BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Nabi
muhammad saw merupakan
makhluk yang paling mulia, dimana perkataanya, perbuatanya, dan ketetapanya
dijadikan pedoman dan tauladan bagi umat manusia. Sehingga bisa dikatan sebagai
sosok yang melahirkan sunnah (hadis).
Telah
diketahui bersama bahwa dalam Islam,
posisi hadis tidak dapat dipisahkan dari hukum, sehingga keautentikanya harus
terjaga sebagiamana keautentikan Al-Quran. Hal ini berkonsekwensi logis bahwa
para pengkaji hadis harus mengkaji otentisiasnya terlebih dulu sebelum
melakukan penafsiran atau pemahaman terhadap hadis.
Dalam
rangka menentukan validitas dan otentisitas hadis, para ulama kritikus hadis
menetapkan lima unsur kaidah kesahihan, yang meliputi: pertama, sanad yang bersambung; kedua,
seluruh periwayat bersifat adil; ketiga,
seluruh periwayat bersifat dhabit; keempat, hadis terhindar dari syudzud ; kelima, hadis terhindar dari ‘illat. Dengan melalui kaidah tersebut maka validitas
hadis mampu teruji baik dari segi sanad (naqd
al-sanad) maupun dari segi matan (naqd
al-matan).
Hadis
merupakan landasan hukum yang kedua setelah Al-Quran, hukum harus mampu
menyesuaikan dengan situasi dan kondisi, sehingga pemahaman terkait teks hadis
harus selalu dapat berdialog dengan objek disepanjang sejarah, untuk
menghindari kejumudan dalam pemahan suatu hadis dengan melalui pendekatan
hermeneutika[1].
Sebelum
mengetahui makna suatu hadis dari pendekatan hermeneutik, maka problem
orisinalitas hadis harus terselesaikan terlebih dahulu, dengan memastikan validitas
hadis baik dari segi sanad maupun matanya, karena tidak mungkin akan terjadi
pemahaman secara benar dan shahih jika belum ada kepastian bahwa apa yang akan
dikaji itu benar-benar valid terutama dari segi historisnya, baru kemudian
dilanjutkan dengan analisis isi untuk menemukan pemahaman terhadap muatan
hadis. Proses demikian jika tidak dilakukan maka
akan menjerumuskan seseorang kepada pemahaman yang salah. Oleh karena itu
keaslian teks sebuah hadis harus teruji berdasarkan kritik sejarah bukan berdasarkan
keyakinan semata.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kegelisahan akademik penulis?
2. Bagaimana logika dan sistematis penulisan jurnal yang berjudul Hermeneutika
Hadis Hukum?
3. Apa yang
dimaksud dengan Hermeneutika?
4. Bagaimana upaya untuk menemukan makna hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika?
C.
Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan kegelisahan akademik penulis jurnal yang berjudul
Hemeneutika Hadis Hukum.
- Agar mengetahui
logika dan sistematis penulisan jurnal “ Hermeneutika Hadis Hukum”.
- Mendeskripsikan pengertian
Hermeneutika.
- Mengetahui dan menemukan makna hadis yang berarti
melalui analisa Hermeneutika.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kegelisahan Akademik
Sunnah merupakan pegangan mayoritas ketentuan hukum.[2] Kalangan ulama Sunni, hadis atau sunnah sebagai rujukan normatif
yang menjadi penjelas (bayaan) terhadap substansi Al-Qur’an dan mereka
sepakat atas signifikansi hadis sebagai sumber tasyri’. Status
periwayatan hadis kebanyakan bersifat ahad hanya beberapa saja yang
bersifat mutawatir, sehingga hadis ada yang berstatus sebagai Qothi’
Ad-dilalah ada juga yang berstatus Dzonni Ad-dilalah, hal tersebut
berimplikasi pada upaya pemahaman terhadap teks sebuah hadis.
Seharusnya
semua hadis yang akan di tafsiri dengan menggunkan pendekatan Hermeneutika
harus terpercaya statusnya terlebih dahulu yaitu hadis-hadis yang mutawattir,
sehingga tidak diragukan lagi sumbernya bahwa hadis tersebut (teks hadis)
benar-benar berasal dari Rasulullah, berdasarkan problem demikian mengakibatkan
para pakar hadis acapkali disibukkan oleh masalah kesahihanya (validitas hadis)
sebelum melakukan penafsiran terhadap hadis.
Dalam menguji kevalidan sebuah teks hadis harus
melalui kritik ekstern (naqd al-sanad) dan kritik intern (naqd
al-matan).[3]
Pada tahap kritik historis ini, penggunaan kaedah kesahihan
tersebut merupakan suatu yang niscaya, meskipun harus diakui pula bahwa pada
tingkat operasional, penggunaan kaedah tersebut masih menghadapi beberapa
problem. Misalnya, menyangkut parameter untuk menentukan bahwa seorang perawi
adalah adil, sejauh mana dapat diukur tingkat kedhabitan seorang rawi.
Di samping itu, sejauhmana bias konflik teologis, konflik politik dan konflik
mazhab dalam kodifikasi dan sistematisasi juga merupakan titik yang harus
dikritisi. Sehingga upaya mendialogkan hadis yang merupakan yang prodak masa
lalu dapat sesuai dan seiring dengan sepanjang sejarah.
B.
Logika Sistematika Penulisan Jurnal
Dalam penulisan jurnal ini memuat lima pembahasan: pertama,
pendahuluan; kedua, uji otentitas hadis; ketiga, Hermeneutika hadis;
keempat, Hermeneutika
Filosofis: sebuah upaya menemukan “Makna Hadis yang Berarti”; kelima,
penutup.
C.
Pengertian Hermeneutika
Hermaneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneia (kata benda) yang
kata kerjanya adalah hermeneuein yang berarti menafsirkan atau seni memberikan
makna.[4] kata ini berkaitan dengan
nama dewa Yunani, Hermes, dewa yang menjadi penghubung Sang Maha Dewa di langit
yang membawa pesan kapada manusia di bumi. Hermeneunein berarti menyampaikan
pesan dan menyampaikan berita.[5] peran Hermes tak ubahnya
seperti peran Nabi sebagai utusan Tuhan yang bertugas sebagai juru penerang dan
penghubung untuk menyampaikan pesan dan menyampaikan berita berhasil atau tidak
tergantung pada cara bagaimana pesan itu disampaikan.[6] Bahkan Hossein Nasr
bespekulasi bahwa Hermes tidak lain adalah Nabi Idris As.[7]
Hermeneutika merupakan suatu ilmu yang merefleksikan tentang
bagaimana suatu kata atau peristiwa yang terjadi pada masa lalu mungkin dapat
dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna di dalam situasi kekinian.[8] Dengan demikian
hermeneutika mengarahkan agar teks masa lalu mempunyai arti sekarang dan di
sini, sehingga teks tersebut mengarah secara terbuka menuju yang sekarang dan
di sini.
Jika diterapkan ke dalam study hadis, hermeneutika dapat dipahami
sebagai ilmu yang merefleksikan tentang bagaimana teks hadis sebagai wahana
yang merekam kejadian masa lalu mungkin untuk dipahami dan secara eksistensial
dapat bermakna di dalam situasi kekinian. Ini berarti bahwa dalam study hadis,
teks hadis yang merupakan produk masa lalu itu harus selalu berdialog dengan
penafsir dan audienya yang baru di sepanjang sejarah. Hermeneutika hadis
mensyaratkan adanya dialog secara intensif antara teks-teks hadis sebagai
warisan masa lalu dengan penafsir dan audienya masa kini.
Model-model Hermeneutika hadis dalam konteks pemikiran terhadap
teks keagamaan sempat menuai kontroversi, ada yang menolak untuk menggunakan
metode itu dan ada juga kelompok yang menerima metode tersebut sebagai metode
pemahaman terhadap teks-teks keagamaan. Di antara pemikir yang menggunakan
hermeneutika dalam studi hadis adalah Yusuf al-qardhawi, Syuhudi Ismail, dan
Fazlur Rahman.
Dalam memahami dan menemukan signifikasi kontekstual hadis,
Al-Qardhawi misalnya, menganjurkan beberapa prinsip penafsiran hadis, antara
lain: pertama, memahami sunnah berdasarkan petunjuk al-Qur’an.[9] Karena hadis sebagai bayan
al-quran, jadi tidak boleh bertentangan dengan petunjuk al-qur’an. Kedua,
menghimpun hadis yang topik bahasannya sama. Hal ini dimaksudkan agar makna
sebuah hadis dapat ditangkap secara holistik, tidak parsial. Qardhawi
mencontohkan hadis mengenai keharaman memanjangkan kain hingga ke tanah. Ketika
hadis tersebut dipahami dengan mengkonfirmasikan kepada hadis-hadis lain yang
mempunyai kesamaan topik, maka dapat ditarik makna yang lebih komprehensif
yakni memanjangkan kain hingga ke tanah itu haram hukumnya jika dimaksudkan
sebagai ekpresi kesombongan seseorang, jika tidak dalam rangka kesombongan,
maka tidak haram.[10] Ketiga, pemahaman
hadis berdasarkan latar belakang, kondisi serta tujuannya. Maksudnya
dengan memperhatikan eksistensi
hadis-hadis yang dipelajari sesuai dengan latar belakang khusus dan kaitannya
dengan penyebab tertentu yang tertuang dalam teks hadis dan tersirat dari
maknanya atau terbaca dari kenyataan yang melahirkan hadis yang bersangkutan.
Dengan cara ini, orang yang mempelajari hadis akan menemukan makna hadis dan
signifikansinya bagi kebutuhan historis si penafsir sehingga ia dapat menemukan
solusi bagi problematika yang dihadapi dan mampu merefleksikan kemaslahatan
yang menjadi tujuan pokok syari’at.
Disamping tiga hal diatas, Al-Qardhawi menekankan bahwa sebuah
hadis memuat dua dimensi instrumental (washilah) dan dimensi intensial (ghayah).
Yang pertama jelas sangat rentan dengan tarikan perubahan ruang dan waktu
sehingga bersifat temporal, sedang yang kedua bersifat permanen. Ketika seorang
penafsir hadis tidak mampu membedakan kedua dimensi ini, maka ia akan terjebak
pada kekeliruan.
Al-Qaradhawi juga menekankan perlunya pendekatan linguistik,
khususnya berkaitan dengan pembedaan makna hakiki dan makna majazi dari
lafal-lafal hadis sesuai denga prosedur gramatikal bahasa Arab. Terkait dengan
ini, seorang penafsir harus menggunakan studi historis terhadap makna
lafal-lafal hadis yang sesungguhnya pada saat hadis yang bersangkutan muncul
dan pergeseran-pergeseran makna yang terjadi pada bentangan sejarah berikutnya.
Hal ini penting karena menunjukkan makna lafal hadis itu sangat dimungkinkan
berubah-ubah dari satu masa ke masa yang lain dari satu lingkungan kultural ke
lingkungan kultural lainnya.
Prinsip-prinsip Hermeneutika selain karya Qardhawi, juga terdapat
karya Syuhudi Ismail, berangkat dari landasan normatif surat al-Maidah ayat 3,
Ia menegaskan karakter Islam sebagai ajaran yang berlaku untuk semua umat
manusia. Akan tetapi Ia juga mengakui bahwa begitu Islam memasuki wilayah
sejarah, ia akan terkena batasan-batasan kultural yang berlaku pada dunia
manusia, sehingga Islam harus terejawantahkan dalam kehidupan praktis secara
variatif sesuai dengan perbedaan ruang dan waktu. Berdasarkan latar belakang
ini, Syuhudi membedakan antara ajaran Islam yang berwatak universal di satu
sisi dan ajaran Islam yang berwatak temporal dan lokal di sisi lain.[11] Menurutnya, Nabi Muhammad
saw. diutus sebagai rahmat bagi semesta alam. Pada bagian lain dinyatakan dalam
al-Qur’an bahwa Nabi diutus untuk semua umat manusia. Mengindikasikan bahwa
kehadiran Nabi Muhammad membawa kebajikan dan rahmat bagi umat manusia di
segala waktu dan tempat. Akan tetapi, adalah kenyataan bahwa Nabi Muhammad
hidup dalam batasan ruang waktu tertentu.
Universalitas, temporalitas dan lokalitas hadis Nabi tersebut juga
ditentukan oleh fungsi dan perannya di dalam rentang sejarah hidupnya. Dalam
sejarah, Nabi Muhammad berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai
Rasullulah dan kepala negara, pemimpin masyarakat, hakim dan juga pribadi. Ini
menunjukkan bahwa penafsiran dan pemahaman terhadap hadis Nabi perlu dikaitkan
dengan keanekaragaman fungsi dan peran Nabi ketika hadis itu muncul.[12] Realitas dan situasi umum
serta persoalan-persoalan khusus yang dihadapi Nabi berkaitan dengan munculnya
hadis ini, sangat penting untuk diperhatikan dalam menafsirkan dalam sebuah
hadis.[13]
Sementara itu, prinsip-prinsip hermeneutika hadis Syuhudi Ismail
dapat dikatakan bahwa titik tekan hermaneutikanya tampaknya lebih diarahkan
pada pembedaan makna tekstual dan kontekstual hadis. Perbedaan ini dapat
dilakukan dengan memperhatikan sisi-sisi linguistik hadis menyangkut gaya
bahasa, seperti jawami‘ al-kalim (ungkapan- ungkapan singkat namun padat
makna), tamsil (perumpamaan), ungkapan simbolik, bahasa percakapan, dan
ungkapan analogi. Di samping itu, hermeneutika hadis juga harus melibatkan
studi historis menyangkut peran dan fungsi Nabi serta latar situasional yang
turut melahirkan sebuah hadis.[14]
Selanjutnya adalah pemikiran hermenutika Fazlur Rahman, menurutnya
seorang Nabi adalah sosok yang sangat berkepentingan untuk mengubah sejarah
sesuai dengan pola yang dikehendaki Allah. Dengan demikian, baik wahyu yang
disampaikan Nabi maupun amal perbuatan Nabi tidak dapat terlepas dari situasi
historis yang aktual pada masanya.[15] Ini berarti bahwa
walaupun bercirikan situasi tertentu, hadis harus menembus dan melampaui
konteks historis tersebut.
Secara garis besar, sunnah Nabi lebih tepat jika dipandang sebagai
sebuah konsep pengayoman (a general umbrella concept) dari pada bahwa ia
mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat spesifik secara mutlak.
Alasannya adalah bahwa secara teoritik dapat disimpulkan secara langsung dari
kenyataan bahwa sunnah adalah sebuah terma prilaku (behavioral term). Oleh
karena itu di dalam prakteknya tidak ada dua buah kasus yang benar-benar sama
latar belakang situasionalnya secara moral, psikologis dan material, maka
sunnah tersebut harus dapat diinteprestasikan dan diadaptasikan. Sunnah Nabi,
demikian tegas Rahman, lebih merupakan penunjuk arah (pointer in a direction)
dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan secara pasti
(an exactly laid-out series of rules).[16]
Berdasarkan asumsi-asumsi ini, Fazlur Rahman mengintroduksi
teorinya tentang penafsiran situasional terhadap hadis. Ia menegaskan bahwa
kebutuhan kaum muslimin dewasa ini adalah melakukan reevaluasi terhadap aneka
ragam unsur-unsur di dalam hadis dan reinterpretasinya yang sempurna sesuai
dengan kondisi-kondisi moral-sosial yang sudah berubah pada masa kini. Hal itu
hanya dapat dilakukan melalui studi historis terhadap hadis dengan mereduksinya
menjadi sunnnah yang hidup dan dengan secara tegas membedakan nilai-nilai nyata
yang dikandung dari latar belakang situasionalnya.
Hadis-hadis hukum, harus ditafsirkan menurut perspektif historisnya
dan menurut fungsinya yang tepat di dalam konteks historisnya yang jelas.
Hadis-hadis hukum harus dipandang sebagi suatu masalah yang harus ditunjau
kembali (a problem to be retreated) dan bukan dipandang sebagai hukum yang
sudah jadi yang dapat secara langsung dipergunakan (a ready–made law). Penafsiran
situasional melalui studi historis dalam rangka mencairkan hadis-hadis ke dalam
bentuk “sunnah yang hidup” ini akan membuat kita mampu menyimpulkan norma-norma
darinya. Untuk diri kita sendiri melalui suatu teori etika yang memadahi dan
kemudian penumbuhan kembali hukumnya yang baru dari teori tersebut.
Dengan prinsip-prinsip seperti ini, Fazlur Rahman menolak ajakan
“kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah” secara tekstual dari Ibn Taymiyah yang
menjadi isu sentral bagi gerakan-gerakan pembaharuan lainnya. Ia menolak
pemahaman hadis hanya dengan menggunakan perspektif masa lalu, menurutnya harus
dipahami dengan menggunakan perspektif masa kini. Menurut Rahman, bukan hanya
kembali kepada Qur’an dan sunnah secara sederhana sebagaimana yang dilakukan
pada masa lalu, melainkan suatu pemahaman yang benar terhadap keduanya yang
akan memberikan arahan kepada kita dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara
sederhana, tentu saja, kembali ke liang kubur.[17]
Hal itu dilakukan dengan memahami teks hadis Nabi kemudian memahami
latar belakang situasionalnya, yaitu menyangkut situasi Nabi dan masyarakat
pada periode Nabi secara umum, termasuk dalam hal ini adalah asbab al-wurud.
Dari sini akan dapat dipahami dan dibedakan nilai-nilai nyata atau sasaran
hukumnya (ratio-legis) dari ketetapan legal spesifikasinya, dan dengan demikian
dapat dirumuskan prinsip ideal moral dari hadis tersebut. Langkah berikutnya
adalah penumbuhan kembali hukumnya, yakni prinsip ideal moral yang didapat
tersebut diaplikasikan dan diadaptasikan dalam latar sosiologis dewasa ini.
Inilah yang dimaksud Rahman dengan “pencairan” hadis menjadi “sunnah yang
hidup”. Dengan demikian, penafsiran situasional Rahman ini mengkombinasikan
pendekatan historis dengan pendekatan sosiologis.
Metode studi hadis yang telah dirumuskan oleh beberapa pakar
tersebut pada tingkat tertentu sebenarnya telah merefleksikan ide-ide
hermeneutika. Dalam hermeneutika hadis, bagaimanapun prinsip-prinsip tersebut
sangat penting untuk dipertimbangkan. Artinya, untuk menangkap makna teks-teks
hadis yang relevan dengan konteks historis kekinian sehingga bermakna dan
fungsional untuk menjawab problem-problem hukum dan kemasyarakatan masa kini,
prinsip-prinsip itu adalah niscaya.
Secara sederhana, beberapa prinsip dari para pakar tersebut dapat
di simpulkan dalam beberapa poin sebagi berikut: pertama, prinsip
konfirmatif, yakni, dalam penafsiran hadis, seorang penafsir harus selalu
mengkonfirmasikan makna hadis dengan petunjuk-petunjuk al-Qur’an sebagai
petunjuk tertinggi ajaran. Kedua, prinsip tematis-komprehensif. Artinya,
teks-teks hadis tidak bisa dipahami sebagai teks yang berdiri sendiri-sendiri,
melainkan sebagai kesatuan yang integral, sehingga dalam penafsiran suatu
hadis, seseorang harus mempertimbangkan hadis-hadis lain yang memiliki tema
yang relevan, sehingga makna yang dihasilkan lebih komprehensif. Ketiga,
prinsip linguistik, yakni bahwa oleh karena hadis Nabi terlahir dalam sebuah
wacana kultural dan bahasa Arab, maka dalam penafsiran hadis, seseorang harus
memperhatikan prosedur-prosedur gramatikal bahasa Arab. Keempat, prinsip
historik, yang menghendaki dilakukannya pemahaman terhadap latar situasional
masa lampau di mana hadis terlahir baik menyangkut background sosiologis
masyarakat Arab secara umum maupun situasi-situasi khusus yang melatar
belakangi munculnya sebuah hadis. Termasuk dalam hal ini kapasitas dan fungsi
Nabi ketika melahirkan hadis yang bersangkutan. Kelima, prinsip
realistik. Artinya bahwa, selain memahami latar situasional masa lalu di mana
hadis muncul, seseorang juga memahami situasional kekinian dengan melihat
realitas kaum muslimin, menyangkut kehidupan, problem, krisis dan kesengsaraan
mereka. Ini berarti bahwa penafsiran terhadap hadis tidak bisa dimulai dari
kevakuman, tetapi harus dari realitas yang kongrit. Keenam, prinsip
distingstif dan legis. Hadis-hadis Nabi tidak bisa hanya dipahami sebagai
kumpulan hukum (compendium of law) belaka, tetapi lebih dari itu, ia mengandung
nilai-nilai etis yang lebih dalam. Untuk itu seorang penafsir harus mampu
menangkap dengan jelas nilai-nilai etis yang hendak diwujudkan oleh sebuah teks
hadis dari nilai-nilai legisnya. Hal ini sangat penting mengingat kegagalan
dalam menangkap makna etis dari makna legis hadis akan berakibat pada kegagalan
menangkap makna hakiki dari hadis itu. Ketujuh, prinsip distingsi
instrumental dan intensional, yaitu bahwa hadis memiliki dua dimensi, yakni
dimensi instrumental (washilah) yang bersifat temporal dan praktikular
di satu sisi dan dimensi intensional (ghayah) yang bersifat permanen dan
universal di sisi lain. Dalam pemahaman hadis Nabi, yang sangat ditekankan
adalah realisasi tujuan ini, meskipun cara yang ditempuh bisa jadi berbeda satu
sam lain, bahkan berbeda dengan cara Nabi.
D.
Mengetahui dan menemukan makna Hadis
yang berarti melalui analisa Hermeneutika
Hermeneutika
filosofis yang dijadikan acuan dalam memahami hadis, terutama hadis-hadis
hukum. Dengan tujuan untuk menemukan “makna hadis yang berarti” bagi kekinian kita.
Sebelum menemukan makna yang berarti itu bagi kekinian kita, terlebih dulu kita
harus menemukan makna yang berarti bagi realitas masa lalu (makna objektif)
dengan menggunakan hermeneutika obyektif, sebagaimana model yang ditawarkan
oleh Fazlur Rahman. Untuk menemukan makna obyektif sebuah teks, Rahman
menawarkan agar mengkaji teks dari segi historisnya. Selanjutnya mencari makna
moral-universal teks, untuk kemudian dipraksiskan ke dalam konteks kekinian.
Logika
praksis hermeneutika sebagaimana dimaksud adalah dengan mengkaji teks secara
tematik-komprehensif. Dengan cara membandingkan hadis-hadis lain yang memiliki
tema yang releven dengan hadis yang bersangkutan. Setelah menganalisis isi
hadis-hadis tersebut dan memperoleh makna tekstualnya, maka selanjutnya
menentukan konteks sosio-historisnya. Pada tahap ini maka dilakukan kajian
secara realitas, situasi problematis dimana dan kenapa hadis tersebut bisa
muncul. Langkah ini mensyaratkan adanya suatu kajian mengenai situasi makro
yakni situasi kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Nabi
baik mengenai kultur mereka.
Setelah ditemukan asbabul wurudnya ditemukan makna
moral-universalnya. makna-makna ini selanjutnya digeneralisasikan ke dalam
konteks situasi baru yang plural, tetapi partikular. Makna inilah yang dalam
hermeneutika filosofis disebut “makna yang berarti”.
Sebagai penggagas hermeneutika filosofis, Gadamer berpendapat bahwa
"memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang
disebut the fusion of horisons, yakni mempertemukan pra-pemahaman pembaca
dengan cakrawala atau horizon teks.[18] Dalam tataran praksis,
Gadamer, menurut Sahiron, merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak
pada empat langkah: Pertama, kesadaran terhadap "situasi
hermeneutik". Seorang pembaca harus menyadari bahwa situasi membatasi
kemampuan seseorang dalam melihat dan membaca sebuah teks. Kedua,
situasi ini membentuk "pra-pemahaman" bagi pembaca, dan pra-pemahaman
ini selanjutnya mempengaruhi pembaca dalam mendialogkan teks dengan konteks.
Walaupun ini sebagai syarat dalam membaca teks, Gadamer menyatakan bahwa,
pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar dari kesalahan. Ketiga,
pembaca harus menggabungkan antara dua horizon: horizon pembaca dan horizon
teks. Dalam penggabungan itu, pembaca harus terbuka pada horizon teks dan
membiarkan teks memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti
mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua
horizon ini dalam tradisi hermeneutika filosofis disebut "lingkaran
hermeneutik". Keempat, keempat, menerapkan "makna yang
berarti" dari teks bagi kondisi pembaca. Dalam arti, makna teks itu
mempunyai arti bagi pembaca dalam situasi tertentu, dan bukan makna yang
berarti bagi kehidupan penggagas.[19]
Penggunaan hermeneutika filosofis dalam studi hadis
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa mayoritas hadis lahir sebagai respon atas
situasi dan kondisi tertentu, sehingga makna yang berarti dari hadis-hadis itu
tentu saja sesuai dengan situasi dan kondisinya. Begitu juga bagi para
pensyarah hadis. Makna yang berarti dari hadis-hadis itu tentu saja sesuai
dengan kondisi mereka. Apa yang mereka temukan dari hadis-hadis itu adalah
makna yang berarti bagi mereka, dan sangat mungkin bukan makna yang berarti bagi
kita. Oleh karena situasi dan kondisi kita berbeda dengan situasi dan kondisi
saat hadis-hadis itu muncul, dan atau disyarahi oleh para muhaddits,
maka seharusnya kita juga melakukan pemahaman atau men-syarahi
hadis-hadis itu untuk menemukan makna yang berarti bagi situasi dan kondisi
kekinian kita.
Agar
makna yang berarti bagi kondisi kekinian kita dapat ditemukan, maka diperlukan
suatu kajian yang cermat terhadap situasi kekinian dan analisis berbagai
realitas yang dihadapi pembaca, sehingga kita dapat menilai situasi kekinian
dan mengubah kondisinya sejauh diperlukan dan menentukan prioritas-prioritas
baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai hadis secara baru pula.
Penafsiran dan pemahaman hadis dengan pendekatan yang seperti ini jelas akan
melahirkan wacana makna hadis yang baru, dinamis dan kreatif, sehingga
norma-norma yang ideal sunnah Nabi dapat direalisasikan secara progresif di
dalam aneka ragam fenomena dan lingkungan sosial. Dengan demikian hadis tidak
bisa lagi menjadi wacana yang statis melainkan menjadi sunnah yang hidup (sholih
likulli zaman wa al-makan) sebagaimana fungsi diturunkanya hadist itu sendiri
yaitu sebagi sumber hukum yang kedua setelah Al-Qur’an.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan:
1. Kegelisahan Akademik
a. Sebagi upaya
mendialogkan hadis yang merupakan prodak masa lalu dapat sesuai dan seiring
dengan sepanjang sejarah.
b. Mengimplementasikan nilai-nilai hadis
secara baru dan menjadikan sunnah yang hidup bukan lagi sebagai wacana yang
statis.
c. Secara implisit Penulis menentang
golongan yang mengatakan “kembali ke Al-Qur’an dan Hadis” (kelompok
tekstualis).
2. Logika sistematis penulisan
Pada penulisan jurnal ini memuat lima pembahasan: pertama,
pendahuluan; kedua, uji otentitas hadis; ketiga, Hermeneutika hadis;
keempat, Hermeneutika
Filosofis: sebuah upaya menemukan “Makna Hadis yang Berarti”; kelima,
penutup.
3.
Pengertian Hermeneutik
Hermeneutika merupakan suatu ilmu
yang merefleksikan tentang bagaimana suatu kata atau peristiwa yang terjadi
pada masa lalu mungkin dapat dipahami dan secara eksistensial dapat bermakna
dalam situasi kekinian. Jika dikaitkan kedalam study hadis, teks hadis yang
merupakan produk masa lalu itu harus selalu berdialog dengan penafsir dan
audienya yang baru di sepanjang sejarah.
4.
Mengetahui makna hadis yang berarti melalui analisa Hermeneutika
Menjadikan Hermeneutika
filosofis sebagai acuan memahami makna hadis, sebagimana yang telah digagas
oleh Gadamer yang berpendapat bahwa
"memahami" adalah tindakan sirkuler antara teks dengan pembaca yang
disebut the fusion of horisons, yakni mempertemukan pra-pemahaman pembaca
dengan cakrawala atau horizon teks.
Langkah-langkah
yang harus dilakukan untuk memperoleh makna yang berarti dari suatu teks hadis
yaitu: pertama, harus menemukan makna yang berarti bagi realitas masa
lalu (makna objektif) dengan menggunakan hermeneutika obyektif. kedua,
mencari makna moral-universal teks, untuk kemudian dipraksiskan ke dalam
konteks kekinian. Cara mempraksiskanya ke dalam konteks kekinian yaitu dengan
membandingkan hadis-hadis yang mempunyai relevansi tema yang di bahas sehingga
memperoleh makna yang komprehensif. Ketiga, menentukan konteks
sosio-historisnya (asbabul wurud). Keempat, digeneralisasikan ke
dalam konteks situasi baru yang plural, tetapi partikular. Sehingga pada
akhirnya dapat memperoleh makna yang berarti dari suatu hadis.
B. Apresiasi dan
kritik reviewer
Jurnal yang berjudul
Hermeneutika hadis hukum ini sudah bagus untuk dijadikan refrensi bagaimana
cara memahami hadis dari segi makna dengan pendekatan hermeneutika filosofi
yang di gagas oleh Gadamer. Dilengkapi pula dengan hermeneutika versi
intelek-intelek Muslim seperti Yusuf Qardawi, Syuhudi Ismail, dan Fazlur Rahman.
Dengan tujuan untuk memahami hadis sebagai produk hukum yang hidup dan mampu
menyesuaikan situasi dan kondisi dimana hadis tersebut diterapkan.
Kekurungan dalam jurnal
ini adalah tidak mencantumkan contoh-contoh hadis-nya kemudian di kupas dengan
menggunakan hermeneutika, sehingga lebih jelas dan mudah difahami oleh seluruh
kalangan, baik akademisi maupun masyarakat pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Braaten, Carl. History
of Hermaneuitics, Philadelpia: Fortreess, 1966.
Ismail, M.
Syuhudi. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan Pemalsuannya,
Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Lubis, khyar
yusuf. Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer, Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2014.
Lawrence K.
Schmidt, Understanding Hermeneutics, Durham: Acumen, 2010.
Nasr, Seyyed
Hosein. Knowledge and Sacred, t.t: State University Press, 1989.
Qardhawi, Yusuf.
Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah, Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 1993.
Qaradhawi ,
Yusuf . Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘alim wa
Dhawabit (USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1990.
Rahman, Fazlur.
Islamic Methodology in History, Karachi: Central Institute of Islamic
Research, 1965.
Sumaryono, Hermeneutika
sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007.
W. Montgomery
Watt, Muhammad: Prophet and Statesman, London: Oxford University Press,
1969.
[1] Hermeneutika merupakan suatu cara pendekatan untuk memahami teks secara
benar, dengan melihat dari tiga sudut pandang, pengarang, teks, dan pembaca.
[2] Yusuf Qardhawi,
Madkhal li Dirasah al-Syari‘ah al-Islamiyyah (Beirut: Mu’assasah
al-Risalah, 1993), hlm. 44
[3] M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsuannya (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 72
[4] Akhyar
yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2014), cet.1, hlm. 186
[5] Lawrence K.
Schmidt, Understanding Hermeneutics (Durham: Acumen, 2010), hlm. 6
[6] Sumaryono,
Hermeneutika sebuah Metode Filsafat, (Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2007), hlm. 10
[8] Carl Braaten, History
of Hermaneuitics (Philadelpia: Fortreess, 1966), hlm. 131
[9] Yusuf
al-Qaradhawi, Kayfa Nata‘amal ma‘a al-Sunnah al-Nabawiyyah: Ma‘alim
wa Dhawabit (USA: al-Ma‘had al-Alami li al-Fikr al-Islami, 1990), hlm. 93
[10] Ibid., hlm.
103-108
[11] Lihat Syuhudi
Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis
tentang Ajaran Islam yang Universal Temporan dan Lokal (Jakarta: Bulan
Bintang, 1994), hlm. 3-4
[12] Fungsi Muhammad sebagai Rasul dan kepala negara dapat dilihat
secara lebih rinci pada W. Montgomery Watt, Muhammad: Prophet and Statesman
(London: Oxford University Press, 1969)
[13] Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi, Lihat Syuhudi Ismail, Hadis Nabi
yang Tekstual dan Kontekstual: Tela’ah Ma’ani al-Hadis tentang Ajaran Islam
yang Universal Temporan dan Lokal, hlm. 5
[14] Ibid., hlm. 33
– 68
[15] Fazlur Rahman,
Islamic Methodology in History (Karachi: Central Institute of Islamic Research,
1965), hlm. 10
[16] Ibid. hlm. 12
[17] Ibid. hlm. 143
[18] Hermeneutika filosofis Gadamer tertuang dalam karya monumentalnya,
Truth and Method. Lihat ulasannya dalam Lawrence K. Schmidt, Understanding
Hermeneutics, hlm. 112-114.
[19] Lihat dalam Sahiron Syamsuddin, "Integrasi Hermeneutika Hans
George Gadamer ke dalam Ilmu Tafsir? Sebuah Proyek Pengembangan Metode
Pembacaan al-Qur'an pada Masa Kontemporer", Makalah dalam Annual
Conference Kajian Islam oleh Dipertais Depag RI di (Bandung tgl. 26-30 Nopember
2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar