BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembahasan
mengenai hadis sangat terkait dengan status Nabi muhammad saw. Hadis adalah Segala
hal yang dikatakan, diperbuat, dan disetujui oleh nabi Muhammad saw. Sunnah dianggap
oleh orang-orang muslim sebagai panutan dan dijadikan pedoman yang mengikat
bagi mereka. Sejak awal mula tujuan nabi Muhammad diturunkan di dunia ini merupakan
sosok teladan bagi umat manusia, sebagaimana yang telah termuat dalam Al-qur’an.
Oleh karena itu, segala pengkajian dan penelitian mengenai hadis yang terkait
dengan berbagai persoalan mulai asal-usul (kesejarahan) hadis, baik dari segi
sanad maupun dari segi matan memiliki makna yang sangat penting.
Dalam
Islam, posisi hadis tidak dapat dipisahkan dari hukum. Telah diketahui bersama bahwa
orang-orang muslim menjalankan dan mengembangkan sebuah agama dengan berpegang
teguh pada peraturan yang resmi yakni Qur’an dan hadis. Para fuqaha’
dalam merumuskan hukum fikih, telah mengambil dan menterjemahkan sunnah-sunnah nabi
ke dalam aturan-aturan tingkah laku, dengan menjadikan posisi hadis sebagai pendukung
kuat yang paling bernilai dan dapat dipercaya. Oleh sebab itu, hukum Islam
tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan hadis.
Disamping
itu sebagian besar ahli hadis beranggapan bahwa apabila sebuah hadis tertentu
yang disandarkan kepada nabi saw. Sebagaimana yang telah ditemukan dalam
koleksi hadis kanonik, lebih-lebih dalam Shahih Bukhari dan Muslim, maka
dengan koleksi hadits-hadis itu bersumber dari nabi saw. namun, berdasarkan
temuan G.H.A. Juynboll dengan menggunakan teori common link, walaupun
sebuah hadis tertentu telah direkam dalam al-Kutub al-sittah, tetapi
hadis itu belum tentu berasal dari nabi saw. Oleh karena itu dengan membaca dan
menyimak teori common link yang di sodorkan oleh G.H.A. Juynboll
merupakan sebuah keharusan bagi kita sebagai akademisi muslim untuk melihat
seberapa jauh capaian-capaian studi hadis di Barat, baik yang telah disumbangkan
kepada studi hadis, maupun kepada studi Islam.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Biografi Dr.
Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.?
2. Bagaimana kegelisahan akademik Dr.
Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A. sehingga mengarang buku yang berjudul Teori
Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi?
3. Bagaimana logika dan sistematis penulisan dalam buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis
Nabi?
4. Bagaimana asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi ?
5. Bagaimana implikasi Teori
Common Link terhadap
asal-usul dan perkembangan hadis?
6. Bagiamana verifikasi
Teori Common Link berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam
hadis Umar bin Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah?
C. Tujuan penulisan
1. Agar mengetahui Biografi Dr.
Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.
2. Mendeskripsikan kegelisahan akademik Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A. sehingga mengarang buku yang
berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis
Nabi.
- Agar mengetahui
logika dan sistematis penulisan dalam buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak
Akar Kesejarahan Hadis Nabi.
- Mendeskripsikan dan
memahami asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link: Melacak Akar
Kesejarahan Hadis Nabi.
- Mengetahui dan
memahami implikasi Teori
Common Link terhadap
asal-usul dan perkembangan hadis.
- Mengetahui verifikasi Teori Common Link
berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam hadis Umar bin
Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Dr. Ali Masrur Abdul
Ghaffar, M.A.
Ali Masrur
Abdul Ghaffar lahir di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1973. Setelah menamatkan
pendidikannya di MINU (1985) dan MTsN (1988) serta belajar bahasa Arab di
Madrasatul Alsun selama empat tahun (1984-1988) di Sidoarjo, Ia melanjutkan
sekolah ke MA Program Khusus di Jember Jawa Timur. Setelah lulus dari MAPK pada
tahun 1991, ia melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus tahun 1996 dengan skripsi yang berjudul
"Kritik Azami terhadap Schacht tentang Isnad" dan ke jenjang Magister
Program Pascasarjana Konsentrasi Agama dan Filsafat, lulus tahun 1998. Masih di
perguruan tinggi yang sama, Ia melanjutkan studinya ke Program Doktor
konsentrasi Islamic Studies dan lulus pada tahun 2004 dengan disertasi yang berjudul
Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. di
bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Sayyid Agil Husin al-Munawwar, M.A. dan Prof. Dr.
H.A. Qodry Azizy, M.A. Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh LKiS
Yogyakarta pada tahun 2007. Kini, ia mengabdikan diri sebagai dosen tetap
Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain
itu, ia juga menjabat sebagai Direktur Iranian Corner di Fakultas Ushuluddin
UIN Bandung. Pada bulan Pebruari 2012, bersama rombongan Majelis Ulama
Indonesia, ia mengikuti Short Course di Pusat Riset, Universitas Internasional
Al-Musthafa, Qum, Iran. Hal ini dilakukannya untuk memahami Budaya Islam Iran
dan keberagaaman masyarakat Iran dari sumber aslinya untuk menghilangkan berbagai
prejudise dan misunderstanding masyarakat Indonesia terhadap aqidah dan ajaran
Syiah selama ini.[1]
Beliau
berprofesi sebagai Staff pengajar
Pesantren Mahasiswa Al-Muhsin Krapyak Wetan Yogyakarta (1997-1999); Penerjemah
dan penulis buku-buku keislaman (1999-Sekarang); Dosen Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Gunung Djati Bandung (2000-Sekarang); Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung
Djati Bandung (2004-Sekarang); Distributor kertas Cakrawala Mega Indah (CMI)
Sinarmas (2004-2009); Editor Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmu Agama dan Budaya, Fak.
Ushuluddin UIN Bandung (2007-2011); Editorial Board, Journal of Qur'an and
Hadith Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011 - Sekarang); Editor In
Chief Intisyar al-Afkar: Journal of Islamic and Sosial Studies, Fak.
Ushuluddin bekerjasama dengan Universitas Liga Arab dan Ain Syams, Kairo, Mesir
(2010-sekarang).
Disela-sela kesibukanya
beliau banyak menerjemahkan buku-buku,
diantarnya: Geoffrey Parrinder. Yesus dalam Quran, terj. Ali Masrur dkk.
Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001; Akh. Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001; Aliah Schleifer. Sejarah Hidup Maryam AS: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2004; Ali Masrur. Teori Common Link Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Yogyakarta: LKiS, 2007; Ali Masrur. "Studi Hadis di Barat: dari Ignaz Goldziher hingga Norman Calder" (Dalam proses penerbitan); Michael Cook. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal, terj. Ali Masrur. Bandung: Nuansa Cendekia, 2012; Gema Martin Munoz (ed.). "Islam dan Dunia Barat: Relasi Budaya dan Politik di akhir Milenium", terj. Ali Masrur dan M. Subky Hasbi (sedang dalam proses penerbitan).[2]
Cemerlang, 2001; Akh. Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001; Aliah Schleifer. Sejarah Hidup Maryam AS: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2004; Ali Masrur. Teori Common Link Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Yogyakarta: LKiS, 2007; Ali Masrur. "Studi Hadis di Barat: dari Ignaz Goldziher hingga Norman Calder" (Dalam proses penerbitan); Michael Cook. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal, terj. Ali Masrur. Bandung: Nuansa Cendekia, 2012; Gema Martin Munoz (ed.). "Islam dan Dunia Barat: Relasi Budaya dan Politik di akhir Milenium", terj. Ali Masrur dan M. Subky Hasbi (sedang dalam proses penerbitan).[2]
B.
Kegelisahan Akademik
Persoalan asal-usul hadis masih menjadi
bahan perdebatan dikalangan para pemikir hadis. mereka meragukan kebenaran hadis berasal dari nabi
dan hal itu menurutnya dapat di buktikan secara historis. Sedangkan
sebagian pemikir yang lain mempercayai bahwa hadis memang benar-benar berasal dari nabi. Masing-masing kelompok
mengemukakan argumenya dengan berbagai alasan yang kuat dengan tujuan untuk sama-sama membuktikan dan menyakinkan.[3]
Sebelumnya sudah
ada sejumlah penulis yang membicarakan ide-ide Juynboll tentang hadis, baik
dalam bentuk buku maupun artikel. Hanya saja tulisan-tulisan tersebut selain
tidak bersifat menyeluruh dan mendalam (komperhensif),
juga tidak dimaksudkan untuk meneliti teori common linknya secara
khusus.
Wael
B. Hallaq dalam A History of Islamic Legal Theories menyatakan, berbagai
penelitian akhir-akhir ini tentang asal-usul hadis menunjukkan bahwa Goldziher,
Schacht, dan Juynboll terlalu skeptis disamping itu juga, sejumlah hadis dapat diberi penananggalan lebih awal daripada
pendapat mereka, bahkan seawal nabi sendiri. Menurut temuan-temuan ini,
walaupun sebagian besar hadis berasal dari beberapa dekade setelah hijrah,
tetapi ada sejumlah meteri hadis yang berasal dari masa kehidupan nabi.[4] Oleh karena itu, Hallaq
tidak menyimpulkan secara a priori bahwa seluruh hadis itu autentik, dan
tidak pula menerima semuanya, walaupun beberapa hadis telah diakui shahih
oleh ilmu kritik hadis di kalangan muslim.
David
S. Powers dalam Studies in Qur’an and Hadith meletakkan Juynboll di
antara believers dan sceptics berdasarkan pendapat-pendapat
Juynboll dalam Muslim Tradition. Meskipun Juynboll mengakui bahwa
setidak-tidaknya terdapat beberapa hadis yang disandarkan kepada nabi telah mencerminkan
apa yang sebenarnya dikatakan atau diperbuat oleh nabi, tetapi menurutnya,
periwayatan hadis nabi yang formal dan ter-standarisasi baru mulai dikembangkan
antara tahun 670 dan 700 M.[5]
Satu-satunya
penulis yang mengkaji teori common link secara khusus adalah Harald
Motzki. Ia menulis artikel
dengan judul, “Quo Vadis, Hadit-Forschung? Eine Kritische Untersuchung
von G.H.A Juynboll: “Nafi’ the mawla of Ibn Umar and his position in
Muslim Hadith Literature”. Menurutnya, temuan Juynboll bahwa semua hadis nabi
dengan isnad Nafi’ Ibnu ‘Umar tidak kembali kepada Malik tetapi kepada
Nafi’ tidak dapat dipertahankan. Dengan menggunakan contoh hadis tentang zakat
al-fithr, Motzki mampu menunjukkan bahwa hipotesis Juynboll tersebut tidak
benar. Ia menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Ibnu ‘Umar dan tidak
dipalsukan oleh Malik.[6] Meski demikian, penelitian
ini tetap tidak sama dengan penelitian Motzki. Jika penelitian Motzki lebih bersifat falsifikatif, maka penelitian yang sekarang ini bersifat verifikatif.
Signifikansi
studi hadis sangat terkait dengan status nabi Muhammad saw.
Hadis adalah laporan-laporan mengenai sunnah nabi dan generasi muslim awal.
Sunnah ini merupakan praktik dan model tingkah laku yang mengantarkan nabi dan
masyarakat Madinah ke Puncak kesuksesan. Apa saja yang dikatakan atau diperbuat
oleh Nabi saw. dianggap oleh orang-orang muslim sebagai contoh ideal dan
normatif bagi mereka. Sejak awal, Muhammad saw. merupakan teladan dari apa yang
diajarkan oleh Qur’an. Oleh sebab itu, segala pengkajian mengenai hadis
termasuk kajian tentang teori common link yang terkait dengan persoalan
asal-usul hadis, memiliki makna yang cukup penting.
Di sisi lain, hadis
juga tidak dapat dipisahkan dari posisi hukum dalam Islam. Telah diketahui
bahwa orang-orang muslim mengembangkan sebuah agama yang sangat menekankan
praktik ortodoks. Di tangan para fuqaha’, fikih telah menterjemahkan
sunnah nabi ke dalam aturan-aturan tingkah laku dan hadis merupakan pendukung
sunnah yang paling bernilai dan dapat dipercaya. Dengan demikian, hukum Islam
tidak dapat berdiri tanpa dukungan hadis, lebih-lebih jika persoalan asal-usul
hadis belum terjawab secara memadai. Dalam konteks itulah, pengkajian ini perlu
disambut baik.
Di samping itu,
Juynboll adalah seorang pengkaji hadis modern di Barat dan sekaligus komentator
dan penerjemah ide-ide Goldziher dan Schacht. Walaupun ia tidak selalau
mengikuti dan sejalan dengan keduanya, tetapi paling tidak melalui teori common
linknya, orang dapat memahami dengan baik karya-karya kedua tokoh itu.
Hingga saat ini, Juynboll dapat dianggap sebagai pengkaji hadis terbesar di
Barat. Oleh sebab itu,
segala pengkajian mengenai hadis termasuk kajian tentang teori common link
yang terkait dengan persoalan asal-usul hadis, memiliki makna yang cukup
penting.[7]
C.
Logika Sistematis Penulisan
Bab I Gautier H.A.
Juynboll: Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern di Barat
a.
Biografi dan Karya-Karya G.H.A. Juynboll
b. Posisi Juynboll
dalam Studi Hadits Modern di Barat
Bab II Teori Common Link G.H.A. Juynboll
a. Teori Common
Link sebelum G.H.A. Juynboll
b. Asumsi Dasar
dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common Link
c. Cara Kerja
Teori Common
Link: Metode Rekonstruksi dan Analisis Isnad
d. teori-Teori
Terkait: Backward-Projection
dan Argumenta e silentio.
Bab III Implikasi Teori Common Link terhadap Asal Usul dan
Perkembangan Hadis
a. Sumber dan Asal
Usul Hadits
b. Metode Kritik
Hadits Konvensional
c. Teori Mutawatir
dalam Hadits
d. Posisi Syu'bah
bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits
e. Isnad Keluarga: Historisitas Isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar
f.
Beberapa Isu Penting dalam Hadits: Hadits tentang pembangunan kota
Baghdad, Hadits tentang mengecat rambut dan janggut, Hadits yang merendahkan
martabat perempuan (misoginis).
Bab IV Berbagai Interpretasi tentang Fenomena Common
Link
a. M.M. Azami: Common
Link Hanya Imajinasi
b. H.H. Motzki:
Common Link sebagai Kolektor Sistematis Pertama
c.
Michael A. Cook: Common Link sebagai Akibat dari
Proses Penyebaan Isnad
d. Norman Calder: Common
Link sebagai Tokoh yang Kebal dari Kritik
e.
David Powers dan Upaya Mencari The Real Common Link
f. Interpretasi
Alternatif.
Bab V Verifikasi Teori Common Link Berdasarkan Hadis
tentang Syahadat
dan Rukun Islam
dan Rukun Islam
a. Analisis Isnad: Hadits
Umar bin al-Khaththab, Hadits Ibn Umar, Hadits Thalhah bin Ubaidillah
b. Analisis Matan:
: Hadits
Umar bin al-Khaththab, Hadits Ibn Umar, Hadits Thalhah bin Ubaidillah
c. Hubungan
Antarberbagai Hadits yang Berbeda
d. Catatan Akhir:
kesimpulan, daftar pustaka, indeks, Biodata Penulis
D.
Asumsi dasar dan istilah-istilah
teknis serta cara kerja Teori Common Link
1.
Asumsi dasar dan istilah-istilah dalam Teori
Common Link
Dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan asumsi
dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan
beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common
link. Juynboll mengatakan “ The more transmission lines come together in
one transmitter, either reaching him or going away from him, the more this
transmitter and his transmission have a claim to historicity.[8] Berdasarkan pernytaan
tersebut Ia ingin mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang
bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkanya, maka semakin
besar pula seorang periwayat dan periwayatanya memiliki klaim sejarah.
Sebaliknya jika Jika sebuah hadits berdasarkan dari nabi hanya
melalui seorang sahabat kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’an
lain yang pada gilirannya sampai kepada common link, dan sesudah itu
jalur periwayatanya mulai tersebar dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur
periwayatan tunggal dari nabi hingga common link tersebut tidak dapat
dipertahankan. Disini, yang menjadi persoalan adalah mengapa nabi manyampaikan
haditsnya hanya kepeda seorang sahabat, begitu pula sahabat hanya kepada
seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai kepada common link.
Secara ideal, seharusnya mayoritas jalur isnad dalam
berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang
sejak dari nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada
gilirannya para sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan
seterusnya hingga sampai kepada para kolektor hadits, dengan demikian, jalur
periwayatan itu mengambil bentuk sebagai berikut;cl- pcl- pcl- pcl- (pcl-)
sejumlah koleksi. Akan tetapi, dalam kenyataanya, sebagian besar jalur isnad
baru berkembang pada common link, seorang periwayat hadits dari generasi
kedua dan ketiga sesudah nabi SAW.[9] Common link (CL) adalah periwayat pertama
atau tertua yang berbeda dengan para pendahulunya dalam bundel isand, dimana
meriwayatkan hadis tidak hanya kepada seorang melainkan kepada beberapa orang
yang dianggap sebagai muridnya. Periwayat yang menjadi cl dianggap bertanggung
jawab atas jalur tungga yang kembali kepada nabi atau otoritas tertua dan atas
perkembangan matan hadis. Atas dasar itu common link dianggap
pencetus dan pemalsu isnad dan matan hadis. Analisis Juynboll isnad-isnad
dalam hadis kanonik (al-kutubu as-sittah), hanya terdiri dari satu jalur
tunggal pada tiga, empat, atau lima periwayat sesudah nabi sebelum jalur
periwayatan itu mulai bercabang ke berbagai jalur yang berbeda. Dalam hal ini
Juynboll mempertanyakan mengapa jalur isnad itu mulai bercabang dari common
link.
Juynboll berpendapat mengenai hal ini, bahwa single straend
(jalur tunggal) yang merentang dari common link ke bawah hingga nabi,
tidak merepresentasikan jalur periwayatan sebuah hadits nabi, dan sebagai
akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan. Istilah teknis lain yang
diperkenankan oleh Juynboll adalah partiel common link (sebagian
periwayat bersama yang selanjutnya disebut pcl) seorang periwayat yang dapat
dikatagorikan sebagai pcl adalah periwayat yang menerima hadits dari seorang
(atua lebih) guru, yang berstatus sebagai cl atau yang lain, dan kemudian
menyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih. Semakin banyak pcl memiliki
murid yang menerima hadits darinya maka semakin kuat pula hubungan guru dengan
murid dapat dipertahankan sebagai hubungan yang historis. Dalam hal ini, pcl
bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi pada keautentikan teks (matan
hadits). Singkatnya, periwayat yang menajdi pcl memainkan peran yang krusial
dalam perubahan keaslian matan hadits menjadi versi yang pada akhirnya
terhimpun dalam berbagai koleksi hadits.[10]Harapan Juynboll mengenai
sejarah awal periwayatan hadis lebih bersifat ideal, dan dapat dikatakan tidak
realistis. Seharusnya jalur isnad telah memancar sejak awal dari nabi
melalui beberapa orang sahabat kepada beberapa orang tabiin dan seterusnya
hingga sampai pada kolektor hadis.
Istilah kebalikan dari pcl adalah inventerted partial common
link (ipcl), yakni periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru
dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Sebagian
besar ipcl muncul pada level yang lebih belakangan dalam bindel isnad
tertentu dan dalam bindel isnad yang lain terkadang mereka berganti
peran sebagai pcl. Satu lagi istilah dalam teori common link yang
merupakan kebalikan dari cl yaitu inverted common link (icl). Terdapat
perbadaan yang jelas antara cl dan icl. Jika dalam cl terdapat satu jalur
tunggal yang merentang dari nabi hingga cl, yang terdiri dari tiga sampai lima
periwayat dan kemudian baru menyebar ke beberapa jalur pada level cl maka dalam
icl terdapat berbagai jalur tunggal yang berasal dari saksi mata yang
berbeda-beda dan pada gilirannya masing-masing dari mereka manyampaikannya
kepada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam icl.[11]
Istilah
selanjutnya yang dikemukakan Juynboll adalah Diving strand yaitu murid
yang berada dibawah common link namun tidak memenuhi syarat sebagai partical
common link dengan pengertian
bahwa jalur isnad yang menyelam dan tiba-tiba sampai kepada periwayat
dibawah common link.[12]
Hal ini hampir sama juga seperti single stand artinya single stand
berada dibawa common link sedangkan single strand dalam
pengertian istilah Juynboll adalah sanad tunggal dari Nabi hingga ke common
link. Konsep
"Diving strand" menurut hasil penelitian Juynboll,
pertama hadis tersebut dilihat seperti diriwayatkan oleh lebih dari satu Tabiin
atau Sahabat, akan tetapi ketika isnadnya diteliti secara cermat dan seksama
jaringan atau strand tersebut sesungguhnya berjalur tunggal. Strand
seperti itu, menurut Juynboll, dibuat-buat oleh kolektor tertentu untuk
mendukung periwayatan hadis yang bersangkutan.[13]
Istilah
selanjutnya adalah Spider yakni sebuah bundel isnad yang terdiri
dari berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang memiliki
lebih dari seorang murid.[14]
Istilah spider ini juga hampir sama dengan single strand namun
rentan rawinya melewati orang yang semasa dengan Common link atu langsug
memperoleh riwayat dari guru common link dan bahkan melewati sahabat
yang lain, maka fenomena ini dinamakan dengan spider stand. Dikalangan
ulama hadis spider ini
dinamakan dengan istilah syawahid dan Mutabi'. syawahid berasal dari kata syahid yang bermakna
menyaksikan, yakni seorang sahabat menyaksikan sunnah nabi namun matan atau
maknanya mempunyai kesamaan dengan matan atau makna hadis yang lain.[15]
Adapun Mutabi' bermakna mengiringi atau yang mencocoki, maksudnya adalah
hadis yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadis itu juga.[16]
Hal ini terjadi pada perawi yang melewati generasi setelah sahabat yakni
sanadnya langsung disandarkan kepada
tabi'in.
2. Cara kerja
Teori Common
Link: Metode Rekonstruksi dan Analisis Isnad
Secara garis besar dalam setiap hadits terdapat dua bagian yaitu sanad
dan matan. Matan hadits dapat dinyatakan keaslianya jika rangkaian
periwayat dalam memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik
hadits.[17] Oleh karena itu, dalam
setiap kajian hadis para ulama hadits lebih menekankan penelitian isnad
dari pada matan. Jika isnad sebuah hadits terdiri dari orang-orang yang
dapat dipercaya maka hadits itu dinyatakan shahih, begitupun sebaliknya, jika isnad
hadits terdapat oraang-orang yang tidak dapat dipercaya maka hadits itu tidak
diterima dalam sejarah periwayatan hadits memang telah terjadi pemalsuan
hadits. Namun, hadits-hadits yang dianggap palsu dan lemah telah dipisahkan
dari yang asli (otentik) oleh para ahli hadits dengan menggunakan metode
kritik isnad. Dengan demikian, proses penyeleksian antara hadits palsu
dan asli menurut para ahli hadits sudah dianggap final.
Akan tetapi sebagian besar pengkaji hadis di Barat merasa keberatan
dengan metode krtik hadis yang di sodorkan oleh para ahli hadis,[18] bahkan metode kritik yang
hanya menitikberatkan pada kritik sanad dinilai oleh Schacht sebagai tidak
releven untuk tujuan analisis sejarah.[19]Juynboll juga menegaskan
bahwa tidak pernah menemukan metode yang sukses secara moderat untuk
membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Selaian itu menurutnya,
metode kritik isnad memiliki babarapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad
baru berkemabang pada priode yang relative sangat lambat. Kedua, isnad
hadits, sekalipun shahih, dapat di palsukan secara keseluruhan dengan mudah.
Ketiga, tidak diterapannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits.[20]
Dari pernyataan Juynboll tersebut, Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar
dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menerapkan metode
analisis isnad tersebut secara rinci, diantara langkah-langkah tersebut
adalah:
1.
Menentukan hadis yang akan di teliti;
2.
Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis;
3.
Menghimpun seluruh isnad hadis;
4.
Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel
isnad;
5.
Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab
dalam penyebaran hadis.
Selain menggunakan metode analisis isnad sebagiamana yang
telah di rangkum oleh Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar tersebut, Juynboll juga
melakukan analisis matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits nabi.
Secara umum langkah-langkah metode analisis matan yang diajukannya adalah : (1)
Mencari matan yang sejalan. (2) Mengidentifikasi common link yang
terdapat pada matan yang sejalan. (3) Menentukan common link yang tertua.
(4) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Dalam menanggapi metode analisis isnad Juynboll, motzki
mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analisis isnad-cum-matn.
Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara
membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang
berbeda-beda. Metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagai varian dari
sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari prose periwayatan
dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya
sebagiannya, merepleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.[21]
Metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa
langkah:
1.
Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2.
Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam
generasi periwayat yang berbeda-beda
3.
Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari
hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya.
4.
Membandingkan analisis isnad dan matan.
Dengan membandingkan hasil analisi isnad dan matan maka akan dapat
diambil kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan, siapa saja
yang menjadi periwayat hadits tertua, bagaimana teks-teks itu dapat mengalami
perubahan pada jalur periwayatan tertentu dan siapa yang bertanggung jawab atas
periwayatan itu. Jika kita mencermati dengan sesama dua langkah pertama dari
metode analisis isnad-cum-matn motzki tampaknya tidak jauh berbeda dengan
metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda adalah dua langkah terakhir yang
memusatkan perhatian pada matan hadits, khususnya pada struktur dan susunan
katanya.[22]
Metode Juyboll yang sudah diperbaiki oleh Motzki ini akan dikaji dan di
verifikasi oleh Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar.
E.
Implikasi Teori Common Link terhadap
asal-usul dan perkembangan hadis
1.
Sumber dan asal-usul hadis
Implikasi yang paling penting dalam teori common link adalah
menyangkut sumber hadits, siapa yang menjadi sumber hadits yang terhimpun dalam
berbagai koleksi hadits, khususnya koleksi hadits konanik; apakah nabi,
sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa semua
hadis yang terdapat dalam koleksi kitab konanik adalah otentik, dan dengan
demikian, bersumber dari Nabi.[23]
Berbeda dengan Juynboll dengan tegas mengungkapkan hasil temuannya
bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits yang konanik sekalipun,
tidak bersumber dari sahabat atau nabi sekalipun, sahabat dan nabi tidak
bertanggungjawab atas dimasukannya nama-nama mereka kedalam isnad
hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas matan hadis dan juga isnad
adalah seorang periwayat hadits yang berperan sebagai common link dalam
suatu bundel hadits.
2.
Metode kritik hadis konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits para ulama ahli
hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik hadits untuk mebedakan atara
hadits otentik dan hadits lemah bahkan palsu. Metode tersebut berpijak pada
lima kriteria, (1) Sanadnya bersambung, (2). Diriwayatkan oleh orang yang adil
(3). Diriwayatkan oleh orang yang dhabit, (4). Terhidar dari syudzudz, (5).
Terhindar dari ‘ilat.[24] Metode ini menurut para
ulama hadits dianggap baku, karena telah terbukti kehandalannya dan mampu
menyingkirkan hadits-hadits palsu dan lemah.
Berbeda dengan Juynboll, dalam pengamatanya terdapat kelemahan
dalam metode konvensional, metode tersebut menurutnya masih menimbulkan
kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits
kepada nabi. Menurutnya ada beberapa titik kelemahan dalam metode itu: (1)
Kemunculannya dianggap terlambat, (2) Isnad dapat sipalsukan secara
keseluruhan, (3) Tidak diterapkan keritik matan yang tepat. Berangkat dari
kenyataan ini Juynboll menawarkan metode common link sebagai ganti dari
metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak
hanya berimplikasi merevisi metode kritik konvensional, tetapi juga menolak
seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode kritik
hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common
link tidak hanya berpijak pada kualitas periwayat saja, namun lebih dari
itu yakni berpijak pula pada kuantitasnya. Ini berarti Juynboll secara implisit
menolak seluruh hadits ahad mengharapkan bahwa seluruh hadis seharusnya
diriwayatkan secara mutawatir dari tiap-tiap masa hingga sampai pada kolektor
hadis.
Dalam menyikapi pendapat Juynboll ini sebagai akademisi Muslim
tidak perlu heran jika kita memahami metode yang dikembangkannya, bahkan dapat
menjadikan tambahan karena metode tersebut dibangun diatas dasar-dasar prinsip
kritik teks historis-filologis. Prinsip dasar ini menuntut bahwa ketika
otentitas menuntut laporan yang terdapat dalam sebuah teks (matan hadits) belum
terbukti secara pasti, maka kekosongan yang ada dalam deskripsi harus diakui
dan dipertimbangkan dalam setiap langkah untuk membangun sebuah rekonstruksi
sejarah yang lebih lengkap.
3.
Teori Mutawatir dalam hadis
Hadis apabila ditinjau dari segi kuantitas periwayatannya terbagi
menjadi dua, yaitu: hadits ahad dan hadits mutawatir. Hadis mutawatir terbagi
kepada dua lagi, yaitu: mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir
adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejulah periwayat dari awal hingga akhir
sanad yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk
berbuat bohong.[25]
Sejumlah ahli hadis beranggapan bahwa kemutawatiran sebuah hadits dapat
dijadikan jaminan bahwa hadits tersebut bersumber dari Nabi. Oleh karena itu
para periwayat hadits mutawatir tidak perlu diteliti bahkan wajib hukumnya
untuk mengamalkanya tanpa harus meneliti terlebih dahulu.
Meskipun demikian para ulama hadis berbeda pendapat dalam
menentukan berapa jumlah minimal periwayat yang tergolong kedapam hadits
mutawatir, disamping itu, ulama juga berbeda pandapat mengenai ada atau
tidaknya hadits mutawatir; pendapat pertama menolak adanya hadis mutawatir,
atau paling tidak merasa sulit untuk menemukannya. Ibn Shalah mengatakan : “sangat
sulit menemukan hadits mutawatir”. Ibn Hibban al-buti dengan tegas mengatakan
“adapun akhbar, maka setiap akhbar adalah akhbar ahad”, meskipun pada
kenyataanya hadis mutawatir yang lafzdi tidak sedikit jumlahnya. Diantara para
pendukung pendapat ini adalah as-Suyuthi, Ibn Hajar dan khodhi ‘Iyad. Pendapat
ketiga mengatakan, hadits-hadits yang dipakai sebagai bukti adanya hadits
mutawatir lafzi, pada hakikatnya bukan mutawatir lafzi melainkan mutawatir
ma’nawi.
Berbeda dengan Juynboll dalam kajiannya mengenai hadis mutawatir,
dalam kajiannya menekankan pada keraguannya akan keautentikan hadits mutawatir
apakah benar-benar berasal dari nabi atau bukan. Dalam hal ini Ia mengatakan ”kemutawatiran
sebuah hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi”.
Sebagai bukti Ia meneliti dua buah hadits yang digolongkan oleh ahli hadits
kedalam mutawatir yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas nama
nabi) dan hadits niyaahah (meratapi kematian anggota keluarga). Setelah
melakukan penelitian isnad dan matan kedua hadits tersebut Ia menyatakan bahwa
hadits tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan bukan berasal dari
priode nabi. Lebih lanjut Ia mempermasalahkan definisi hadits mutawatir yang
didefinisikan dengan penuh konflik perumusannya bahkan mengalami berbagai
perubahan yang tidak sederhana. Terkadang rumusan tersebut dapat diterapkan
dalam hadis dan konteks tertentu namun tidak pada dalam konteks yang lain.
Menurutnya satu-satunya yang dapat diterapkan pada berbagai periwayatan hadits
mutawatir adalah kriteria mengenai syarat bagi para periwayat yang berbeda pada
tingkatan (thabaqah) tertua, yakni sejumlah sahabat dikatakan
meriwayatkan satu matan hadits yang sama dari nabi, atau melaporkan satu
kejadian yang sama mengenai kehidupannya namun pada thabaqah berikutnya
jumlah thabaqat tidak memenuhi syarat ini tidak dapat terpenuhi.
4.
Posisi Su’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadis
Dalam kitab-kitab biografi periwayatan hadits, Su’bah bin Hajjaj
menduduki posisi terhormat diantara para hadits lainnya, khususnya di basrah.
Pada awalnya su’bah adalah seorang mawali dari Wasth yang kemudian tinggal
dibasrah. Ia termasuk salah seorang ahli dalam kritik hadits. Disamping itu ia
diakui oleh semua orang dan diberi gelar yang terhormat sebagai amir
al-mu’miniin fi al-hadits (pemimpin orang-orang mu’min dalam hadits). Su’bah
bin Hajjaj termasuk salah seorang yang meriwayatkan hadits man kadzaba yang
mana menurut Juynboll, hadits tersebut tidak didapat dipertahankan secara
kesejarahan. Lanjut Juynboll, Su’bah juga terlibat dalam berbagai hadits lain
yang kesejarahannya masih dipertanyakan.
Kecurigaan Juynboll atas keterlibatan Su’bah dalam perkembangan
hadits merupakan konsekuensi dari teorinya yang berdiri diatas asumsi-asumsi
kritik historis-filologi. Ia tidak menerima laporan dari berbagai kritikus
hadis dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits. Tetapi menempatkannya
sebagai laporan sejarah bagi peristiwa yang sebenarnya yang mungkin terdapat
kelemahan, kekurangan atau bahkan kesalahan yang karena telah tercampur dengan
berbagai interprestasi yang muncul belakangan.
5.
Isnad keluarga: Historisitas Isnad Malik-Nafi-Ibnu Umar
Sejak awal periwayatan hadits, tidak sedikit hadits yang
diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga, kata keluarga disini tidak hanya
mencakup hubungan darah saja, tetapi mencakup pula hubungan mawali,
hubungan budak dengan tuannya.[26] Salah satu diantara
berbagai macam isnad keluarga yaitu jalur Malik-Nafi-Ibnu Umar yang diklaim
oleh para ahli hadits sebagai isnad palinya sahih “silsilah az-dzahab”.
Menurut Juynboll, Isnad keluargapun masih terdapat
ketimpangan, terlebih ketika ia telah meneliti Almuatha Imam Malik. Keraguan
Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal; yani kesejarahan tokoh
Nafi dan hubungan guru murid antara Malik dan Nafi’. Dalam masalah pertama
Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga hal yang memperkuat bahwa tokoh Nafi’
adalah fiktif, bukan historis; (1) sangat sedikit sejarah hidup Nafi’ yang
terdapat dalam kitab biografi, (2) asal usul Nafi’ (3) dalam kitab utama yang
merekam para tabi’in; thabaqat al-kabir karangan ibn Sa’ad dan shifat
asy-syafwah karangan ibn Jawzi biografi Nafi tidak dijumpai. Untuk masalah yang
kedua, keraguan Juyboll dalam hubungan murid-guru antara Malik-Nafi’ didukung
oleh berapa argument diantaranya; (1) pernyataan Malik bahwa ia adlah murid
Nafi’ tidak masuk akal, karena perbedaan usia yang cukup jauh antara Malik dan
Nafi’ (Malik 93 H-179 H, Nafi w. sekitar 117-120 H), (2) Nafi’ hanya
berkedudukan sebagai a seeming (yang tampak) atau an artificial (buatan) common
link sedangkan the real commonlinknya adalah Malik.
F.
Verifikasi Teori Common Link
berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam hadis Umar bin
Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah
1. Analisis Isnad
Apabila hadis-hadis tentang Syahadat dan Rukun Isam ditelusuri pada
berbagai koleksi hadis baik prakanonik mupun kanonik, maka akan di temukan
banyak hadis yang berkaitan dengan masalah ini. Diantara semua hadis itu paling
tidak ada tiga hadits utama yang memiliki kelompok periwayatan yang berbeda
satu sama lain. Hadis pertama, diriwayatkan oleh sahabat Nabi, yakni Umar bin
Khattab; kedua, menunjukan anak laki-lakinya yaitu Abdullah ibn Umar, sebagai
periwayat pertamanya; ketiga, oleh Thalhah ibn Ubaidilah.
a.
Hadis Umar bin Khattab
Hadits Umar lebih dikenal dengan hadits Jibril karena dalam hadits
tersebut Jibril datang kepada Nabi menayakan masalah Islam, Iman dan Ihsan.
Berbagai varian dari masing-masing versi ini, yang masing-masing dilengkapi
dengan isnad, ditemukan dalam enam sumber; Musnad ahmad bin
Hanbal, Shahih Muslim, Sunan al-Nasai, Sunan Abu Daud, Shahih at-Tirmdzi dan
Sunan Ibn Majah.[27]
Sekiranya setelah dianalisis dan membentuk sebuah bundelan isnad
dari berbagai variasi dari sumber tersebut, maka akan terdapat sebuah gambaran
bahwa Khamas bin Hasan berperan sebagai common link bagi versi ini. Ia
diklaim sebagai guru sekurang-kurangnya oleh delapan orang; Muadz bin Muadz, an
Nadzhar bin Sumail, ibn al-Mubarak, Muadz ibn Hisyam, Waki, Yazid ibn
HarunAbdullah ibn Yazid dan Muhammad ibn Jafar. Tujuh dari delapan murid Khamas
ini adalah jalur-jalur tunggal. Satu-satunya murid Khamas yang menduduki
partial comon link (pcl) adalah Waki yang menyampaikan Hadits itu kepada
lebih dari satu orang (empat orang muridnya). Jika kita menerapkan teori
Juynboll secara kaku, maka Kahmas hanya berposisi sebagai a seeming (yang
tampak) common link, demikian pula Waki, ia bukan common link
karena ia tidak memiliki dua orang murid yang menyampaikan hadits ke lebih dari
seorang periwayat. Jika demikan halnya tidak ada common link dalam
bundel ini. Ini adalah sebuah kesimpulan naif dan sangat tidak bijaksana.
Akan tetapi, jika kita mengikuti versi Motzki dan David Powers
dalam bundel isnad hadis ini, maka kita dapat mengambil sebuah asumsi bahwa
Kahmas adalah seorang common link-nya. Dan memamng dari kenyataanya ia merupakan
common link dalam bundelan isnad itu. Maka dapat disimpulkan
bahwa hadits tentang Syahadat dan Rukun Islam yang dikaitkan dengan Umar ibn
Khathab sebagai periwayat pertama yang hadis tersebut disebarkan di Basrah pada
paro pertama abad ke kedua hijriah oleh Abu Hasan Kahmas bin al-Hasan
at-Taimi (w. 149 H).
b.
Hadis Ibn Umar
Berbagai varian hadits Syahadat dan Rukun Islam versi Ibnu Umar
yang dilengkapi dengan isnad ditemukan dalam beberapa sumber; Musnad
Huamaidi, Musnad Ibnu Hambal, Shahih Bukhari, Shahih Mulim, Shahih al-Tirmidzi
dan Sunan Nasa’i. Adapun setelah diteliti dari beberapa varian dari berbagai
versi Hadits dalam kitab-kitab tersebut, maka akan terlihat bahwa semua jalur
yang memancar dari Ibnu Umar adalah jalur tunggal. Meskipun demikian, dengan
mengikuti cara David Powers mengidentifikasi the real common link, hal
ini mengindikasikan bahwa Ibnu Umar adalah common link bagi bundelan isnad
tersebut. Dan dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang Syahadat
dan Rukun Islam yang dihubungkan dengan nama sahabat Ibn Umar, disebarkan di Madinah
pada seperempat ketiga abad pertama hijriah oleh Abdullah bin Umar sendiri.
c.
Hadis Thalhah ibn Ubaidilah
Sejumlah varian hadits Syahadat dan Rukun Islam versi Thalhah ibn
Ubaidillah, yang disertai dengan isnad-nya terdapat dalam sumber-sumber
berikut; Muattha’ Malik, Musnad Ibnu Hambal, al-Jaami’u Shahih
al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Sunan Abu Daud dan Sunan Damiri.
Al-Bukhari merekam dua varian; satu versi dari kutaibah yang
kembali kepada Ismail bin Ja’far, sementara versi satunya dari Ismail ibn Abi Uwais
yang bersumber dari malik. Dalam Shahih Muslim terdapat dua varian; satu varian
dari Qutaibah dan satu Varian lagi dari yahya bin Ayub. Malik ibn Hambal dan Ad-Darimi
masing-masing menyebutkan satu varian; vesi malik ibn Hambal dan versi dengan
versi panjang sementara Ad-Darimi dengan versi pendek.
Apabila diteliti dari varian-varian tersebut maka akan terlihat
pada bundel isnad tersebut bahwa meskipun kita mengikuti kriteria-kriteria
Juynboll, tampak jelas bahwa Abu Suhail bin Malik menempati posisi common
link, Ia setidaknya menyampaikan haditsnya kepada dua orang muridnya; malik
bin Annas dan Ismail bin Ja’far kedua periwayat yang sama-sama berasal dari
madinah ini memainkan sebagai partial common link (pcl) karena memiliki
lebih dari seorang murid. Dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa
hadis tentang rukum Islam yang dihubungkan kepada Thalhah bin Ubaidillah
sebagai periwaayat pertamanya disebarkan di Madinah ada seperempat pertama abad
kedua oleh Abu Suhail Nafi bin Malik.
2. Analisis Matan
Dari studi analisi matan dapat diamati bahwa berbagai varian matan
dari sebuah bundel isnad memiliki elemen-elemen umum yang muncul pada
seluruh versi yang berbeda. Inti matan ini setidaknya kembali kepada seseorang
yang membentuk common link dalam bundel isnad. Hanya saja untuk
menentukan elemen-elemen tekstual ini lebih tua dari common link atau
justru sebaliknya, kita harus mengembalikan berbagai versi yang kembali kepada common
link yang berbeda namun melaporkan riwayat yang sama. Langkah pertama dari
analisi matan ini adalah membandingkan berbagai varian yang termasuk
kedalam bundel isnad yang sama. Langkah kedua adalah perbandingan anatara
berbagai matan yang termasuk kedalam bundel-bundel isnad yang berbeda.
3.
Hubungan antar berbagai hadis yang
berbeda
Dalam membandingkan antara matan yang yang gabung dalam berbagai
bundel isnad yang berbeda berkaitan dengan hadits Syahadat dan Rukun Islam, ada
empat versi yang harus dibandingkan satu dengan yang lainya; versi umar bin
Khatab, versi Abu Hurairah, Ibn Umar dan versi Thalhah ibn Ubaidah, akan tetapi
yang di paparkan diatas hanya tiga versi.
Jika kandunagan teks mantan hadits yang dinyatakan berasal dari
Kahmas dibandingkan dengan teks yang kembali kepada Abu Zur’ah maka terlihat
dengan jelas bahwa keduanya menunjukan persamaan subtansi dan struktur matan.
Dari substansi struktur matan dua hadits ini sama-sama berisi tentang
penjelasan Rukun Islam, Iman dan Ihsan, dan tanda-tanda hari akhir. Sementara
dari struktur matan, keduanya menunjukan bahwa hadis itu muncul karena nabi
ditanya oleh seorang laki-laki tak dikenal yang kemudian diterangkan dibagian
akhir bahwa seorang lak-laki itu adalah Jibril.
Perbedaannya tentu saja hanya terkait dengan persoalan pemilihan
lafadznya saja, adanya penambahan (Ziyadah) atau pengurangan pada
bagian-bagian matannya. Versi Kahmas menggunakan lafadz-lafadz sepeti akhbirni
‘an al Islam, akhbirni ‘an al iman dan akhbirni ‘an assa’ah,
dan mataa assa’ah seperti uang terdapat dalam versi abu Zur’ah. Selain
itu, elemen-elemen Rukun Islam dan Rukun Iman dalam versi Kahmas tampaknya jauh
lebih lengkap dan lebih sistematis dari pada yang terekam dalam versi Abu
Zur’ah. Dalam versi Abu Zur’ah tidak disebutkan percaya pada kitab-kitab dan
percaya pada qadar, baik dan buruk, seperti dalam versi Kahmas. Versi Ab Zur’ah
juga tidak menyebutkan Haji sebagai elemen Rukun Islam.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Biografi Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar
Ali Masrur Abdul Ghaffar lahir di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun
1973. Setelah menamatkan pendidikannya di MINU (1985) dan MTsN (1988) serta
belajar bahasa Arab di Madrasatul Alsun selama empat tahun (1984-1988) di
Sidoarjo, ia melanjutkan sekolah ke MA Program Khusus di Jember Jawa Timur. Teori
Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw.
Merupakan judul desertasi beliau program Doktor konsentrasi Islamic Studies dan
lulus pada tahun 2004.
2. Kegelisahan Akademik
a. Terdapat sejumlah pemikir yang meragukan kebenaran hadis dan meyakini
hadis sebagai berasal dari nabi dan keduanya sama-sama dapat membuktikan secara
historis.
b.
Signifikasi hadis dalam menformulasikan hukum Islam, sehingga perlu
mengkaji asal-usul hadis (kesejarahanya), baik dari segi sanad maupun matan
yang masih diperdebatkan.
c.
Belum ada tulisan-tulisan yang bersifat menyeluruh dan mendalam
dalam mengkaji dan meneliti teori common linknya secara khusus.
3. Logika sistematis
penulisan
Dalam buku ini terdapat lima bab, pada bab pertama, Gautier
H.A. Juynboll: Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern di Barat. Kedua,
Teori Common Link G.H.A. Juynboll. Ketiga, Implikasi Teori Common
Link terhadap Asal Usul dan Perkembangan Hadis. Ke-empat, Berbagai
Interpretasi tentang Fenomena Common Link. Kelima, Verifikasi
Teori Common Link.
4. Asumsi dasar dan
istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link
Semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju
kepadanya atau yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang periwayat
dan periwayatanya memiliki klaim sejarah.
Seharusnya mayoritas jalur isnad dalam berbagai koleksi hadits
menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari nabi, dan
kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada gilirannya para
sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan seterusnya
hingga sampai kepada para kolektor hadits.
Istilah dalam teori common link yang merupakan kebalikan
dari cl (common link) yaitu inverted common link (icl). Sedangkan
kebalikan dari periwayat common link (pcl) adalah inventerted partial common
link (ipcl). Diving strand yaitu
murid yang berada dibawah common link namun tidak memenuhi syarat sebagai partical
common link dengan pengertian
bahwa jalur isnad yang menyelam dan tiba-tiba sampai kepada periwayat
dibawah common link. Spider yakni sebuah bundel isnad yang
terdiri dari berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang
memiliki lebih dari seorang murid.
Cara kerja teori common link secara garis besar terbagi menjadi
dua: pertama, analisis dari segi sanad. Kedua, analisis dari segi matan. Dari
segi isnad langkah-langkahnya di mulai dari 1). Menentukan hadis yang akan di
teliti,2). Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis,3). Menghimpun seluruh
isnad hadis,4). Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu
bundel isnad,5). Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab dalam
penyebaran hadis.
Sedangkan dari segi matan sebagimana metode analisis isnad-cum-matn
menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah: 1). Mengumpulkan sebanyak mungkin
varian yang dilengkapi dengan isnad,2). Menghimpun seluruh jalur isnad untuk
mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda,3).
Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan
perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya,4). Membandingkan analisis
isnad dan matan.
5. Implikasi Teori Common
Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadis
Implikasi dalam teori common link adalah:
1. Sumber dan asal
usul hadis
Hadis tidak bersumber dari sahabat atau nabi, tapi yang berperan
sebagai common link, dan Ia bertanggung jawab atas matan dan isnad
dalam suatu bundel hadis.
2.
Metode kritik hadis konvensional
Terdapat beberapa titik kelemahan dalam metode kritik hadis
konvensional: (1) Kemunculannya dianggap terlambat, (2) Isnad dapat
sipalsukan secara keseluruhan, (3) Tidak diterapkan keritik matan yang tepat.
Berangkat dari kenyataan ini Juynboll menawarkan metode common link
sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional.
3.
Teori Mutawatir dalam hadis
Kajiannya menekankan
pada keraguannya akan keautentikan hadits mutawatir apakah benar-benar berasal
dari nabi atau bukan. Dalam hal ini Ia mengatakan ”kemutawatiran sebuah
hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi”. Dari
hasil penelitianya Ia menyatakan bahwa hadits tersebut disebarkan oleh generasi
belakangan dan bukan berasal dari priode nabi.
4.
Posisi Su’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadis
Keterlibatan Su’bah dalam perkembangan hadits merupakan konsekuensi
dari teorinya yang berdiri diatas asumsi-asumsi kritik historis-filologi. Ia
tidak menerima laporan dari berbagai kritikus hadis dalam kitab-kitab biografi
para perawi hadits. Tetapi menempatkannya sebagai laporan sejarah bagi
peristiwa yang sebenarnya yang mungkin terdapat kelemahan, kekurangan atau
bahkan kesalahan yang karena telah tercampur dengan berbagai interprestasi yang
muncul belakangan.
5.
Isnad keluarga: Historisitas Isnad Malik-Nafi-Ibnu Umar
Isnad keluargapun
masih terdapat ketimpangan, terlebih ketika ia telah meneliti Almuatha Imam Malik.
Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal; yani kesejarahan
tokoh Nafi dan hubungan guru murid antara Malik dan Nafi’.
6. Verifikasi Teori Common
Link Berdasarkan Hadis tentang Syahadat
dan Rukun Islam
dan Rukun Islam
Dapat disimpulakan bahwa sumber hadis secara vebal adalah generasi
sahabat kecil, generasi tabiin, dan tabiit tabiin. Dan kota-kota yang menjadi
pusat penyebaran tentang hadis syahadat dan rukun Islam adalah Basrah, Kufah,
dan Madinah.
Semakin jauh dari masa nabi dan sahabat, maka semakin berkambang
jalur Isnad tersebut, sehingga pada masa tabiin jalur isnad tentu lebih banyak
berkembang dari pada masa sahaba kecil (common link). Perkembangan isnad
sebuah hadis tidak sama antara yang satu dengan yang lain, karena tidak
seragam, tapi bervariasi.
Perkembangan priode periwayatan secara individu ke priode
periwayatan secara publik dan massal menjadi titik tolak bagi perkembangan awal
isnad dari jalur tunggal (single strand) ke beberapa jalur belakangan, sehingga
tidak tepat apabila common link dikatakan fabricator (pemalsu)
atau originator (pemula/pembuat) hadis. Study ini menunjukkan bahwa
common link adalah orang yang pertama menyebarkan hadis dengan kata-katanya
sendiri secara publik dan massal, namun maknanya tetap berkesinambungan dengan
masa yang lebih tua darinya. Sehingga diangram yang tepat adalah sebagai
berikut:
Common
link
Common
link Tabiin
Common link sahabat sahabat
Nabi
Bukan jalur tunggal seperti anggapan Juynboll, jalur tunggal
(bundel isnad) seperti diagram berikut:
Common link
tabiin
Tabiin
Sahabat
Nabi
Dari bukti- bukti yang telah di kemukakan tersebut, maka teori
common link yang di kembangkan oleh Juynboll dapat di terima validitasnya
sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis nabi, akan tetapi
interpretasi Juynboll dari teori tersebut mengandung penyimpangan (anomali-anomali)
yang perlu direvisi.
DAFTAR PUSTAKA
As-Suyuthi, Tadrib
Ar-rawi, Beirut: Dar al-fikr, 1988.
Berg, Herbert.
The Development Of Exegesis in Early Islam: The Autenticity of Muslim
Liberature From the Formative Peroid, (Curzon: Curzon Press, 2000).
David S.
Powers, Studies in Quran and Hadith: the Formation of the Islamic Law of
Inheritance, Los Angels: University of California Press, 1986.
G. H. A
Juynboll, Early Islamic Society as Reflected In Its Use of Isnads,”
dalam Le Moseon 107.
Goldziher, Ignas.
Muslim Studies, trans. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. II, London:
George Allen and UNWIN LTD, 1971.
G. H. A
Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenence and
Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Ismail, M.
Syhudi, Kaedah Keashihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Masrur,
Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll, PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta,
2007.
Motzki, Harald.
“Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s Nafi’ the
mawla of Ibn ‘Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”, rans. Fiona
Ford and Frank Griffel.
Motzki, Harald.
“The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: On the Origin and the Reliability of Some Maghazi-reports”,
dalam Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of Muhammad: The Issue of Sources,
Leiden: Brill, 2000.
Phil.
H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis
Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses 24 Desember 2017).
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu
Hadis, Jakarta: Bumi aksara, 1997.
Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, Malang: Uin-Maliki Press, 2010.
Wael B.Hallaq, A
History of Islamic Legal Theories, Cambrideg: Cambridge University Press,
1997.
[1] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007.
Hal. 295-296
[3] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll. hal. 1
[4] Wael B.Hallaq,
A History of Islamic Legal Theories (Cambrideg: Cambridge University
Press, 1997), hal. 2
[5] David S.
Powers, Studies in Quran and Hadith: the Formation of the Islamic Law of
Inheritance (Los Angels: University of California Press, 1986), hal. 6
[6] Harald Motzki,
“Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s
Nafi’ the mawla of Ibn Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”,
rans. Fiona Ford and Frank Griffel, hal. 18
[7] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, hal. 8-9
[8] G. H. A
Juynboll, Early Islamic Society”....., hal . 153 dan “ Some
Isnad-Analitycal Methods....”, hal. 296
[9] Ibid, Some
Isnad-Analitycal Methods....”, hal. 297
[10] G. H. A
Juynboll, Early Islamic Society”....., hal . 155-156
[11] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, hal. 75. Umi Sumbulah, Kajian Kritis
Ilmu Hadis, (Malang: Uin-Maliki Press, 2010), hal. 175
[12]Ali
Masrur, Teori Common Link….. hal. 22
[13]Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis
atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses 24 Desember 2017).
[17] Paling tidak
harus memenuhi 5 karakter yang sudah ditentukan dan disepakati (sanadnya
sambung, perawinya dhabit, perawinya adil, tidak adanya kejanggalan, dan tidak
adanya kecacatan).
[18]Ignas
Goldziher, Muslim Studies, trans. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. II,
London: George Allen and UNWIN LTD, 1971, hal. 140-141
[19]G. H. A
Juynboll, Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenence and
Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983,
hal. 71
[20] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, hal. 79
[21]Harald Motzki,
“The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: On the Origin and the Reliability of
Some Maghazi-reports”, dalam Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of
Muhammad: The Issue of Sources, (Leiden: Brill, 2000), hal. 174
[22] Ibid, hal. 174-175
[23] Herbert Berg. The
Development Of Exegesis in Early Islam: The Autenticity of Muslim Liberature
From the Formative Peroid, Curzon: Curzon Press, 2000, hal. 6
[24] M. Syhudi
Ismail, Kaedah Keashihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hal.
132-133
[25] As-Suyuthi, Tadrib
Ar-rawi, Beirut: Dar al-fikr, 1988, hal. 176
[26]Nabia Abbott, Studies
In Arabic Literary Papyri, vol. II, Quranic Commentary and Tradition.
Chicago: University Of Chicago Press, 1977, hal. 36
[27] Ali Masrur, Teori
Common Link G.H.A Juynboll, hal. 217
Tidak ada komentar:
Posting Komentar