Senin, 02 April 2018

Islam liberal


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang sebagian besar penduduknya adalah Muslim, yang tidak terlepas dari perkembangan pemikiran mulai  awal mula masuknya  islam di Indonesia hingga sampai Indonesia merdeka. Awal mula berkembangnya berlawanan dengan kepercayaan masyarakat pribumi, sehingga diperlukan strategi untuk menyebarkanya. Salah satunya adalah menggabungkan kebudayaan adat-adat setempat dengan nilai-nilai substansi keislaman. Strategi ini dapat diterima oleh masyarakat indonesia, mereka sedikit demi sedikit meniggalkan agama nenek moyang mereka kemudian beralih ke agama yang rahmatal lil’alamin. Pada sekarang ini, disaat indonesia telah merdeka dan kondisi masyarakat telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi, tentunya banyak permasalahan yang baru yang muncul di permukaan yang belum ada penjelasan yang jelas sebagaimana pada masa nabi muhammad SAW. dengan keadaan yang semacam itu menuntut para intelektual muslim untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran islam.
Kajian pemikiran dalam Islam pada hakekatnya adalah upaya untuk membuka kerangka berfikir dalam memperoleh khazanah ilmu pengetahuan baru yang pada titik endingnya kemudian mendapatkan kearifan, baik secara pemikiran maupun tindakan. Dalam perkembangan pemikiran Islam selama ini, disatu sisi dinilai bahwa hal demikan adalah suatu keharusan, dengan harapan membangkitkan semangat dalam memahami pesan moral Ilahi yang secara aksiologis bermanfaat untuk kehidupan manusia, dari kebodohan menuju berpengetahuan dan berkeadaban. Namun disisi lain, justru pemikiran yang tidak terkontrol, akan memiliki dampak negatif terhadap gaya berfikir seseorang, sehingga antara satu dengan yang lainnya saling klaim kebenaran dan menjatuhkan. Setiap produk pemikiran, seseorang tidak bisa melepaskan diri dari epistemology atau cara pandang mereka terhadap suatu objek tertentu berdasarkan kerangka keilmuan yang menjadi pisau analisisnya. Dari cara pandang tersebut nantinya akan mengasilkan buah pemikiran.
Salah satu buah pemikiran Islam pada masa kini adalah Islam liberal yang merupakan salah satu gerakan yang muncul dimana perkembangan masalah-masalah yang diberbagai bidang menerpa umat islam. Perkembangan pemikiran islam di Indonesia tidak terlepas dari perkembangan pemikiran islam di daerah negara lain. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan. Kemunculanya Jaringan islam liberal berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka timbullah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana pengertian Islam liberal?
2.      Bagaimana asal-usul (sejarah) Islam liberal?
3.      Siapasajakah tokoh-tokoh Islam liberal?
4.      Bagaiamana tipologi pemikiran Islam liberal?
5.      Bagaimana sasaran faham Islam liberal?
C.  Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan pengertian Islam liberal
2.      Mengungkap sejarah munculnya Islam liberal
3.      Mengetahui tokoh-tokoh Islam liberal
4.      Mendeskripsikan tipologi pemikiran Islam liberal.
5.      Mengetahui sasaran penyebarluasan Islam liberal.







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Islam Liberal
Islam Liberal terdiri atas dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Maksudnya Islam adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad, sedangkan Liberal artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan. Kata ini kembali kepada kata Liberty dalam bahasa Inggrisnya dan Liberte dalam bahasa prancisnya yang bermakna bebas.[1] kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap kata Islam, sehingga secara singkat bisa dikatakan Islam yang liberal atau yang bebas. Gerakan Islam liberal, sebagaimana ditulis oleh tokohnya tujuannya adalah untuk untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint).[2] Sehingga memiliki makna Islam yang bebas dan terbuka. Dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. Islam itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.[3]
Kurzman mengidentifikasi liberal Islam dengan empat agenda Dalam pendangannya Islam liberal ditandai dengan beberapa agenda, yaitu pluralisme, demokratisasi dan sekularisasi, feminisme dan kesetaraan gender, serta re-interpretasi fiqh (syari’ah) dengan interpretasi yang liberal. Dari empat agenda pokok tersebut di atas, dapat terlihat beberapa program Islam Liberal dengan beberapa ciri lainnya, antara lain:
1.      Menolak penerapan hukum syari’at dalam kehidupan, tetapi mendorong kehidupan sekuler, yakni pemisahan agama dari kehidupan bernegara.
2.      Memperjuangkan emansipasi wanita (gender), sehingga wanita benar-benar disetarakan dengan pria.
3.      Menganggap semua agama adalah sama, baik dan benar.
4.      Menolak hukum-hukum fiqh yang sudah mapan, dari segi tata bahasanya.
5.      Anggapan bahwa Al-Quran adalah produk budaya, bukan merupakan wahyu yang sakral.
B.     Sejarah Islam Liberal
Istilah Islam Liberal ini diperkenalkan oleh seorang intelektual asal India, Asaf 'Ali Asghar Fyzee, pada tahun 1950-an. Pada salah satu tulisannya dia menuliskan, ”Kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur”. Tetapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu 'Islam liberal” Kemudian istilah ini dipopulerkan di Indonesia melalui karya Greg barton, Leonard Binder dan Charles Kurzman. Kemudian wacana ini lebih dipertajam lagi dengan munculnya jaringan Islam Liberal yang dikomandani oleh Ulil Abshar Abdala. 
Islam liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source Book” yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford University Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder (Chicago, University of Chicago Press, 1998). Walaupun buku ini terbit tahun 1998, tetapi idea yang mendukung liberalisasi telah muncul terlebih dahulu seperti gerakan modernisasi Islam, gerakan sekularisasi dan sebagainya. Oleh sebab itu walaupun Jaringan Islam Liberal di Indonesia bermula tahun 2001, tetapi idea-idea Islam Liberal di Indonesia sudah ada sejak tahun 1970 dengan munculnya idea sekularisasi dan modernisasi Islam yang dibawa oleh Nurkholis Majid, Harun Nasution, Mukti Ali, dan kawan- kawannya.
Gerakan liberalisme masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan reformasi Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama (papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang memerintah atas nama Tuhan.[4] Keberadaan gerakan liberalisme ini merupakan pengaruh dari pada falsafah liberalisme yang berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalisme budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Bermula dengan gerakan reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, mengadakan kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi manusia.[5]
Dalam agama Kristian juga terdapat golongan Kristian Liberal, di mana mereka melakukan rekonstruksi keimanan dan hukum dengan menggunakan metode sosio-historis dalam agama (mengubah prinsip iman dan hukum agama sesuai dengan perkembangan masyarakat), sehingga Charles A. Briggs, seorang Kristian Liberal menyatakan : “It is sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the wants of his own time”( Sudah cukup bahwa Alkitab memberi kita materi untuk segala umur, dan meninggalkan tugas mulia untuk membentuk materi sehingga sesuai dengan keinginan zamannya sendiri).[6]
Golongan Islam Liberal tidak menampakkan diri mereka sebagai orang yang menolak agama, tetapi berselindung di sebalik gagasan mengkaji semula agama, mentafsir semula Al-quran, menilai semula syariat dan hukum-hukum fiqih. Mereka menolak segala tafsiran yang dianggap lama dan kolot mengenai agama termasuk hal yang telah menjadi ijmak ulama, yaitu tafsiran dari pada ulama mujtahid. Bagi mereka agama hendaklah disesuaikan kepada realita semasa, sekalipun terpaksa menafikan hukum-hukum dan peraturan agama yang telah ditetapkan (tsabit) dengan nas-nas syara’ secara pasti (qathi’). Jika terdapat hukum yang tidak menepati zaman, kemoderenan, hak-hak manusia, dan tamaddun global, maka hukum itu hendaklah ditakwilkan atau digugurkan (mansukh).
Gerakan Islam Liberal ini sebenarnya adalah lanjutan dari pada gerakan modernisme Islam yang muncul pada awal abad ke-19 di dunia Islam sebagai suatu konsekuensi interaksi dunia Islam dengan tamaddun barat. Modernisme Islam tersebut dipengaruhi oleh cara berfikir barat yang berasaskan kepada rasionalisme, humanisme, sekularisme dan liberalisme. Konsep ini mencerminkan jiwa yang tidak beriman kerana kecewa dengan agama. Konsep tragedi ini mengakibatkan mereka asyik berpandu kepada keraguan, dan dalam proses ini falsafah telah diiktiraf sebagai alat utama menuntut kebenaran yang tiada tercapai.
Jaringan islam liberal yang berdiri di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari gerakan-gerakan keagamaan yang ada pada masa kekuasaan orde baru, ketika umat islam merasa ditekan dan dipinggirkan oleh pemerintahan pada masa itu. Gerakan-gerakan keagamaan ini selain dari disebabkan oleh faktor penekanan oleh pemerintah juga di akibatkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1.      Reinterpretasi teks agama.
2.      Tumbuh dan berkembangnya wacana tentang pluralisme, HAM, kesetaraan gender dan demokrasi.
3.      Munculnya beberapa gerakan NGO yang bergerak dalam wilayah praktis di lapangan. Gerakan ini bergerak di bidang pendidikan politik, advokasi, pesebaran wacana/diskursus, pendampingan, rekonsiliator maupun fasilitator, yang sebenarnya gerakan NGO ini dapat bergerak ke arah gerakan sosial baru.
4.      Keberadaan intelektul/cendikiawan independen dan perguruan tinggi dalam rangka pengembangan dan eksplorasi keilmuan yang bersifat multidisipliner, multibatas, dan kritis.
5.      Munculnya krisis multi-dimensi.
6.      Munculnya kesadaran transformatif masyarakat.[7]
C.     Tokoh-tokoh Islam Liberal
Tokoh-tokoh yang tergabung dalam gerakan Islam liberal kebanyakan orang-orang Islam yang telah mengenyam pendidikan di Barat. Arah pemikiran mereka sama dengan pemikiran orang-orang barat yang terkesan bebas dan tidak terikat dengan agama, oleh karenanya di dunia barat muncul pemikiran yang liberal yang memunculkan adanya sekulerisme agama. Tokoh islam liberal berdasarkan negara asalnya antara lain:
Islam liberal muncul sekitar abad ke-18 dikala kerajaan Turki Utsmani Dinasti Shafawi dan Dinasti Mughal tengah berada digerbang keruntuhan. Pada saat itu tampillah para ulama untuk mengadakan gerakan yang mereka anggap sebagai permurnian, kembali kepada Al-Qur`an dan As-Sunnah. Pada saat itu muncullah cikal bakal paham liberal awal melalui Syah Waliyullah (India, 1703-1762 M), menurutnya Islam harus mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan kebutuhan penduduknya. Hal ini juga terjadi dikalangan Syi’ah. Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790) mulai berani mendobrak pintu ijtihad dan membukanya lebar-lebar.
Ide ini terus bergulir. Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873) memasukkan unsur-unsur Eropa dalam pendidikan Islam. Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897) memasukkan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum pendidikan Islam. Di India muncul Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890) yang membujuk kaum muslimin agar mengambil kebijakan bekerja sama dengan penjajah Inggris.
Di Al-Jazair muncul Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis. Ia menggagas tafsir al-qur`an model baru yang didasarkan pada berbagai disiplin Barat seperti dalam lapangan semiotika (ilmu tentang fenomena tanda), antropologi, filsafat dan linguistik. Intinya ia ingin menelaah Islam berdasarkan ilmu-ilmu pengetahuan Barat modern.
Di Pakistan muncul Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika dan menjadi guru besar di Universitas Chicago. Ia menggagas tafsir konstekstual, satu-satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Ia mengatakan al-Qur`an itu mengandung dua aspek: legal spesifik dan ideal moral, yang dituju oleh al-Qur`an adalah ideal moralnya, karena itu ia yang lebih pantas untuk diterapkan
Sedangkan di indonesia ada bebrapa tokoh islam liberal yang sering muncul dengan pemikiran-pemikiran yang provokatif dan kotroversial, seperti Nurcholis Madjid yang mempelopori gerakan sekulerisme di Indonesia. Kemudian Prof. Dr. Harun Nasution yang memunculkan ide bahwa semua agama sama dan sekulerisme. Dan beberapa tokoh lain yang ikut andil dalam pemikiran-pemikiran liberalnya seperti Ulil Abshar Abdalla. Djohan Efendy, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid dan masih banyak tokoh lainnya.
D.    Tipologi Pemikiran Islam liberal
Secara umum asas liberalisme ada 3, yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal).
1.      Kebebasan
Setiap individu bebas melakukan perbuatan. Negara tak memiliki hak mengatur. Perbuatan itu hanya dibatasi oleh undang-undang yang dibuat sendiri, dan tidak terikat dengan aturan agama. Dengan demikian, liberalisme merupakan sisi lain dari sekulerisme, yaitu memisahkan dari agama dan membolehkan lepas dari ketentuan agama. Sehingga asas ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbuat, berkata, berkeyakinan, dan berhukum sesukanya tanpa dibatasi oleh syari’at Allah. Manusia menjadi tuhan untuk dirinya dan penyembah hawa nafsunya. Manusia terbebas dari hukum, dan tidak diperintahkan mengikuti ajaran Ilahi. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لَا شَرِيكَ لَهُ ۖ وَبِذَٰلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ
“Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”. [al-An’am/6:162-163]
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِّنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui”. [al-Jatsiyah/45:18].
2.      Individualisme (al-fardiyah)
Dalam hal ini meliputi dua pengertian.Pertama, dalam pengertian ananiyah (keakuan) dan cinta diri sendiri. Pengertian inilah yang menguasai pemikiran masyarakat Eropa sejak masa kebangkitannya hingga abad ke-20 Masehi. Kedua, dalam pengertian kemerdekaan pribadi. Ini merupakan pemahaman baru dalam agama Liberal yang dikenal dengan pragmatisme.
3.      Rasionalisme (aqlaniyyun, mendewakan akal)
Akal bebas dalam mengetahui dan mencapai kemaslahatan dan kemanfaatan tanpa butuh kepada kekuatan diluarnya. Hal ini tampak terbukti dari statemen berikut:
a.    Kebebasan adalah hak-hak yang dibangun diatas dasar materi bukan perkara diluar materi yang dapat disaksikan (abstrak). Dan cara mengetahuinya adalah dengan akal, panca indera dan percobaan.
b.    Negara dijauhkan dari semua yang berhubungan dengan keyakinan agama, karena kebebasan menuntut tidak adanya satu yang pasti dan yakin; karena tidak mungkin mencapai hakekat sesuatu kecuali dengan perantara akal dari hasil percobaan yang ada. Sehingga menurut mereka- manusia sebelum melakukan percobaan tidak mengetahui apa-apa sehingga tidak mampu untuk memastikan sesuatu.
c.    Undang-undang yang mengatur kebebasan ini dari tergelicir dalam kerusakan versi seluruh kelompok liberal adalah undangundang buatan manusia yang bersandar kepada akal yang merdeka.Sumber hukum mereka dalam undang-undang dan individu adalah akal.
Pembahasan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh JIL ini adalah masalah yang kontemporer yang sedang hangatnya dibicarakan oleh masyarakat global seperti Islam dan Negara, Islam dan Kesetaraan gender, Islam dan Demokrasi, Islam dan Pluralisme, Islam dan Syariah, Islam dan Hukum Internasional Modern, Islam dan Ideologi Modern.[8]
Terdapat beberapa karakteristik pemikiran Islam liberal:
1.      Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam.
Ijtihad (penalaran rasional atas teks-teks keislaman) adalah prinsip utama yang memungkinkan Islam terus bertahan dalam segala cuaca. Penutupan pintu ijtihad, baik terbatas atau keseluruhan, adalah ancaman atas Islam, sebab Islam akan mengalami pembusukan. mereka percaya ijtihad bisa diselenggarakan dalam semua segi, baik muamalat (interaksi sosial), ubudiyyat (ritual), maupun ilahiyyat (teologi).
2.      Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks.
Ijtihad yang dikembangkan oleh Islam Liberal adalah upaya menafsirkan Islam berdasarkan semangat religio-etik Qur’an dan Sunnah Nabi, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam. Dengan penafsiran yang berdasarkan semangat religio-etik, Islam akan hidup dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari peradaban kemanusiaan universal.
3.      Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural.
Islam Liberal mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan) sebagai sesuatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang terkungkung oleh konteks tertentu; terbuka, sebab setiap bentuk penafsiran mengandung kemungkinan salah, selain kemungkinan benar; plural, sebab penafsiran keagamaan, dalam satu dan lain cara, adalah cerminan dari kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah-ubah.
4.      Memihak pada yang minoritas dan tertindas.
Islam Liberal berpijak pada penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang mengawetkan praktek ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam. Minoritas di sini dipahami dalam maknanya yang luas, mencakup minoritas agama, etnik, ras, jender, budaya, politik, dan ekonomi.
5.      Meyakini kebebasan beragama.
Berpendapat bahwa urusan beragama dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi. Islam Liberal tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat atau kepercayaan.
6.      Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
Islam Liberal berpendapat bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan. Islam Liberal menentang negara agama (teokrasi). Islam Liberal yakin bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat, dan urusan publik harus diselenggarakan melalui proses konsensus.[9]
Ciri-ciri pemikiran Islam liberal menurut Syed Muhammad Naquib al-Attas, cara berfikir barat tersebut terdiri dari pada lima sifat yang saling keterkaitan:
1.           Kebergantungan semata-mata kepada akal manusia bagi memandu kehidupan dunia.
2.           Dualisme dalam memahami pelbagai realiti dan kebenaran. Contohnya dualisme antara akal dan jasad, dan pemisahan antara kaedah rasionalisme dan empirisisme.
3.           Penekanan kepada unsur-unsur perubahan dalam  kewujudan yang mempamerkan pandangan alam  (worldview) yang sekuler.
4.           Doktrin humanisme yaitu jelmaan ideologi sekuralisme, yang memusatkan penilaian segala-galanya kepada fikiran manusia.
5.           Konsep tragedi yang menyusup dalam setiap arena kehidupan baik falsafah, agama, atau kesenian.
Oleh sebab itu menurut Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam wa raddu ala hurriyatil fikri” menyatakan bahawa golongan yang berfikiran bebas mempunyai agenda tersembunyi yaitu:
1.      Untuk menggugurkan agama secara sepenuhnya dari pada  masyarakat iaitu memisahkan agama dari pada pendidikan, menjauhkan syariat Islam dari pada kedudukannya sebagai sumber perundangan dan mengasaskan ekonomi di atas dasar riba.
2.      Untuk menjauhkan fikrah atau pemikiran manusia daripada setiap yang mempunyai kaitan dengan ruh, wahyu dan alam ghaib dan daripada segala ikatan dengan akhlak, akidah dan keimanan kepada Allah.
3.      Untuk memartabatkan ketuhanan akal, kebendaan, dan ketidakpercayaan kepada agama dan wahyu (ilhad) dalam setiap urusan kehidupan dan menjadikan Islam hanya sebagai agama rohani semata-mata dan menolak agama sebagai penentu dan pencorak perjalanan hidup bermasyarakat.[10]
E.     Sasaran Islam Liberal
Menurut Adian Husaini, ada tiga bidang dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi yaitu : Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran faham Pluralisme agama, liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Quran.
1.      Liberalisasi  Akidah
Liberalisasi akidah dilakukan dengan menyebarkan faham Pluralisme agama, yaitu faham yang meyakini bahawa semua agama adalah sama-sama benar, dan merupakan jalan untuk menuju kepada Tuhan yang sama.[11]
Ulil Absar Abdallah, penggagas Jaringan Islam liberal di Indonesia menya­takan bahawa “ Semua agama adalah sama. Semuanya menuju jalan ke­benaran. Jadi, Islam bukan agama yang paling benar.[12] Ia juga menulis : “dengan tanpa rasa segan dan malu saya mengatakan bahwa semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Maha Benar. Semua agama dengan demikian adalah benar dengan variasi tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan keagamaan itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama : yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada hujungnya”.[13]


2.      Liberalisasi Syariah
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Greg Barton bahwa antara tujuan Islam Liberal adalah merubah hukum-hakam agama Islam sehingga dapat disesuaikan dengan perkembangan zaman. Oleh sebab itu pemahaman Al-Quran harus disesuaikan dengan perkembangan zaman sebagaimana dinyatakan oleh Azyumardi Azra, mantan rektor Universitas Islam Negeri Jakarta (dulu bernama IAIN Jakarta) : “Al-Quran menunjukkan bahawa risalah Islam disebabkan keuniversalannya adalah selalu sesuai dengan lingkungan budaya apapun, sebagaimana (pada saat turunnya)itu disesuaikan dengan kepentingan lingkungan Semenanjung Arab. Oleh itu Al-Quran harus selalu dikontekstualisasikan (disesuaikan) dengan lingkungan budaya penganutnya, dimanapun saja ”[14]
Liberalisasi dalam aspek syariah contohnya “Soal pernikahan laki-laki non-Muslim dengan wanita muslimah merupakan urusan ijtihad dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu, di mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antara agama merupakan sesuatu yang terlarang. Oleh kerana kedudukannya sebagai hu­kum yang lahir dari proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetus­kan pendapat baru bahawa wanita muslimah boleh menikah dengan laki-laki non muslim atau pernikahan berlainan agama secara lebih luas amat dibolehkan apapun agama dan aliran kepercayaannya”.[15]
3.      Liberalisasi Al-Quran.
Islam Liberal juga menggugat kesucian kitab suci al-Quran dengan melakukan studi kritis terhadap al-Quran. Lutfi Syaukani, pengasas Jaringan Islam Liberal di Jakarta mengatakan :”Sebahagian besar kaum mus­limin meyakini bahwa al-Quran dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara langsung baik dalam lafaz maupun dalam makna. Kaum muslimin juga meyakini bahwa al-Quran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah hampir sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (alkhayal al-diniy), yang dibuat oleh para ulama sebagai sebagian dari pada doktrin Islam. Hakikat sejarah penulisan Al-Quran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai keadaan yang kacau dan tidak lepas dari perdebatan, pertentangan, tipu daya dan rekayasa ”.[16]
























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.    Islam Liberal terdiri atas dua buah kata, yaitu Islam dan liberal. Maksudnya Islam adalah agama Islam yang diturunkan oleh Allah kepada nabi Muhammad, sedangkan Liberal artinya adalah kebebasan. Kata Liberal adalah satu istilah asing yang diambil dari kata Liberalism dalam bahasa Inggris dan liberalisme dalam bahasa perancis yang berarti kebebasan.
Kata liberal berfungsi sebagai keterangan terhadap kata Islam, Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa Islam liberal adalah Gerakan Islam liberal yang bertujuan untuk membebaskan (liberating) umat Islam dari belenggu keterbelakangan dan kejumudan.
2.    Islam liberal pada mulanya diperkenalkan oleh buku “Liberal Islam : A Source Book” yang ditulis oleh Charles Kuzman (London, Oxford University Press, 1988) dan buku “Islamic Liberalism : A Critique of Development Ideologies ” yang ditulis oleh Leonard Binder (Chicago, University of Chicago Press, 1998).
Gerakan liberalisme masuk ke dalam bidang agama, sebagai contoh gerakan reformasi Inggris bertujuan untuk menghapuskan ketuanan dan kekuasaan golongan agama (papal jurisdiction) dan menghapuskan cukai terhadap gereja (clerical taxation). Oleh sebab itu gerakan liberalisme berkait rapat dengan penentangan terhadap agama dan sistem pemerintahan yang dilakukan oleh golongan agama (gereja) atau raja-raja yang memerintah atas nama Tuhan.
Keberadaan gerakan liberalisme ini merupakan pengaruh dari pada falsafah liberalisme yang berkembang di negara Barat yang telah masuk ke dalam seluruh bidang kehidupan seperti liberalisme ekonomi, liberalism budaya, liberalisme politik, dan liberalisme agama. Bermula dengan gerakan reformasi yang bertujuan menentang kekuasaan Gereja, mengadakan kekuasaan politik, mempertahankan pemilikan serta menetapkan hak asasi manusia.
3.    Tokoh-tokoh Islam liberal: Syah Waliyullah (India, 1703-1762 M), Aqa Muhammad Baqir Bihbihani (Iran, 1790), Rifa’ah Rafi’ al-Tahtawi (Mesir, 1801-1873),  Shihabuddin Marjani (Rusia, 1818-1889) dan Ahmad Makhdun (Bukhara, 1827-1897), Sir Sayyid Ahmad Khan (1817-1890), Muhammad Arkoun (lahir 1928) yang menetap di Perancis, Fazlur Rahman (lahir 1919) yang menetap di Amerika, sedangkan dari Indonesia Nurcholis Madjid , Prof. Dr. Harun Nasution, Ulil Abshar Abdalla, Djohan Efendy, Dawam Rahardjo, Abdurrahman Wahid dan masih banyak tokoh lainnya.
4.    Secara umum asas liberalisme ada 3, yaitu kebebasan, individualisme, rasionalis (‘aqlani, mendewakan akal). Sedangkan karakteristik pemikiran Islam liberal: Membuka pintu ijtihad pada semua dimensi Islam, Mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks, Mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, Memihak pada yang minoritas dan tertindas, Meyakini kebebasan beragama, Memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan politik.
5.    Menurut Adian Husaini, ada tiga bidang dalam ajaran Islam yang menjadi sasaran liberalisasi yaitu : Liberalisasi bidang akidah dengan penyebaran faham Pluralisme agama, liberalisasi bidang syariah dengan melakukan perubahan metodologi ijtihad, liberalisasi konsep wahyu dengan melakukan dekonstruksi terhadap Al-Quran.














DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, Jakarta: GIP, 2004.
Alister E. McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993.
Dr. Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta, 2002.
Dr. Abu A’la, Pengantar dalam buku Dari Neo-modernisme ke Islam Liberal , 2003.
Harorld Laski dan John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London, 1997, m.s
Lutfi Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005.
Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Kairo-Mesir, Februari 2006.
Qodir, Zuly. Islam Liberal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2003. 
Sulaiman al-Khirasyi, Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha.



[1] Sulaiman al-Khirasyi, Hakikat Liberaliyah wa mauqif Muslim minha, hal. 12
[2] Pendapat Owen Chadwik ini dikutip dari makalah Adian Husaini, MA., Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal?, Kairo-Mesir, Februari 2006.
[3] Adian Husaini, MA., Nuim Hidayat, Islam Liberal, Jakarta: GIP, 2004, hal. 2
[4] Khalif Muammar, Atas nama kebenaran , m.s. hal. 75
[5] Harorld Laski dan John L. Stanley, The Rise of European Liberalisme, London, 1997, m.s. hal. 15
[6] Alister E. McGrath, The Balckwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, Oxford, 1993.
[7] Zuly Qodir, Islam Liberal ,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hal. 17-22
[8] Zuly Qodir, Islam Liberal, hal. 100
[9] Http://al-aziziyah.com/ruang-dosen87-ruang-dosen160-siapa-jil.html diakses pada hari selasa, 05 Desember 2017. Pukul 05.55 WIB
[10] Baca Syekh Abdullah al-Khatib dalam kitabnya “al Islam Wa Raddu Ala Hurriyatil Fikri”
[11] Dr. Anis Malik Taha, Tren Pluralisme Agama, Perspektif, Jakarta, 2002, hal. 23
[12] Majalah Gatra, 21 Desember 2002
[13] Kompas, 18-11-2002, dalam artikel : “Menyegarkan kembali pemahaman Islam”
[14] Pengantar dalam buku Dari Neo-modernisme ke Islam Liberal , Dr. Abu A’la, 2003, hal. 11
[15] Mun’im Sirry (ed), Fiqih Lintas Agama, 2004, m.s. 164
[16] Lutfi Syaukani, Merenungkan Sejarah Al Quran, dalam Abd.Muqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal, 2005, hal.1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar