BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu
adalah pengetahuan atau pengalaman empiris yang di dapat oleh manusia melalui
metode yang ilmiah. Peranan ilmu dalam kehidupan manusia sangatlah kompleks.
Denganya, semua keperluan dan kebutuhan manusia dapat terpenuhi secara mudah
dan cepat, sehingga dapat menunjang perkembangan peradaban manusia serta
mempermudah kebutuhan manusia untuk bertahan hidup dan beradaptasi dengan
lingkunganya. Perkembangan ilmu berkaitan erat dengan perkembangan manusia,
dimana manusia sebagai penghasil ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, ilmu dapat
dikatakan sebagai bentuk kebudayaan manusia.
Aksiologi
merupakan bagian dari filsafat ilmu yang mempertanyakan bagaimanana manusia
menggunakan ilmunya. Aksiologi memaparkan tentang hakikat nilai atau kegunaan
sebuah ilmu. Dalam hal ini terdapat dua nilai yaitu etika dan estetika. Dimana
etika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, sedangkan
estetika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai keindahan. Kedua
nilai inilah yang menjadi ukuran dalam setiap dimensi kehidupan manusia secara
kompleks dalam peranya sebagai makhluk sosial. Peran seorang manusia di dalam
lingkungan sosialnya tidak akan luput dari kedua nilai tersebut, misalnya peran
manusia dalam berpolitik, berekonomi, berbusana, berbahasa serta kegiatan yang
lain harus merujuk pada peran kedua nilai tersebut di dalam kehidupan sosial
masyarakat .
Nilai
etika dan estika sangat fundamental di dalam penyebaran ilmu karena kedua nilai
tersebut yang akan menentukan suatu ilmu dapat diterima oleh orang lain atau
tidak. Oleh sebab itu, ilmu dalam proses penyebarannya harus selalu menyesuaian
terhadap kedua nilai tersebut. Nilai etika yang melekat di dalam proses
penyebaran ilmu yaitu tentang bagaimana proses penyampaian ilmu yang menjunjung
tinggi nilai-nilai moral yang berlaku di dalam masyarakat, misalnya di dalam
penggunaan bahasa harus beradab, konten ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan
secara moral, serta perilaku para agen penyampai ilmu di dalam proses
penyampaian ilmu harus menjunjung tinggi nilai-nilai etika di dalam masyarakat.
Nilai estetika yang melekat di dalam proses penyebaran ilmu yaitu tentang
bagaimana proses penyampaian ilmu yang menjunjung tinggi nilai-nilai keindahan
baik dari segi pemilihan bahasa, tutur kata penyampaian, kemasan ilmu, serta
kebermanfaatannya di dalam masyarakat. Dengan demikian dapat memberikan manfaat,
hikmah, sekaligus menambah keindahan, kebahagiaan, dan keharmonisan di dalam
kehidupan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian filsafat Aksiologi?
2. Sejauh mana objek dan ruang lingkup kajian filsafat Aksiologi?
C. Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan pengertian filsafat Aksiologi.
- Mendeskripsikan objek
dan ruang lingkup kajian filsafat Aksiologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian filsafat Aksiologi
Bidang utama
ketiga adalah aksiologi, yang membahas tentang masalah nilai, istilah axiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang artinya nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang artinya akal atau teori. Jadi aksiologi adalah teori
tentang nilai, penyeledikan tentang kodrat, kriteria, dan status metafisik dari
nilai.[1]Aksiologi dapat diartikan
sebagai teori mengenai sesuatu yang bernilai.[2] Sedangkan arti aksiologi
yang terdapat didalam bukunya Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan
sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang
diperoleh oleh manusia.[3] Secara teori, Menurut Bramel aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct
(tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus yaitu “ilmu
etika” atau nilai etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang
ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political
Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini melahirkan konsep Sosio
Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.[4]
Kata “nilai”
digunakan sebagai kata benda abstrak. seperti: baik, menarik, dan bagus. Yang
dalam pengertian yang lebih luas mencakup segala bentuk kewajiban, kebenaran
dan kesucian. Sebagai kata benda asli yang berbeda dengan fakta.[5]
Kata “nilai”
digunakan sebagai kata benda kongkrit. Misalnya, ketika kita berkata sebuah
“nilai” atau nilai-nilai. Pada bentuk ini, ia seringkali dipakai untuk merujuk
pada sesuatu yang bernilai, seperti ungkapan “nilai dia berapa? atau sebuah
sistem nilai. Untuk itu, ia berlawanan dengan apa-apa yang tidak dianggap baik
atau tidak bernilai. Kata “nilai” digunakan sebagai kata kerja. Seperti
ungkapan atau ekspresi menilai, memberi nilai dan dinilai. Pada bentuk ini,
nilai sinonim dengan kata “evaluasi” pada saat hal tersebut secara aktif
digunakan untuk menilai.
Terkait masalah
nilai atau di sebut juga dengan visi yang sifatnya sangat universal, di
dalamnya terdapat norma (aturan-aturan) bisa juga di artikan sebagai misi, yang
mana norma (misi) itu terbagi menjadi dua, yaitu norma khusus dan norma umum.
Kemudian norma umum dibagi lagi menjadi tiga, yaitu: norma sopan santun
(etiket), norma moral (etika), dan norma hukum (legal formal).
Ilmu dan moral
memiliki keterkaitan yang kuat. Ilmu bisa jadi malapetaka kemanusiaan jika
seseorang yang memanfaatkannya “tidak bermoral” atau paling tidak mengindahkan
nilai-nilai moral yang ada. Namun sebaliknya, ilmu akan menjadi rahmat
bagi kehidupan manusia jika dimanfaatkan secara benar dan tepat,tentunya tetap mengindahkan
aspek moral. Berbicara moral sama artinya berbicara masalah etika atau susila,
mempelajari kaidah-kaidah yang membimbing kelakuan manusia sehingga baik dan
lurus. Karena moral umum diukur dari sikap manusia pelakunya,timbul pula
perbedaan penafsiran.[6]
Terkait dengan
nilai etika atau moral, sebenarnya ilmu sudah terkait dengan masalah-masalah
moral, namun dalam perspektif yang berbeda. Nilai menyangkut sikap manusia
untuk menyatakan baik atau buruk, benar atau salah, diterima atau ditolak.
Dengan demikian manusia memberikan konfirmasi mengenai sejauh mana manfaat dari
obyek yang dinilainya, demikian juga terhadap ilmu.[7]
Pada hakikatnya
aksiologi adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan
berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Pengetahuan yang menyelidiki
hakikat nilai, yang di pandang dari sudut pandang kefilsafatan.[8] Kattsoff
mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap nilai: pertama, pendekatan
subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi yang diberikan manusia
sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya; kedua, pendekatan obyektivisme
logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat diketahui melalui akal; ketiga,
pendekatan obyektivisme-metafisik, di mana nilai merupakan unsur obyektif yang
menyusun kenyataan.[9]
Dari definisi-definisi
yang telah dikemukakan di atas, terlihat dengan jelas bahwa permasalahan utama
adalah mengenai nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia
untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang
aksiologi (nilai) dalam filsafat mengacu pada dua permasalahan yaitu: etika dan
estetika.[10]
B.
Objek dan ruang lingkup kajian
filsafat Aksiologi
Aksiologis membicarkan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga
nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya.[11]
Termasuk juga nilai-nilai tinggi dari tuhan, misalnya: nilai moral (etika),
nilai agama, nilai keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian
lebih luas dari pada etika (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf tinggi).[12]
Aksiologi
pada dasarnya bersifat ide dan karena itu ia abstrak dan tidak dapat disentuh
oleh panca indra. Yang dapat ditangkap dari aspek aksiologis adalah materi atau
tingkah laku yang mengandung nilai. Karena itu nilai bukan soal benar atau
salah karena ia tidak dapat diuji. Ukurannya sangat subjektif dan objek
kajiannya adalah soal apakah suatu nilai dekehendaki atau tidak. Berbeda dengan
fakta yang juga abstrak namun dapat diuji dan argumentasi rasional dapat
memaksa orang untuk menerima kebenarannya. Pengukuran benar dan salah dari
suatu fakta dapat dilakukan secara objektif dan empiris.[13]
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak
ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa
manfaat (untuk apa) ilmu bagi manusia?”. Aksiologi
memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, dapat
ditambahkan pertanyaan:”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam
hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan.
Secara epistemologis, persoalan ini berada di luar batas pengetahuan sains.
Menurut Bertens, pertanyaan ini menyangkut etika: ”Apakah yang bisa dilakukan
berkat perkembangan ilmu pengetahuan, pada kenyataannya bolehkah dipraktikkan
juga?”. Pertanyaan aksiologis ini bukan merupakan pertanyaan yang dijawab oleh
ilmu itu sendiri, melainkan harus dijawab oleh manusia di balik ilmu itu.
Jawabnya adalah bahwa pengetahuan ilmiah harus dibatasi penggunaannya, yakni
sejauh ditentukan oleh kesadaran moral manusia. Jadi, sejauh mana hak kebebasan
untuk meneliti? Hal ini merupakan permasalahan yang pelik.[14]
Dengan
demikian dalam filsafat aksiologis pembicaraan utama terkait erat dengan kaitan
ilmu dan moral. Hal ini telah lama menjadi bahan pembahasan para pemikir antara
lain Merton, Popper, Russel, dan pemikira lainnya. Pertanyaan umum yang sering
muncul berkenaan dengan hal tersebut adalah : apakah itu bebas dari sistem
nilai? Ataukah sebaliknya, apakah itu terikat pada sistem nilai?.[15]
Ternyata pertanyaan tersebut tidak mendapatkan jawaban yang
sama dari para ilmuwan. Ada dua kelompok ilmuwan yang masing-masing punya
pendirian terhadap masalah tersebut. Kelompok pertama, menghendai ilmu harus bersifat netral terhadap sistem nilai.
Menurut mereka tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan ilmiah. Ilmu ini
selanjutnya dipergunakan untuk apa, terserah pada yang menggunakannya, ilmuwan
tidak ikut campur. Kelompok kedua sebaliknya, berpendapat bahwa netralitas ilmu
hanya terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan
pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan azas-azas
moral.[16]
Jujun S. Sumantri
mengkaji secara
hati-hati terkait
hubungan ilmu
dengan moral. Ia mempertimbangkan tiga dimensi filosofis ilmu. Pandangan Jujun S. Sumantri mengenai hal tersebut adalah sebagai berikut.[17]
1. Untuk mendapatkan pengertian yang benar mengenai kaitan antara ilmu dan
moral maka pembahasan masalah ini harus didekati dari segi-segi yang lebih
terperinci yaitu segi ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
2. Menafsirkan hakikat ilmu dan moral sebaiknya memperhitungkan faktor
sejarah, baik sejarah perkembangan ilmu itu sendiri, maupun penggunaan ilmu
dalam lingkup perjalanan sejarah kemanusiaan.
3. Secara ontologis dalam pemilihan wujud yang akan dijadikan objek penelaahannya
(objek ontologis atau objek formal) ilmu dibimbing oleh kaidah moral
yang berazaskan tidak mengubah kodrat manusia, tidak merendahkan martabat manusia, dan tidak mencampuri masalah kehidupan.
4. Secara epistemologis, upaya ilmiah tercermin dalam metoda keilmuan yang
berporoskan proses logiko-hipotetiko-verifikatif dengan kaidah moral yang
berazaskan menemukan kebenaran, yang dilakukan dengan penuh kejujuran, tanpa
kepentingan langsung tertentu dan berdasarkan kekuatan argumentasi.
5.
Secara aksiologis ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf
hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
keseimbangan atau kelestarian alam. Upaya ilmiah ini dilakukan dengan penggunaan dan pemanfaatan pengetahuan
ilmiah secara komunal universal.
Ternyata
keterkaitan ilmu dengan sistem nilai khususnya moral tidak cukup bila hanya
dibahas dari tinjauan aksilogi semata. Tinjauan ontologis dan epistemologi
diperlukan juga karena azas moral juga mewarnai perilaku ilmuwan dalam
pemilihan objek telaah ilmu maupun dalam menemukan kebenaran ilmiah.
Dari awal perkembangan ilmu selalu dikaitkan dengan masalah
moral. Copernicus (1473-1543) yang menyatakan bumi berputar mengelilingi
matahari, yang kemudian diperkuat oleh Galileo (1564- 1642) yang menyatakan
bumi bukan merupakan pusat tata surya yang akhirnya harus berakhir di
pengadilan inkuisisi. Kondisi ini selama 2 abad mempengaruhi proses
perkembangan berpikir di Eropa. Moral reasioning adalah proses dengan
mana tingkah laku manusia, institusi atau kebijakan dinilai apakah sesuai atau
menyalahi standar moral. Kriterianya
yaitu: Logis, bukti
nyata yang digunakan untuk mendukung penilaian haruslah tepat, konsisten dengan
lainnya.
Sesuai
pandangan Jujun S. sumatri mengenai hubungan ilmu dengan moral, sebagaimana yang termaktub dalam poin ke-lima (Secara aksiologi ilmu harus digunakan dan
dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia dengan jalan meningkatkan taraf
hidupnya dan dengan memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, dan
keseimbangan atau kelestarian alam), maka aksiologi paling tidak terdapat dua bagian umum dalam
membangun dan mewujudkanya, yaitu meliputi etika dan estetika.
1. Etika
Membicarakan pengertian etika tidak akan pernah terlepas dari
sejarah kemunculannya yang dimulai dari periode klasik, akan tetapi berdasarkan
naskah-naskah kuno yang ditemukan dan diterjemahkan ternyata karya-karya pemikiran
Yunani klasik jauh lebih dulu ditulis. Itu diketahui berdasarkan konteks mata
rantai sejarah ketika bangsa Arab menaklukan sebuah wilayah, bahasa asli Negara
tersebut tidak dihilangkan perjalan sejarah tersebut. Dalam bahasa Inggris
etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or
rules of behaviour,[18] atau suatu sistem,
prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan tetapi, terkadang ethics
(dengan tambahan huruf s) dapat berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics
berarti the branch of philosophy that deals with moral principles, suatu cabang
filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral. Jika ethics dengan
maksud plural (jamak) berarti moral principles that govern or influence a
person’s behaviour,[19] prinsip-prinsip moral
yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi. Dalam bahasa Yunani etika berarti
ethikos mengandung arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus, mesti, benar-salah,
mengandung pencarian ke dalam watak moralitas atau tindakan-tindakan moral,
serta mengandung pencarian kehidupan yang baik secara moral.[20] Dalam bahasa Yunani Kuno,
etika berarti ethos, yang apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat
tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak, watak perasaan,
sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah adat
kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika”
berarti ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[21] Arti inilah yang menjadi
latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh Aristoteles (384-322
SM.) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih
detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia
sejauh berkaitan dengan moralitas.
Sampai pada suatu kesimpulan bahwa etika berasal dari kata “ethos”
(Yunani) yang berarti adat kebiasaan, dalam istilah lain para ahli dalam bidang
etika menyebutkan dengan moral. Etika merupakan salah satu teori yang
dibicarakan ketika membahas teori tentang nilai dan ilmu kesusilaan yang
membahas perbuatan baik dan melakukan kebenaran. Sedangkan moral adalah bentuk
pelaksanaannya dalam kehidupan. Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya
bahwa etika merupakan suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan dan
tingkah laku manusia, mana yang dinilai baik dan buruk. Istilah lain dari etika
adalah moral, susila, budi pekerti atau akhlak. Etika dalam bahasa Arab disebut
Akhlaq, merupakan jamak dari kata khuluq yang berarti adat kebiasaan, perangai,
tabiat, watak, adab dan agama. Adapun imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Ihya
ulumu ad-din menyebutkan “ suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang daripadanya
timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan kepada
pikiran”.[22]
Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis
Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang
ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral
ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan
adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak
menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah
pemikiran yang kritis dan mendasar. Tujuan dari etika adalah agar manusia
mengetahui dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.[23]
Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi
sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab,
baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam, maupun terhadap
tuhan sebagai sang pencipta.[24]
Maka etika adalah pengetahuan filosofis, dan bukan merupakan ajaran
normatif sebagaiamana moralitas atau akhlak. Setiap moralitas atau akhlak
menghendaki supaya manusia berprilaku baik sesuai dengan yang diajarkan,
sedangkan etika menghendaki supaya manusia melakukan tindakan baik dengan
kesadaran dan kepahamanya. Sadar dan faham atas apa yang dilakukanya, atas
sumber dan alasan apa perbuatan itu dilakukan, dan atas apa konsekuensi
perbuatan itu jika benar-benar dilakukan. Hal inilah yang disebut dengan etika
deskriptif, yaitu etika yang terlibat dengan analisis kritis tentang sikap
dan prilaku manusia serta (nilai) apa yang ingin dicapai dalam hidup ini,
dengan tanpa terlibat upaya memberikan “penilaian” hanya sekedar menjelaskan
saja dengan tujuan hanya menjelaskan fakta di balik moral yang di jalankan di
suatu masyarakat tertentu, etika ini membicarakan tentang prilaku apa adanya,
yaitu prilaku yang terjadi pada situasi dan realitas konkrit yang membudaya.[25] Seperti adat istiadat,
kebiasaan yang membudaya, anggapan baik dan buruk, tindakan boleh dan tidak
boleh di lakukan, dan lain sebagaianya. Contoh, mengenai mengenai masyarakat
jawa yang mengajarka tatakrama berhubungan dengan orang yang lebih tua. Filsuf
yang ada pada posisi ini adalah David Hume.
Dalam perkembangan sejarah etika, ditemukan dua macam kajian etika,
pertama, etika deskriptif sebagaiamana penjelasan pada uraian
yang telah lewat; kedua, etika normatif, yaitu dengan kajian yang
mendalam, etika ini berusaha menetapakan berbagaia sikap dan prilaku yang ideal
yang seharusnya dimiliki dan dijalankan manusia, serta tindakan apa yang
seharusnya diambil untuk menggapai sesuatu yang bernilai dalam hidup ini
(menilai dan merumuskan).[26] Tujuanya menjelaskan
tindakan yang ideal, contoh, akhlak yang baik itu harus jujur, menyampaikan, dan
amanah. Filsuf yang ada pada posisi ini adalah Christian Wolff. Pada etika ini ada
dua teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, teleologis dan deontologis.
a.
Teleologis (kata telos dalam bahasa yunani adalah tujuan),
mengatakan bahwa betul tidaknya tindakan tergantung dari akibatnya, kalau
akibatnya baik maka tindakan itu boleh di lakukan. Sebalaiknya, bila akibatnya
buruk, maka tindakan itu di larang untuk dikerjakan. Menurut teori ini berbuat
bohong demi melindungi keselamatan seseorang yang akan dianiaya tidak terlarang
(boleh dilakukan), sepanjang akibatnya baik. Menurut teori ini terdapat dua
macam bagian, diantaranya: Utilitarisme
dan Egoisme etis.
1.
Utilitarisme yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan
kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah Ilahi atau
melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.[27]
Utilitarisme disebut juga teori teleologis universalis, dikatakan teleologis
karena utilitarisme menilai baik buruknya tindakan manusia ditinjau dari segi
manfaat akibatnya. Sehingga tindakan yang baik adalah tindakan yang dapat
mendatangkan akibat-akibat baik bagi kepentingan semua orang yang dapat kita
pengaruhi.
Sifat utilitarisme adalah sifat universalis karena yang jadi
penilaian norma-norma bukanlah akibat baik bagi dirinya sendiri, melainkan juga
bagi seluruh umat manusia.[28] Dilihat dari jenisnya
utilitarisme dibagi menjadi dua bagian, yaitu: utilitarisme tindakan dan
utilitarisme peraturan.[29]
a.
Utilitarisme tindakan: mengajarkan bahwa “manusia mesti
bertindak sedemikian rupa, sehingga setiap tindakan itu menghasilakan suatu
kelebihan akibat-akibat baik di dunia sebesar mungkin dibanding dengan
akibat-akibat buruk”.
Misalnya seorang pemuda hendak melakukan pencurian roti di sebuah
toko roti besar, untuk diberikan kepada pengemis. pertanyaanya Apakah pemuda
itu di perbolehkan untuk melakukan aksinya tersebut?, mengingkat kerugian bagi
toko itu dinilai tidak seberapa, sedangkan bagi pengemis roti itu sangatkanlah
bermanfaat. Maka utilitarisme membenarkan tindakan tersebut. Dengan tanpa
memperdulikan terguncangnya keteraturan masyarakat, dan tanpa memertimbangkan
kebolehanya jika dalam keadaan terpaksa saja.
b.
Utilitarisme peraturan: kaidah utama ajaranya: “ bertindaklah
selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penetapnya menghasilakan kelebihan
akibat-akibat baik di dunia sebesar mungkin dibanding dengan akibat-akibat
buruk”.
Misalnya jika ada pencuri ayam yang sudah lima kali keluar-masuk
penjara, pasti ia akan melakukan hal seperti itu jika di bebaskan lagi. Maka
timbulah pertanyaan, “bolehkah masyarakat memberikan hukuman baginya seumur
hidup jika tertangkap ke-enam kalinya?”, kalau semua pencuri ayam di perlakukan
seperti itu tentu pencurian ayam akan menurun, seluruh masyarakat akan merasa
lega, tenang. Hanya saja si pencuri itu akan menggerutu atas penjara seumur
hidup. Menurut utilitarisme peraturan, tindakan masyarakat semacam itu dapat
dibenarkan.
2.
Egoisme etis merupakan kelanjutan dari teori teleologis atau
Utilitarisme. Teori ini banyak menyoroti terhadap akibat dari perbuatan bagi
kepentingan pribadi, bukan kepentingan orang banyak. Dengan berpendapat bahwa
orang yang betul-betuk hidup sesuai dengan kepentinganya sendiri adalah seorang
yang matang dan tau tanggung jawab. Teori ini terdapat dua bidang kajian,
yaitu: hedonisme dan eudemonisme.[30]
a.
Hedonisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut
pandangan moral dengan kesenangan.
Aliran ini berpendapat bahwa yang dinilai baik adalah suatu yang
dapat memberikan rasa nikmat bagi manusia, alasanya karena rasa nikmat itu
merupakan suatu hal yang pada dirinya sendiri baik bagi manusia (orang lain).
Sebagaimana kaidah dasarnya: “bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau
mencapai jumlah nikmat yang paling besar. Dan hindarilah segala macam yang bisa
menimbulkan rasa sakit darimu.”
Kita sering ingin dipuji dan dihargai oleh orang lain dalam
kehidupan sehari-hari, begitu juga sebaliknya orang lain sering ingin dipuji
dan dihargai oleh kita, oleh karena itu jika kita berusaha berbuat baik kepada
orang lain, pada hakikatnya kita mengharap agar orang lain memuji dan
menghargai kita dan mau berbuat baik kepada kita. Pengorbanan kita kepada orang
lain bukan untuk menyakiti perasaan kita akan tetapi justru untuk mendapatkan
kenikmatan dalam diri kita.
b.
Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan.
Adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.[31] Ada
tujuan yang dicari demi suatu tujuan selanjutnya dan ada tujuan yang dicari
demi dirinya sendiri. Eudemonisme mengungkapkan kaidah dasar yang berbunyi:
“bertindaklah engkau sedemikian rupa sehingga engkau mencapai kebahagiaan”.
Menurut kaidah ini tindakan manusia ditujukan untuk mencapai kebahagiaan.[32]
Misalnya seorang belajar ilmu agama (mahasiswa AS) mempunyai tujuan
agar ia dapat memberikan tuntunan kepada masyarakat tentang masalah hukum
Islam, tetapi tujuan itu bukan merupakan tujuan akhir bagi dirinya, ia masih
mempunyai sejumlah tujuan lainya (bisa jadi profesi dakwah untuk meraup
keuntungan), bahkan akhirnya ia akan menyertakan suatu tujuan demi dirinya
sendiri, dengan harapan mencapai kebahagiaan hidupnya pribadi.
b.
Deontologi adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh
Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya
hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan
syarat. Misalnya kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak
manusia.[33]
Kata deontologi berasal dari bahasa yunani, deon artinya yang
diharuskan atau di wajibkan, mengatakan bahwa betul-salahnya (baik-buruknya) suatu
tindakan tidak dapat ditentukan dari akibat tindakan itu, melainkan ada cara
bertindak yang begitu saja terlarang, atau begitu saja wajib (sistem etika
universal). Jadi, untuk mengetahui apakah kita boleh mengambil pohon tetangga
tanpa minta izin terlebih dahulu kepada yang punya, kita tidak perlu memikirkan
bagaimana akibat dari perbuatan itu, melainkan mengambil barang orang lain
tanpa seizinya begitu saja tidak boleh.[34]
2.
Estetika
Estetika dilukiskan sebagai cabang filsafat yang membicarakan
tentang nilai keindahan atau kejelekan. Estetika disebut juga sebagai cabang
aksiologi yang menelaah nilai indah dan
tidak indah. Lasiyo dan Yuwono mengatakan bahwa logika, etika, dan estetika
merupakan gugusan aksiologi karena ketiganya membicarakan tentang nilai. Logika
berbicara tentang nilai benar dan salah, etika berbicara tentang nilai baik dan
buruk, dan estetika berbicara nilai indah dan tidak indah. Lebih jelas lagi
bahwa logika berhubungan dengan dengan nilai akal rasio, etika berhubungan
dengan nilai moral, dan estetika berhubungan dengan perasaan manusia.[35]
Estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” pertama kali
digunakan oleh filsuf Alexander Gotlieb Baumgarten pada 1735 yang diartikan
sebagai ilmu tentang hal yang biasa diarasakan lewat perasaan. Estetika adalah
salah satu cabang filsafat yang berkaitan dengan seni. Secara sederhana diartikan
estetika adalah ilmu yang membahas keindahan, bagaimana ia bisa terbentuk dan
bagaimana seseorang bisa merasakan estetika sebagai sebuah filosofi yang
mempelajari nilai-nilai sensoris yang kadang dianggap sebagai penilaian
terhadap sentiment dan rasa.
Dalam sejarah pemikiran barat, estetika tumbuh dan berkembang
dengan pesat. Dengan fakta lahirnya beberapa teori dan pemikiran beberapa
filsuf terkemuka, yaitu: Immanuel Kant, ia berpendapat bahwa yang indah
adalah yang tanpa konsep dapat diterima sebagai suatu yang universal,
memuaskan, menyenangkan tanpa pamrih dan tak berkepentingan. Demikian pula
Benedetto Croco yang melihat keindahan lebih merupakan gambaran internal
dari wujud formal yaitu sebagai pengungkapan yang berhasil dari suatu intuisi.[36]
Socrates memandang bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang
menyenangkan dan memenuhui keinginan terakhir, seorang gadis cantik di
dunia bukanlah apa-apa jika dibandingkan dengan bidadari surga, demikian
juga orang yang paling arif dan
bijaksana (nabi muhammad), jika di bandingkan tuhan maka tidak ada apa-apanya,
karena tuhan maha segalanya. Akan tetapi setiap objek memiliki keindahanya
sendiri-sendiri. Sehingga keindahan atau kecantikan bukan sifat tertentu dari
seratus, seribu barang, karena sudah barang tentu hewan, manusia, makhluk,
kholik semuanya adalah barang indah dimana dibalik kecantikanya masing-masing
punya kriteria sendiri-sendiri.
Menurut Plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak
pernah berubah-ubah. Ia
berpendapat bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide, kesederhanaan
adalah ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya
seni. Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah
keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.
Bagi Plotinus keindahan itu merupakan pancaran akal ilahi. Bila yang
hakikat (Ilahi), ia menyatakan dirinya atau memancarkan sinar atau dalam
realitas penuh, maka itulah keindahan.[37] Menurut plato keindahan hendaknya di dahului dengan cinta
(pengosongan diri sehingga subjek benar-benar dapat mencintai benda yang indah)
melalui proses pendidikan. Proses tertanamnya rasa cinta pada keindahan itu
dapat diuraikan sebagai berikut:
§ Pada awalnya
orang dididik untuk mencintai keindahan nyata yang tunggal, misalnya keindahan
tubuh seorang manusia.
§ Kemudian
dididik untuk mencintai tubuh yang lain, sehingga tertanam hakikat keindahan
tubuh manusia.
§ Keindahan tubuh
yang bersifat rohani itu lebih luhur dari pada keindahan tubuh yang bersifat
jasmani.
§ Keindahan rohani
dapat menuntun manusia mencintai segala yang bersifat rohani pula, misalnya
ilmu pengetahuan.
§ Akhirnya
manusia harus dapat menangkap ide keindahan itu sendiri tanpa kaitan yang
bersifat jasmani.
Dari stetemen
keindahan perspektif plato diatas, dapat di tarik kesimpulan bahwa menurutnya keindahan
itu terdapat empat macam: keindahan jasmani, keindahan moral, keindahan akal,
dan keindahan mutlak.
Aristoteles
ukuran sesuatu itu indah yang penting keserasian bentuk yang setinggi-tingginya,
keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran material. Pedoman keindahan
bukan pada pemandangan manusia seperti apa adanya di dalam kenyataan, tetapi menurut
bagaimana seharusnya. Formula yang pas yang ideal disini beda dengan plato yang
memandang keindahan itu sampai di alam ide, kalau aristoteles ini sesuatu yang
indah hanya sesuai batas akal manusia dan alam semesta saja.
Immanuel Kant
dalam studi ilmiah psikologi tentang estetika menyatakan, akal itu memiliki
indera ketiga atas piker dan kemauan yaitu indera rasa yang memiliki
kekhususan, kesenangan estetika.[38]
Estetika sering pula disebut filsafat keindahan, filsafat seni,
cita rasa, kritis, teori tentang seni indah dan masih banyak lagi. Karena
batasan estetika sedemikian luas maka sering terjadi perbedaan pendapat. Dengan
demikian estetika berarti kefilsafatan tentang nilai keindahan. Beberapa
persoalan seperti apa sebenarnya yang disebut indah, dari mana sumber keindahan
itu, dan bagaimana ekspresi manusia tentang keindahan, ketiga tersebut
merupakan persoalan estetika.[39]
Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek,
melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita
bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum
kita merasaakan kenikmatan, meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah
tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan
tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek
yang kita serap. Padahal sebenarnya tetap merupakan perasaan.
Pergeseran orientasi estetika (keindahan):
1.
Era klasik (yunani kuno): orientasi utama terletak pada seniman
penggagas munculnya karya seni (subjeknya), sehingga esensi keindahan terletak
pada yang bikin bukan pada barangnya (objeknya). Orang yang baik akan
melahirkan karya yang baik. Yang di bahas kualitas senimanya.
2.
Era modern: orientasi pada karya seni, makna estetika lebih pada
benda seninya. Kebalikan dari era klasik. Contoh: hp, laptop orang-orang tidak
memikirkan siapa yang membuat yang penting memikirkan spesifikasinya, merk-nya,
RAM-nya berapa, teknologi apa yang di pakai, bahanya terbuat dari apa, dan lain
sebagainya. Tidak memikirkan jangan-jangan yang bikin orang yahudi, bukan orang
Islam, sehingga masuk neraka dan lain sebagainya, (melihat pada objeknya bukan
pembuatnya).
3.
Era Post-Modern: pertama, tumbuhnya sub budaya baru dan
spirit multikulturlisme menurunkan sekat-sekat wacana estetik. Tidak ada
kebenaran dan keindahan yang mutlak; kedua, adanya kebebasan menafsirkan
objek (pluralisme); ketiga, ada kebebasan untuk menata struktur, ada
kebebasan untuk menafsirkan keindahan (dekontruksi). Sehingga berimplikasi pada
multi tafsir, setiap orang boleh memilih dan menentukan keindahan sesuai dengan
perspektifnya masing-masing, setiap orang mempunyai hak preogratif dalam
menentukan keindahan.
Misalnya ada sebuah taman yang di dalamnya banyak tanaman dan
tumbuhan yang rindang, sejuk, subur, hijau, ditambah bunga yang warna-warni
seakan mempesona taman tersebut. Setiap orang yang melalui jalan disamping
tanaman tersebut selalu terpesona melihatnya. Sebagian dari mereka ada yang
menikmati sambil lalu, sebagian ada yang menikmati sambil berhenti sejenak
refreshing, bahkan sebagian mereka ada yang memiliki kehalusan perasaan, yang
mempunyai kepekaan terhadap “nilai indah” itu. Dalam kajian estetika pendapat
ini disebut estetika subjektik-psikologis. kedua, menyatakan
bahwa nilai indah itu merupakan kenikmatan yang di objektivikasikan. Maksudnya
terbukti rasa nikamat itu dalam pengalaman sebagaimana contoh diatas. Baginya
kenikmatan itu tetap hanya dalam angan-angan, jika tidak dialami. Kenikmatan
yang dialami itulah “nilai indah” itu. Pendapat ini dikenal dengan estetika subjek-empiris.
Ketiga, berpendapat bahwa “nilai indah” itu adalah nilai suatu
keberhasilan dari suatu proses pengalaman yang panjang. Maka “nilai indah” itu
tidaklah bersifat tiba-tiba, tetapi ada proses pengalaman sehingga sampai
akhirnya keberhasilan itu dapat dicapai. Pendapat ini disebut estetika subjektif-
experience. Keempat, berpendapat bahwa “nilai indah” itu terkait dengan
pertimbangan metafisik atau dikenal dengan teologi-religius, hal ini disebut
dengan estetika objektif-metafisik, atau ada yang mengatakan estetika
spiritualis yang mengajak pada pengakuan akan kebesaran Ilahi. Tidak menutup kemungkinan masih banyak lagi pendapat
yang lain, sehingga kita mengetahui dari beberapa banyak pendapat tersebut
menunjukkan betapa keindahan itu merupakan persoalan yang menarik dan tidak
sederhana. Belum lagi jika dikaitkan dengan bentuk seni sebagai wujud ekspresi
terhadap keindahan dari seseorang, suku, bangsa atau tradisi tertentu.[40]
Maka dalam kajian estetika ditemukan
beberapa aliran seni sebagai wujud ekspresi terhadap keindahan, yaitu:
1.
Aliran naturalis: bentuk seni yang
menekankan pada ekspresi alamiah
2.
Aliran tradisional: ekspresi seni yang
menekankan pada konservasi budaya dan tradisi, serta biasanya juga bercorak
spiritualis
3.
Aliran modern: ekspresi seni yang banyak
di pengaruhi oleh budaya barat, yang biasanya bercorak rasional-artifisial
4.
Aliran religius: bentuk seni sebagai
ekspresi keagamaan, baik yang menekankan pada aspek spiritual-religiusitas
maupun tradisional- salafiah.
\
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Aksiologi
berasal dari perkataan axios (Yunani)
yang artinya nilai atau sesuatu yang berharga dan logos yang artinya akal atau teori. Jadi aksiologi adalah teori
tentang nilai, penyeledikan tentang kodrat, kriteria, dan status metafisik dari
nilai.
Aksiologi dapat diartikan sebagai teori mengenai sesuatu yang
bernilai. Sedangkan arti aksiologi yang terdapat didalam bukunya Jujun S.
Suriasumantri Filsafat Ilmu Sebuah
Pengantar Populer bahwa aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang
berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh oleh manusia.
Pada hakikatnya aksiologi adalah ilmu pengetahuan sesuatu yang
dimiliki manusia untuk melakukan berbagai pertimbangan tentang apa yang
dinilai. Pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai, yang di pandang dari sudut
pandang kefilsafatan. Kattsoff mengemukakan tiga cara pendekatan terhadap
nilai: pertama, pendekatan subyektivisme, dimana nilai merupakan reaksi
yang diberikan manusia sebagai pelaku berdasarkan pengalamannya; kedua,
pendekatan obyektivisme logis, di mana nilai merupakan esensi logis yang dapat
diketahui melalui akal; ketiga, pendekatan obyektivisme-metafisik, di
mana nilai merupakan unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Menurut Bramel aksiologi dibagi kepada tiga bagian, yaitu: (1) Moral Conduct
(tindakan moral), bidang ini melahirkan disiplin ilmu khusus yaitu “ilmu
etika” atau nilai etika. (2) Esthetic Expression (Ekspresi Keindahan), bidang
ini melahirkan konsep teori keindahan atau nilai estetika. (3) Sosio Political
Live (Kehidupan Sosial Politik), bidang ini melahirkan konsep Sosio
Politik atau nilai-nilai sosial dan politik.
2. Aksiologis membicarkan tentang kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia dan juga
nilai-nilai yang harus dilembagakan pada setiap dominannya. Termasuk juga nilai-nilai tinggi dari tuhan, misalnya: nilai
moral (etika), nilai agama, nilai keindahan (estetika).
Terkait masalah
nilai atau di sebut juga dengan visi yang sifatnya sangat universal, di
dalamnya terdapat norma (aturan-aturan) bisa juga di artikan sebagai misi, yang
mana norma (misis) itu terbagi menjadi tiga, yaitu: norma sopan santun
(etiket), norma moral (etika), dan norma hukum (legal formal).
Landasan aksiologis ilmu berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat
manusia. Persoalan utama yang mengedepan di sini adalah: ”Apa manfaat (untuk
apa) ilmu bagi manusia?”.
Aksiologi memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Dalam konteks ini, dapat
ditambahkan pertanyaan:”Sejauh mana pengetahuan ilmiah dapat digunakan?”. Dalam
hal ini, persoalannya bukan lagi kebenaran, melainkan kebaikan.
Dilihat dari jenisnya maka paling tidak
terdapat dua bagian umum dari aksiologi dalam membangun filsafat ilmu, yaitu
meliputi etika dan estetika.
a. Etika
Etika berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat
kebiasaan, dalam istilah lain para ahli dalam bidang etika menyebutkan dengan
moral. Etika merupakan salah satu teori yang dibicarakan ketika membahas teori
tentang nilai dan ilmu kesusilaan yang membahas perbuatan baik dan melakukan
kebenaran. Sedangkan moral adalah bentuk pelaksanaannya dalam kehidupan.
Perkembangan etika tidak lepas dari substansinya bahwa etika merupakan suatu
ilmu yang membicarakan masalah perbuatan dan tingkah laku manusia, mana yang
dinilai baik dan buruk. Istilah lain dari etika adalah moral, susila, budi
pekerti atau akhlak.
Etika terbagi menjadi dua jenis, pertama, etika deskriptif
(hanya mendiskripsikan), tujuanya hanya menjelaskan fakta di balik moral yang
di jalankan di suatu masyarakat tertentu. Pada posisi ini adalah filsuf David
Hume. Kedua, etika normatif (menilai serta merumuskan), tujuanya
menjelaskan tindakan yang ideal. Pada posisi ini adalah filsuf Christian Wolff.
Pada etika normatif secara garis besar ada dua teori etika sebagai sistem filsafat
moral yaitu, teleologis dan deontologis.
Teleologis sendiri terdapat beberapa bagian di dalamnya: pertama,
Utilitarisme. Yang hal ini terbagi menjadi dua (Utilitarisme tindakan
dan Utilitarisme peraturan); kedua, egoisme etis. Juga terdapat dua bagian
(hedonisme, eudemonisme).
b.
Estetika
Estetika berasal dari bahasa Yunani “aisthetika” pertama kali
digunakan oleh filsuf Alexander Gotlieb Baumgarten pada 1735 yang diartikan
sebagai ilmu tentang hal yang biasa diarasakan lewat perasaan. Lasiyo dan Yuwono mengatakan bahwa logika,
etika, dan estetika merupakan gugusan aksiologi karena ketiganya membicarakan
tentang nilai. Logika berbicara tentang nilai benar dan salah, etika berbicara
tentang nilai baik dan buruk, dan estetika berbicara nilai indah dan tidak
indah. Lebih jelas lagi bahwa logika berhubungan dengan dengan nilai akal
rasio, etika berhubungan dengan nilai moral, dan estetika berhubungan dengan
perasaan manusia. Estetika sering pula disebut filsafat keindahan,
filsafat seni, filsafat cita rasa, filsafat kritis, teori tentang seni indah
dan masih banyak lagi.
Terdapat tiga pemikiran atau pandangan tentang estetika (keindahan)
dari tiga filsuf besar:
1.
Socrates memandang bahwa keindahan adalah segala sesuatu yang
menyenangkan dan memenuhui keinginan terakhir.
2.
Plato, keindahan adalah realitas yang sebenarnya dan tidak pernah
berubah-ubah. Ia berpendapat
bahwa keindahan yang sesungguhnya terletak pada dunia ide, kesederhanaan adalah
ciri khas dari keindahan, baik dalam alam semesta maupun dalam karya seni.
Namun, tetap saja, keindahan yang ada di dalam alam semesta ini hanyalah
keindahan semu dan merupakan keindahan pada tingkatan yang lebih rendah.
3.
Aristoteles ukuran sesuatu itu indah yang penting keserasian bentuk
yang setinggi-tingginya, keseimbangan dan keteraturan ukuran, yakni ukuran
material.
Terdapat
pergeseran orientasi dalam memandang estetika (nilai keindahan):
1.
Era klasik, memandang sesuatu yang indah itu pada subjeknya
(orangnya)
2.
Era Modern: memandang sesuatu yang indah itu pada objeknya
(barangnya/hasilnya)
3.
Era Era Post-Modern, memandang sesuatu yang indah itu suka-suka,
boleh melihat subjeknya/objeknya atau keduanya dengan menyesuaikan
kepentinganya masing-masing.
Terdapat beberapa perspektif tentang nilai indah:
1.
Estetika subjektik-psikologis: nilai indah itu merupakan
suatu yang di rasakan
2.
Estetika subjek-empiris: nilai indah itu merupakan
kenikmatan yang di objektivikasikan
3.
Estetika subjektif- experience: “nilai indah” itu adalah
nilai suatu keberhasilan dari suatu proses pengalaman yang panjang
4.
Estetika objektif-metafisik atau estetika spiritualis:
“nilai indah” itu terkait dengan pertimbangan metafisik atau dikenal dengan
teologi-religius.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Tafsir. filsafat
ilmu, Bandung:Rosdakarya, 2006.
Drs. Rizal
Mustansyir dan Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, Cet. Ke-V.
Drs. A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara,
2011. Cet. Pertama.
Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat
Islam Teori dan Praktik. Bandung : CV Pustaka Setia, 2010.
Irmayanti M. Budianto, Filsafat
dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas Kerja Ilmiah,Depok:
Fakultas Sastra UI, 2001.
Jujun S Suriasumantri, filsafat
ilmu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003.
Jujun S. Sumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 2005.
Jujun S. Sumantri, Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan
Politik : Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia media utama, 1996.
Jonathan Crowther (Ed.), Oxford
Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995.
K. Bertens, Etika , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999.
Mohammad Muslih, Filsafat Umum
Dalam Pemahaman Praktis, Yogyakarta: Belukar, 2005.
Magnis-Suseno,
F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran kritis Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1995.
Muhammad
Alfian. Filsafat Etika Islam. Bandung
: Pustaka Setia, 2010.
Prof. Dr. Baktiar, Amsal, M.A.
Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.
Prof. Dr. Bakhtiar, Amsal M.A. filsafat
Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
Prof. Dr. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran
Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana, 2005. Ed.1 Cet. ke-2.
Riseiri
Frondiz, What Is Value?, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001.
Salam, Burhanudin. Logika
Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat, Jakarta: Bulan
Bintang, 1978.
Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid
II, Jakarta: Balai Pustaka, 1996.
Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat , Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Win Usuludin Bernadien, Membuka
Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011. Cet. Pertama.
[1] Drs. Rizal
Mustansyir dan Drs. Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006, cet. Ke-V, hal. 26
[2] Prof. Ahmad
Tafsir, filsafat ilmu, Bandung:Rosdakarya, 2006, hal. 37-41
[3] Jujun S.
sumantri, filsafat ilmu, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2003, hal. 233
[4] Ibid, hal. 340
[5] Riseiri
Frondiz, What Is Value?, Yogyakarta: Pustaka Pelajaran, 2001, hal. 60
[6] Jujun S.
sumantri, filsafat ilmu, hal. 341
[7] Ibid, hal. 342
[8] Drs. A.
Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Cet pertama,
hal. 116
[9]Irmayanti M.
Budianto, Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan; Refleksi Kritis Atas
Kerja Ilmiah,Depok: Fakultas Sastra UI, 2001, hal. 106
[11] Tim Penyusun
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jilid
II Jakarta: Balai Pustaka, 1996, hal.
159
[12] Drs. A.
Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, hal. 116
[14] Magnis-Suseno, F.. Filsafat-kebudayaan-politik: Butir-butir pemikiran
kritis , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 49
[15] Jujun S. sumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik :
Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini. Jakarta : Gramedia media
utama, 1996, hal. 2
[16] Jujun S.
sumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer. Jakarta : Sinar
Harapan, 2005, hal. 235
[17] Jujun S. sumantri. Ilmu dalam Perspektif Moral, Sosial, dan Politik :
Sebuah Dialog tentang Dunia Keilmuan Dewasa ini, hal. 15-16
[18] Jonathan
Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford
University Press, 1995. hal. 393
[19] Ibid. hal. 393
[20]Tim Penulis Rosda, Kamus Filsafat ,Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1995, hal. 100-101
[21] K. Bertens, Etika , Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1999, hal. 4
[23] Amsal,
Baktiar. Filsafat Ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, hal. 103
[24] Burhanudin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Rineka Cipta,
1997, hal. 160
[25] Mohammad
Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, Yogyakarta: Belukar,
2005, Cet. Pertama, hal. 123-124
[27] Burhanudin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan,.
hal. 140
[28] Prof. Dr.
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Jakarta: Kencana,
2005, Ed.1 Cet.ke-2, hal. 65
[29] Ibid. hal
65-67
[30] Ibid. hal. 63
[31] Burhanudin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu
Pengetahuan,. hal. 161
[32] Prof. Dr.
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, hal. 64
[33] Burhanudin
Salam, Logika Materiil Filsafat Ilmu
Pengetahuan, hal. 140
[34] Prof. Dr.
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, hal. 62
[35] Win Usuludin
Bernadien, Membuka Gerbang Filsafat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011,
Cet. Pertama, hal. 60
[36] Mohammad
Muslih, Filsafat Umum Dalam Pemahaman Praktis, hal. 137-138
[37] Dedi Supriyadi. Pengantar Filsafat
Islam Teori dan Praktik. Bandung:CV Pustaka Setia, 2010, hal. 93
[38] Ibid. hal. 93
[40] Ibid. hal.
132-136
Tidak ada komentar:
Posting Komentar