Senin, 02 April 2018

teori common link juynboll dalam desertasi Ali Masrur


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pembahasan mengenai hadis sangat terkait dengan status Nabi muhammad saw. Hadis adalah Segala hal yang dikatakan, diperbuat, dan disetujui oleh nabi Muhammad saw. Sunnah dianggap oleh orang-orang muslim sebagai panutan dan dijadikan pedoman yang mengikat bagi mereka. Sejak awal mula tujuan nabi Muhammad diturunkan di dunia ini merupakan sosok teladan bagi umat manusia, sebagaimana yang telah termuat dalam Al-qur’an. Oleh karena itu, segala pengkajian dan penelitian mengenai hadis yang terkait dengan berbagai persoalan mulai asal-usul (kesejarahan) hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan memiliki makna yang sangat penting.
Dalam Islam, posisi hadis tidak dapat dipisahkan dari hukum. Telah diketahui bersama bahwa orang-orang muslim menjalankan dan mengembangkan sebuah agama dengan berpegang teguh pada peraturan yang resmi yakni Qur’an dan hadis. Para fuqaha’ dalam merumuskan hukum fikih, telah mengambil dan menterjemahkan sunnah-sunnah nabi ke dalam aturan-aturan tingkah laku, dengan menjadikan posisi hadis sebagai pendukung kuat yang paling bernilai dan dapat dipercaya. Oleh sebab itu, hukum Islam tidak dapat berdiri sendiri tanpa dukungan hadis.
Disamping itu sebagian besar ahli hadis beranggapan bahwa apabila sebuah hadis tertentu yang disandarkan kepada nabi saw. Sebagaimana yang telah ditemukan dalam koleksi hadis kanonik, lebih-lebih dalam Shahih Bukhari dan Muslim, maka dengan koleksi hadits-hadis itu bersumber dari nabi saw. namun, berdasarkan temuan G.H.A. Juynboll dengan menggunakan teori common link, walaupun sebuah hadis tertentu telah direkam dalam al-Kutub al-sittah, tetapi hadis itu belum tentu berasal dari nabi saw. Oleh karena itu dengan membaca dan menyimak teori common link yang di sodorkan oleh G.H.A. Juynboll merupakan sebuah keharusan bagi kita sebagai akademisi muslim untuk melihat seberapa jauh capaian-capaian studi hadis di Barat, baik yang telah disumbangkan kepada studi hadis, maupun kepada studi Islam.




B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Biografi Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.?
2.      Bagaimana kegelisahan akademik Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A. sehingga mengarang buku yang berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi?
3.      Bagaimana logika dan sistematis penulisan dalam buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi?
4.      Bagaimana asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi ?
5.      Bagaimana implikasi Teori Common Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadis?
6.      Bagiamana verifikasi Teori Common Link berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam hadis Umar bin Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah?

C.  Tujuan penulisan
1.      Agar mengetahui Biografi Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.
2.      Mendeskripsikan kegelisahan akademik Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A. sehingga mengarang buku yang berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi.
  1. Agar mengetahui logika dan sistematis penulisan dalam buku Teori Common Link G.H.A. Juynboll Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi.
  2. Mendeskripsikan dan memahami asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi.
  3. Mengetahui dan memahami implikasi Teori Common Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadis.
  4. Mengetahui verifikasi Teori Common Link berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam hadis Umar bin Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Biografi Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar, M.A.
Ali Masrur Abdul Ghaffar lahir di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1973. Setelah menamatkan pendidikannya di MINU (1985) dan MTsN (1988) serta belajar bahasa Arab di Madrasatul Alsun selama empat tahun (1984-1988) di Sidoarjo, Ia melanjutkan sekolah ke MA Program Khusus di Jember Jawa Timur. Setelah lulus dari MAPK pada tahun 1991, ia melanjutkan ke Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Hadis IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, lulus tahun 1996 dengan skripsi yang berjudul "Kritik Azami terhadap Schacht tentang Isnad" dan ke jenjang Magister Program Pascasarjana Konsentrasi Agama dan Filsafat, lulus tahun 1998. Masih di perguruan tinggi yang sama, Ia melanjutkan studinya ke Program Doktor konsentrasi Islamic Studies dan lulus pada tahun 2004 dengan disertasi yang berjudul Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. di bawah bimbingan Prof. Dr. KH. Sayyid Agil Husin al-Munawwar, M.A. dan Prof. Dr. H.A. Qodry Azizy, M.A. Disertasinya ini kemudian diterbitkan oleh LKiS Yogyakarta pada tahun 2007. Kini, ia mengabdikan diri sebagai dosen tetap Fakultas Ushuluddin dan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Selain itu, ia juga menjabat sebagai Direktur Iranian Corner di Fakultas Ushuluddin UIN Bandung. Pada bulan Pebruari 2012, bersama rombongan Majelis Ulama Indonesia, ia mengikuti Short Course di Pusat Riset, Universitas Internasional Al-Musthafa, Qum, Iran. Hal ini dilakukannya untuk memahami Budaya Islam Iran dan keberagaaman masyarakat Iran dari sumber aslinya untuk menghilangkan berbagai prejudise dan misunderstanding masyarakat Indonesia terhadap aqidah dan ajaran Syiah selama ini.[1]
Beliau berprofesi sebagai  Staff pengajar Pesantren Mahasiswa Al-Muhsin Krapyak Wetan Yogyakarta (1997-1999); Penerjemah dan penulis buku-buku keislaman (1999-Sekarang); Dosen Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2000-Sekarang); Dosen Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung (2004-Sekarang); Distributor kertas Cakrawala Mega Indah (CMI) Sinarmas (2004-2009); Editor Jurnal Wawasan: Jurnal Ilmu Agama dan Budaya, Fak. Ushuluddin UIN Bandung (2007-2011); Editorial Board, Journal of Qur'an and Hadith Studies, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (2011 - Sekarang); Editor In Chief Intisyar al-Afkar: Journal of Islamic and Sosial Studies, Fak. Ushuluddin bekerjasama dengan Universitas Liga Arab dan Ain Syams, Kairo, Mesir (2010-sekarang).
Disela-sela kesibukanya beliau banyak menerjemahkan buku-buku, diantarnya: Geoffrey Parrinder. Yesus dalam Quran, terj. Ali Masrur dkk. Yogyakarta: Bintang
Cemerlang, 2001; Akh. Minhaji. Kontroversi Pembentukan Hukum Islam: Kontribusi Joseph Schacht, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2001; Aliah Schleifer. Sejarah Hidup Maryam AS: Sebuah Kajian Tafsir Tematik, terj. Ali Masrur. Yogyakarta: UII Press, 2004; Ali Masrur. Teori Common Link Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Yogyakarta: LKiS, 2007; Ali Masrur. "Studi Hadis di Barat: dari Ignaz Goldziher hingga Norman Calder" (Dalam proses penerbitan); Michael Cook. Oposisi Penulisan Hadis di Masa Islam Awal, terj. Ali Masrur. Bandung: Nuansa Cendekia, 2012; Gema Martin Munoz (ed.). "Islam dan Dunia Barat: Relasi Budaya dan Politik di akhir Milenium", terj. Ali Masrur dan M. Subky Hasbi (sedang dalam proses penerbitan).[2]

B.     Kegelisahan Akademik
Persoalan asal-usul hadis masih menjadi bahan perdebatan dikalangan para pemikir hadis. mereka meragukan kebenaran hadis berasal dari nabi dan hal itu menurutnya dapat di buktikan secara historis. Sedangkan sebagian pemikir yang lain mempercayai bahwa hadis memang benar-benar berasal dari nabi. Masing-masing kelompok mengemukakan argumenya dengan berbagai alasan yang kuat dengan tujuan untuk sama-sama membuktikan dan menyakinkan.[3]
Sebelumnya sudah ada sejumlah penulis yang membicarakan ide-ide Juynboll tentang hadis, baik dalam bentuk buku maupun artikel. Hanya saja tulisan-tulisan tersebut selain tidak bersifat menyeluruh dan mendalam (komperhensif), juga tidak dimaksudkan untuk meneliti teori common linknya secara khusus.
Wael B. Hallaq dalam A History of Islamic Legal Theories menyatakan, berbagai penelitian akhir-akhir ini tentang asal-usul hadis menunjukkan bahwa Goldziher, Schacht, dan Juynboll terlalu skeptis disamping itu juga, sejumlah hadis dapat diberi penananggalan lebih awal daripada pendapat mereka, bahkan seawal nabi sendiri. Menurut temuan-temuan ini, walaupun sebagian besar hadis berasal dari beberapa dekade setelah hijrah, tetapi ada sejumlah meteri hadis yang berasal dari masa kehidupan nabi.[4] Oleh karena itu, Hallaq tidak menyimpulkan secara a priori bahwa seluruh hadis itu autentik, dan tidak pula menerima semuanya, walaupun beberapa hadis telah diakui shahih oleh ilmu kritik hadis di kalangan muslim.
David S. Powers dalam Studies in Qur’an and Hadith meletakkan Juynboll di antara believers dan sceptics berdasarkan pendapat-pendapat Juynboll dalam Muslim Tradition. Meskipun Juynboll mengakui bahwa setidak-tidaknya terdapat beberapa hadis yang disandarkan kepada nabi telah mencerminkan apa yang sebenarnya dikatakan atau diperbuat oleh nabi, tetapi menurutnya, periwayatan hadis nabi yang formal dan ter-standarisasi baru mulai dikembangkan antara tahun 670 dan 700 M.[5]
Satu-satunya penulis yang mengkaji teori common link secara khusus adalah Harald Motzki. Ia menulis artikel dengan judul, “Quo Vadis, Hadit-Forschung? Eine Kritische Untersuchung von G.H.A Juynboll: “Nafi’ the mawla of Ibn Umar and his position in Muslim Hadith Literature”. Menurutnya, temuan Juynboll bahwa semua hadis nabi dengan isnad Nafi’ Ibnu ‘Umar tidak kembali kepada Malik tetapi kepada Nafi’ tidak dapat dipertahankan. Dengan menggunakan contoh hadis tentang zakat al-fithr, Motzki mampu menunjukkan bahwa hipotesis Juynboll tersebut tidak benar. Ia menyatakan bahwa hadis tersebut kembali kepada Ibnu ‘Umar dan tidak dipalsukan oleh Malik.[6] Meski demikian, penelitian ini tetap tidak sama dengan penelitian Motzki. Jika penelitian Motzki lebih bersifat falsifikatif, maka penelitian yang sekarang ini bersifat verifikatif.
Signifikansi studi hadis sangat terkait dengan status nabi Muhammad saw. Hadis adalah laporan-laporan mengenai sunnah nabi dan generasi muslim awal. Sunnah ini merupakan praktik dan model tingkah laku yang mengantarkan nabi dan masyarakat Madinah ke Puncak kesuksesan. Apa saja yang dikatakan atau diperbuat oleh Nabi saw. dianggap oleh orang-orang muslim sebagai contoh ideal dan normatif bagi mereka. Sejak awal, Muhammad saw. merupakan teladan dari apa yang diajarkan oleh Qur’an. Oleh sebab itu, segala pengkajian mengenai hadis termasuk kajian tentang teori common link yang terkait dengan persoalan asal-usul hadis, memiliki makna yang cukup penting.
Di sisi lain, hadis juga tidak dapat dipisahkan dari posisi hukum dalam Islam. Telah diketahui bahwa orang-orang muslim mengembangkan sebuah agama yang sangat menekankan praktik ortodoks. Di tangan para fuqaha’, fikih telah menterjemahkan sunnah nabi ke dalam aturan-aturan tingkah laku dan hadis merupakan pendukung sunnah yang paling bernilai dan dapat dipercaya. Dengan demikian, hukum Islam tidak dapat berdiri tanpa dukungan hadis, lebih-lebih jika persoalan asal-usul hadis belum terjawab secara memadai. Dalam konteks itulah, pengkajian ini perlu disambut baik.
Di samping itu, Juynboll adalah seorang pengkaji hadis modern di Barat dan sekaligus komentator dan penerjemah ide-ide Goldziher dan Schacht. Walaupun ia tidak selalau mengikuti dan sejalan dengan keduanya, tetapi paling tidak melalui teori common linknya, orang dapat memahami dengan baik karya-karya kedua tokoh itu. Hingga saat ini, Juynboll dapat dianggap sebagai pengkaji hadis terbesar di Barat. Oleh sebab itu, segala pengkajian mengenai hadis termasuk kajian tentang teori common link yang terkait dengan persoalan asal-usul hadis, memiliki makna yang cukup penting.[7]
C.    Logika Sistematis Penulisan
Bab I Gautier H.A. Juynboll: Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern di Barat
a.       Biografi dan Karya-Karya G.H.A. Juynboll
b.      Posisi Juynboll dalam Studi Hadits Modern di Barat
Bab II Teori Common Link G.H.A. Juynboll
a.       Teori Common Link sebelum G.H.A. Juynboll
b.      Asumsi Dasar dan Istilah-istilah Teknis dalam Teori Common Link
c.       Cara Kerja Teori Common Link: Metode Rekonstruksi dan Analisis Isnad
d.      teori-Teori Terkait: Backward-Projection dan Argumenta e silentio.
Bab III Implikasi Teori Common Link terhadap Asal Usul dan Perkembangan Hadis
a.       Sumber dan Asal Usul Hadits
b.      Metode Kritik Hadits Konvensional
c.       Teori Mutawatir dalam Hadits
d.      Posisi Syu'bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadits
e.      Isnad Keluarga: Historisitas Isnad Malik - Nafi' - Ibn Umar
f.        Beberapa Isu Penting dalam Hadits: Hadits tentang pembangunan kota Baghdad, Hadits tentang mengecat rambut dan janggut, Hadits yang merendahkan martabat perempuan (misoginis).
Bab IV Berbagai Interpretasi tentang Fenomena Common Link
a.       M.M. Azami: Common Link Hanya Imajinasi
b.      H.H. Motzki: Common Link sebagai Kolektor Sistematis Pertama
c.       Michael A. Cook: Common Link sebagai Akibat dari Proses Penyebaan Isnad
d.      Norman Calder: Common Link sebagai Tokoh yang Kebal dari Kritik
e.       David Powers dan Upaya Mencari The Real Common Link
f.        Interpretasi Alternatif.
Bab V Verifikasi Teori Common Link Berdasarkan Hadis tentang Syahadat
dan Rukun Islam
a.       Analisis Isnad: Hadits Umar bin al-Khaththab, Hadits Ibn Umar, Hadits Thalhah bin Ubaidillah
b.      Analisis Matan: : Hadits Umar bin al-Khaththab, Hadits Ibn Umar, Hadits Thalhah bin Ubaidillah
c.       Hubungan Antarberbagai Hadits yang Berbeda
d.      Catatan Akhir: kesimpulan, daftar pustaka, indeks, Biodata Penulis
D.    Asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link
1.    Asumsi dasar dan istilah-istilah dalam Teori Common Link
Dalam beberapa tulisannya, Juynboll sering kali mengemukakan asumsi dasar yang menjadi pijakannya dalam meneliti hadits serta memperkenalkan beberapa istilah teknis yang relatif baru, yang berhubungan erat dengan teori common link. Juynboll mengatakan “ The more transmission lines come together in one transmitter, either reaching him or going away from him, the more this transmitter and his transmission have a claim to historicity.[8] Berdasarkan pernytaan tersebut Ia ingin mengatakan bahwa semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatanya memiliki klaim sejarah.
Sebaliknya jika Jika sebuah hadits berdasarkan dari nabi hanya melalui seorang sahabat kapada seorang tabi’in, lalu kepada soerang tabi’an lain yang pada gilirannya sampai kepada common link, dan sesudah itu jalur periwayatanya mulai tersebar dan terpancar keluar maka kesejarahan jalur periwayatan tunggal dari nabi hingga common link tersebut tidak dapat dipertahankan. Disini, yang menjadi persoalan adalah mengapa nabi manyampaikan haditsnya hanya kepeda seorang sahabat, begitu pula sahabat hanya kepada seorang tabi’in dan seterusnya sehingga sampai kepada common link.
Secara ideal, seharusnya mayoritas jalur isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada gilirannya para sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada para kolektor hadits, dengan demikian, jalur periwayatan itu mengambil bentuk sebagai berikut;cl- pcl- pcl- pcl- (pcl-) sejumlah koleksi. Akan tetapi, dalam kenyataanya, sebagian besar jalur isnad baru berkembang pada common link, seorang periwayat hadits dari generasi kedua dan ketiga sesudah nabi SAW.[9]  Common link (CL) adalah periwayat pertama atau tertua yang berbeda dengan para pendahulunya dalam bundel isand, dimana meriwayatkan hadis tidak hanya kepada seorang melainkan kepada beberapa orang yang dianggap sebagai muridnya. Periwayat yang menjadi cl dianggap bertanggung jawab atas jalur tungga yang kembali kepada nabi atau otoritas tertua dan atas perkembangan matan hadis. Atas dasar itu common link dianggap pencetus dan pemalsu isnad dan matan hadis. Analisis Juynboll isnad-isnad dalam hadis kanonik (al-kutubu as-sittah), hanya terdiri dari satu jalur tunggal pada tiga, empat, atau lima periwayat sesudah nabi sebelum jalur periwayatan itu mulai bercabang ke berbagai jalur yang berbeda. Dalam hal ini Juynboll mempertanyakan mengapa jalur isnad itu mulai bercabang dari common link.
Juynboll berpendapat mengenai hal ini, bahwa single straend (jalur tunggal) yang merentang dari common link ke bawah hingga nabi, tidak merepresentasikan jalur periwayatan sebuah hadits nabi, dan sebagai akibatnya tidak memenuhi ukuran kesejarahan. Istilah teknis lain yang diperkenankan oleh Juynboll adalah partiel common link (sebagian periwayat bersama yang selanjutnya disebut pcl) seorang periwayat yang dapat dikatagorikan sebagai pcl adalah periwayat yang menerima hadits dari seorang (atua  lebih) guru, yang berstatus sebagai cl atau yang lain, dan kemudian menyampaikannya kepada dua orang murid atau lebih. Semakin banyak pcl memiliki murid yang menerima hadits darinya maka semakin kuat pula hubungan guru dengan murid dapat dipertahankan sebagai hubungan yang historis. Dalam hal ini, pcl bertanggung jawab atas perubahan yang terjadi pada keautentikan teks (matan hadits). Singkatnya, periwayat yang menajdi pcl memainkan peran yang krusial dalam perubahan keaslian matan hadits menjadi versi yang pada akhirnya terhimpun dalam berbagai koleksi hadits.[10]Harapan Juynboll mengenai sejarah awal periwayatan hadis lebih bersifat ideal, dan dapat dikatakan tidak realistis. Seharusnya jalur isnad telah memancar sejak awal dari nabi melalui beberapa orang sahabat kepada beberapa orang tabiin dan seterusnya hingga sampai pada kolektor hadis.
Istilah kebalikan dari pcl adalah inventerted partial common link (ipcl), yakni periwayat yang menerima laporan lebih dari seorang guru dan kemudian menyampaikannya kepada (jarang lebih dari) seorang murid. Sebagian besar ipcl muncul pada level yang lebih belakangan dalam bindel isnad tertentu dan dalam bindel isnad yang lain terkadang mereka berganti peran sebagai pcl. Satu lagi istilah dalam teori common link yang merupakan kebalikan dari cl yaitu inverted common link (icl). Terdapat perbadaan yang jelas antara cl dan icl. Jika dalam cl terdapat satu jalur tunggal yang merentang dari nabi hingga cl, yang terdiri dari tiga sampai lima periwayat dan kemudian baru menyebar ke beberapa jalur pada level cl maka dalam icl terdapat berbagai jalur tunggal yang berasal dari saksi mata yang berbeda-beda dan pada gilirannya masing-masing dari mereka manyampaikannya kepada seorang murid hingga pada akhirnya bersatu dalam icl.[11]
Istilah selanjutnya yang dikemukakan Juynboll adalah Diving strand yaitu murid yang berada dibawah common link namun  tidak memenuhi syarat sebagai partical common link  dengan pengertian bahwa jalur isnad yang menyelam dan tiba-tiba sampai kepada periwayat dibawah common link.[12] Hal ini hampir sama juga seperti single stand artinya single stand berada dibawa common link sedangkan single strand dalam pengertian istilah Juynboll adalah sanad tunggal dari Nabi hingga ke common link. Konsep "Diving strand" menurut hasil penelitian Juynboll, pertama hadis tersebut dilihat seperti diriwayatkan oleh lebih dari satu Tabiin atau Sahabat, akan tetapi ketika isnadnya diteliti secara cermat dan seksama jaringan atau strand tersebut sesungguhnya berjalur tunggal. Strand seperti itu, menurut Juynboll, dibuat-buat oleh kolektor tertentu untuk mendukung periwayatan hadis yang bersangkutan.[13]
Istilah selanjutnya adalah Spider yakni sebuah bundel isnad yang terdiri dari berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari seorang murid.[14] Istilah spider ini juga hampir sama dengan single strand namun rentan rawinya melewati orang yang semasa dengan Common link atu langsug memperoleh riwayat dari guru common link dan bahkan melewati sahabat yang lain, maka fenomena ini dinamakan dengan spider stand. Dikalangan ulama hadis spider  ini dinamakan dengan istilah syawahid dan Mutabi'. syawahid  berasal dari kata syahid yang bermakna menyaksikan, yakni seorang sahabat menyaksikan sunnah nabi namun matan atau maknanya mempunyai kesamaan dengan matan atau makna hadis yang lain.[15] Adapun Mutabi' bermakna mengiringi atau yang mencocoki, maksudnya adalah hadis yang sanadnya menguatkan sanad lain dari hadis itu juga.[16] Hal ini terjadi pada perawi yang melewati generasi setelah sahabat yakni sanadnya langsung disandarkan  kepada tabi'in.
2.    Cara kerja Teori Common Link: Metode Rekonstruksi dan Analisis Isnad
Secara garis besar dalam setiap hadits terdapat dua bagian yaitu sanad dan matan. Matan hadits dapat dinyatakan keaslianya jika rangkaian periwayat dalam memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dalam metode kritik hadits.[17] Oleh karena itu, dalam setiap kajian hadis para ulama hadits lebih menekankan penelitian isnad dari pada matan. Jika isnad sebuah hadits terdiri dari orang-orang yang dapat dipercaya maka hadits itu dinyatakan shahih, begitupun sebaliknya, jika isnad hadits terdapat oraang-orang yang tidak dapat dipercaya maka hadits itu tidak diterima dalam sejarah periwayatan hadits memang telah terjadi pemalsuan hadits. Namun, hadits-hadits yang dianggap palsu dan lemah telah dipisahkan dari yang asli (otentik) oleh para ahli hadits dengan menggunakan metode kritik isnad. Dengan demikian, proses penyeleksian antara hadits palsu dan asli menurut para ahli hadits sudah dianggap final.
Akan tetapi sebagian besar pengkaji hadis di Barat merasa keberatan dengan metode krtik hadis yang di sodorkan oleh para ahli hadis,[18] bahkan metode kritik yang hanya menitikberatkan pada kritik sanad dinilai oleh Schacht sebagai tidak releven untuk tujuan analisis sejarah.[19]Juynboll juga menegaskan bahwa tidak pernah menemukan metode yang sukses secara moderat untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Selaian itu menurutnya, metode kritik isnad memiliki babarapa kelemahan: pertama, metode kritik isnad baru berkemabang pada priode yang relative sangat lambat. Kedua, isnad hadits, sekalipun shahih, dapat di palsukan secara keseluruhan dengan mudah. Ketiga, tidak diterapannya kriteria yang tepat untuk memeriksa matan hadits.[20]
Dari pernyataan Juynboll tersebut, Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar dapat menyimpulkan langkah-langkah yang harus di tempuh untuk menerapkan metode analisis isnad tersebut secara rinci, diantara langkah-langkah tersebut adalah:
1.      Menentukan hadis yang akan di teliti;
2.      Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis;
3.      Menghimpun seluruh isnad hadis;
4.      Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad;
5.      Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab dalam penyebaran hadis.  
Selain menggunakan metode analisis isnad sebagiamana yang telah di rangkum oleh Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar tersebut, Juynboll juga melakukan analisis matan guna menguji otentisitas dan kesejarahan hadits nabi. Secara umum langkah-langkah metode analisis matan yang diajukannya adalah : (1) Mencari matan yang sejalan. (2) Mengidentifikasi common link yang terdapat pada matan yang sejalan. (3) Menentukan common link yang tertua. (4) Menentukan bagian teks yang sama dalam semua hadits yang sejalan.
Dalam menanggapi metode analisis isnad Juynboll, motzki mengajukan suatu metode yang disebut dengan metode analisis isnad-cum-matn. Metode ini bertujuan untuk menelusuri sejarah periwayatan hadits dengan cara membandingkan varian-varian yang terdapat dalam berbagai kompilasi yang berbeda-beda. Metode ini berangkat dari asumsi dasar bahwa sebagai varian dari sebuah hadits, setidak-tidaknya sebagiannya, merupakan akibat dari prose periwayatan dan juga bahwa isnad dari varian-varian itu, sekurang-kurangnya sebagiannya, merepleksikan jalur-jalur periwayatan yang sebenarnya.[21]
Metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah:
1.                   Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad
2.                   Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda
3.                   Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya.
4.                   Membandingkan analisis isnad dan matan.
Dengan membandingkan hasil analisi isnad dan matan maka akan dapat diambil kesimpulan tentang kapan hadits tersebut mulai disebarkan, siapa saja yang menjadi periwayat hadits tertua, bagaimana teks-teks itu dapat mengalami perubahan pada jalur periwayatan tertentu dan siapa yang bertanggung jawab atas periwayatan itu. Jika kita mencermati dengan sesama dua langkah pertama dari metode analisis isnad-cum-matn motzki tampaknya tidak jauh berbeda dengan metode analisis isnad Juynboll. Yang berbeda adalah dua langkah terakhir yang memusatkan perhatian pada matan hadits, khususnya pada struktur dan susunan katanya.[22] Metode Juyboll yang sudah diperbaiki oleh Motzki ini akan dikaji dan di verifikasi oleh Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar.

E.     Implikasi Teori Common Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadis
1.    Sumber dan asal-usul hadis
Implikasi yang paling penting dalam teori common link adalah menyangkut sumber hadits, siapa yang menjadi sumber hadits yang terhimpun dalam berbagai koleksi hadits, khususnya koleksi hadits konanik; apakah nabi, sahabat, tabiin, tabiit tabiin. Mayoritas para ulama hadits sepakat bahwa semua hadis yang terdapat dalam koleksi kitab konanik adalah otentik, dan dengan demikian, bersumber dari Nabi.[23]
Berbeda dengan Juynboll dengan tegas mengungkapkan hasil temuannya bahwa setiap hadits yang terdapat dalam koleksi hadits yang konanik sekalipun, tidak bersumber dari sahabat atau nabi sekalipun, sahabat dan nabi tidak bertanggungjawab atas dimasukannya nama-nama mereka kedalam isnad hadits. Adapun yang bertanggung jawab atas matan hadis dan juga isnad adalah seorang periwayat hadits yang berperan sebagai common link dalam suatu bundel hadits.
2.    Metode kritik hadis konvensional
Dalam rangka menghadapi gerakan pemalsuan hadits para ulama ahli hadits telah mengembangkan sebuah metode kritik hadits untuk mebedakan atara hadits otentik dan hadits lemah bahkan palsu. Metode tersebut berpijak pada lima kriteria, (1) Sanadnya bersambung, (2). Diriwayatkan oleh orang yang adil (3). Diriwayatkan oleh orang yang dhabit, (4). Terhidar dari syudzudz, (5). Terhindar dari ‘ilat.[24] Metode ini menurut para ulama hadits dianggap baku, karena telah terbukti kehandalannya dan mampu menyingkirkan hadits-hadits palsu dan lemah.
Berbeda dengan Juynboll, dalam pengamatanya terdapat kelemahan dalam metode konvensional, metode tersebut menurutnya masih menimbulkan kontroversi jika digunakan untuk membuktikan kesejarahan penisbatan hadits kepada nabi. Menurutnya ada beberapa titik kelemahan dalam metode itu: (1) Kemunculannya dianggap terlambat, (2) Isnad dapat sipalsukan secara keseluruhan, (3) Tidak diterapkan keritik matan yang tepat. Berangkat dari kenyataan ini Juynboll menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional. Metode common link ternyata tidak hanya berimplikasi merevisi metode kritik konvensional, tetapi juga menolak seluruh asumsi dasar yang menjadi pijakan bagi metode itu. Jika metode kritik hadits konvensional berpijak pada kualitas periwayat, maka metode common link tidak hanya berpijak pada kualitas periwayat saja, namun lebih dari itu yakni berpijak pula pada kuantitasnya. Ini berarti Juynboll secara implisit menolak seluruh hadits ahad mengharapkan bahwa seluruh hadis seharusnya diriwayatkan secara mutawatir dari tiap-tiap masa hingga sampai pada kolektor hadis.
Dalam menyikapi pendapat Juynboll ini sebagai akademisi Muslim tidak perlu heran jika kita memahami metode yang dikembangkannya, bahkan dapat menjadikan tambahan karena metode tersebut dibangun diatas dasar-dasar prinsip kritik teks historis-filologis. Prinsip dasar ini menuntut bahwa ketika otentitas menuntut laporan yang terdapat dalam sebuah teks (matan hadits) belum terbukti secara pasti, maka kekosongan yang ada dalam deskripsi harus diakui dan dipertimbangkan dalam setiap langkah untuk membangun sebuah rekonstruksi sejarah yang lebih lengkap.
3.    Teori Mutawatir dalam hadis
Hadis apabila ditinjau dari segi kuantitas periwayatannya terbagi menjadi dua, yaitu: hadits ahad dan hadits mutawatir. Hadis mutawatir terbagi kepada dua lagi, yaitu: mutawatir lafzi dan mutawatir ma’nawi. Hadis mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh sejulah periwayat dari awal hingga akhir sanad yang menurut nalar dan kebiasaan mereka tidak mungkin bersekongkol untuk berbuat bohong.[25] Sejumlah ahli hadis beranggapan bahwa kemutawatiran sebuah hadits dapat dijadikan jaminan bahwa hadits tersebut bersumber dari Nabi. Oleh karena itu para periwayat hadits mutawatir tidak perlu diteliti bahkan wajib hukumnya untuk mengamalkanya tanpa harus meneliti terlebih dahulu.
Meskipun demikian para ulama hadis berbeda pendapat dalam menentukan berapa jumlah minimal periwayat yang tergolong kedapam hadits  mutawatir, disamping itu, ulama juga berbeda pandapat mengenai ada atau tidaknya hadits mutawatir; pendapat pertama menolak adanya hadis mutawatir, atau paling tidak merasa sulit untuk menemukannya. Ibn Shalah mengatakan : “sangat sulit menemukan hadits mutawatir”. Ibn Hibban al-buti dengan tegas mengatakan “adapun akhbar, maka setiap akhbar adalah akhbar ahad”, meskipun pada kenyataanya hadis mutawatir yang lafzdi tidak sedikit jumlahnya. Diantara para pendukung pendapat ini adalah as-Suyuthi, Ibn Hajar dan khodhi ‘Iyad. Pendapat ketiga mengatakan, hadits-hadits yang dipakai sebagai bukti adanya hadits mutawatir lafzi, pada hakikatnya bukan mutawatir lafzi melainkan mutawatir ma’nawi.
Berbeda dengan Juynboll dalam kajiannya mengenai hadis mutawatir, dalam kajiannya menekankan pada keraguannya akan keautentikan hadits mutawatir apakah benar-benar berasal dari nabi atau bukan. Dalam hal ini Ia mengatakan ”kemutawatiran sebuah hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi”. Sebagai bukti Ia meneliti dua buah hadits yang digolongkan oleh ahli hadits kedalam mutawatir yaitu hadits man kadzaba (larangan berbohong atas nama nabi) dan hadits niyaahah (meratapi kematian anggota keluarga). Setelah melakukan penelitian isnad dan matan kedua hadits tersebut Ia menyatakan bahwa hadits tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan bukan berasal dari priode nabi. Lebih lanjut Ia mempermasalahkan definisi hadits mutawatir yang didefinisikan dengan penuh konflik perumusannya bahkan mengalami berbagai perubahan yang tidak sederhana. Terkadang rumusan tersebut dapat diterapkan dalam hadis dan konteks tertentu namun tidak pada dalam konteks yang lain. Menurutnya satu-satunya yang dapat diterapkan pada berbagai periwayatan hadits mutawatir adalah kriteria mengenai syarat bagi para periwayat yang berbeda pada tingkatan (thabaqah) tertua, yakni sejumlah sahabat dikatakan meriwayatkan satu matan hadits yang sama dari nabi, atau melaporkan satu kejadian yang sama mengenai kehidupannya namun pada thabaqah berikutnya jumlah thabaqat tidak memenuhi syarat ini tidak dapat terpenuhi.
4.    Posisi Su’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadis
Dalam kitab-kitab biografi periwayatan hadits, Su’bah bin Hajjaj menduduki posisi terhormat diantara para hadits lainnya, khususnya di basrah. Pada awalnya su’bah adalah seorang mawali dari Wasth yang kemudian tinggal dibasrah. Ia termasuk salah seorang ahli dalam kritik hadits. Disamping itu ia diakui oleh semua orang dan diberi gelar yang terhormat sebagai amir al-mu’miniin fi al-hadits (pemimpin orang-orang mu’min dalam hadits). Su’bah bin Hajjaj termasuk salah seorang yang meriwayatkan hadits man kadzaba yang mana menurut Juynboll, hadits tersebut tidak didapat dipertahankan secara kesejarahan. Lanjut Juynboll, Su’bah juga terlibat dalam berbagai hadits lain yang kesejarahannya masih dipertanyakan.
Kecurigaan Juynboll atas keterlibatan Su’bah dalam perkembangan hadits merupakan konsekuensi dari teorinya yang berdiri diatas asumsi-asumsi kritik historis-filologi. Ia tidak menerima laporan dari berbagai kritikus hadis dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits. Tetapi menempatkannya sebagai laporan sejarah bagi peristiwa yang sebenarnya yang mungkin terdapat kelemahan, kekurangan atau bahkan kesalahan yang karena telah tercampur dengan berbagai interprestasi yang muncul belakangan.
5.    Isnad keluarga: Historisitas Isnad Malik-Nafi-Ibnu Umar
Sejak awal periwayatan hadits, tidak sedikit hadits yang diriwayatkan melalui isnad-isnad keluarga, kata keluarga disini tidak hanya mencakup hubungan darah saja, tetapi mencakup pula hubungan mawali, hubungan budak dengan tuannya.[26] Salah satu diantara berbagai macam isnad keluarga yaitu jalur Malik-Nafi-Ibnu Umar yang diklaim oleh para ahli hadits sebagai isnad palinya sahih “silsilah az-dzahab”.
Menurut Juynboll, Isnad keluargapun masih terdapat ketimpangan, terlebih ketika ia telah meneliti Almuatha Imam Malik. Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal; yani kesejarahan tokoh Nafi dan hubungan guru murid antara Malik dan Nafi’. Dalam masalah pertama Juynboll paling tidak mengungkapkan tiga hal yang memperkuat bahwa tokoh Nafi’ adalah fiktif, bukan historis; (1) sangat sedikit sejarah hidup Nafi’ yang terdapat dalam kitab biografi, (2) asal usul Nafi’ (3) dalam kitab utama yang merekam para tabi’in; thabaqat al-kabir karangan ibn Sa’ad dan shifat asy-syafwah karangan ibn Jawzi biografi Nafi tidak dijumpai. Untuk masalah yang kedua, keraguan Juyboll dalam hubungan murid-guru antara Malik-Nafi’ didukung oleh berapa argument diantaranya; (1) pernyataan Malik bahwa ia adlah murid Nafi’ tidak masuk akal, karena perbedaan usia yang cukup jauh antara Malik dan Nafi’ (Malik 93 H-179 H, Nafi w. sekitar 117-120 H), (2) Nafi’ hanya berkedudukan sebagai a seeming (yang tampak) atau an artificial (buatan) common link sedangkan the real commonlinknya adalah Malik.

F.     Verifikasi Teori Common Link berdasarkan hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam dalam hadis Umar bin Khattab, Ibn Umar, dan Thalhah bin Ubaidillah
1.    Analisis Isnad
Apabila hadis-hadis tentang Syahadat dan Rukun Isam ditelusuri pada berbagai koleksi hadis baik prakanonik mupun kanonik, maka akan di temukan banyak hadis yang berkaitan dengan masalah ini. Diantara semua hadis itu paling tidak ada tiga hadits utama yang memiliki kelompok periwayatan yang berbeda satu sama lain. Hadis pertama, diriwayatkan oleh sahabat Nabi, yakni Umar bin Khattab; kedua, menunjukan anak laki-lakinya yaitu Abdullah ibn Umar, sebagai periwayat pertamanya; ketiga, oleh Thalhah ibn Ubaidilah.
a.       Hadis Umar bin Khattab
Hadits Umar lebih dikenal dengan hadits Jibril karena dalam hadits tersebut Jibril datang kepada Nabi menayakan masalah Islam, Iman dan Ihsan. Berbagai varian dari masing-masing versi ini, yang masing-masing dilengkapi dengan isnad, ditemukan dalam enam sumber;  Musnad ahmad bin Hanbal, Shahih Muslim, Sunan al-Nasai, Sunan Abu Daud, Shahih at-Tirmdzi dan Sunan Ibn Majah.[27]
Sekiranya setelah dianalisis dan membentuk sebuah bundelan isnad dari berbagai variasi dari sumber tersebut, maka akan terdapat sebuah gambaran bahwa Khamas bin Hasan berperan sebagai common link bagi versi ini. Ia diklaim sebagai guru sekurang-kurangnya oleh delapan orang; Muadz bin Muadz, an Nadzhar bin Sumail, ibn al-Mubarak, Muadz ibn Hisyam, Waki, Yazid ibn HarunAbdullah ibn Yazid dan Muhammad ibn Jafar. Tujuh dari delapan murid Khamas ini adalah jalur-jalur tunggal. Satu-satunya murid Khamas yang menduduki partial comon link (pcl)  adalah Waki yang menyampaikan Hadits itu kepada lebih dari satu orang (empat orang muridnya). Jika kita menerapkan teori Juynboll secara kaku, maka Kahmas hanya berposisi sebagai a seeming (yang tampak) common link, demikian pula Waki, ia bukan common link karena ia tidak memiliki dua orang murid yang menyampaikan hadits ke lebih dari seorang periwayat. Jika demikan halnya tidak ada common link dalam bundel ini. Ini adalah sebuah kesimpulan naif dan sangat tidak bijaksana.
Akan tetapi, jika kita mengikuti versi Motzki dan David Powers dalam bundel isnad hadis ini, maka kita dapat mengambil sebuah asumsi bahwa Kahmas adalah seorang common link-nya. Dan memamng dari kenyataanya ia merupakan common link dalam bundelan isnad itu. Maka dapat disimpulkan bahwa hadits tentang Syahadat dan Rukun Islam yang dikaitkan dengan Umar ibn Khathab sebagai periwayat pertama yang hadis tersebut disebarkan di Basrah pada paro pertama abad ke kedua hijriah oleh Abu Hasan Kahmas  bin al-Hasan at-Taimi (w. 149 H).
b.      Hadis Ibn Umar
Berbagai varian hadits Syahadat dan Rukun Islam versi Ibnu Umar yang dilengkapi dengan isnad ditemukan dalam beberapa sumber; Musnad Huamaidi, Musnad Ibnu Hambal, Shahih Bukhari, Shahih Mulim, Shahih al-Tirmidzi dan Sunan Nasa’i. Adapun setelah diteliti dari beberapa varian dari berbagai versi Hadits dalam kitab-kitab tersebut, maka akan terlihat bahwa semua jalur yang memancar dari Ibnu Umar adalah jalur tunggal. Meskipun demikian, dengan mengikuti cara David Powers mengidentifikasi the real common link, hal ini mengindikasikan bahwa Ibnu Umar adalah common link bagi bundelan isnad tersebut. Dan dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa hadis tentang Syahadat dan Rukun Islam yang dihubungkan dengan nama sahabat Ibn Umar, disebarkan di Madinah pada seperempat ketiga abad pertama hijriah oleh Abdullah bin Umar sendiri.
c.       Hadis Thalhah ibn Ubaidilah
Sejumlah varian hadits Syahadat dan Rukun Islam versi Thalhah ibn Ubaidillah, yang disertai dengan isnad-nya terdapat dalam sumber-sumber berikut; Muattha’ Malik, Musnad Ibnu Hambal, al-Jaami’u  Shahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan an-Nasa’I, Sunan Abu Daud dan Sunan Damiri.
Al-Bukhari merekam dua varian; satu versi dari kutaibah yang kembali kepada Ismail bin Ja’far, sementara versi satunya dari Ismail ibn Abi Uwais yang bersumber dari malik. Dalam Shahih Muslim terdapat dua varian; satu varian dari Qutaibah dan satu Varian lagi dari yahya bin Ayub. Malik ibn Hambal dan Ad-Darimi masing-masing menyebutkan satu varian; vesi malik ibn Hambal dan versi dengan versi panjang sementara Ad-Darimi dengan versi pendek.
Apabila diteliti dari varian-varian tersebut maka akan terlihat pada bundel isnad tersebut bahwa meskipun kita mengikuti kriteria-kriteria Juynboll, tampak jelas bahwa Abu Suhail bin Malik menempati posisi common link, Ia setidaknya menyampaikan haditsnya kepada dua orang muridnya; malik bin Annas dan Ismail bin Ja’far kedua periwayat yang sama-sama berasal dari madinah ini memainkan sebagai partial common link (pcl) karena memiliki lebih dari seorang murid. Dari fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hadis tentang rukum Islam yang dihubungkan kepada Thalhah bin Ubaidillah sebagai periwaayat pertamanya disebarkan di Madinah ada seperempat pertama abad kedua oleh Abu Suhail Nafi bin Malik.
2.    Analisis Matan
Dari studi analisi matan dapat diamati bahwa berbagai varian matan dari sebuah bundel isnad memiliki elemen-elemen umum yang muncul pada seluruh versi yang berbeda. Inti matan ini setidaknya kembali kepada seseorang yang membentuk common link dalam bundel isnad. Hanya saja untuk menentukan elemen-elemen tekstual ini lebih tua dari common link atau justru sebaliknya, kita harus mengembalikan berbagai versi yang kembali kepada common link yang berbeda namun melaporkan riwayat yang sama. Langkah pertama dari analisi matan ini adalah membandingkan berbagai varian yang termasuk  kedalam bundel isnad yang sama. Langkah kedua adalah perbandingan anatara berbagai matan yang termasuk kedalam bundel-bundel isnad yang berbeda.
3.    Hubungan antar berbagai hadis yang berbeda
Dalam membandingkan antara matan yang yang gabung dalam berbagai bundel isnad yang berbeda berkaitan dengan hadits Syahadat dan Rukun Islam, ada empat versi yang harus dibandingkan satu dengan yang lainya; versi umar bin Khatab, versi Abu Hurairah, Ibn Umar dan versi Thalhah ibn Ubaidah, akan tetapi yang di paparkan diatas hanya tiga versi.
Jika kandunagan teks mantan hadits yang dinyatakan berasal dari Kahmas dibandingkan dengan teks yang kembali kepada Abu Zur’ah maka terlihat dengan jelas bahwa keduanya menunjukan persamaan subtansi dan struktur matan. Dari substansi struktur matan dua hadits ini sama-sama berisi tentang penjelasan Rukun Islam, Iman dan Ihsan, dan tanda-tanda hari akhir. Sementara dari struktur matan, keduanya menunjukan bahwa hadis itu muncul karena nabi ditanya oleh seorang laki-laki tak dikenal yang kemudian diterangkan dibagian akhir bahwa seorang lak-laki itu adalah Jibril.
Perbedaannya tentu saja hanya terkait dengan persoalan pemilihan lafadznya  saja, adanya penambahan (Ziyadah) atau pengurangan pada bagian-bagian matannya. Versi Kahmas menggunakan lafadz-lafadz sepeti akhbirni ‘an al Islam, akhbirni ‘an al iman dan akhbirni ‘an assa’ah, dan mataa assa’ah seperti uang terdapat dalam versi abu Zur’ah. Selain itu, elemen-elemen Rukun Islam dan Rukun Iman dalam versi Kahmas tampaknya jauh lebih lengkap dan lebih sistematis dari pada yang terekam dalam versi Abu Zur’ah. Dalam versi Abu Zur’ah tidak disebutkan percaya pada kitab-kitab dan percaya pada qadar, baik dan buruk, seperti dalam versi Kahmas. Versi Ab Zur’ah juga tidak menyebutkan Haji sebagai elemen Rukun Islam.



BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.    Biografi Dr. Ali Masrur Abdul Ghaffar
Ali Masrur Abdul Ghaffar lahir di Sidoarjo Jawa Timur pada tahun 1973. Setelah menamatkan pendidikannya di MINU (1985) dan MTsN (1988) serta belajar bahasa Arab di Madrasatul Alsun selama empat tahun (1984-1988) di Sidoarjo, ia melanjutkan sekolah ke MA Program Khusus di Jember Jawa Timur. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi saw. Merupakan judul desertasi beliau program Doktor konsentrasi Islamic Studies dan lulus pada tahun 2004.
2.    Kegelisahan Akademik
a.       Terdapat sejumlah pemikir yang meragukan kebenaran hadis dan meyakini hadis sebagai berasal dari nabi dan keduanya sama-sama dapat membuktikan secara historis.
b.      Signifikasi hadis dalam menformulasikan hukum Islam, sehingga perlu mengkaji asal-usul hadis (kesejarahanya), baik dari segi sanad maupun matan yang masih diperdebatkan.
c.       Belum ada tulisan-tulisan yang bersifat menyeluruh dan mendalam dalam mengkaji dan meneliti teori common linknya secara khusus.
3.    Logika sistematis penulisan
Dalam buku ini terdapat lima bab, pada bab pertama, Gautier H.A. Juynboll: Karya dan Posisinya dalam Studi Hadits Modern di Barat. Kedua, Teori Common Link G.H.A. Juynboll. Ketiga, Implikasi Teori Common Link terhadap Asal Usul dan Perkembangan Hadis. Ke-empat, Berbagai Interpretasi tentang Fenomena Common Link. Kelima, Verifikasi Teori Common Link.
4.    Asumsi dasar dan istilah-istilah teknis serta cara kerja Teori Common Link
Semakin banyak jalur periwayatan yang bertemu, baik yang menuju kepadanya atau yang meninggalkanya, maka semakin besar pula seorang periwayat dan periwayatanya memiliki klaim sejarah.
Seharusnya mayoritas jalur isnad dalam berbagai koleksi hadits menunjukkan jalur-jalur periwayatan yang berkembang sejak dari nabi, dan kemudian memancar kepada sejumlah besar sahabat, yang pada gilirannya para sahabat juga menyampaikannya kepada sejumlah besar tabi’in dan seterusnya hingga sampai kepada para kolektor hadits.
Istilah dalam teori common link yang merupakan kebalikan dari cl (common link) yaitu inverted common link (icl). Sedangkan kebalikan dari periwayat common link (pcl) adalah inventerted partial common link (ipcl). Diving strand yaitu murid yang berada dibawah common link namun  tidak memenuhi syarat sebagai partical common link  dengan pengertian bahwa jalur isnad yang menyelam dan tiba-tiba sampai kepada periwayat dibawah common link. Spider yakni sebuah bundel isnad yang terdiri dari berbagai jalur tunggal, namun tidak seorang periwayat pun yang memiliki lebih dari seorang murid.
Cara kerja teori common link secara garis besar terbagi menjadi dua: pertama, analisis dari segi sanad. Kedua, analisis dari segi matan. Dari segi isnad langkah-langkahnya di mulai dari 1). Menentukan hadis yang akan di teliti,2). Menelusuri hadis dalam berbagai koleksi hadis,3). Menghimpun seluruh isnad hadis,4). Menyusun dan merekonstruksi seluruh jalur isnad dalam satu bundel isnad,5). Mendeteksi common link, periwayat yang bertanggung jawab dalam penyebaran hadis.
Sedangkan dari segi matan sebagimana metode analisis isnad-cum-matn menurut Motzki terdiri dari beberapa langkah: 1). Mengumpulkan sebanyak mungkin varian yang dilengkapi dengan isnad,2). Menghimpun seluruh jalur isnad untuk mendeteksi common link dalam generasi periwayat yang berbeda-beda,3). Membandingkan teks-teks dari berbagai varian itu untuk mencari hubungan dan perbedaan, baik dalam struktur maupun susunan katanya,4). Membandingkan analisis isnad dan matan.
5.    Implikasi Teori Common Link terhadap asal-usul dan perkembangan hadis
Implikasi dalam teori common link adalah:
1.      Sumber dan asal usul hadis
Hadis tidak bersumber dari sahabat atau nabi, tapi yang berperan sebagai common link, dan Ia bertanggung jawab atas matan dan isnad dalam suatu bundel hadis.
2.      Metode kritik hadis konvensional
Terdapat beberapa titik kelemahan dalam metode kritik hadis konvensional: (1) Kemunculannya dianggap terlambat, (2) Isnad dapat sipalsukan secara keseluruhan, (3) Tidak diterapkan keritik matan yang tepat. Berangkat dari kenyataan ini Juynboll menawarkan metode common link sebagai ganti dari metode kritik hadits konvensional.
3.      Teori Mutawatir dalam hadis
         Kajiannya menekankan pada keraguannya akan keautentikan hadits mutawatir apakah benar-benar berasal dari nabi atau bukan. Dalam hal ini Ia mengatakan ”kemutawatiran sebuah hadits bukanlah jaminan bagi kesejarahan penisbatannya kepada Nabi”. Dari hasil penelitianya Ia menyatakan bahwa hadits tersebut disebarkan oleh generasi belakangan dan bukan berasal dari priode nabi.
4.      Posisi Su’bah bin Hajjaj dalam Perkembangan Hadis
Keterlibatan Su’bah dalam perkembangan hadits merupakan konsekuensi dari teorinya yang berdiri diatas asumsi-asumsi kritik historis-filologi. Ia tidak menerima laporan dari berbagai kritikus hadis dalam kitab-kitab biografi para perawi hadits. Tetapi menempatkannya sebagai laporan sejarah bagi peristiwa yang sebenarnya yang mungkin terdapat kelemahan, kekurangan atau bahkan kesalahan yang karena telah tercampur dengan berbagai interprestasi yang muncul belakangan.
5.      Isnad keluarga: Historisitas Isnad Malik-Nafi-Ibnu Umar
Isnad keluargapun masih terdapat ketimpangan, terlebih ketika ia telah meneliti Almuatha Imam Malik. Keraguan Juynboll atas isnad emas ini didasarkan atas dua hal; yani kesejarahan tokoh Nafi dan hubungan guru murid antara Malik dan Nafi’.
6.    Verifikasi Teori Common Link Berdasarkan Hadis tentang Syahadat
dan Rukun Islam
Dapat disimpulakan bahwa sumber hadis secara vebal adalah generasi sahabat kecil, generasi tabiin, dan tabiit tabiin. Dan kota-kota yang menjadi pusat penyebaran tentang hadis syahadat dan rukun Islam adalah Basrah, Kufah, dan Madinah.
Semakin jauh dari masa nabi dan sahabat, maka semakin berkambang jalur Isnad tersebut, sehingga pada masa tabiin jalur isnad tentu lebih banyak berkembang dari pada masa sahaba kecil (common link). Perkembangan isnad sebuah hadis tidak sama antara yang satu dengan yang lain, karena tidak seragam, tapi bervariasi.
Perkembangan priode periwayatan secara individu ke priode periwayatan secara publik dan massal menjadi titik tolak bagi perkembangan awal isnad dari jalur tunggal (single strand) ke beberapa jalur belakangan, sehingga tidak tepat apabila common link dikatakan fabricator (pemalsu) atau originator (pemula/pembuat) hadis. Study ini menunjukkan bahwa common link adalah orang yang pertama menyebarkan hadis dengan kata-katanya sendiri secara publik dan massal, namun maknanya tetap berkesinambungan dengan masa yang lebih tua darinya. Sehingga diangram yang tepat adalah sebagai berikut:

 

                                                                                   Common link
                                                Common link                  Tabiin
            Common link                     sahabat                         sahabat
 

Nabi
Bukan jalur tunggal seperti anggapan Juynboll, jalur tunggal (bundel isnad) seperti diagram berikut:

 

Common link
tabiin
                                                      Tabiin
                                                     Sahabat
Nabi
Dari bukti- bukti yang telah di kemukakan tersebut, maka teori common link yang di kembangkan oleh Juynboll dapat di terima validitasnya sebagai sebuah metode untuk menelusuri asal-usul hadis nabi, akan tetapi interpretasi Juynboll dari teori tersebut mengandung penyimpangan (anomali-anomali) yang perlu direvisi.











DAFTAR PUSTAKA

As-Suyuthi, Tadrib Ar-rawi, Beirut: Dar al-fikr, 1988.
Berg, Herbert. The Development Of Exegesis in Early Islam: The Autenticity of Muslim Liberature From the Formative Peroid, (Curzon: Curzon Press, 2000).
David S. Powers, Studies in Quran and Hadith: the Formation of the Islamic Law of Inheritance, Los Angels: University of California Press, 1986.
G. H. A Juynboll, Early  Islamic Society as Reflected  In Its Use of Isnads,” dalam Le Moseon 107.
Goldziher, Ignas. Muslim Studies, trans. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. II, London: George Allen and UNWIN LTD, 1971.
G. H. A Juynboll,  Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenence and Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983.
Ismail, M. Syhudi, Kaedah Keashihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
Masrur,  Ali, Teori Common Link G.H.A Juynboll,  PT LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007.
Motzki, Harald. “Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s Nafi’ the mawla of Ibn ‘Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”, rans. Fiona Ford and Frank Griffel.
Motzki, Harald. “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: On the Origin and the Reliability of Some Maghazi-reports”, dalam Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of Muhammad: The Issue of Sources, Leiden: Brill, 2000.
Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses  24 Desember 2017).
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, Jakarta: Bumi aksara, 1997.
Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, Malang: Uin-Maliki Press, 2010.
Wael B.Hallaq, A History of Islamic Legal Theories, Cambrideg: Cambridge University Press, 1997.


[1] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll,  PT LKiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2007. Hal. 295-296
[3] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll. hal. 1
[4] Wael B.Hallaq, A History of Islamic Legal Theories (Cambrideg: Cambridge University Press, 1997), hal. 2
[5] David S. Powers, Studies in Quran and Hadith: the Formation of the Islamic Law of Inheritance (Los Angels: University of California Press, 1986), hal. 6
[6] Harald Motzki, “Whither Hadith-Studies? A Critical Examination of G.H.A. Juynboll’s Nafi’ the mawla of Ibn Umar and His Position in Muslim Hadith-Literature”, rans. Fiona Ford and Frank Griffel, hal. 18
[7] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 8-9
[8] G. H. A Juynboll, Early  Islamic Society”....., hal . 153 dan “ Some Isnad-Analitycal Methods....”, hal. 296
[9] Ibid, Some Isnad-Analitycal Methods....”, hal. 297
[10] G. H. A Juynboll, Early  Islamic Society”....., hal . 155-156
[11] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 75. Umi Sumbulah, Kajian Kritis Ilmu Hadis, (Malang: Uin-Maliki Press, 2010), hal. 175
[12]Ali Masrur, Teori Common Link….. hal. 22
[13]Phil. H. Kamaruddin Amin, "Refleksi Metodologis atas Diskursus Kesarjanaan Hadis Islam dan Barat," http://kamaruddinamin.uin-alauddin.ac.id/pidato-12-western-methods-of-dating-visavis-ulumul-hadis.htm (akses  24 Desember 2017).
[14] Ali Masrur, Teori Common Link…hal. 24
[15] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Hadis, (Jakarta: Bumi aksara, 1997), hlm. 236
[16] Ibid, hlm. 183
[17] Paling tidak harus memenuhi 5 karakter yang sudah ditentukan dan disepakati (sanadnya sambung, perawinya dhabit, perawinya adil, tidak adanya kejanggalan, dan tidak adanya kecacatan).
[18]Ignas Goldziher, Muslim Studies, trans. C.M. Barber and S.M. Stern, vol. II, London: George Allen and UNWIN LTD, 1971, hal. 140-141
[19]G. H. A Juynboll,  Muslim Tradition: Studies in Chronology Provenence and Authorship of Early Hadith, Cambridge: Cambridge University Press, 1983, hal. 71
[20] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 79
[21]Harald Motzki, “The Murder of Ibn Abi l-Huqayq: On the Origin and the Reliability of Some Maghazi-reports”, dalam Harald Motzki (ed.), the Bioghraphy of Muhammad: The Issue of Sources, (Leiden: Brill, 2000), hal. 174
[22] Ibid,  hal. 174-175
[23] Herbert Berg. The Development Of Exegesis in Early Islam: The Autenticity of Muslim Liberature From the Formative Peroid, Curzon: Curzon Press, 2000, hal. 6
[24] M. Syhudi Ismail, Kaedah Keashihan Sanad Hadis, Jakarta: Bulan Bintang, 1988, hal. 132-133
[25] As-Suyuthi, Tadrib Ar-rawi, Beirut: Dar al-fikr, 1988, hal. 176
[26]Nabia Abbott, Studies In Arabic Literary Papyri, vol. II, Quranic Commentary and Tradition. Chicago: University Of Chicago Press, 1977, hal. 36
[27] Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A Juynboll, hal. 217

Tidak ada komentar:

Posting Komentar