perintah ini tidak termasuk nusyuz (melawan). Adapun batasan
ketaatan yang harus dijalani seorang isteri terhadap suami adalah sepanjang
kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami selama tidak berupa maksiat dan di
luar kemampuan.
Adapun konsekuensi hukum akibat nusyuz istri terhadap suaminya
adalah gugur kewajiban suaminya memberi nafkah kepada istri nusyuz selama dalam
nusyuznya, dan apabila suaminya meninggal dunia, istri tidak mendapat warisan,
terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah. Apabila seorang istri
murtad, maka terputuslah hak untuk mendapat warisan, dan jika ada harta
pembawaannya, tidak diwarisi namun di serahkankepada baitul mal. Alasan dari
semua itu adalah karena nafkah dan warisan merupakan nikmat Alloh, maka tidak di
benarkan mendapatkan dari jalan kedurhakaan dan kemaksiatan.
Didalam ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan, bahwasanya nusyuz tidak
selalu terjadi pada perempuan tetapi juga seorang suami memungkinkan untuk
berbuat nusyuz. Allah SWT berfirman dalam
Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 128.
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) xsù yy$oYã_ !$yJÍkön=tæ br& $ysÎ=óÁã $yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ×öyz 3 ÏNuÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)Gs?ur cÎ*sù ©!$# c%x. $yJÎ/ cqè=yJ÷ès? #ZÎ6yz ÇÊËÑÈ
Dan jika
wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak
mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dalam
perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya
adalah kikir. Dan jika kamu bergaul
dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu , maka sesungguhnya
Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa’
128).
Untuk mengetahui
maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbabun nuzulnya. Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang
menimpa Saudah (istri Rasulullah).
Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannnya, maka beliau
berkata: “Wahai Rasulullah, jangan engkau
menceraikan aku, bukanah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku
ingin dibangkitkan menjad istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku
berikan hari giliranku kepada Aisyah”.
Maka
Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah.
Ia pun ditetapkan menjadi istri beliau sampai meninggal dunia maka
dengan kejadian tersebut turunlah ayat An-Nisa’ 128.
2.
Solusi
Terhadap Istri yang Berbuat Nusyus
Apabila suami
melihat gejala-gejala nusyuz pada diri istrinya, seperti ketika dia
dipanggil dia dating (menghadap) dengan menunjukkan rasa tidak suka atau selalu
berusaha menghindar dan wajahnya tampak cemberut padahal biasanya lembut dan
ceria atau berkata dengan nada keras padahal biasanya halus atau merasa
keberatan dan mencari-cari alas an jika diajak tidur bersama. Atau suami
melihat sikap nusyus istrinya dengan jelas, seperti menolak diajak tidur
bersama, keluar rumah tanpa minta izin kepadanya, menolak menemaninya dalam
perjalanan dan lain sebagainya, maka dalam kondisi tersebut syari'at
membenarkan suami untuk berusaha mengatasinya dengan kiat-kiat yang telah
ditetapkan di dalam firman Allah SWT.
ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$srB Æèdyqà±èS ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ÒyJø9$# £`èdqç/ÎôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& xsù (#qäóö7s? £`Íkön=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# c%x. $wÎ=tã #ZÎ62 ÇÌÍÈ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri[7]
ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka
dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.
kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya[8].
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.
a. Memberi Nasihat
Pada fase pertama yaitu berikanlah nasihat kepada para istri yang nusyus,
tanpa dijauhi dan/atau dipukul. Kemudian mengingatkan istri kepada kewajibannya
yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. agar selalu taat kepada suami dan tidak
boleh menyalahinya, untuk selalu mendampingi suami dengan baik, menggauli suami
dengan baik, mengakui hak suami yang menjadi kewajibannya dan menjaga diri
ketika suaminya tidak ada disisinya.
Memberikan nasihat kepada istri dengan hadits Nabi SAW. Yang
menerangkan tentang keagungan hak suami atas istrinya, kewajiban istri untuk
mentaati suami dalam kebaikan dan suami hendaknya menasihati istri dengan penuh
kasih sayang dan penuh lemah lembut.
"Jadilah engkau istri yang sholehah, yang tunduk kepada Allah
SWT. dan menjaga kehormatan suami ketika suaminya tidak ada …" dan nasihat lainnya.
Ingatkanlah pula istri tentang kematian, kehidupan di alam kubur,
negeri akhirat dan hari hisab dengan harapan setelah mendengarkan penjelasan
suami, istri (nusyuz) menampakkan penyesalannya dan bertaubat[9].
Sebagian perempuan yang berbuat nusyuz mengindahkan nasihat
yang diberikan oleh suaminya, maka dalam kondisi seperti ini suami tidak boleh
menggunakan cara yang lain untuk menyusahkannya (istri). Namun jika perempuan
belum bisa menerima dan mengindahkan nasihat yang diberikan suami maka suami terpakasa
menempuh cara yang kedua yaitu menjauhi istri (hajr) di tempat tidur
(pisah ranjang)[10].
b. Menjauhi Istri (Hajr) Ditempat
Tidur
Arti hajr berasal dari kata al-hijran yang berarti jauh. Allah SWT. berfirman, "Pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka".
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Jumhur mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan al-hajru adalah tidak mendatangi istri, namun tetap tinggal
serumah".
Maksudnya, suami menakut-nakuti istrinya dengan cara menjauhinya ketika
di tempat tidur dan tidak melakukan hubungan intim dengan istri, dengan harapan
istri tidak akan tahan menghadapi cara ini dan upaya agar istri kembali taat
kepadanya. Tapi, jika tindakan ini tidak berpengaruh, maka pukullah dia.
Ada beberapa pendapat ulama' tentang cara melakukan hajr ditempat
tidur, antara lain:
a. Sebagian mengatakan, hajr
dilakukan dengan cara tidak melakukan hubungan intim dengan istri.
b. Ada pula yang mengatakan, hajr dilakukan dengan car tetap melakukan hubungan
intim dengan istri, tetapi tanpa diajak berbicara selama melakukan hubungan.
Karena hubungan intim merupakan hak bersama, sedangkan hukuman tidak boleh
dalam bentuk yang membahayakan.
c. Tidak melakukan hubungan intim
dengan istrinya pada saat isterinya dikuasai hawa nafsu dan ingin melakukan
hubungan suami-istri (birahi) bukan pada saat suami yang ingin melakukannya.
Karena hajr ditempuh untuk menghukum istri dan bukan untuk menghukum
suami.
Pendapat yang paling benar adalah suami boleh melakukan hajr
atau menjauhi istri di tempat tidur terhadap istrinya dengan cara apa saja yang
dianggap lebih efektif dan sesuai dengan kondisi istri dan selam mengesankan
kecaman dan tekanan terhadap nusyuz yang dilakukan serta bisa membuat
jera (istri)[11].
Hanya saja, suami hanya dibenarkan melakukan hajr terhadap istri di
dalam rumah.
Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh
Mu'awiyah bin Haidah ra.,
... وَلَا تَحْجَرْ إِلَّا فِي
الْبَيْتِ
... Dan janganlah kamu
menjauhi istri (hajr) kecuali di dalam rumah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Hal itu dilakukan agar tindakan pisah ranjang (hajr)
tersebut tidak diketahui oleh orang lain. Jika orang lain tahu, maka mereka
akan memandang rendah (penghinaan) terhadap istrinya sehingga membuat masalah
lebih besar atau bahkan membuat istri semakin membangkang. Selain itu, suami
tidak boleh menunjukkan penerapan hajr dihadapan anak-anaknya, karena
hal itu akan menimbulkan karakter yang tidak baik dalam jiwa mereka.
Tetapi, jika menurut suami apabila melakukan hajr
diluar rumah dirasakan akan melahirkan kemaslahatan syar'i yang lebih baik,
maka tidak masalah melakukannya. Rasulullah SAW. sendiri pernah menerapkan hajr
terhadap istri-istrinya selama satu bulan penuh di luar rumah mereka[12].
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَلَفَ لَا يَدْخُلُ
عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا , فَلَمَّا مَضَى تِسْعَةٌ وَعِسْرُوْنَ يَوْمًا
غَذَا عَلَيْهِنَّ أَوْ رَاحَ فَقِيْلَ لَهُ يَا نَبِيَّ اللهِ حَلَفْتَ أَنْ لَا
تَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا قَالَ : غِنَّ الشَّهْرَ يَكُوْنُ تِسْعَةً وَ
عِشْرِيْنَ يَوْمًا
Sesungguhnya Nabi SAW. bersumpah untuk tidak
mendatangi sebagian istrinya selama sebulan. Maka, ketika lewat 29 hari, beliau
pergi mendatangi istri-istrinya di pagi hari atau sore hari. Lalu dikatakan kepada
beliau,"wahai Nabi Allah, engkau telah bersumpah untuk yidak mendatangi
istrimu selama sebulan, Rasulullah SAW. menjawab,"Sesungguhnya satu bulan
sekarang ini berjumlah 29 hari"[13]
Menurut Madzhab Hanafi, Asy-Syafi'i dan
Hambali, seorang suami boleh menghukum istrinya dengan cara hajr selama
waktu yang diinginkannya sampai istrinya sadar. Mereka berdalil bahwa ayat yang
menyebutkan masalah hajr tersebut bersifat mutlak dan tidak terbatas
dengan waktu. Sesuatu yang mutlak tetap bersifat mutlak hingga ada dalil yanh
membatasinya (taqyid).
Sebagian ulama' (yang membatasi lamanya masa hajr)
berdalil dengan menqiyaskan masalah ini dengan masalah Ila', namun
qiyas tersebut dirasa tidak benar, karena pisah ranjang yang dilakukan ketika
istri melakukan nusyuz adalah hukuman atau pelajaran terhadap istri.
Sementara dalam Ila' istri tidal melakukan pembangkangan, oleh karena
itu, suami tidak boleh meng-Ila' lebih dari empat bulan karena merupakan
suatu kezaliman. Ila' adalah sumpah berbeda dengan psah ranjang.
Ulama' sepakat, suami boleh memberikan sanksi
kepada istrinya yang berbuat nusyuz dengan cara berpuasa berbicara.
Tapi, berbeda pendapat mengenai masa puasa bicara tersebut.
Menurut mayoritas ulama', seorang suami tidak
boleh puasa bicara dengan istrinya lebih dari tiga hari, meskipun istrinya
masih membangkang.
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Seorang
muslim tidak boleh puasa bicara dengan saudara (seagama)nya lebih dari tiga
hari. (HR. Bukhari dan
Muslim)
Ada seorang ulama yang mengatakan jika puasa
bicara selama tiga hari tidak ada dampaknya, maka puasa bicara lebih dari tiga
hari tidak akan berdampak pula. Bagi perempuan puasa bicara lebih ringan
daripada dampak pisah ranjang.
Ulama madzhab Syafi'i mengatakan, bahwa
seorang suami boleh puasa bicara lebih dari tiga hari dengan istrinya yang
berbuat nusyuz jika bertujuan untuk memberikan sanksi dan menyudarkan
istrinya dari perbuatan nusyuz. Dalil yang digunakan adalah hadits Nabi
yang menjelaskan bahwa Nabi pernah puasa bicara lebih dari tiga hari dengan
tiga orang yang tidak mengikuti Perang Tabuk. (HR. Bukhari dan Muslim)[14]
c. Memukul Istri
Suami boleh memukul istri yang melakukannya nusyuz jika
tetap bertahan dalam nusyuz-nya karena ia mempunyai karakter dan
perbuatan yang tidak baik, meskipun telah dinasihati dan dihukum dengan cara hajr.
Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, seperti yang terkandung dalam QS.
An-Nisa':34. Hanya saja, cara menghukum dengan memukul istri boleh ditempuh
dengan memperhatikan batasan-batasannya.
a. Pukulan tidak boleh melukai (fisik,
seperti mematahkan tulang atau membuat daging memar)
'Amrr bin Al-Ahwash ra. Menyatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda "Perlakukanlah
istri dengan baik. Sesungguhnya mereka adalah (ibarat) tawanan di tangan
kalian. Kalian tidak memiliki hak lain untuk meperlakukan mereka selain itu.
Kecuali jika mereka melakukan kenistaan yang terbukti dengan jelas. Jika mereka
melakukannya maka jauhilah mereka (hajr) di tempat tidur dan pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak membekas." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)[15]
Rasulullah SAW. Ketika berkhutbah di hadapan orang-orang dalam Haji
Wada'. Beliau bersabda: " Maka bertawakallah kalian kepada Allah pada
urusan perempuan, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan
penjagaan Allah dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Dan
hak kalian yang menjadi kewajiban istri adalah tidak membiarkan seorang pun
untuk tidur ditempat tidur kalian. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka
dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka pun memiliki hak yang menjadi
kewajiban bagi kalian yaitu menafkahi mereka dan meberinya pakaian dengan baik.
Abdullah bin Zam'ah ra. Berkata bahwa Nabi SAW bersabda:
لَا
يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ اَمْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِيْ آخِرِ
اليَوْمِ
"Salah seorang diantara
kalian tidak boleh memukul istrinya seperti memukul seorang budak, kemudian ia
menyetubuhinya dimalam hari"[16]
Tujuan memukul dalam hal ini adalah memberi hukuman yang mendidik,
bukan untuk merusak fisik melainkan pukulan yang diharapkan dapat meluluhkan
hati mengembalikan kebenaran.
b. Pukulan tidak boleh lebih dari
sepuluh kali
Rasulullah SAW. Bersabda :
لَا
يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ اِلَّا فِى حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ
"Seorang tidak boleh
dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali dalam masalah hadd." (HR. Bukhari dan Muslim)
c. Menghindari wajah dan tempat-tempat
yang rawan (berbahaya)
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muamiyah Ibnu Haidah,
Rasulullah SAW. Bersabda: "… Kamu tidak boleh memukul wajah (istrimu),
tidak boleh menjelek-jelekannya dan tidak boleh melakukan pisah ranjang
dengannya kecuali dirumah". (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)
Memukul wajah istri atau memukul yang dapat membahayakan merupakan
penghinaan dan sikap merendahkan seorang perempuan.
d. Ada dugaan kuat pukulan akan
membuat istri menyadari kesalahannya
Pukulan dalam hal ini adalah dilihat daru tujuannya, untuk
memperbaiki. Pukulan tidak boleh ditempuh apabila diduga tidak akan mencapai
yang diinginkan.
e. Menghentikan pukulan jika istri
telah menyatakan ketaatan kembali[17].
Seorang suami
hanya boleh memukul istrinya ketika dia berbuat nusyuz. Hal itupun
dilakukan setelah gagal menggunakan cara sebelumnya yaitu; memberi nasihat dan
pisah ranjang. Dia tidak boleh memukul istrinya yang tidak berbuat nusyuz. Suami
yang ringan tangan, mudah memukul istri, baik berbuat nusyuz ataupun
tidak, bertentangan dengan tuntunan Nabi SAW.
3. Pengertian Syiqaq dan Dasar Hukum
Syiqaq
Asy-Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fiqih
berarti perselisihan antara suami dan istri yang diselesaikan oleh dua orang
hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri[18].
Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yÌã $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqã ª!$# !$yJåks]øt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JÎ=tã #ZÎ7yz ÇÌÎÈ
Dan jika kamu
khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari
keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang
hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal[19].
Menurut rachman
dalam salah satu bukunya menjelaskan syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan.
Hal tersebut dapat terjadi karena perilaku salah satu pihak dari pasangan suami istri tersebut bersifat tidak baik,
atau salah satunya bersifat kejam terhadap yang lainnya. Atau yang sering
terjadi antara suami dan istri tidak dapat hudup hidup rukun dalam satu
krluarga maka dalam hal ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun hal tersebut
tergantung pada kedua belah pihak apakah mereka akan memutuskannya atau tidak.
Dalam
penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Pengertian
dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal
39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975,
pasal 116 kompilasi hukum islam ;”antara suami, dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.”
Ayat tersebut
di atas melanjutkan keterangan dari ayat sebelumnya (yang menerangkan cara-cara
suami mengatasi atau memberi pelajaran istri yang nusyuz dan/atau tidak
melaksankan kewajibannya sebagai seorang istri. Apabila cara-cara tersebut
sudah dilaksanakan tetapi perselisihan semakin memuncak janganlah suami
tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan angkatlah dua orang hakam sebagai
juru pendamai antara dua orang suami-istri yang sedang berselisih[20].
Syaikh
As-Sa'di berkata,"Maksudnya, jika kalian takut persengketaan antara
suami-istri samapi keduanya berpisah, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Yaitu, dua orang laki-laki
yang diberi taklif, muslim, adil, berakal, mengetahui masalah yang terjadi
antara suami-istri dan mengetahui cara untuk menyatukan dan memisahkan
mereka"
Ketika
perselisihan dan kebencian terjadi di dalam rumah tangga pasangan suami-istri,
Allah menyariatkan untuk mengirim dua orang juru damai untuk menyelesaikan
permasalahan tersebut serta memberikan nasihat kepada pasangan suami istri.
Jika perselisihan dibiarkan berlangsung lama, maka dikhawatirkan akan merusak
tatanan rumah tangga dan bisa jadi memutus tali silahturahmi, ikatan pernikahan
dan mungkin juga hubungan kerabat[21].
Penyebab
perselisihan dapat dimulai dari suami atau istri. Jika berawal dari suami maka
istri harus lebih dominan untuk meredam perselisihannya, mislanya dengan
memaafkannya dan suami berjanji tidak akan mengulanginya.
Jika
perselisihan berawal dari istri, suami akan menentukan berlanjut atau tidaknya
perselisihan tersebut. Apabila suami memaafkan, maka rumah tangganya akan damai
kembali.
Jika
perselisihan berawal dari kedua belah pihak, suami-istri seperti harus
banyak-banyak melakukan intropeksi diri dan lebih baik saling memaafkan dan
memulai kehidupan dari nol dan melupakan kejadian yang lalu[22].
Perselisihan,
persengketaan, pertengkaran dan konflik suami-istri memiliki tingkatan yang
berbeda-beda, antara lain:
1.
Perselisihan
tingkat rendah, yaitu pertengkaran yang disebabkan oleh hal-hal sepele.
Misalnya, istri malas bangun pagi sehingga suaminya kesal dan mebangunkannya
dengan cara yang kasar.
Pada tingkatan
ini, biasanya masih bisa dilakukan perdamaian. Jika salah satu mengakui
kesalahannya dan berdamai kembali.
2.
Perselisihan
tingkat menengah, yaitu perselisihan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang
melukai hati atau menghilangkan kepercayaan di antara mereka. Misalnya, suami
melihat istri berjalan dengan seorang laki-laki (meskipun tidak melakukan
maksiat yang tergolong berat).
Pada tingkatan
ini, agak berat untuk melakukan perdamaian karena dapat menimbulkan rasa benci
dan dendam dari kedua belah pihak. Namun tidak menutup kemungkinan berdamai
kembali jika keduanya menyadari bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Namun
jika ternyata susah untuk damai, maka datangkanlah juru damai dari kedua belah
pihak.
3.
Perselisihan
tingkat tinggi, yaitu pertengkaran yang disebabkan oleh hal-hal yang sangat
mendasar. Misalnya, istri atau suami murtad, suami berzina dengan pelacur dan/
atau istri orang lain, serta istri kabur dari rumah untuk melacurkan diri atau
pergi bersama kekasih gelapnya.
Perselisihan
ini merupakan perselisihan yang sangat berat. Jika istri yang melakukan zina
(berzina) maka suami sebaiknya mentalaknya, karena menikahi pezina adalah
haram. Talak yang dimaksud bukanlah talak raji'I atau ba'in, melainkan fasakh
atau rusak, sehingga jika suaminya masih mau menerimanya, suami akan memberikan
syarat mutlak yaitu pertaubatan istri[23].
4. Pengertian Hakamain dan Tugasnya
Hakam artinya jurau damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang
dikirim oleh dua belah pihak suami-istri apabila terjadi perselisihan antara
keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di
antara kedua suami-istri tersebut.
Hakamain yang ditetapkan Al-Qur'an adalah juru damai. Mereka
mengupayakan mendamaikan buka upaya memperkeruh keadaan, apalagi dengan adanya
juru damai malah membuat kedua belah pihak semakin menjelek-jelekkan dan
membuka rahasia masing-masing selama berumah tangga. Hal tersebut sangat
dilarang oleh islam.
Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam dalam QS.
An-Nisa:35 tersebut.
·
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I serta pengikut keduanya
berpendapat, hakam berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Hakam tidak
boleh menjatuhkan talak kepada istri sebelum mendapat persetujuan dari suami.
Begitu pula hakam dari pihak perempuan tidak boleh mengadakan khulu' sebelum
mendapat persetujuan suami. Hakam hanya mewakili pihak yang berselih dan
bertugas menyampaikan keinginan-keinginannya, jika suami berkeinginan cerai
maka hakam menyampaikan keinginan tersebut, kecuali jika suami menyerahkan
pemisahan tersebut kepada juru damai. Alasannya adalah bahwa pada dasarnya
talak tidak berada di tangan siapapun, kecuali suami atau seorang yang diberi
kuasa olehnya. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari puhak suami dan
istri.
·
Menurut Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat, hakamain itu
sebagai hakim sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya
mengenai hubungan suami-istri yang sedang berselisih itu, apakah mereka memberi
keputusan berdamai atau bercerai tanpa pemberian keluasaan atau persetujuan
dari kedua belah pihak. Jadi, kerelaan sorang suami sangat diperlukan disini. Alasan
Imam Malik adalah apa yang diriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa ia
mengatakan tentang kedua juru damai itu:
اِلَيْهِمَا
التَّفِرِ قَةُ بَيْنَ لزَّوْجَيْنِ وَالجَمْعُ
"Kepada kedua juru damai
itu hak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami-istri"
Ibnu sirin
menyebutkan bahwa ‘Ubaidah berkata,’’ Seorang suami dan istri datang kepada
Ali ra, masing-masing dari mereka berdua membawa sekelompok orang banyak. Ali
pun memerintahkan mereka untuk menunjuk seorang hakam dari keluarga suami dan
seorang hakam dari keluarga istri. Setelah itu, Ali berkata kepada kedua hakam,’’jika
kalian memandang bahwa mereka berdua bisa bersatu, maka satukanlah, dan jika
kalian memandang bahwa mereka berdua harusberpisah maka pisahkanlah. Sang
istri berkata’’ aku ridho dengan kitab Allah swt, apa yang menjadi kewajibanku
dan pa yang menjadi hakku. Dan sang suami berkata’’ adapun untuk berpisah, maka
aku tidak mau. Lalu Ali berkata’’ Demi Allah, engkau berbohong, sampai engkau
memutuskan seperti apa yang telah dia putuskan.
Dan menanggapi alasan yang di ungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi'I, Imam Malik berbeda pendapat tentang kedua juru dalam menjatuhkan
talak tiga. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari hakim atau pemerintah[24].
Jika kedua
juru damai berbeda pendapat, salah satunya menetapkan talak satu sedang juru
damai yang lainya mengatakan talak dua. Maka putusan keduanya tidak dapat di
ambil, dan perlu mendatangkan seorang hakim lagi, hingga kedua juru damai
tersebut bisa menghasilkan putusan yang sama. Jika tidak bisa mendapatkan juru
damai dari keluarga masing-masing untuk menyelesaikan perselisihan pasangan
suami-istri, maka mayoritas ulama, selain mazhab Maliki, membolehkan mengutus
dua juru damai orang lain yang bukan keluarga suami atau istri. Putusan kedua juru damai itu bisa di terima, selama
keduanya tidak berbeda pendapat[25].
Hakamain atau
juru damai harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a. Baligh dan berakal
b. Telah mengalami hidup berumah
tangga
c. Bersikap adil dan tidak berat
sebelah
d. Memberikan nasihat-nasihat kepada
kedua belah pihak untuk mendamaikan bukan memperkeruh suasana sehingga konflik
semakin menjadi-jadi
e. Berwibawa dan disegani oleh kedua
belah pihak
f. Membela pihak yang teryindas
berdasarkan bukti-bukti yang kuat
g. Tidak melakukan pemerasan, penipuan
dan sejenisnya kepada pihak yang membutuhkan jasanya[26].
[1] Abu
Malik Kamal bin sayyid Salim, "Fiqhus Sunnah Lin Nisaa'", diterjemahkan
Asep sobari, Lc., "Fiqih Sunah untuk Wanita. (Cet I; Jakarta: Darul
Bayan Al-Haditsah), hal. 739.
[2] Abu
'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, "Kitab Al-Mu'minat Al-Baqiyat
Ash-Shalihat fi Ahkam Takhtashshu bihal Mu'minat", diterjemahkan Arif
Rahman Hakim, Lc., Shahih Fiqih Wanita Muslimah. (Cet. 1; Surakarta:
Insan Kamil), hal. 346.
[5] Prof.
Dr. H.M.A Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih
Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Cet. 1; Serang: Rajawali Pers),
hal. 185.
[7] Memelihara diri
disinia adalah tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta
suaminya.
[8] untuk memberi pelajaran kepada isteri yang
dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat
tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak
bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak
meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan
cara yang lain dan seterusnya.
[10] Abu
Malik Kamal bin sayyid Salim, "Fiqhus Sunnah Lin Nisaa'", diterjemahkan
Ghozali M, dkk., "Fiqih Sunnah Wanita. (Cet I; Jakarta: Pena Pundi
Aksara), hal. 224..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar