Kamis, 04 Desember 2014

Nusyuz, Syiqaq, dan peran hakamain



BAB I
PENDAHULUAN

1.      Latar Belakang
Keluarga merupakan bagian terkecil dari sebuah mesyarakat dimana didalamnya hanya terdiri dari suami, istri, dan sebagian anak. Dan setiap rumah tangga pasti menginginkan sebuah keluarga yang di dalamnya terdapat suatu kenyamanan, baik ketika berada di rumah maupun ketika berada diluar rumah. Dimana seluruh hak dan kewajiban bisa mereka dapatkan dan laksanakan sebagai konsekuensi dari hidup bersama.

Dalam realitas sosial yang terjadi di masyarakat zaman sekarang seperti yang kita ketahui dari media-media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang lainnya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian. Diantara sebab-sebab yang mengakibatkan perceraian tersebut salah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami istri dan terjadinya pembangkangan (nusyus) seorang  istri kepada suami dan/atau suami terhadap istrinya. Hal semacam ini, biasanya tidak lepas dari dilatarbelakanginya adanya suatu kecurigaan antara kedua pihak, kesalahpahaman, tumbuh pikiran bahwa dirinya lebih baik dan/atau merasa lebih memiliki kekuasaan, dll.

Melihat fenomena tersebut, dalam pembahasan kali ini akan lebih diuraikan kembali tentang konsep an-Nusyuz dan asy-Syiqaq dalam kehidupan berumah tangga keluarga islam.

2.      Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan An-nusyuz ?
2.      Bagaimanakah cara mengatasi istri yang berbuat Nusyuz ?
3.      Apa pengertian dan dasar hukum Asy-Syiqaq?
4.      Apakah yang dimaksud Hakamain ?

3.      Tujuan
1.      Menjelaskan pengertian An-Nusyuz.
2.      Menggambarkan solusi mengatasi istri yang berbuat Nusyus.
3.      Menjelaskan pengertian dan dasar hukum Asy-Syiqaq.
4.      Menjelaskan pengertian Hakamain.








BAB II
PEMBAHASAN

1.     Pengertian An-Nusyus
Secara bahasa kata nusyuz berasal dari kata dasar nasyz yang berarti tempat yang tinggi. Sedangkan menurut istilah, nusyuz adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang istri terhadap kewajibannya yang ditetapkan oleh Allah SWT. Agar taat kepada suami. Sehingga seolah-olah istri menempatkan dirinya lebih tinggi daripada suami[1].

Menurut Ibnu Katsir, nusyus artinya menantang. Istri yang nusyus adalah istri yang menantang suaminya, tidak melaksanakan perintahnya, berpaling dari suami dan membuatnya marah[2].

Menurut Hussein bahreisj, nusyuz adalah suatu sikap membangkang atau durhaka dari isteri kepada suaminya atau terjadi penyelewengan yang tidak dibenarkan oleh suami terhadap isterinya

Ibnu Manzur (630H/1232M-711H/1311M) ahli bahasa arab, dalam lisan al-Arab mendefinisikan nusyuz sebagai rasa kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasanganya.

Wahbah az-Zuhaili, guru besar ilmu fiqh dan ushul fiqh pada Universitas Damaskus, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan satu rasa benci terhadap pasangannya.

Menurut Slamet Abidin dan Amunudin, nusyuz adalah durhaka, artinya kedurhakaan yang dilakukan istri terhadap suaminya. Kedurhakaan disini adalah ketika seorang istri menentang  permintaan suami tanpa alas an yang dapat diterima hukum syara'. Misalnya :
a.       Suami telah menyediakan rumah yang sesuai dengan keadaan suami, tetapi istri tidak mau pindah ke rumah tersebut, atau istri meninggalkan rumah tanpa ijin dari suami.
b.      Apabila istri bepergian tanpa disertai suami atau mahramnya, walaupun perjalan itu wajib, seperti pergi haji, maka perbuatan tersebut terhitung haram [3].
c.       Penolakan istri ketika suami mengajak berjima' tanpa adanya alas an yang syar'i.

d.      Memasukkan orang yang tidak disukai suaminya kedalam rumah[4].

Dalam kitab Fath Al-Mu'in, disebutkan termasuk perbuatan nusyus, jika seorang istri enggan bahkan tidak mau memenuhi ajakan suami, sekalipun ia sedang sibuk mengerjakan sesuatu[5].

Hukum berbuat nusyuz adalah haram baginya (seorang istri). Allah SWT. Sudah menyiapkan hukuman yang sangat pedih bagi perempuan yang tidak mengindahkan suaminya dan tidak mau menerima nasihat suaminya. Dan hukuman hanya diberikan kepada orang yang melakukan perbuatan haram dan/atau meninggalkan perbuatan wajib (suatu kewajiban)[6].

Menjadi batasan nusyuz seoarang istri, misalanya sudah menjadi kebiasaan masyarakat bahwa memasak, mencuci dan menyapu adalah tugas isteri. Sebenarnya rutinitas tersebut adalah kewajiban suami. Andai rutinitas ini diperintahkan suami kepada isteri, maka isteri tidak wajib memenuhinya. Pengingkaran atas perintah ini tidak termasuk nusyuz (melawan). Adapun batasan ketaatan yang harus dijalani seorang isteri terhadap suami adalah sepanjang kewajiban-kewajiban isteri terhadap suami selama tidak berupa maksiat dan di luar kemampuan.
Adapun konsekuensi hukum akibat nusyuz istri terhadap suaminya adalah gugur kewajiban suaminya memberi nafkah kepada istri nusyuz selama dalam nusyuznya, dan apabila suaminya meninggal dunia, istri tidak mendapat warisan, terkecuali harta pembawaan sebelum terjadi akad nikah. Apabila seorang istri murtad, maka terputuslah hak untuk mendapat warisan, dan jika ada harta pembawaannya, tidak diwarisi namun di serahkankepada baitul mal. Alasan dari semua itu adalah karena nafkah dan warisan merupakan nikmat Alloh, maka tidak di benarkan mendapatkan dari jalan kedurhakaan dan kemaksiatan.

Didalam ayat-ayat Al-Qur'an menerangkan, bahwasanya nusyuz tidak selalu terjadi pada perempuan tetapi juga seorang suami memungkinkan untuk berbuat nusyuz. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ : 128.
ÈbÎ)ur îor&zöD$# ôMsù%s{ .`ÏB $ygÎ=÷èt/ #·qà±çR ÷rr& $ZÊ#{ôãÎ) Ÿxsù yy$oYã_ !$yJÍköŽn=tæ br& $ysÎ=óÁム$yJæhuZ÷t/ $[sù=ß¹ 4 ßxù=Á9$#ur ׎öyz 3 ÏNuŽÅØômé&ur Ú[àÿRF{$# £x±9$# 4 bÎ)ur (#qãZÅ¡ósè? (#qà)­Gs?ur  cÎ*sù ©!$# šc%x. $yJÎ/ šcqè=yJ÷ès? #ZŽÎ6yz ÇÊËÑÈ
Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dalam perdamaian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut tabiatnya adalah kikir.  Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik dan mereka memelihara dirimu , maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (An-Nisa’ 128).

Untuk mengetahui maksud ayat diatas, maka kita perlu mengetahui asbabun nuzulnya.  Ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang menimpa Saudah (istri Rasulullah).  Ketika beliau sudah tua, Rasulullah hendak menceraikannnya, maka beliau berkata: “Wahai Rasulullah, jangan engkau menceraikan aku, bukanah aku masih menghendaki laki-laki, tetapi karena aku ingin dibangkitkan menjad istrimu, maka tetapkanlah aku menjadi istrimu dan aku berikan hari giliranku kepada Aisyah”.

Maka Rasulullah pun mengabulkan permohonan Saudah.  Ia pun ditetapkan menjadi istri beliau sampai meninggal dunia maka dengan kejadian tersebut turunlah ayat An-Nisa’ 128.

2.     Solusi Terhadap Istri yang Berbuat Nusyus
Apabila suami melihat gejala-gejala nusyuz pada diri istrinya, seperti ketika dia dipanggil dia dating (menghadap) dengan menunjukkan rasa tidak suka atau selalu berusaha menghindar dan wajahnya tampak cemberut padahal biasanya lembut dan ceria atau berkata dengan nada keras padahal biasanya halus atau merasa keberatan dan mencari-cari alas an jika diajak tidur bersama. Atau suami melihat sikap nusyus istrinya dengan jelas, seperti menolak diajak tidur bersama, keluar rumah tanpa minta izin kepadanya, menolak menemaninya dalam perjalanan dan lain sebagainya, maka dalam kondisi tersebut syari'at membenarkan suami untuk berusaha mengatasinya dengan kiat-kiat yang telah ditetapkan di dalam firman Allah SWT.

ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr& 4 àM»ysÎ=»¢Á9$$sù ìM»tGÏZ»s% ×M»sàÏÿ»ym É=øtóù=Ïj9 $yJÎ/ xáÏÿym ª!$# 4 ÓÉL»©9$#ur tbqèù$sƒrB  Æèdyqà±èS  ÆèdqÝàÏèsù £`èdrãàf÷d$#ur Îû ÆìÅ_$ŸÒyJø9$# £`èdqç/ÎŽôÑ$#ur ( ÷bÎ*sù öNà6uZ÷èsÛr& Ÿxsù (#qäóö7s? £`ÍköŽn=tã ¸xÎ6y 3 ¨bÎ) ©!$# šc%x. $wŠÎ=tã #ZŽÎ6Ÿ2 ÇÌÍÈ  


Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[7] ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[8]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

a.       Memberi Nasihat
Pada fase pertama yaitu berikanlah nasihat kepada para istri yang nusyus, tanpa dijauhi dan/atau dipukul. Kemudian mengingatkan istri kepada kewajibannya yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. agar selalu taat kepada suami dan tidak boleh menyalahinya, untuk selalu mendampingi suami dengan baik, menggauli suami dengan baik, mengakui hak suami yang menjadi kewajibannya dan menjaga diri ketika suaminya tidak ada disisinya.

Memberikan nasihat kepada istri dengan hadits Nabi SAW. Yang menerangkan tentang keagungan hak suami atas istrinya, kewajiban istri untuk mentaati suami dalam kebaikan dan suami hendaknya menasihati istri dengan penuh kasih sayang dan penuh lemah lembut.
"Jadilah engkau istri yang sholehah, yang tunduk kepada Allah SWT. dan menjaga kehormatan suami ketika suaminya tidak ada …" dan nasihat lainnya.

Ingatkanlah pula istri tentang kematian, kehidupan di alam kubur, negeri akhirat dan hari hisab dengan harapan setelah mendengarkan penjelasan suami, istri (nusyuz) menampakkan penyesalannya dan bertaubat[9].

Sebagian perempuan yang berbuat nusyuz mengindahkan nasihat yang diberikan oleh suaminya, maka dalam kondisi seperti ini suami tidak boleh menggunakan cara yang lain untuk menyusahkannya (istri). Namun jika perempuan belum bisa menerima dan mengindahkan nasihat yang diberikan suami maka suami terpakasa menempuh cara yang kedua yaitu menjauhi istri (hajr) di tempat tidur (pisah ranjang)[10].

b.      Menjauhi Istri (Hajr) Ditempat Tidur
Arti hajr berasal dari kata al-hijran yang berarti jauh. Allah SWT. berfirman, "Pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka".

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, "Jumhur mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-hajru adalah tidak mendatangi istri, namun tetap tinggal serumah".

Maksudnya, suami menakut-nakuti istrinya dengan cara menjauhinya ketika di tempat tidur dan tidak melakukan hubungan intim dengan istri, dengan harapan istri tidak akan tahan menghadapi cara ini dan upaya agar istri kembali taat kepadanya. Tapi, jika tindakan ini tidak berpengaruh, maka pukullah dia.

Ada beberapa pendapat ulama' tentang cara melakukan hajr ditempat tidur, antara lain:
a.       Sebagian mengatakan, hajr dilakukan dengan cara tidak melakukan hubungan intim dengan istri.
b.      Ada pula yang mengatakan, hajr  dilakukan dengan car tetap melakukan hubungan intim dengan istri, tetapi tanpa diajak berbicara selama melakukan hubungan. Karena hubungan intim merupakan hak bersama, sedangkan hukuman tidak boleh dalam bentuk yang membahayakan.
c.       Tidak melakukan hubungan intim dengan istrinya pada saat isterinya dikuasai hawa nafsu dan ingin melakukan hubungan suami-istri (birahi) bukan pada saat suami yang ingin melakukannya. Karena hajr ditempuh untuk menghukum istri dan bukan untuk menghukum suami.
Pendapat yang paling benar adalah suami boleh melakukan hajr atau menjauhi istri di tempat tidur terhadap istrinya dengan cara apa saja yang dianggap lebih efektif dan sesuai dengan kondisi istri dan selam mengesankan kecaman dan tekanan terhadap nusyuz yang dilakukan serta bisa membuat jera (istri)[11]. Hanya saja, suami hanya dibenarkan melakukan hajr terhadap istri di dalam rumah.
Hal tersebut berdasarkan sabda Nabi SAW. Yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah bin Haidah ra.,
... وَلَا تَحْجَرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
... Dan janganlah kamu menjauhi istri (hajr) kecuali di dalam rumah. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Hal itu dilakukan agar tindakan pisah ranjang (hajr) tersebut tidak diketahui oleh orang lain. Jika orang lain tahu, maka mereka akan memandang rendah (penghinaan) terhadap istrinya sehingga membuat masalah lebih besar atau bahkan membuat istri semakin membangkang. Selain itu, suami tidak boleh menunjukkan penerapan hajr dihadapan anak-anaknya, karena hal itu akan menimbulkan karakter yang tidak baik dalam jiwa mereka.

Tetapi, jika menurut suami apabila melakukan hajr diluar rumah dirasakan akan melahirkan kemaslahatan syar'i yang lebih baik, maka tidak masalah melakukannya. Rasulullah SAW. sendiri pernah menerapkan hajr terhadap istri-istrinya selama satu bulan penuh di luar rumah mereka[12].

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ حَلَفَ لَا يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا , فَلَمَّا مَضَى تِسْعَةٌ وَعِسْرُوْنَ يَوْمًا غَذَا عَلَيْهِنَّ أَوْ رَاحَ فَقِيْلَ لَهُ يَا نَبِيَّ اللهِ حَلَفْتَ أَنْ لَا تَدْخُلَ عَلَيْهِنَّ شَهْرًا قَالَ : غِنَّ الشَّهْرَ يَكُوْنُ تِسْعَةً وَ عِشْرِيْنَ يَوْمًا
Sesungguhnya Nabi SAW. bersumpah untuk tidak mendatangi sebagian istrinya selama sebulan. Maka, ketika lewat 29 hari, beliau pergi mendatangi istri-istrinya di pagi hari atau sore hari. Lalu dikatakan kepada beliau,"wahai Nabi Allah, engkau telah bersumpah untuk yidak mendatangi istrimu selama sebulan, Rasulullah SAW. menjawab,"Sesungguhnya satu bulan sekarang ini berjumlah 29 hari"[13]

Menurut Madzhab Hanafi, Asy-Syafi'i dan Hambali, seorang suami boleh menghukum istrinya dengan cara hajr selama waktu yang diinginkannya sampai istrinya sadar. Mereka berdalil bahwa ayat yang menyebutkan masalah hajr tersebut bersifat mutlak dan tidak terbatas dengan waktu. Sesuatu yang mutlak tetap bersifat mutlak hingga ada dalil yanh membatasinya (taqyid).

Sebagian ulama' (yang membatasi lamanya masa hajr) berdalil dengan menqiyaskan masalah ini dengan masalah Ila', namun qiyas tersebut dirasa tidak benar, karena pisah ranjang yang dilakukan ketika istri melakukan nusyuz adalah hukuman atau pelajaran terhadap istri. Sementara dalam Ila' istri tidal melakukan pembangkangan, oleh karena itu, suami tidak boleh meng-Ila' lebih dari empat bulan karena merupakan suatu kezaliman. Ila' adalah sumpah berbeda dengan psah ranjang.

Ulama' sepakat, suami boleh memberikan sanksi kepada istrinya yang berbuat nusyuz dengan cara berpuasa berbicara. Tapi, berbeda pendapat mengenai masa puasa bicara tersebut.

Menurut mayoritas ulama', seorang suami tidak boleh puasa bicara dengan istrinya lebih dari tiga hari, meskipun istrinya masih membangkang.
لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Seorang muslim tidak boleh puasa bicara dengan saudara (seagama)nya lebih dari tiga hari. (HR. Bukhari dan Muslim)

Ada seorang ulama yang mengatakan jika puasa bicara selama tiga hari tidak ada dampaknya, maka puasa bicara lebih dari tiga hari tidak akan berdampak pula. Bagi perempuan puasa bicara lebih ringan daripada dampak pisah ranjang.

Ulama madzhab Syafi'i mengatakan, bahwa seorang suami boleh puasa bicara lebih dari tiga hari dengan istrinya yang berbuat nusyuz jika bertujuan untuk memberikan sanksi dan menyudarkan istrinya dari perbuatan nusyuz. Dalil yang digunakan adalah hadits Nabi yang menjelaskan bahwa Nabi pernah puasa bicara lebih dari tiga hari dengan tiga orang yang tidak mengikuti Perang Tabuk. (HR. Bukhari dan Muslim)[14]

c.       Memukul Istri
Suami boleh memukul istri yang melakukannya nusyuz jika tetap bertahan dalam nusyuz-nya karena ia mempunyai karakter dan perbuatan yang tidak baik, meskipun telah dinasihati dan dihukum dengan cara hajr. Seluruh ulama sepakat dalam hal ini, seperti yang terkandung dalam QS. An-Nisa':34. Hanya saja, cara menghukum dengan memukul istri boleh ditempuh dengan memperhatikan batasan-batasannya.
a.       Pukulan tidak boleh melukai (fisik, seperti mematahkan tulang atau membuat daging memar)
'Amrr bin Al-Ahwash ra. Menyatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda "Perlakukanlah istri dengan baik. Sesungguhnya mereka adalah (ibarat) tawanan di tangan kalian. Kalian tidak memiliki hak lain untuk meperlakukan mereka selain itu. Kecuali jika mereka melakukan kenistaan yang terbukti dengan jelas. Jika mereka melakukannya maka jauhilah mereka (hajr) di tempat tidur dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas." (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)[15]

Rasulullah SAW. Ketika berkhutbah di hadapan orang-orang dalam Haji Wada'. Beliau bersabda: " Maka bertawakallah kalian kepada Allah pada urusan perempuan, karena sesungguhnya kalian telah mengambil mereka dengan penjagaan Allah dan kalian menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah. Dan hak kalian yang menjadi kewajiban istri adalah tidak membiarkan seorang pun untuk tidur ditempat tidur kalian. Jika mereka melakukannya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan. Mereka pun memiliki hak yang menjadi kewajiban bagi kalian yaitu menafkahi mereka dan meberinya pakaian dengan baik.

Abdullah bin Zam'ah ra. Berkata bahwa Nabi SAW bersabda:
لَا يَجْلِدُ أَحَدُكُمْ اَمْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِيْ آخِرِ اليَوْمِ
"Salah seorang diantara kalian tidak boleh memukul istrinya seperti memukul seorang budak, kemudian ia menyetubuhinya dimalam hari"[16]

Tujuan memukul dalam hal ini adalah memberi hukuman yang mendidik, bukan untuk merusak fisik melainkan pukulan yang diharapkan dapat meluluhkan hati mengembalikan kebenaran.

b.      Pukulan tidak boleh lebih dari sepuluh kali
Rasulullah SAW. Bersabda :
لَا يُجْلَدُ فَوْقَ عَشْرِ جَلَدَاتٍ اِلَّا فِى حَدٍّ مِنْ حُدُوْدِ اللهِ
"Seorang tidak boleh dipukul lebih dari sepuluh pukulan kecuali dalam masalah hadd." (HR. Bukhari dan Muslim)

c.       Menghindari wajah dan tempat-tempat yang rawan (berbahaya)
Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Muamiyah Ibnu Haidah, Rasulullah SAW. Bersabda: "… Kamu tidak boleh memukul wajah (istrimu), tidak boleh menjelek-jelekannya dan tidak boleh melakukan pisah ranjang dengannya kecuali dirumah". (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dan Ahmad)

Memukul wajah istri atau memukul yang dapat membahayakan merupakan penghinaan dan sikap merendahkan seorang perempuan.

d.      Ada dugaan kuat pukulan akan membuat istri menyadari kesalahannya
Pukulan dalam hal ini adalah dilihat daru tujuannya, untuk memperbaiki. Pukulan tidak boleh ditempuh apabila diduga tidak akan mencapai yang diinginkan.

e.       Menghentikan pukulan jika istri telah menyatakan ketaatan kembali[17].
Seorang suami hanya boleh memukul istrinya ketika dia berbuat nusyuz. Hal itupun dilakukan setelah gagal menggunakan cara sebelumnya yaitu; memberi nasihat dan pisah ranjang. Dia tidak boleh memukul istrinya yang tidak berbuat nusyuz. Suami yang ringan tangan, mudah memukul istri, baik berbuat nusyuz ataupun tidak, bertentangan dengan tuntunan Nabi SAW.

3.      Pengertian Syiqaq dan Dasar Hukum Syiqaq
Asy-Syiqaq berarti perselisihan atau retak. Menurut istilah fiqih berarti perselisihan antara suami dan istri yang diselesaikan oleh dua orang hakam, yaitu seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri[18].

Dasar hukumnya adalah firman Allah SWT.
÷bÎ)ur óOçFøÿÅz s-$s)Ï© $uKÍkÈ]÷t/ (#qèWyèö/$$sù $VJs3ym ô`ÏiB ¾Ï&Î#÷dr& $VJs3ymur ô`ÏiB !$ygÎ=÷dr& bÎ) !#yƒÌãƒ $[s»n=ô¹Î) È,Ïjùuqムª!$# !$yJåks]øŠt/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $¸JŠÎ=tã #ZŽÎ7yz ÇÌÎÈ  
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud Mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal[19].

Menurut rachman dalam salah satu bukunya menjelaskan syiqaq adalah putusnya ikatan perkawinan. Hal tersebut dapat terjadi karena perilaku salah satu pihak dari pasangan  suami istri tersebut bersifat tidak baik, atau salah satunya bersifat kejam terhadap yang lainnya. Atau yang sering terjadi antara suami dan istri tidak dapat hudup hidup rukun dalam satu krluarga maka dalam hal ini syiqaq lebih mungkin terjadi, namun hal tersebut tergantung pada kedua belah pihak apakah mereka akan memutuskannya atau tidak.
Dalam penjelasan pasal 76 ayat 1 UU No. 7 tahun 1989 syiqaq diartikan sebagai perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Pengertian dalam undang-undang ini mirip dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 39 ayat 2 huruf f UU No.1 tahun 1974 jis pasal 19 huruf f PP No.9 tahun 1975, pasal 116 kompilasi hukum islam ;”antara suami, dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.”

Ayat tersebut di atas melanjutkan keterangan dari ayat sebelumnya (yang menerangkan cara-cara suami mengatasi atau memberi pelajaran istri yang nusyuz dan/atau tidak melaksankan kewajibannya sebagai seorang istri. Apabila cara-cara tersebut sudah dilaksanakan tetapi perselisihan semakin memuncak janganlah suami tergesa-gesa menjatuhkan talak, melainkan angkatlah dua orang hakam sebagai juru pendamai antara dua orang suami-istri yang sedang berselisih[20].

Syaikh As-Sa'di berkata,"Maksudnya, jika kalian takut persengketaan antara suami-istri samapi keduanya berpisah, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Yaitu, dua orang laki-laki yang diberi taklif, muslim, adil, berakal, mengetahui masalah yang terjadi antara suami-istri dan mengetahui cara untuk menyatukan dan memisahkan mereka"

Ketika perselisihan dan kebencian terjadi di dalam rumah tangga pasangan suami-istri, Allah menyariatkan untuk mengirim dua orang juru damai untuk menyelesaikan permasalahan tersebut serta memberikan nasihat kepada pasangan suami istri. Jika perselisihan dibiarkan berlangsung lama, maka dikhawatirkan akan merusak tatanan rumah tangga dan bisa jadi memutus tali silahturahmi, ikatan pernikahan dan mungkin juga hubungan kerabat[21].

Penyebab perselisihan dapat dimulai dari suami atau istri. Jika berawal dari suami maka istri harus lebih dominan untuk meredam perselisihannya, mislanya dengan memaafkannya dan suami berjanji tidak akan mengulanginya.

Jika perselisihan berawal dari istri, suami akan menentukan berlanjut atau tidaknya perselisihan tersebut. Apabila suami memaafkan, maka rumah tangganya akan damai kembali.

Jika perselisihan berawal dari kedua belah pihak, suami-istri seperti harus banyak-banyak melakukan intropeksi diri dan lebih baik saling memaafkan dan memulai kehidupan dari nol dan melupakan kejadian yang lalu[22].

Perselisihan, persengketaan, pertengkaran dan konflik suami-istri memiliki tingkatan yang berbeda-beda, antara lain:
1.      Perselisihan tingkat rendah, yaitu pertengkaran yang disebabkan oleh hal-hal sepele. Misalnya, istri malas bangun pagi sehingga suaminya kesal dan mebangunkannya dengan cara yang kasar.
Pada tingkatan ini, biasanya masih bisa dilakukan perdamaian. Jika salah satu mengakui kesalahannya dan berdamai kembali.
2.      Perselisihan tingkat menengah, yaitu perselisihan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang melukai hati atau menghilangkan kepercayaan di antara mereka. Misalnya, suami melihat istri berjalan dengan seorang laki-laki (meskipun tidak melakukan maksiat yang tergolong berat).
Pada tingkatan ini, agak berat untuk melakukan perdamaian karena dapat menimbulkan rasa benci dan dendam dari kedua belah pihak. Namun tidak menutup kemungkinan berdamai kembali jika keduanya menyadari bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Namun jika ternyata susah untuk damai, maka datangkanlah juru damai dari kedua belah pihak.
3.      Perselisihan tingkat tinggi, yaitu pertengkaran yang disebabkan oleh hal-hal yang sangat mendasar. Misalnya, istri atau suami murtad, suami berzina dengan pelacur dan/ atau istri orang lain, serta istri kabur dari rumah untuk melacurkan diri atau pergi bersama kekasih gelapnya.
Perselisihan ini merupakan perselisihan yang sangat berat. Jika istri yang melakukan zina (berzina) maka suami sebaiknya mentalaknya, karena menikahi pezina adalah haram. Talak yang dimaksud bukanlah talak raji'I atau ba'in, melainkan fasakh atau rusak, sehingga jika suaminya masih mau menerimanya, suami akan memberikan syarat mutlak yaitu pertaubatan istri[23].

4.      Pengertian Hakamain dan Tugasnya
Hakam artinya jurau damai. Jadi, hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh dua belah pihak suami-istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami-istri tersebut.

Hakamain yang ditetapkan Al-Qur'an adalah juru damai. Mereka mengupayakan mendamaikan buka upaya memperkeruh keadaan, apalagi dengan adanya juru damai malah membuat kedua belah pihak semakin menjelek-jelekkan dan membuka rahasia masing-masing selama berumah tangga. Hal tersebut sangat dilarang oleh islam.

Para ahli fikih berbeda pendapat tentang arti hakam dalam QS. An-Nisa:35 tersebut.
·         Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I serta pengikut keduanya berpendapat, hakam berarti wakil atau sama halnya dengan wakil. Hakam tidak boleh menjatuhkan talak kepada istri sebelum mendapat persetujuan dari suami. Begitu pula hakam dari pihak perempuan tidak boleh mengadakan khulu' sebelum mendapat persetujuan suami. Hakam hanya mewakili pihak yang berselih dan bertugas menyampaikan keinginan-keinginannya, jika suami berkeinginan cerai maka hakam menyampaikan keinginan tersebut, kecuali jika suami menyerahkan pemisahan tersebut kepada juru damai. Alasannya adalah bahwa pada dasarnya talak tidak berada di tangan siapapun, kecuali suami atau seorang yang diberi kuasa olehnya. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari puhak suami dan istri.
·         Menurut Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat, hakamain itu sebagai hakim sehingga boleh memberi keputusan sesuai dengan pendapat keduanya mengenai hubungan suami-istri yang sedang berselisih itu, apakah mereka memberi keputusan berdamai atau bercerai tanpa pemberian keluasaan atau persetujuan dari kedua belah pihak. Jadi, kerelaan sorang suami sangat diperlukan disini. Alasan Imam Malik adalah apa yang diriwayatkannya dari Ali bin Abi Thalib ra. bahwa ia mengatakan tentang kedua juru damai itu:
اِلَيْهِمَا التَّفِرِ قَةُ بَيْنَ لزَّوْجَيْنِ وَالجَمْعُ
"Kepada kedua juru damai itu hak memisahkan dan mengumpulkan kedua suami-istri"

Ibnu sirin menyebutkan bahwa ‘Ubaidah berkata,’’ Seorang suami dan istri datang kepada Ali ra, masing-masing dari mereka berdua membawa sekelompok orang banyak. Ali pun memerintahkan mereka untuk menunjuk seorang hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga istri. Setelah itu, Ali berkata kepada kedua hakam,’’jika kalian memandang bahwa mereka berdua bisa bersatu, maka satukanlah, dan jika kalian memandang bahwa mereka berdua harusberpisah maka pisahkanlah. Sang istri berkata’’ aku ridho dengan kitab Allah swt, apa yang menjadi kewajibanku dan pa yang menjadi hakku. Dan sang suami berkata’’ adapun untuk berpisah, maka aku tidak mau. Lalu Ali berkata’’ Demi Allah, engkau berbohong, sampai engkau memutuskan seperti apa yang telah dia putuskan.

Dan menanggapi alasan yang di ungkapkan oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'I, Imam Malik berbeda pendapat tentang kedua juru dalam menjatuhkan talak tiga. Dan yang berhak mengangkat hakam adalah dari hakim atau pemerintah[24].

Jika kedua juru damai berbeda pendapat, salah satunya menetapkan talak satu sedang juru damai yang lainya mengatakan talak dua. Maka putusan keduanya tidak dapat di ambil, dan perlu mendatangkan seorang hakim lagi, hingga kedua juru damai tersebut bisa menghasilkan putusan yang sama. Jika tidak bisa mendapatkan juru damai dari keluarga masing-masing untuk menyelesaikan perselisihan pasangan suami-istri, maka mayoritas ulama, selain mazhab Maliki, membolehkan mengutus dua juru damai orang lain yang bukan keluarga suami atau istri. Putusan  kedua juru damai itu bisa di terima, selama keduanya tidak berbeda pendapat[25].

Hakamain atau juru damai harus memenuhi beberapa persyaratan, yaitu:
a.       Baligh dan berakal
b.      Telah mengalami hidup berumah tangga
c.       Bersikap adil dan tidak berat sebelah
d.      Memberikan nasihat-nasihat kepada kedua belah pihak untuk mendamaikan bukan memperkeruh suasana sehingga konflik semakin menjadi-jadi
e.       Berwibawa dan disegani oleh kedua belah pihak
f.       Membela pihak yang teryindas berdasarkan bukti-bukti yang kuat
g.      Tidak melakukan pemerasan, penipuan dan sejenisnya kepada pihak yang membutuhkan jasanya[26].


[1] Abu Malik Kamal bin sayyid Salim, "Fiqhus Sunnah Lin Nisaa'", diterjemahkan Asep sobari, Lc., "Fiqih Sunah untuk Wanita. (Cet I; Jakarta: Darul Bayan Al-Haditsah), hal. 739.

[2] Abu 'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, "Kitab Al-Mu'minat Al-Baqiyat Ash-Shalihat fi Ahkam Takhtashshu bihal Mu'minat", diterjemahkan Arif Rahman Hakim, Lc., Shahih Fiqih Wanita Muslimah. (Cet. 1; Surakarta: Insan Kamil), hal. 346.

[3] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.,  Fiqh Munakahat  2. (Cet.VI; Bandung: Pustaka Setia), hal. 49.

[4] Abu 'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, Op.Cit., hal 346.

[5] Prof. Dr. H.M.A Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Cet. 1; Serang: Rajawali Pers), hal. 185.

[6] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Op. Cit., hal 740.
[7] Memelihara diri disinia adalah tidak Berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.

[8] untuk memberi pelajaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.

[9] Abu 'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, Op.Cit., hal 347.

[10] Abu Malik Kamal bin sayyid Salim, "Fiqhus Sunnah Lin Nisaa'", diterjemahkan Ghozali M, dkk., "Fiqih Sunnah Wanita. (Cet I; Jakarta: Pena Pundi Aksara), hal. 224..

[11] Abu Malik Kamal bin sayyid Salim, Op. Cit., hal. 741-742.

[12] Ibid, hal 742.
[13] Abu 'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, Op.Cit., hal 348.
[14]  Abu Malik Kamal bin sayyid Salim, Op. Cit., hal. 742-744.
[15] Ibid hal 744.
[16] Abu 'Ubaidah Usamah bin Muhammad Al-Jammal, Op.Cit., hal 349.
[17] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Op. Cit., hal 745-746. 
[18] Drs. Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, hal 173.
[19] QS. An-Nisa' : 35
[20]  Drs. Kamal Muchtar, Op. Cit., hal 173.
[21] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Op. Cit., hal 748.
[22] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.,  Op.Cit., hal. 54.
[23]  Ibid., hal. 52.
[24]Prof. Dr. H.M.A Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Op.Cit., hal. 190-192.
[25] Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim, Op. Cit., hal 751.
[26] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si.,  Op.Cit., hal. 53

Tidak ada komentar:

Posting Komentar