BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan
negara yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim, yang tidak terlepas dari
perkembangan pemikiran mulai awal mula
masuknya islam di Indonesia hingga sampai
Indonesia merdeka. Awal mula berkembangnya berlawanan dengan kepercayaan masyarakat
pribumi, sehingga diperlukan strategi untuk menyebarkanya. Salah satunya adalah
menggabungkan kebudayaan adat-adat setempat dengan nilai-nilai substansi
keislaman. Strategi ini dapat diterima oleh masyarakat indonesia, mereka
sedikit demi sedikit meniggalkan agama nenek moyang mereka kemudian beralih ke
agama yang rahmatal lil’alamin. Pada sekarang ini, disaat indonesia
telah merdeka dan kondisi masyarakat telah berkembang pesat seiring dengan
perkembangan teknologi, tentunya banyak permasalahan yang baru yang muncul di
permukaan yang belum ada penjelasan yang jelas sebagaimana pada masa nabi
muhammad SAW. dengan keadaan yang semacam itu menuntut para intelektual muslim
untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran islam.
Kajian pemikiran dalam
Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka kerangka berfikir dalam
memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada titik endingnya kemudian
mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan. Dalam perkembangan
pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah suatu
keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral
Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia, dari kebodohan
menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang
tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir
seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling klaim kebenaran dan
menjatuhkan. Setiap produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari
epistemology atau cara pandang mereka terhadap suatu objek tertentu
berdasarkan kerangka keilmuan yang menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang
tersebut nantinya akan mengasilkan buah pemikiran.
Salah satu buah
pemikiran Islam pada masa kini adalah Islam liberal yang merupakan salah satu
gerakan yang muncul dimana perkembangan masalah-masalah yang diberbagai bidang
menerpa umat islam. Perkembangan pemikiran islam di Indonesia tidak terlepas
dari perkembangan pemikiran islam di daerah negara lain. Gerakan Islam liberal,
sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat
Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Kemunculanya Jaringan islam
liberal berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan
keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat islam merasa
ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu.
B.
Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka
timbullah rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Bagaimana pengertian Islam liberal?
2.
Bagaimana asal-usul (sejarah) Islam liberal?
3.
Siapasajakah tokoh-tokoh Islam liberal?
4.
Bagaiamana tipologi pemikiran Islam liberal?
5.
Bagaimana sasaran faham Islam liberal?
C. Tujuan
penulisan
1.
Mendeskripsikan pengertian Islam liberal
2.
Mengungkap sejarah munculnya Islam liberal
3.
Mengetahui tokoh-tokoh Islam liberal
4.
Mendeskripsikan tipologi pemikiran Islam liberal.
5.
Mengetahui sasaran penyebarluasan Islam liberal.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Islam Liberal
Islam Liberal terdiri
atas dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Maksudnya Islam adalah agama Islam
yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad, sedangkan Liberal artinya
adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari
kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa
perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty
dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang
bermakna bebas.[1] kata
liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap kata Islam, sehingga secara
singkat bisa dikatakan Islam yang liberal atau yang bebas. Gerakan Islam
liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk
membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan
kejumudan.
Menurut Owen
Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya
“bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).[2]
Sehingga memiliki makna Islam yang bebas dan terbuka. Dalam Islam memang tidak
ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. Islam itu sendiri memiliki
makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa
Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk
kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu
peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam
itu “bebas” dan “tidak bebas”.[3]
Kurzman
mengidentifikasi liberal Islam dengan empat agenda Dalam pendangannya Islam
liberal ditandai dengan beberapa agenda, yaitu pluralisme, demokratisasi dan
sekularisasi, feminisme dan kesetaraan gender, serta re-interpretasi fiqh
(syari’ah) dengan interpretasi yang liberal. Dari empat agenda pokok tersebut
di atas, dapat terlihat beberapa program Islam Liberal dengan beberapa ciri
lainnya, antara lain:
1.
Menolak
penerapan hukum syari’at dalam kehidupan, tetapi mendorong kehidupan sekuler,
yakni pemisahan agama dari kehidupan bernegara.
2. Memperjuangkan emansipasi wanita
(gender), sehingga wanita benar-benar disetarakan dengan pria.
3. Menganggap semua agama adalah sama, baik
dan benar.
4. Menolak hukum-hukum fiqh yang sudah
mapan, dari segi tata bahasanya.
5.
Anggapan
bahwa Al-Quran adalah produk budaya, bukan merupakan wahyu yang sakral.
B.
Sejarah Islam Liberal
Istilah Islam
Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali Asghar
Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita
tidak perlu menghiraukan nomenklatur”. Tetapi jika sebuah nama harus
diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal” Kemudian istilah ini
dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles
Kurzman. Kemudian wacana ini lebih dipertajam lagi dengan munculnya jaringan
Islam Liberal yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdala.
Islam
liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source Book”
yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford
University Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A
Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder
(Chicago, University of Chicago Press, 1998). Walaupun buku ini terbit tahun
1998, tetapi idea yang mendukung liberalisasi telah muncul terlebih dahulu
seperti gerakan modernisasi Islam, gerakan sekularisasi dan sebagainya. Oleh
sebab itu walaupun Jaringan Islam Liberal di Indonesia bermula tahun 2001,
tetapi idea-idea Islam Liberal di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 dengan
munculnya idea sekularisasi dan modernisasi Islam yang dibawa oleh Nurkholis
Majid, Harun Nasution, Mukti Ali, dan kawan- kawannya.
Gerakan
liberalisme masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan reformasi
Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama (papal
jurisdiction) dan menghapuskan
cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan
liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang
memerintah atas nama Tuhan.[4] Keberadaan gerakan liberalisme ini merupakan pengaruh dari pada
falsafah liberalisme yang berkembang di negara Barat yang
telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi,
liberalisme budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Bermula dengan
gerakan reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, mengadakan
kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta
menetapkan hak asasi manusia.[5]
Dalam
agama Kristian juga terdapat golongan Kristian Liberal, di mana
mereka melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum dengan
menggunakan metode sosio-historis dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum
agama sesuai dengan perkembangan masyarakat), sehingga Charles A. Briggs,
seorang Kristian Liberal menyatakan : “It is sufficient that Bibel gives us
the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the
material so as to suit the wants of his own time”( Sudah cukup
bahwa Alkitab memberi kita materi untuk segala umur, dan meninggalkan tugas
mulia untuk membentuk materi sehingga sesuai dengan keinginan zamannya sendiri).[6]
Golongan
Islam Liberal tidak menampakkan diri mereka sebagai orang yang menolak agama,
tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula
Al-quran, menilai semula syariat dan hukum-hukum fiqih. Mereka menolak segala
tafsiran yang dianggap lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang telah
menjadi ijmak ulama, yaitu tafsiran dari pada ulama mujtahid. Bagi mereka agama
hendaklah disesuaikan kepada realita semasa, sekalipun terpaksa menafikan
hukum-hukum dan peraturan agama yang telah ditetapkan (tsabit) dengan
nas-nas syara’ secara pasti (qathi’). Jika terdapat hukum yang tidak
menepati zaman, kemoderenan, hak-hak manusia, dan tamaddun global, maka hukum
itu hendaklah ditakwilkan atau digugurkan (mansukh).
Gerakan
Islam Liberal ini sebenarnya adalah lanjutan dari pada gerakan modernisme Islam
yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam sebagai suatu konsekuensi
interaksi dunia Islam dengan tamaddun barat. Modernisme Islam tersebut
dipengaruhi oleh cara berfikir barat yang berasaskan kepada rasionalisme,
humanisme, sekularisme dan liberalisme. Konsep ini mencerminkan jiwa yang tidak
beriman kerana kecewa dengan agama. Konsep tragedi ini mengakibatkan mereka
asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam proses ini falsafah telah diiktiraf
sebagai alat utama menuntut kebenaran yang tiada tercapai.
Jaringan
islam liberal yang berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari
gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat
islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu.
Gerakan-gerakan keagamaan ini selain dari disebabkan oleh faktor penekanan oleh
pemerintah juga di akibatkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.
Reinterpretasi
teks agama.
2.
Tumbuh dan
berkembangnya wacana tentang pluralisme, HAM, kesetaraan gender dan
demokrasi.
3. Munculnya beberapa gerakan NGO yang bergerak dalam
wilayah praktis di lapangan. Gerakan ini bergerak di bidang pendidikan politik,
advokasi, pesebaran wacana/diskursus, pendampingan, rekonsiliator maupun
fasilitator, yang sebenarnya gerakan NGO ini dapat bergerak ke arah gerakan
sosial baru.
4. Keberadaan intelektul/cendikiawan independen dan
perguruan tinggi dalam rangka pengembangan dan eksplorasi keilmuan yang
bersifat multidisipliner, multibatas, dan kritis.
5. Munculnya krisis multi-dimensi.
6. Munculnya kesadaran transformatif masyarakat.[7]
C.
Tokoh-tokoh Islam Liberal
Tokoh-tokoh yang
tergabung dalam gerakan Islam liberal kebanyakan orang-orang Islam yang telah
mengenyam pendidikan di Barat. Arah pemikiran mereka sama dengan pemikiran
orang-orang barat yang terkesan bebas dan tidak terikat dengan agama, oleh
karenanya di dunia barat muncul pemikiran yang liberal yang memunculkan adanya
sekulerisme agama. Tokoh islam liberal berdasarkan negara asalnya antara lain:
Islam liberal muncul sekitar abad
ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah
berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk
mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada
Al-Qur`an dan As-Sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham liberal awal
melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam
harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya.
Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani
(Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah
Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam
pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad
Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam
kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890)
yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan
penjajah Inggris.
Di Al-Jazair muncul Muhammad
Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir
al-qur`an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam
lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan
linguistik. Intinya ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan
Barat modern.
Di Pakistan
muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan
menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual,
satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan
al-Qur`an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju
oleh al-Qur`an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk
diterapkan
Sedangkan di
indonesia ada bebrapa tokoh islam liberal yang sering muncul dengan
pemikiran-pemikiran yang provokatif dan kotroversial, seperti Nurcholis
Madjid yang mempelopori gerakan sekulerisme di Indonesia.
Kemudian Prof. Dr. Harun Nasution yang memunculkan ide bahwa
semua agama sama dan sekulerisme. Dan beberapa tokoh lain yang ikut andil dalam
pemikiran-pemikiran liberalnya seperti Ulil Abshar Abdalla. Djohan Efendy,
Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid dan masih banyak tokoh lainnya.
D.
Tipologi Pemikiran Islam liberal
Secara
umum asas liberalisme ada 3, yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani,
mendewakan akal).
1.
Kebebasan
Setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak
memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang
dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian,
liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama
dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan
kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum
sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk
dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan tidak
diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ
رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya
shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam,
tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku
adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’am/6:162-163]
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ
فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian
Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama
itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui”.
[al-Jatsiyah/45:18].
2. Individualisme (al-fardiyah)
Dalam hal ini meliputi dua pengertian.Pertama, dalam pengertian
ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai
pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua,
dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama
Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.
3. Rasionalisme (aqlaniyyun,
mendewakan akal)
Akal bebas dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan
kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya. Hal ini tampak terbukti dari
statemen berikut:
a. Kebebasan adalah
hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang
dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca
indera dan percobaan.
b. Negara dijauhkan dari
semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak
adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu
kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga menurut
mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga
tidak mampu untuk memastikan sesuatu.
c. Undang-undang yang
mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan versi seluruh kelompok
liberal adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang
merdeka.Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal.
Pembahasan yang
dilakukan oleh tokoh-tokoh JIL ini adalah masalah yang kontemporer yang sedang
hangatnya dibicarakan oleh masyarakat global seperti Islam dan Negara, Islam
dan Kesetaraan gender, Islam dan Demokrasi, Islam dan Pluralisme, Islam dan
Syariah, Islam dan Hukum Internasional Modern, Islam dan Ideologi Modern.[8]
Terdapat beberapa
karakteristik pemikiran Islam liberal:
1.
Membuka pintu ijtihad pada
semua dimensi Islam.
Ijtihad
(penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang
memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad,
baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan
mengalami pembusukan. mereka percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua
segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat
(teologi).
2.
Mengutamakan
semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad
yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan
semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam
semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal
hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat
religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian
dari peradaban kemanusiaan universal.
3.
Mempercayai
kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam
Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran
keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah
kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab
setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan
benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah
cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus
berubah-ubah.
4.
Memihak pada
yang minoritas dan tertindas.
Islam
Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang
tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan
praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat
Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas
agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
5.
Meyakini
kebebasan beragama.
Berpendapat
bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus
dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan
(persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6.
Memisahkan
otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam
Liberal berpendapat bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.
Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa
bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang
memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat
mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk
menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan
urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[9]
Ciri-ciri
pemikiran Islam liberal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas,
cara berfikir barat tersebut terdiri dari pada lima sifat yang saling
keterkaitan:
1.
Kebergantungan
semata-mata kepada akal manusia bagi memandu kehidupan dunia.
2.
Dualisme
dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran. Contohnya dualisme antara akal
dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan empirisisme.
3.
Penekanan
kepada unsur-unsur perubahan dalam
kewujudan yang mempamerkan pandangan alam (worldview) yang sekuler.
4.
Doktrin
humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme, yang memusatkan penilaian
segala-galanya kepada fikiran manusia.
5.
Konsep
tragedi yang menyusup dalam setiap arena kehidupan baik falsafah, agama, atau
kesenian.
Oleh sebab itu
menurut Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam wa raddu ala
hurriyatil fikri” menyatakan bahawa golongan yang berfikiran bebas
mempunyai agenda tersembunyi yaitu:
1. Untuk menggugurkan
agama secara sepenuhnya dari pada masyarakat
iaitu memisahkan agama dari pada pendidikan, menjauhkan syariat Islam dari pada
kedudukannya sebagai sumber perundangan dan mengasaskan ekonomi di atas dasar
riba.
2. Untuk menjauhkan
fikrah atau pemikiran manusia daripada setiap yang mempunyai kaitan dengan ruh,
wahyu dan alam ghaib dan daripada segala ikatan dengan akhlak, akidah dan
keimanan kepada Allah.
3. Untuk memartabatkan
ketuhanan akal, kebendaan, dan ketidakpercayaan kepada agama dan wahyu (ilhad)
dalam setiap urusan kehidupan dan menjadikan Islam hanya sebagai agama rohani
semata-mata dan menolak agama sebagai penentu dan pencorak perjalanan hidup
bermasyarakat.[10]
E.
Sasaran Islam Liberal
Menurut Adian Husaini, ada tiga
bidang dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi yaitu : Liberalisasi
bidang akidah dengan penyebaran faham Pluralisme agama, liberalisasi bidang
syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, liberalisasi konsep
wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Quran.
1. Liberalisasi Akidah
Liberalisasi akidah dilakukan dengan menyebarkan faham Pluralisme agama,
yaitu faham yang meyakini bahawa semua agama adalah sama-sama benar, dan
merupakan jalan untuk menuju kepada Tuhan yang sama.[11]
Ulil Absar Abdallah, penggagas Jaringan Islam liberal di Indonesia menyatakan
bahawa “ Semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam
bukan agama yang paling benar.[12] Ia
juga menulis : “dengan tanpa rasa segan dan malu saya mengatakan bahwa semua
agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang
Maha Benar. Semua agama dengan demikian adalah benar dengan variasi tingkat dan
kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan keagamaan itu. Semua agama ada dalam
satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran
yang tak pernah ada hujungnya”.[13]
2.
Liberalisasi
Syariah
Sebagaimana
yang dinyatakan oleh Greg Barton bahwa antara tujuan Islam Liberal adalah
merubah hukum-hakam agama Islam sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan
zaman. Oleh sebab itu pemahaman Al-Quran harus disesuaikan dengan perkembangan
zaman sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas
Islam Negeri Jakarta (dulu bernama IAIN Jakarta) : “Al-Quran menunjukkan bahawa
risalah Islam disebabkan keuniversalannya adalah selalu sesuai dengan
lingkungan budaya apapun, sebagaimana (pada saat turunnya)itu disesuaikan
dengan kepentingan lingkungan Semenanjung Arab. Oleh itu Al-Quran harus selalu
dikontekstualisasikan (disesuaikan) dengan lingkungan budaya penganutnya,
dimanapun saja ”[14]
Liberalisasi
dalam aspek syariah contohnya “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan
wanita muslimah merupakan urusan ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu,
di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, di mana jumlah umat Islam
tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang
terlarang. Oleh kerana kedudukannya sebagai hukum yang lahir dari proses
ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru bahawa wanita
muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim atau pernikahan berlainan
agama secara lebih luas amat dibolehkan apapun agama dan aliran
kepercayaannya”.[15]
3. Liberalisasi Al-Quran.
Islam
Liberal juga menggugat kesucian kitab suci al-Quran dengan melakukan studi
kritis terhadap al-Quran. Lutfi Syaukani, pengasas Jaringan Islam Liberal di
Jakarta mengatakan :”Sebahagian besar kaum muslimin meyakini bahwa al-Quran
dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara langsung baik dalam lafaz maupun dalam makna. Kaum
muslimin juga meyakini bahwa al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini
adalah hampir sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat
ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi
dan angan-angan teologis (alkhayal al-diniy), yang dibuat oleh para ulama
sebagai sebagian dari pada doktrin Islam. Hakikat sejarah penulisan Al-Quran
sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai keadaan yang kacau dan tidak lepas
dari perdebatan, pertentangan, tipu daya dan rekayasa ”.[16]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
Islam
Liberal terdiri atas dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Maksudnya Islam
adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad, sedangkan
Liberal artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang
diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme
dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan.
Kata
liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap kata Islam, Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa Islam liberal adalah Gerakan Islam liberal yang
bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu
keterbelakangan dan kejumudan.
2. Islam liberal pada mulanya diperkenalkan
oleh buku “Liberal Islam : A Source Book” yang ditulis oleh Charles Kuzman
(London, Oxford University Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A
Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder (Chicago,
University of Chicago Press, 1998).
Gerakan
liberalisme masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan reformasi
Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama (papal
jurisdiction) dan menghapuskan
cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan
liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem
pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang
memerintah atas nama Tuhan.
Keberadaan
gerakan liberalisme ini merupakan pengaruh dari pada falsafah
liberalisme yang berkembang di negara Barat yang telah masuk ke
dalam seluruh bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalism budaya,
liberalisme politik, dan liberalisme agama. Bermula dengan gerakan reformasi
yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, mengadakan kekuasaan politik,
mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi
manusia.
3. Tokoh-tokoh Islam liberal: Syah
Waliyullah (India, 1703-1762 M), Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran,
1790), Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873), Shihabuddin
Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897),
Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890), Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang
menetap di Perancis, Fazlur Rahman (lahir 1919)
yang menetap di Amerika, sedangkan dari Indonesia Nurcholis Madjid , Prof.
Dr. Harun Nasution, Ulil Abshar Abdalla, Djohan Efendy, Dawam Rahardjo,
Abdurrahman Wahid dan masih banyak tokoh lainnya.
4.
Secara umum asas liberalisme ada 3, yaitu kebebasan,
individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal). Sedangkan karakteristik
pemikiran Islam liberal: Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi
Islam, Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna
literal teks, Mempercayai kebenaran yang relatif,
terbuka dan plural, Memihak pada yang minoritas dan
tertindas, Meyakini kebebasan beragama, Memisahkan
otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
5. Menurut Adian Husaini, ada tiga bidang
dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi yaitu : Liberalisasi
bidang akidah dengan penyebaran faham Pluralisme agama, liberalisasi bidang
syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, liberalisasi konsep
wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Quran.
DAFTAR PUSTAKA
Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam
Liberal, Jakarta: GIP, 2004.
Alister E. McGrath, The
Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993.
Dr.
Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta, 2002.
Dr. Abu A’la, Pengantar dalam buku Dari
Neo-modernisme ke Islam Liberal , 2003.
Harorld Laski dan
John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London,
1997, m.s
Lutfi Syaukani, Merenungkan
Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005.
Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah
Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Kairo-Mesir,
Februari 2006.
Qodir, Zuly. Islam Liberal. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2003.
Sulaiman al-Khirasyi, Hakikat
Liberaliyah wa mauqif Muslim minha.
[1] Sulaiman
al-Khirasyi, Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha,
hal. 12
[2] Pendapat Owen
Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi
Sekular-Liberal?, Kairo-Mesir, Februari 2006.
[3] Adian Husaini,
MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, Jakarta: GIP, 2004, hal. 2
[4] Khalif Muammar, Atas nama kebenaran , m.s. hal. 75
[5] Harorld Laski dan John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London,
1997, m.s. hal. 15
[6] Alister E. McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian
Thought, Oxford, 1993.
[9] Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html diakses pada
hari selasa, 05 Desember 2017. Pukul 05.55 WIB
[11] Dr. Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif,
Jakarta, 2002, hal. 23
[14] Pengantar dalam buku Dari Neo-modernisme ke Islam
Liberal , Dr. Abu A’la, 2003, hal. 11
[16] Lutfi Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran,
dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar