Senin, 02 April 2018

hermeneutika hadis hukum


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Nabi muhammad saw merupakan makhluk yang paling mulia, dimana perkataanya, perbuatanya, dan ketetapanya dijadikan pedoman dan tauladan bagi umat manusia. Sehingga bisa dikatan sebagai sosok yang melahirkan sunnah (hadis).
Telah diketahui bersama bahwa dalam Islam, posisi hadis tidak dapat dipisahkan dari hukum, sehingga keautentikanya harus terjaga sebagiamana keautentikan Al-Quran. Hal ini berkonsekwensi logis bahwa para pengkaji hadis harus mengkaji otentisiasnya terlebih dulu sebelum melakukan penafsiran atau pemahaman terhadap hadis.
Dalam rangka menentukan validitas dan otentisitas hadis, para ulama kritikus hadis menetapkan lima unsur kaidah kesahihan, yang meliputi: pertama, sanad yang bersambung; kedua, seluruh periwayat bersifat adil; ketiga, seluruh periwayat bersifat dhabit; keempat,  hadis terhindar dari syudzud ; kelima, hadis terhindar dari ‘illat. Dengan melalui kaidah tersebut maka validitas hadis mampu teruji baik dari segi sanad (naqd al-sanad) maupun dari segi matan (naqd al-matan).
Hadis merupakan landasan hukum yang kedua setelah Al-Quran, hukum harus mampu menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, sehingga pemahaman terkait teks hadis harus selalu dapat berdialog dengan objek disepanjang sejarah, untuk menghindari kejumudan dalam pemahan suatu hadis dengan melalui pendekatan hermeneutika[1].
Sebelum mengetahui makna suatu hadis dari pendekatan hermeneutik, maka problem orisinalitas hadis harus terselesaikan terlebih dahulu, dengan memastikan validitas hadis baik dari segi sanad maupun matanya, karena tidak mungkin akan terjadi pemahaman secara benar dan shahih jika belum ada kepastian bahwa apa yang akan dikaji itu benar-benar valid terutama dari segi historisnya, baru kemudian dilanjutkan dengan analisis isi untuk menemukan pemahaman terhadap muatan hadis. Proses demikian jika tidak dilakukan maka akan menjerumuskan seseorang kepada pemahaman yang salah. Oleh karena itu keaslian teks sebuah hadis harus teruji berdasarkan kritik sejarah bukan berdasarkan keyakinan semata.
B.      Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kegelisahan akademik penulis?
2.      Bagaimana logika dan sistematis penulisan jurnal yang berjudul Hermeneutika Hadis Hukum?
3.      Apa yang dimaksud dengan Hermeneutika?
4.      Bagaimana upaya untuk menemukan makna hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika?
C.        Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan kegelisahan akademik penulis jurnal yang berjudul Hemeneutika Hadis Hukum.
  1. Agar mengetahui logika dan sistematis penulisan jurnal “ Hermeneutika Hadis Hukum”.
  2. Mendeskripsikan pengertian Hermeneutika.
  3. Mengetahui dan menemukan makna hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika.












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Kegelisahan Akademik
Sunnah merupakan pegangan mayoritas ketentuan hukum.[2] Kalangan ulama Sunni, hadis atau sunnah sebagai rujukan normatif yang menjadi penjelas (bayaan) terhadap substansi Al-Qur’an dan mereka sepakat atas signifikansi hadis sebagai sumber tasyri’. Status periwayatan hadis kebanyakan bersifat ahad hanya beberapa saja yang bersifat mutawatir, sehingga hadis ada yang berstatus sebagai Qothi’ Ad-dilalah ada juga yang berstatus Dzonni Ad-dilalah, hal tersebut berimplikasi pada upaya pemahaman terhadap teks sebuah hadis.
Seharusnya semua hadis yang akan di tafsiri dengan menggunkan pendekatan Hermeneutika harus terpercaya statusnya terlebih dahulu yaitu hadis-hadis yang mutawattir, sehingga tidak diragukan lagi sumbernya bahwa hadis tersebut (teks hadis) benar-benar berasal dari Rasulullah, berdasarkan problem demikian mengakibatkan para pakar hadis acapkali disibukkan oleh masalah kesahihanya (validitas hadis) sebelum melakukan penafsiran terhadap hadis.
Dalam menguji kevalidan sebuah teks hadis harus melalui kritik ekstern (naqd al-sanad) dan kritik intern (naqd al-matan).[3] Pada tahap kritik historis ini, penggunaan kaedah kesahihan tersebut merupakan suatu yang niscaya, meskipun harus diakui pula bahwa pada tingkat operasional, penggunaan kaedah tersebut masih menghadapi beberapa problem. Misalnya, menyangkut parameter untuk menentukan bahwa seorang perawi adalah adil, sejauh mana dapat diukur tingkat kedhabitan seorang rawi. Di samping itu, sejauhmana bias konflik teologis, konflik politik dan konflik mazhab dalam kodifikasi dan sistematisasi juga merupakan titik yang harus dikritisi. Sehingga upaya mendialogkan hadis yang merupakan yang prodak masa lalu dapat sesuai dan seiring dengan sepanjang sejarah.



B.     Logika Sistematika Penulisan Jurnal
Dalam penulisan jurnal ini memuat lima pembahasan: pertama, pendahuluan; kedua, uji otentitas hadis; ketiga, Hermeneutika hadis; keempat, Hermeneutika Filosofis: sebuah upaya menemukan “Makna Hadis yang Berarti”; kelima, penutup. 
C.    Pengertian Hermeneutika
Hermaneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneia (kata benda) yang kata kerjanya adalah hermeneuein yang berarti menafsirkan atau seni memberikan makna.[4] kata ini berkaitan dengan nama dewa Yunani, Hermes, dewa yang menjadi penghubung Sang Maha Dewa di langit yang membawa pesan kapada manusia di bumi. Hermeneunein berarti menyampaikan pesan dan menyampaikan berita.[5] peran Hermes tak ubahnya seperti peran Nabi sebagai utusan Tuhan yang bertugas sebagai juru penerang dan penghubung untuk menyampaikan pesan dan menyampaikan berita berhasil atau tidak tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.[6] Bahkan Hossein Nasr bespekulasi bahwa Hermes tidak lain adalah Nabi Idris As.[7]
Hermeneutika merupakan suatu ilmu yang merefleksikan tentang bagaimana suatu kata atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu mungkin dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna di dalam situasi kekinian.[8] Dengan demikian hermeneutika mengarahkan agar teks masa lalu mempunyai arti sekarang dan di sini, sehingga teks tersebut mengarah secara terbuka menuju yang sekarang dan di sini.
Jika diterapkan ke dalam study hadis, hermeneutika dapat dipahami sebagai ilmu yang merefleksikan tentang bagaimana teks hadis sebagai wahana yang merekam kejadian masa lalu mungkin untuk dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna di dalam situasi kekinian. Ini berarti bahwa dalam study hadis, teks hadis yang merupakan produk masa lalu itu harus selalu berdialog dengan penafsir dan audienya yang baru di sepanjang sejarah. Hermeneutika hadis mensyaratkan adanya dialog secara intensif antara teks-teks hadis sebagai warisan masa lalu dengan penafsir dan audienya masa kini.
Model-model Hermeneutika hadis dalam konteks pemikiran terhadap teks keagamaan sempat menuai kontroversi, ada yang menolak untuk menggunakan metode itu dan ada juga kelompok yang menerima metode tersebut sebagai metode pemahaman terhadap teks-teks keagamaan. Di antara pemikir yang menggunakan hermeneutika dalam studi hadis adalah Yusuf al-qardhawi, Syuhudi Ismail, dan Fazlur Rahman.
Dalam memahami dan menemukan signifikasi kontekstual hadis, Al-Qardhawi misalnya, menganjurkan beberapa prinsip penafsiran hadis, antara lain: pertama, memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur’an.[9] Karena hadis sebagai bayan al-quran, jadi tidak boleh bertentangan dengan petunjuk al-qur’an. Kedua, menghimpun hadis yang topik bahasannya sama. Hal ini dimaksudkan agar makna sebuah hadis dapat ditangkap secara holistik, tidak parsial. Qardhawi mencontohkan hadis mengenai keharaman memanjangkan kain hingga ke tanah. Ketika hadis tersebut dipahami dengan mengkonfirmasikan kepada hadis-hadis lain yang mempunyai kesamaan topik, maka dapat ditarik makna yang lebih komprehensif yakni memanjangkan kain hingga ke tanah itu haram hukumnya jika dimaksudkan sebagai ekpresi kesombongan seseorang, jika tidak dalam rangka kesombongan, maka tidak haram.[10] Ketiga, pemahaman hadis berdasarkan latar belakang, kondisi serta tujuannya. Maksudnya dengan  memperhatikan eksistensi hadis-hadis yang dipelajari sesuai dengan latar belakang khusus dan kaitannya dengan penyebab tertentu yang tertuang dalam teks hadis dan tersirat dari maknanya atau terbaca dari kenyataan yang melahirkan hadis yang bersangkutan. Dengan cara ini, orang yang mempelajari hadis akan menemukan makna hadis dan signifikansinya bagi kebutuhan historis si penafsir sehingga ia dapat menemukan solusi bagi problematika yang dihadapi dan mampu merefleksikan kemaslahatan yang menjadi tujuan pokok syari’at.
Disamping tiga hal diatas, Al-Qardhawi menekankan bahwa sebuah hadis memuat dua dimensi instrumental (washilah) dan dimensi intensial (ghayah). Yang pertama jelas sangat rentan dengan tarikan perubahan ruang dan waktu sehingga bersifat temporal, sedang yang kedua bersifat permanen. Ketika seorang penafsir hadis tidak mampu membedakan kedua dimensi ini, maka ia akan terjebak pada kekeliruan.
Al-Qaradhawi juga menekankan perlunya pendekatan linguistik, khususnya berkaitan dengan pembedaan makna hakiki dan makna majazi dari lafal-lafal hadis sesuai denga prosedur gramatikal bahasa Arab. Terkait dengan ini, seorang penafsir harus menggunakan studi historis terhadap makna lafal-lafal hadis yang sesungguhnya pada saat hadis yang bersangkutan muncul dan pergeseran-pergeseran makna yang terjadi pada bentangan sejarah berikutnya. Hal ini penting karena menunjukkan makna lafal hadis itu sangat dimungkinkan berubah-ubah dari satu masa ke masa yang lain dari satu lingkungan kultural ke lingkungan kultural lainnya.
Prinsip-prinsip Hermeneutika selain karya Qardhawi, juga terdapat karya Syuhudi Ismail, berangkat dari landasan normatif surat al-Maidah ayat 3, Ia menegaskan karakter Islam sebagai ajaran yang berlaku untuk semua umat manusia. Akan tetapi Ia juga mengakui bahwa begitu Islam memasuki wilayah sejarah, ia akan terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia manusia, sehingga Islam harus terejawantahkan dalam kehidupan praktis secara variatif sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu. Berdasarkan latar belakang ini, Syuhudi membedakan antara ajaran Islam yang berwatak universal di satu sisi dan ajaran Islam yang berwatak temporal dan lokal di sisi lain.[11] Menurutnya, Nabi Muhammad saw. diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Pada bagian lain dinyatakan dalam al-Qur’an bahwa Nabi diutus untuk semua umat manusia. Mengindikasikan bahwa kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi umat manusia di segala waktu dan tempat. Akan tetapi, adalah kenyataan bahwa Nabi Muhammad hidup dalam batasan ruang waktu tertentu.
Universalitas, temporalitas dan lokalitas hadis Nabi tersebut juga ditentukan oleh fungsi dan perannya di dalam rentang sejarah hidupnya. Dalam sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rasullulah dan kepala negara, pemimpin masyarakat, hakim dan juga pribadi. Ini menunjukkan bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap hadis Nabi perlu dikaitkan dengan keanekaragaman fungsi dan peran Nabi ketika hadis itu muncul.[12] Realitas dan situasi umum serta persoalan-persoalan khusus yang dihadapi Nabi berkaitan dengan munculnya hadis ini, sangat penting untuk diperhatikan dalam menafsirkan dalam sebuah hadis.[13]
Sementara itu, prinsip-prinsip hermeneutika hadis Syuhudi Ismail dapat dikatakan bahwa titik tekan hermaneutikanya tampaknya lebih diarahkan pada pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadis. Perbedaan ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis menyangkut gaya bahasa, seperti jawami‘ al-kalim (ungkapan- ungkapan singkat namun padat makna), tamsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan ungkapan analogi. Di samping itu, hermeneutika hadis juga harus melibatkan studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasional yang turut melahirkan sebuah hadis.[14]
Selanjutnya adalah pemikiran hermenutika Fazlur Rahman, menurutnya seorang Nabi adalah sosok yang sangat berkepentingan untuk mengubah sejarah sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, baik wahyu yang disampaikan Nabi maupun amal perbuatan Nabi tidak dapat terlepas dari situasi historis yang aktual pada masanya.[15] Ini berarti bahwa walaupun bercirikan situasi tertentu, hadis harus menembus dan melampaui konteks historis tersebut.
Secara garis besar, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak. Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan secara langsung dari kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma prilaku (behavioral term). Oleh karena itu di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka sunnah tersebut harus dapat diinteprestasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi, demikian tegas Rahman, lebih merupakan penunjuk arah (pointer in a direction) dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti (an exactly laid-out series of rules).[16]
Berdasarkan asumsi-asumsi ini, Fazlur Rahman mengintroduksi teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa kebutuhan kaum muslimin dewasa ini adalah melakukan reevaluasi terhadap aneka ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasinya yang sempurna sesuai dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal itu hanya dapat dilakukan melalui studi historis terhadap hadis dengan mereduksinya menjadi sunnnah yang hidup dan dengan secara tegas membedakan nilai-nilai nyata yang dikandung dari latar belakang situasionalnya.
Hadis-hadis hukum, harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks historisnya yang jelas. Hadis-hadis hukum harus dipandang sebagi suatu masalah yang harus ditunjau kembali (a problem to be retreated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready–made law). Penafsiran situasional melalui studi historis dalam rangka mencairkan hadis-hadis ke dalam bentuk “sunnah yang hidup” ini akan membuat kita mampu menyimpulkan norma-norma darinya. Untuk diri kita sendiri melalui suatu teori etika yang memadahi dan kemudian penumbuhan kembali hukumnya yang baru dari teori tersebut.
Dengan prinsip-prinsip seperti ini, Fazlur Rahman menolak ajakan “kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” secara tekstual dari Ibn Taymiyah yang menjadi isu sentral bagi gerakan-gerakan pembaharuan lainnya. Ia menolak pemahaman hadis hanya dengan menggunakan perspektif masa lalu, menurutnya harus dipahami dengan menggunakan perspektif masa kini. Menurut Rahman, bukan hanya kembali kepada Qur’an dan sunnah secara sederhana sebagaimana yang dilakukan pada masa lalu, melainkan suatu pemahaman yang benar terhadap keduanya yang akan memberikan arahan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja, kembali ke liang kubur.[17]
Hal itu dilakukan dengan memahami teks hadis Nabi kemudian memahami latar belakang situasionalnya, yaitu menyangkut situasi Nabi dan masyarakat pada periode Nabi secara umum, termasuk dalam hal ini adalah asbab al-wurud. Dari sini akan dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran hukumnya (ratio-legis) dari ketetapan legal spesifikasinya, dan dengan demikian dapat dirumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut. Langkah berikutnya adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip ideal moral yang didapat tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini. Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Metode studi hadis yang telah dirumuskan oleh beberapa pakar tersebut pada tingkat tertentu sebenarnya telah merefleksikan ide-ide hermeneutika. Dalam hermeneutika hadis, bagaimanapun prinsip-prinsip tersebut sangat penting untuk dipertimbangkan. Artinya, untuk menangkap makna teks-teks hadis yang relevan dengan konteks historis kekinian sehingga bermakna dan fungsional untuk menjawab problem-problem hukum dan kemasyarakatan masa kini, prinsip-prinsip itu adalah niscaya.
Secara sederhana, beberapa prinsip dari para pakar tersebut dapat di simpulkan dalam beberapa poin sebagi berikut: pertama, prinsip konfirmatif, yakni, dalam penafsiran hadis, seorang penafsir harus selalu mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai petunjuk tertinggi ajaran. Kedua, prinsip tematis-komprehensif. Artinya, teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan sebagai kesatuan yang integral, sehingga dalam penafsiran suatu hadis, seseorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif. Ketiga, prinsip linguistik, yakni bahwa oleh karena hadis Nabi terlahir dalam sebuah wacana kultural dan bahasa Arab, maka dalam penafsiran hadis, seseorang harus memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab. Keempat, prinsip historik, yang menghendaki dilakukannya pemahaman terhadap latar situasional masa lampau di mana hadis terlahir baik menyangkut background sosiologis masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini kapasitas dan fungsi Nabi ketika melahirkan hadis yang bersangkutan. Kelima, prinsip realistik. Artinya bahwa, selain memahami latar situasional masa lalu di mana hadis muncul, seseorang juga memahami situasional kekinian dengan melihat realitas kaum muslimin, menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan mereka. Ini berarti bahwa penafsiran terhadap hadis tidak bisa dimulai dari kevakuman, tetapi harus dari realitas yang kongrit. Keenam, prinsip distingstif dan legis. Hadis-hadis Nabi tidak bisa hanya dipahami sebagai kumpulan hukum (compendium of law) belaka, tetapi lebih dari itu, ia mengandung nilai-nilai etis yang lebih dalam. Untuk itu seorang penafsir harus mampu menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks hadis dari nilai-nilai legisnya. Hal ini sangat penting mengingat kegagalan dalam menangkap makna etis dari makna legis hadis akan berakibat pada kegagalan menangkap makna hakiki dari hadis itu. Ketujuh, prinsip distingsi instrumental dan intensional, yaitu bahwa hadis memiliki dua dimensi, yakni dimensi instrumental (washilah) yang bersifat temporal dan praktikular di satu sisi dan dimensi intensional (ghayah) yang bersifat permanen dan universal di sisi lain. Dalam pemahaman hadis Nabi, yang sangat ditekankan adalah realisasi tujuan ini, meskipun cara yang ditempuh bisa jadi berbeda satu sam lain, bahkan berbeda dengan cara Nabi.
D.    Mengetahui dan menemukan makna Hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika
Hermeneutika filosofis yang dijadikan acuan dalam memahami hadis, terutama hadis-hadis hukum. Dengan tujuan untuk menemukan “makna hadis yang berarti” bagi kekinian kita. Sebelum menemukan makna yang berarti itu bagi kekinian kita, terlebih dulu kita harus menemukan makna yang berarti bagi realitas masa lalu (makna objektif) dengan menggunakan hermeneutika obyektif, sebagaimana model yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman. Untuk menemukan makna obyektif sebuah teks, Rahman menawarkan agar mengkaji teks dari segi historisnya. Selanjutnya mencari makna moral-universal teks, untuk kemudian dipraksiskan ke dalam konteks kekinian.
Logika praksis hermeneutika sebagaimana dimaksud adalah dengan mengkaji teks secara tematik-komprehensif. Dengan cara membandingkan hadis-hadis lain yang memiliki tema yang releven dengan hadis yang bersangkutan. Setelah menganalisis isi hadis-hadis tersebut dan memperoleh makna tekstualnya, maka selanjutnya menentukan konteks sosio-historisnya. Pada tahap ini maka dilakukan kajian secara realitas, situasi problematis dimana dan kenapa hadis tersebut bisa muncul. Langkah ini mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi makro yakni situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Nabi baik mengenai kultur mereka. Setelah ditemukan asbabul wurudnya ditemukan makna moral-universalnya. makna-makna ini selanjutnya digeneralisasikan ke dalam konteks situasi baru yang plural, tetapi partikular. Makna inilah yang dalam hermeneutika filosofis disebut “makna yang berarti”.
Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, Gadamer berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horisons, yakni mempertemukan pra-pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks.[18] Dalam tataran praksis, Gadamer, menurut Sahiron, merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat langkah: Pertama, kesadaran terhadap "situasi hermeneutik". Seorang pembaca harus menyadari bahwa situasi membatasi kemampuan seseorang dalam melihat dan membaca sebuah teks. Kedua, situasi ini membentuk "pra-pemahaman" bagi pembaca, dan pra-pemahaman ini selanjutnya mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks. Walaupun ini sebagai syarat dalam membaca teks, Gadamer menyatakan bahwa, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga, pembaca harus menggabungkan antara dua horizon: horizon pembaca dan horizon teks. Dalam penggabungan itu, pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon ini dalam tradisi hermeneutika filosofis disebut "lingkaran hermeneutik". Keempat, keempat, menerapkan "makna yang berarti" dari teks bagi kondisi pembaca. Dalam arti, makna teks itu mempunyai arti bagi pembaca dalam situasi tertentu, dan bukan makna yang berarti bagi kehidupan penggagas.[19]
Penggunaan hermeneutika filosofis dalam studi hadis dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mayoritas hadis lahir sebagai respon atas situasi dan kondisi tertentu, sehingga makna yang berarti dari hadis-hadis itu tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisinya. Begitu juga bagi para pensyarah hadis. Makna yang berarti dari hadis-hadis itu tentu saja sesuai dengan kondisi mereka. Apa yang mereka temukan dari hadis-hadis itu adalah makna yang berarti bagi mereka, dan sangat mungkin bukan makna yang berarti bagi kita. Oleh karena situasi dan kondisi kita berbeda dengan situasi dan kondisi saat hadis-hadis itu muncul, dan atau disyarahi oleh para muhaddits, maka seharusnya kita juga melakukan pemahaman atau men-syarahi hadis-hadis itu untuk menemukan makna yang berarti bagi situasi dan kondisi kekinian kita.
Agar makna yang berarti bagi kondisi kekinian kita dapat ditemukan, maka diperlukan suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai realitas yang dihadapi pembaca, sehingga kita dapat menilai situasi kekinian dan mengubah kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula. Penafsiran dan pemahaman hadis dengan pendekatan yang seperti ini jelas akan melahirkan wacana makna hadis yang baru, dinamis dan kreatif, sehingga norma-norma yang ideal sunnah Nabi dapat direalisasikan secara progresif di dalam aneka ragam fenomena dan lingkungan sosial. Dengan demikian hadis tidak bisa lagi menjadi wacana yang statis melainkan menjadi sunnah yang hidup (sholih likulli zaman wa al-makan) sebagaimana fungsi diturunkanya hadist itu sendiri yaitu sebagi sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an.



















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan:
1.      Kegelisahan Akademik
a.       Sebagi upaya mendialogkan hadis yang merupakan prodak masa lalu dapat sesuai dan seiring dengan sepanjang sejarah.
b.      Mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru dan menjadikan sunnah yang hidup bukan lagi sebagai wacana yang statis.
c.       Secara implisit Penulis menentang golongan yang mengatakan “kembali ke Al-Qur’an dan Hadis” (kelompok tekstualis).
2.      Logika sistematis penulisan
            Pada penulisan jurnal ini memuat lima pembahasan: pertama, pendahuluan; kedua, uji otentitas hadis; ketiga, Hermeneutika hadis; keempat, Hermeneutika Filosofis: sebuah upaya menemukan “Makna Hadis yang Berarti”; kelima, penutup.
3.      Pengertian Hermeneutik
            Hermeneutika merupakan suatu ilmu yang merefleksikan tentang bagaimana suatu kata atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu mungkin dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna dalam situasi kekinian. Jika dikaitkan kedalam study hadis, teks hadis yang merupakan produk masa lalu itu harus selalu berdialog dengan penafsir dan audienya yang baru di sepanjang sejarah.
4.      Mengetahui makna hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika
            Menjadikan Hermeneutika filosofis sebagai acuan memahami makna hadis, sebagimana yang telah digagas oleh Gadamer yang berpendapat bahwa "memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang disebut the fusion of horisons, yakni mempertemukan pra-pemahaman pembaca dengan cakrawala atau horizon teks.
            Langkah-langkah yang harus dilakukan untuk memperoleh makna yang berarti dari suatu teks hadis yaitu: pertama, harus menemukan makna yang berarti bagi realitas masa lalu (makna objektif) dengan menggunakan hermeneutika obyektif. kedua, mencari makna moral-universal teks, untuk kemudian dipraksiskan ke dalam konteks kekinian. Cara mempraksiskanya ke dalam konteks kekinian yaitu dengan membandingkan hadis-hadis yang mempunyai relevansi tema yang di bahas sehingga memperoleh makna yang komprehensif. Ketiga, menentukan konteks sosio-historisnya (asbabul wurud). Keempat, digeneralisasikan ke dalam konteks situasi baru yang plural, tetapi partikular. Sehingga pada akhirnya dapat memperoleh makna yang berarti dari suatu hadis.
B.  Apresiasi dan kritik reviewer
      Jurnal yang berjudul Hermeneutika hadis hukum ini sudah bagus untuk dijadikan refrensi bagaimana cara memahami hadis dari segi makna dengan pendekatan hermeneutika filosofi yang di gagas oleh Gadamer. Dilengkapi pula dengan hermeneutika versi intelek-intelek Muslim seperti Yusuf Qardawi, Syuhudi Ismail, dan Fazlur Rahman. Dengan tujuan untuk memahami hadis sebagai produk hukum yang hidup dan mampu menyesuaikan situasi dan kondisi dimana hadis tersebut diterapkan.
      Kekurungan dalam jurnal ini adalah tidak mencantumkan contoh-contoh hadis-nya kemudian di kupas dengan menggunakan hermeneutika, sehingga lebih jelas dan mudah difahami oleh seluruh kalangan, baik akademisi maupun masyarakat pada umumnya.
    












DAFTAR PUSTAKA

Braaten, Carl. History of Hermaneuitics, Philadelpia: Fortreess, 1966.
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuannya, Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Lubis, khyar yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014.
Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics, Durham: Acumen, 2010.
Nasr, Seyyed Hosein. Knowledge and Sacred, t.t: State University Press, 1989.
Qardhawi, Yusuf. Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah, Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993.
Qaradhawi , Yusuf . Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘alim wa Dhawabit (USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1990.
Rahman, Fazlur. Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965.
Sumaryono, Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007.
W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, London: Oxford University Press, 1969.






[1] Hermeneutika merupakan suatu cara pendekatan untuk memahami teks secara benar, dengan melihat dari tiga sudut pandang, pengarang, teks, dan pembaca.
[2] Yusuf Qardhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah (Beirut: Mu’assasah al-Risalah, 1993), hlm. 44
[3] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 72
[4] Akhyar yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), cet.1, hlm. 186
[5] Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics (Durham: Acumen, 2010), hlm. 6
[6] Sumaryono, Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 10
[7] Seyyed Hosein Nasr, Knowledge and Sacred (t.t: State University Press, 1989), hlm. 71
[8] Carl Braaten, History of Hermaneuitics (Philadelpia: Fortreess, 1966), hlm. 131
[9] Yusuf al-Qaradhawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘alim wa Dhawabit (USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1990), hlm. 93
[10] Ibid., hlm. 103-108
[11] Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal Temporan dan Lokal (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm. 3-4
[12] Fungsi Muhammad sebagai Rasul dan kepala negara dapat dilihat secara lebih rinci pada W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman (London: Oxford University Press, 1969)
[13] Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi, Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal Temporan dan Lokal, hlm. 5
[14] Ibid., hlm. 33 – 68
[15] Fazlur Rahman, Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965), hlm. 10
[16] Ibid. hlm. 12
[17] Ibid. hlm. 143
[18] Hermeneutika filosofis Gadamer tertuang dalam karya monumentalnya, Truth and Method. Lihat ulasannya dalam Lawrence K. Schmidt, Understanding Hermeneutics, hlm. 112-114.
[19] Lihat dalam Sahiron Syamsuddin, "Integrasi Hermeneutika Hans George Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode Pembacaan al-Qur'an pada Masa Kontemporer", Makalah dalam Annual Conference Kajian Islam oleh Dipertais Depag RI di (Bandung tgl. 26-30 Nopember 2006).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar