Senin, 02 April 2018

kajian aksiologi dalam filsafat ilmu


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu adalah pengetahuan atau pengalaman empiris yang di dapat oleh manusia melalui metode yang ilmiah. Peranan ilmu dalam kehidupan manusia sangatlah kompleks. Denganya, semua keperluan dan kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara mudah dan cepat, sehingga dapat menunjang perkembangan peradaban manusia serta mempermudah kebutuhan manusia untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan lingkunganya. Perkembangan ilmu berkaitan erat dengan perkembangan manusia, dimana manusia sebagai penghasil ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu dapat dikatakan sebagai bentuk kebudayaan manusia.
Aksiologi merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimanana manusia menggunakan ilmunya. Aksiologi memaparkan tentang hakikat nilai atau kegunaan sebuah ilmu. Dalam hal ini terdapat dua nilai yaitu etika dan estetika. Dimana etika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, sedangkan estetika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai keindahan. Kedua nilai inilah yang menjadi ukuran dalam setiap dimensi kehidupan manusia secara kompleks dalam peranya sebagai makhluk sosial. Peran seorang manusia di dalam lingkungan sosialnya tidak akan luput dari kedua nilai tersebut, misalnya peran manusia dalam berpolitik, berekonomi, berbusana, berbahasa serta kegiatan yang lain harus merujuk pada peran kedua nilai tersebut di dalam kehidupan sosial masyarakat .
Nilai etika dan estika sangat fundamental di dalam penyebaran ilmu karena kedua nilai tersebut yang akan menentukan suatu ilmu dapat diterima oleh orang lain atau tidak. Oleh sebab itu, ilmu dalam proses penyebarannya harus selalu menyesuaian terhadap kedua nilai tersebut. Nilai etika yang melekat di dalam proses penyebaran ilmu yaitu tentang bagaimana proses penyampaian ilmu yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya di dalam penggunaan bahasa harus beradab, konten ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral, serta perilaku para agen penyampai ilmu di dalam proses penyampaian ilmu harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika di dalam masyarakat. Nilai estetika yang melekat di dalam proses penyebaran ilmu yaitu tentang bagaimana proses penyampaian ilmu yang menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan baik dari segi pemilihan bahasa, tutur kata penyampaian, kemasan ilmu, serta kebermanfaatannya di dalam masyarakat. Dengan demikian dapat memberikan manfaat, hikmah, sekaligus menambah keindahan, kebahagiaan, dan keharmonisan di dalam kehidupan manusia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian filsafat Aksiologi?
2.      Sejauh mana objek dan ruang lingkup kajian filsafat Aksiologi?

C.  Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan pengertian filsafat Aksiologi.
  1. Mendeskripsikan objek dan ruang lingkup kajian filsafat Aksiologi.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian filsafat Aksiologi
Bidang utama ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang masalah nilai, istilah axiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang artinya nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang artinya akal atau teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai, penyeledikan tentang kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai.[1]Aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai.[2] Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh oleh manusia.[3] Secara teori, Menurut Bramel aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin  ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini  melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.[4]
Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik, dan bagus. Yang dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk kewajiban, kebenaran dan kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda dengan fakta.[5]
Kata “nilai” digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita berkata sebuah “nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai untuk merujuk pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa? atau sebuah sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik atau tidak bernilai. Kata “nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti ungkapan atau ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Pada bentuk ini, nilai sinonim dengan kata “evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif digunakan untuk menilai.
Terkait masalah nilai atau di sebut juga dengan visi yang sifatnya sangat universal, di dalamnya terdapat norma (aturan-aturan) bisa juga di artikan sebagai misi, yang mana norma (misi) itu terbagi menjadi dua, yaitu norma khusus dan norma umum. Kemudian norma umum dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: norma sopan santun (etiket), norma moral (etika), dan norma hukum (legal formal).   
Ilmu dan moral memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan  menjadi rahmat bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila, mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan lurus. Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula perbedaan penafsiran.[6]
Terkait dengan nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia untuk menyatakan baik atau buruk, benar atau salah, diterima atau ditolak. Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari obyek yang dinilainya, demikian juga terhadap ilmu.[7]
Pada hakikatnya aksiologi adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang di pandang dari sudut pandang kefilsafatan.[8] Kattsoff  mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai: pertama, pendekatan subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi yang   diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya; kedua, pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal; ketiga, pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan.[9]
Dari definisi-definisi yang telah dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang aksiologi (nilai) dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan yaitu: etika dan estetika.[10]
B.     Objek dan ruang lingkup kajian filsafat Aksiologi
Aksiologis membicarkan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya.[11] Termasuk juga nilai-nilai tinggi dari tuhan, misalnya: nilai moral (etika), nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas dari pada etika (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).[12]
Aksiologi pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau salah karena ia tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[13]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Aksiologi memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan:”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan. Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains. Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya bolehkah dipraktikkan juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu. Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Jadi, sejauh mana hak kebebasan untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.[14]
Dengan demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu bebas dari sistem nilai? Ataukah sebaliknya, apakah itu terikat pada sistem nilai?.[15]
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama, menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai. Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya,  berpendapat bahwa netralitas ilmu hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas moral.[16]
Jujun S. Sumantri mengkaji secara hati-hati terkait hubungan ilmu dengan moral. Ia mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. Sumantri mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.[17]
1.    Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2.    Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3.    Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya (objek ontologis atau objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4.    Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi.
5.    Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan atau kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan ilmiah secara komunal universal.
Ternyata keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau menyalahi standar moral. Kriterianya yaitu: Logis, bukti nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan lainnya.
Sesuai pandangan Jujun S. sumatri mengenai hubungan ilmu dengan moral, sebagaimana yang termaktub dalam poin ke-lima (Secara aksiologi ilmu harus digunakan dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan keseimbangan atau kelestarian alam), maka aksiologi paling tidak terdapat dua bagian umum dalam membangun dan mewujudkanya, yaitu meliputi etika dan estetika.
1.    Etika
Membicarakan pengertian etika tidak akan pernah terlepas dari sejarah kemunculannya yang dimulai dari periode klasik, akan tetapi berdasarkan naskah-naskah kuno yang ditemukan dan diterjemahkan ternyata karya-karya pemikiran Yunani klasik jauh lebih dulu ditulis. Itu diketahui berdasarkan konteks mata rantai sejarah ketika bangsa Arab menaklukan sebuah wilayah, bahasa asli Negara tersebut tidak dihilangkan perjalan sejarah tersebut. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behaviour,[18] atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a person’s behaviour,[19] prinsip-prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. Dalam bahasa Yunani etika berarti ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[20] Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[21] Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.  Etika secara lebih detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
Sampai pada suatu kesimpulan bahwa etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan, dalam istilah lain para ahli dalam bidang etika menyebutkan dengan moral. Etika merupakan salah satu teori yang dibicarakan ketika membahas teori tentang nilai dan ilmu kesusilaan yang membahas perbuatan baik dan melakukan kebenaran. Sedangkan moral adalah bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan. Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan dan tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan buruk. Istilah lain dari etika adalah moral, susila, budi pekerti atau akhlak. Etika dalam bahasa Arab disebut Akhlaq, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai, tabiat, watak, adab dan agama. Adapun imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya ulumu ad-din menyebutkan “ suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang daripadanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan kepada pikiran”.[22]
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.[23]
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam, maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.[24]
Maka etika adalah pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran normatif sebagaiamana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak menghendaki supaya manusia berprilaku baik sesuai dengan yang diajarkan, sedangkan etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik dengan kesadaran dan kepahamanya. Sadar dan faham atas apa yang dilakukanya, atas sumber dan alasan apa perbuatan itu dilakukan, dan atas apa konsekuensi perbuatan itu jika benar-benar dilakukan. Hal inilah yang disebut dengan etika deskriptif, yaitu etika yang terlibat dengan analisis kritis tentang sikap dan prilaku manusia serta (nilai) apa yang ingin dicapai dalam hidup ini, dengan tanpa terlibat upaya memberikan “penilaian” hanya sekedar menjelaskan saja dengan tujuan hanya menjelaskan fakta di balik moral yang di jalankan di suatu masyarakat tertentu, etika ini membicarakan tentang prilaku apa adanya, yaitu prilaku yang terjadi pada situasi dan realitas konkrit yang membudaya.[25] Seperti adat istiadat, kebiasaan yang membudaya, anggapan baik dan buruk, tindakan boleh dan tidak boleh di lakukan, dan lain sebagaianya. Contoh, mengenai mengenai masyarakat jawa yang mengajarka tatakrama berhubungan dengan orang yang lebih tua. Filsuf yang ada pada posisi ini adalah David Hume.
Dalam perkembangan sejarah etika, ditemukan dua macam kajian etika, pertama, etika deskriptif sebagaiamana penjelasan pada uraian yang telah lewat; kedua, etika normatif, yaitu dengan kajian yang mendalam, etika ini berusaha menetapakan berbagaia sikap dan prilaku yang ideal yang seharusnya dimiliki dan dijalankan manusia, serta tindakan apa yang seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang bernilai dalam hidup ini (menilai dan merumuskan).[26] Tujuanya menjelaskan tindakan yang ideal, contoh, akhlak yang baik itu harus jujur, menyampaikan, dan amanah. Filsuf yang ada pada posisi ini adalah Christian Wolff. Pada etika ini ada dua teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, teleologis dan deontologis.
a.       Teleologis (kata telos dalam bahasa yunani adalah tujuan), mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan tergantung dari akibatnya, kalau akibatnya baik maka tindakan itu boleh di lakukan. Sebalaiknya, bila akibatnya buruk, maka tindakan itu di larang untuk dikerjakan. Menurut teori ini berbuat bohong demi melindungi keselamatan seseorang yang akan dianiaya tidak terlarang (boleh dilakukan), sepanjang akibatnya baik. Menurut teori ini terdapat dua macam bagian, diantaranya:  Utilitarisme dan Egoisme etis.
1.      Utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.[27]
Utilitarisme disebut juga teori teleologis universalis, dikatakan teleologis karena utilitarisme menilai baik buruknya tindakan manusia ditinjau dari segi manfaat akibatnya. Sehingga tindakan yang baik adalah tindakan yang dapat mendatangkan akibat-akibat baik bagi kepentingan semua orang yang dapat kita pengaruhi.
Sifat utilitarisme adalah sifat universalis karena yang jadi penilaian norma-norma bukanlah akibat baik bagi dirinya sendiri, melainkan juga bagi seluruh umat manusia.[28] Dilihat dari jenisnya utilitarisme dibagi menjadi dua bagian, yaitu: utilitarisme tindakan dan utilitarisme peraturan.[29]
a.       Utilitarisme tindakan: mengajarkan bahwa “manusia mesti bertindak sedemikian rupa, sehingga setiap tindakan itu menghasilakan suatu kelebihan akibat-akibat baik di dunia sebesar mungkin dibanding dengan akibat-akibat buruk”. 
Misalnya seorang pemuda hendak melakukan pencurian roti di sebuah toko roti besar, untuk diberikan kepada pengemis. pertanyaanya Apakah pemuda itu di perbolehkan untuk melakukan aksinya tersebut?, mengingkat kerugian bagi toko itu dinilai tidak seberapa, sedangkan bagi pengemis roti itu sangatkanlah bermanfaat. Maka utilitarisme membenarkan tindakan tersebut. Dengan tanpa memperdulikan terguncangnya keteraturan masyarakat, dan tanpa memertimbangkan kebolehanya jika dalam keadaan terpaksa saja.
b.      Utilitarisme peraturan: kaidah utama ajaranya: “ bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapnya menghasilakan kelebihan akibat-akibat baik di dunia sebesar mungkin dibanding dengan akibat-akibat buruk”. 
Misalnya jika ada pencuri ayam yang sudah lima kali keluar-masuk penjara, pasti ia akan melakukan hal seperti itu jika di bebaskan lagi. Maka timbulah pertanyaan, “bolehkah masyarakat memberikan hukuman baginya seumur hidup jika tertangkap ke-enam kalinya?”, kalau semua pencuri ayam di perlakukan seperti itu tentu pencurian ayam akan menurun, seluruh masyarakat akan merasa lega, tenang. Hanya saja si pencuri itu akan menggerutu atas penjara seumur hidup. Menurut utilitarisme peraturan, tindakan masyarakat semacam itu dapat dibenarkan.
2.      Egoisme etis merupakan kelanjutan dari teori teleologis atau Utilitarisme. Teori ini banyak menyoroti terhadap akibat dari perbuatan bagi kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang banyak. Dengan berpendapat bahwa orang yang betul-betuk hidup sesuai dengan kepentinganya sendiri adalah seorang yang matang dan tau tanggung jawab. Teori ini terdapat dua bidang kajian, yaitu: hedonisme dan eudemonisme.[30]
a.       Hedonisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik adalah suatu yang dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia, alasanya karena rasa nikmat itu merupakan suatu hal yang pada dirinya sendiri baik bagi manusia (orang lain). Sebagaimana kaidah dasarnya: “bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala macam yang bisa menimbulkan rasa sakit darimu.”
Kita sering ingin dipuji dan dihargai oleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari, begitu juga sebaliknya orang lain sering ingin dipuji dan dihargai oleh kita, oleh karena itu jika kita berusaha berbuat baik kepada orang lain, pada hakikatnya kita mengharap agar orang lain memuji dan menghargai kita dan mau berbuat baik kepada kita. Pengorbanan kita kepada orang lain bukan untuk menyakiti perasaan kita akan tetapi justru untuk mendapatkan kenikmatan dalam diri kita. 
b.      Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.[31] Ada tujuan yang dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan ada tujuan yang dicari demi dirinya sendiri. Eudemonisme mengungkapkan kaidah dasar yang berbunyi: “bertindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan”. Menurut kaidah ini tindakan manusia ditujukan untuk mencapai kebahagiaan.[32]
Misalnya seorang belajar ilmu agama (mahasiswa AS) mempunyai tujuan agar ia dapat memberikan tuntunan kepada masyarakat tentang masalah hukum Islam, tetapi tujuan itu bukan merupakan tujuan akhir bagi dirinya, ia masih mempunyai sejumlah tujuan lainya (bisa jadi profesi dakwah untuk meraup keuntungan), bahkan akhirnya ia akan menyertakan suatu tujuan demi dirinya sendiri, dengan harapan mencapai kebahagiaan hidupnya pribadi.
b.      Deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.[33]
Kata deontologi berasal dari bahasa yunani, deon artinya yang diharuskan atau di wajibkan, mengatakan bahwa betul-salahnya (baik-buruknya) suatu tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat tindakan itu, melainkan ada cara bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib (sistem etika universal). Jadi, untuk mengetahui apakah kita boleh mengambil pohon tetangga tanpa minta izin terlebih dahulu kepada yang punya, kita tidak perlu memikirkan bagaimana akibat dari perbuatan itu, melainkan mengambil barang orang lain tanpa seizinya begitu saja tidak boleh.[34]   
2.    Estetika
Estetika dilukiskan sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika disebut juga sebagai cabang aksiologi yang menelaah nilai indah dan tidak indah. Lasiyo dan Yuwono mengatakan bahwa logika, etika, dan estetika merupakan gugusan aksiologi karena ketiganya membicarakan tentang nilai. Logika berbicara tentang nilai benar dan salah, etika berbicara tentang nilai baik dan buruk, dan estetika berbicara nilai indah dan tidak indah. Lebih jelas lagi bahwa logika berhubungan dengan dengan nilai akal rasio, etika berhubungan dengan nilai moral, dan estetika berhubungan dengan perasaan manusia.[35]
Estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gotlieb Baumgarten pada 1735 yang diartikan sebagai ilmu tentang hal yang biasa diarasakan lewat perasaan. Estetika adalah salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan seni. Secara sederhana diartikan estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk dan bagaimana seseorang bisa merasakan estetika sebagai sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentiment dan rasa.
Dalam sejarah pemikiran barat, estetika tumbuh dan berkembang dengan pesat. Dengan fakta lahirnya beberapa teori dan pemikiran beberapa filsuf terkemuka, yaitu: Immanuel Kant, ia berpendapat bahwa yang indah adalah yang tanpa konsep dapat diterima sebagai suatu yang universal, memuaskan, menyenangkan tanpa pamrih dan tak berkepentingan. Demikian pula Benedetto Croco yang melihat keindahan lebih merupakan gambaran internal dari wujud formal yaitu sebagai pengungkapan yang berhasil dari suatu intuisi.[36]
Socrates memandang bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhui keinginan terakhir, seorang gadis cantik di dunia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan bidadari surga, demikian juga  orang yang paling arif dan bijaksana (nabi muhammad), jika di bandingkan tuhan maka tidak ada apa-apanya, karena tuhan maha segalanya. Akan tetapi setiap objek memiliki keindahanya sendiri-sendiri. Sehingga keindahan atau kecantikan bukan sifat tertentu dari seratus, seribu barang, karena sudah barang tentu hewan, manusia, makhluk, kholik semuanya adalah barang indah dimana dibalik kecantikanya masing-masing punya kriteria sendiri-sendiri.
Menurut Plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Ia berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide, kesederhanaan adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni. Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.
Bagi Plotinus keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang hakikat (Ilahi), ia menyatakan dirinya atau memancarkan sinar atau dalam realitas penuh, maka itulah keindahan.[37] Menurut plato keindahan hendaknya di dahului dengan cinta (pengosongan diri sehingga subjek benar-benar dapat mencintai benda yang indah) melalui proses pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan itu dapat diuraikan sebagai berikut:
§  Pada awalnya orang dididik untuk mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya keindahan tubuh seorang manusia.
§  Kemudian dididik untuk mencintai tubuh yang lain, sehingga tertanam hakikat keindahan tubuh manusia.
§  Keindahan tubuh yang bersifat rohani itu lebih luhur dari pada keindahan tubuh yang bersifat jasmani.
§  Keindahan rohani dapat menuntun manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula, misalnya ilmu pengetahuan.
§  Akhirnya manusia harus dapat menangkap ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan yang bersifat jasmani.
Dari stetemen keindahan perspektif plato diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa menurutnya keindahan itu terdapat empat macam: keindahan jasmani, keindahan moral, keindahan akal, dan keindahan mutlak.
Aristoteles ukuran sesuatu itu indah yang penting keserasian bentuk yang setinggi-tingginya, keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pedoman keindahan bukan pada pemandangan manusia seperti apa adanya di dalam kenyataan, tetapi menurut bagaimana seharusnya. Formula yang pas yang ideal disini beda dengan plato yang memandang keindahan itu sampai di alam ide, kalau aristoteles ini sesuatu yang indah hanya sesuai batas akal manusia dan alam semesta saja.
Immanuel Kant dalam studi ilmiah psikologi tentang estetika menyatakan, akal itu memiliki indera ketiga atas piker dan kemauan yaitu indera rasa yang memiliki kekhususan, kesenangan estetika.[38]
Estetika sering pula disebut filsafat keindahan, filsafat seni, cita rasa, kritis, teori tentang seni indah dan masih banyak lagi. Karena batasan estetika sedemikian luas maka sering terjadi perbedaan pendapat. Dengan demikian estetika berarti kefilsafatan tentang nilai keindahan. Beberapa persoalan seperti apa sebenarnya yang disebut indah, dari mana sumber keindahan itu, dan bagaimana ekspresi manusia tentang keindahan, ketiga tersebut merupakan persoalan estetika.[39]
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan, meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Pergeseran orientasi estetika (keindahan):
1.      Era klasik (yunani kuno): orientasi utama terletak pada seniman penggagas munculnya karya seni (subjeknya), sehingga esensi keindahan terletak pada yang bikin bukan pada barangnya (objeknya). Orang yang baik akan melahirkan karya yang baik. Yang di bahas kualitas senimanya.
2.      Era modern: orientasi pada karya seni, makna estetika lebih pada benda seninya. Kebalikan dari era klasik. Contoh: hp, laptop orang-orang tidak memikirkan siapa yang membuat yang penting memikirkan spesifikasinya, merk-nya, RAM-nya berapa, teknologi apa yang di pakai, bahanya terbuat dari apa, dan lain sebagainya. Tidak memikirkan jangan-jangan yang bikin orang yahudi, bukan orang Islam, sehingga masuk neraka dan lain sebagainya, (melihat pada objeknya bukan pembuatnya).
3.      Era Post-Modern: pertama, tumbuhnya sub budaya baru dan spirit multikulturlisme menurunkan sekat-sekat wacana estetik. Tidak ada kebenaran dan keindahan yang mutlak; kedua, adanya kebebasan menafsirkan objek (pluralisme); ketiga, ada kebebasan untuk menata struktur, ada kebebasan untuk menafsirkan keindahan (dekontruksi). Sehingga berimplikasi pada multi tafsir, setiap orang boleh memilih dan menentukan keindahan sesuai dengan perspektifnya masing-masing, setiap orang mempunyai hak preogratif dalam menentukan keindahan.
Misalnya ada sebuah taman yang di dalamnya banyak tanaman dan tumbuhan yang rindang, sejuk, subur, hijau, ditambah bunga yang warna-warni seakan mempesona taman tersebut. Setiap orang yang melalui jalan disamping tanaman tersebut selalu terpesona melihatnya. Sebagian dari mereka ada yang menikmati sambil lalu, sebagian ada yang menikmati sambil berhenti sejenak refreshing, bahkan sebagian mereka ada yang memiliki kehalusan perasaan, yang mempunyai kepekaan terhadap “nilai indah” itu. Dalam kajian estetika pendapat ini disebut estetika subjektik-psikologis. kedua, menyatakan bahwa nilai indah itu merupakan kenikmatan yang di objektivikasikan. Maksudnya terbukti rasa nikamat itu dalam pengalaman sebagaimana contoh diatas. Baginya kenikmatan itu tetap hanya dalam angan-angan, jika tidak dialami. Kenikmatan yang dialami itulah “nilai indah” itu. Pendapat ini dikenal dengan estetika subjek-empiris. Ketiga, berpendapat bahwa “nilai indah” itu adalah nilai suatu keberhasilan dari suatu proses pengalaman yang panjang. Maka “nilai indah” itu tidaklah bersifat tiba-tiba, tetapi ada proses pengalaman sehingga sampai akhirnya keberhasilan itu dapat dicapai. Pendapat ini disebut estetika subjektif- experience. Keempat, berpendapat bahwa “nilai indah” itu terkait dengan pertimbangan metafisik atau dikenal dengan teologi-religius, hal ini disebut dengan estetika objektif-metafisik, atau ada yang mengatakan estetika spiritualis yang mengajak pada pengakuan akan kebesaran Ilahi. Tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi pendapat yang lain, sehingga kita mengetahui dari beberapa banyak pendapat tersebut menunjukkan betapa keindahan itu merupakan persoalan yang menarik dan tidak sederhana. Belum lagi jika dikaitkan dengan bentuk seni sebagai wujud ekspresi terhadap keindahan dari seseorang, suku, bangsa atau tradisi tertentu.[40]
Maka dalam kajian estetika ditemukan beberapa aliran seni sebagai wujud ekspresi terhadap keindahan, yaitu:
1.      Aliran naturalis: bentuk seni yang menekankan pada ekspresi alamiah
2.      Aliran tradisional: ekspresi seni yang menekankan pada konservasi budaya dan tradisi, serta biasanya juga bercorak spiritualis
3.      Aliran modern: ekspresi seni yang banyak di pengaruhi oleh budaya barat, yang biasanya bercorak rasional-artifisial
4.      Aliran religius: bentuk seni sebagai ekspresi keagamaan, baik yang menekankan pada aspek spiritual-religiusitas maupun tradisional- salafiah.













\




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Aksiologi berasal dari perkataan axios (Yunani) yang artinya nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang artinya akal atau teori. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai, penyeledikan tentang kodrat, kriteria, dan status metafisik dari nilai.
Aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh oleh manusia.
Pada hakikatnya aksiologi adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang di pandang dari sudut pandang kefilsafatan. Kattsoff  mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai: pertama, pendekatan subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi yang   diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya; kedua, pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal; ketiga, pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Menurut Bramel aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct (tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin  ilmu khusus yaitu “ilmu etika” atau nilai etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini  melahirkan konsep Sosio Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.
2.      Aksiologis membicarkan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Termasuk juga nilai-nilai tinggi dari tuhan, misalnya: nilai moral (etika), nilai agama, nilai keindahan (estetika).
Terkait masalah nilai atau di sebut juga dengan visi yang sifatnya sangat universal, di dalamnya terdapat norma (aturan-aturan) bisa juga di artikan sebagai misi, yang mana norma (misis) itu terbagi menjadi tiga, yaitu: norma sopan santun (etiket), norma moral (etika), dan norma hukum (legal formal).   
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Aksiologi memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, dapat ditambahkan pertanyaan:”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan.
Dilihat dari jenisnya maka paling tidak terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu, yaitu meliputi etika dan estetika.
a.       Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan, dalam istilah lain para ahli dalam bidang etika menyebutkan dengan moral. Etika merupakan salah satu teori yang dibicarakan ketika membahas teori tentang nilai dan ilmu kesusilaan yang membahas perbuatan baik dan melakukan kebenaran. Sedangkan moral adalah bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan. Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan dan tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan buruk. Istilah lain dari etika adalah moral, susila, budi pekerti atau akhlak.
Etika terbagi menjadi dua jenis, pertama, etika deskriptif (hanya mendiskripsikan), tujuanya hanya menjelaskan fakta di balik moral yang di jalankan di suatu masyarakat tertentu. Pada posisi ini adalah filsuf David Hume. Kedua, etika normatif (menilai serta merumuskan), tujuanya menjelaskan tindakan yang ideal. Pada posisi ini adalah filsuf Christian Wolff. Pada etika normatif secara garis besar ada dua teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, teleologis dan deontologis.
Teleologis sendiri terdapat beberapa bagian di dalamnya: pertama, Utilitarisme. Yang hal ini terbagi menjadi dua (Utilitarisme tindakan dan Utilitarisme peraturan); kedua, egoisme etis. Juga terdapat dua bagian (hedonisme, eudemonisme).
b.      Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gotlieb Baumgarten pada 1735 yang diartikan sebagai ilmu tentang hal yang biasa diarasakan lewat perasaan. Lasiyo dan Yuwono mengatakan bahwa logika, etika, dan estetika merupakan gugusan aksiologi karena ketiganya membicarakan tentang nilai. Logika berbicara tentang nilai benar dan salah, etika berbicara tentang nilai baik dan buruk, dan estetika berbicara nilai indah dan tidak indah. Lebih jelas lagi bahwa logika berhubungan dengan dengan nilai akal rasio, etika berhubungan dengan nilai moral, dan estetika berhubungan dengan perasaan manusia. Estetika sering pula disebut filsafat keindahan, filsafat seni, filsafat cita rasa, filsafat kritis, teori tentang seni indah dan masih banyak lagi.
Terdapat tiga pemikiran atau pandangan tentang estetika (keindahan) dari tiga filsuf besar:
1.      Socrates memandang bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang menyenangkan dan memenuhui keinginan terakhir.
2.      Plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah berubah-ubah. Ia berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide, kesederhanaan adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni. Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.
3.      Aristoteles ukuran sesuatu itu indah yang penting keserasian bentuk yang setinggi-tingginya, keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material.
Terdapat pergeseran orientasi dalam memandang estetika (nilai keindahan):
1.      Era klasik, memandang sesuatu yang indah itu pada subjeknya (orangnya)
2.      Era Modern: memandang sesuatu yang indah itu pada objeknya (barangnya/hasilnya)
3.      Era Era Post-Modern, memandang sesuatu yang indah itu suka-suka, boleh melihat subjeknya/objeknya atau keduanya dengan menyesuaikan kepentinganya masing-masing.
Terdapat beberapa perspektif tentang nilai indah:
1.      Estetika subjektik-psikologis: nilai indah itu merupakan suatu yang di rasakan
2.      Estetika subjek-empiris: nilai indah itu merupakan kenikmatan yang di objektivikasikan
3.      Estetika subjektif- experience: “nilai indah” itu adalah nilai suatu keberhasilan dari suatu proses pengalaman yang panjang
4.      Estetika objektif-metafisik atau estetika spiritualis: “nilai indah” itu terkait dengan pertimbangan metafisik atau dikenal dengan teologi-religius.













DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Tafsir.  filsafat ilmu, Bandung:Rosdakarya, 2006.
Drs. Rizal Mustansyir dan Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, Cet. Ke-V.
Drs. A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Cet. Pertama.
Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam Teori dan Praktik. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010.
Irmayanti M. Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah,Depok: Fakultas Sastra UI, 2001.
Jujun S Suriasumantri, filsafat ilmu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2005.
Jujun S. Sumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia media utama, 1996.
Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995.
K. Bertens, Etika , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Mohammad Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, Yogyakarta: Belukar, 2005.
Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Muhammad Alfian. Filsafat Etika Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2010.
Prof. Dr. Baktiar, Amsal,  M.A. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Prof. Dr. Bakhtiar, Amsal M.A. filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers,  2013.
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2005. Ed.1 Cet. ke-2.
Riseiri Frondiz, What Is Value?, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001.
Salam, Burhanudin. Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat ,  Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Win Usuludin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011.  Cet. Pertama.


[1] Drs. Rizal Mustansyir dan Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, cet. Ke-V, hal. 26
[2] Prof. Ahmad Tafsir, filsafat ilmu, Bandung:Rosdakarya, 2006, hal.  37-41
[3] Jujun S. sumantri, filsafat ilmu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003, hal. 233
[4] Ibid, hal. 340
[5] Riseiri Frondiz, What Is Value?, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001, hal. 60
[6] Jujun S. sumantri, filsafat ilmu, hal. 341
[7] Ibid, hal. 342
[8] Drs. A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Cet pertama, hal. 116
[9]Irmayanti M. Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah,Depok: Fakultas Sastra UI, 2001, hal. 106
[10] Prof. Dr. Amsal Bakhtiar, M.A. filsafat Ilmu. Jakarta:Rajawali Pers, 2013. hal 162
[11] Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia,  Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid II Jakarta: Balai Pustaka, 1996,  hal. 159
[12] Drs. A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, hal. 116
[13] Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan Bintang,1978, hal. 471-472
[14] Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 49
[15] Jujun S. sumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia media utama, 1996, hal. 2
[16] Jujun S. sumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar Harapan, 2005, hal. 235
[17] Jujun S. sumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini, hal. 15-16
[18] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995. hal. 393
[19] Ibid. hal. 393
[20]Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat ,Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, hal. 100-101
[21] K. Bertens, Etika , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999,  hal. 4
[22] Muhammad Alfian, Filsafat Etika Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2010, hal.17
[23] Amsal, Baktiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 103
[24] Burhanudin Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997, hal. 160
[25] Mohammad Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, Yogyakarta: Belukar, 2005, Cet. Pertama, hal. 123-124
[26] Ibid. hal. 124
[27] Burhanudin Salam,  Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan,. hal. 140
[28] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2005, Ed.1 Cet.ke-2, hal. 65
[29] Ibid. hal 65-67
[30] Ibid. hal. 63
[31] Burhanudin Salam,  Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan,. hal. 161
[32] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, hal. 64
[33] Burhanudin Salam,  Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, hal. 140
[34] Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, hal. 62
[35] Win Usuludin Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. Pertama, hal. 60
[36] Mohammad Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, hal. 137-138
[37] Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat Islam Teori dan Praktik. Bandung:CV Pustaka Setia, 2010, hal. 93
[38] Ibid. hal. 93
[39] Mohammad Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, hal. 132
[40] Ibid. hal. 132-136

Tidak ada komentar:

Posting Komentar