Senin, 02 April 2018

etika dalam aksiologi ilmu


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Ilmu adalah suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan berupa pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka dan teruji oleh siapapun.
Sesungguhnya untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya, maka kita harus mengerti apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan mengetahui hakikat ilmu maka akan membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang ada dalam diri kita.[1]
Pada hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok: pertama, apakah yang ingin kita ketahui; kedua, bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita.
Ranah tersebut merupakan bagian dari filsafat ilmu Aksiologi, aksiologi memaparkan tentang hakikat nilai atau kegunaan sebuah ilmu. Dalam hal ini terdapat dua nilai yaitu etika dan estetika. Dimana etika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai moral, sedangkan estetika adalah sebuah nilai yang berkaitan dengan nilai-nilai keindahan. Kedua nilai inilah yang menjadi ukuran dalam setiap dimensi kehidupan manusia secara kompleks dalam peranya sebagai makhluk sosial. Peran seorang manusia di dalam lingkungan sosialnya tidak akan luput dari kedua nilai tersebut.
Dalam makalah ini yang dibahas adalah nilai etika tentang bagaimana proses penyampaian ilmu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang sedang berlaku dalam masyarakat dengan tujuan kebaikan manusia.



B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana kegelisahan akademik penulis?
2.      Bagaimana logika dan sistematis penulisan jurnal yang berjudul Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat Ilmu?
3.      Bagaimana landasan aksiologi Ilmu?
4.      Apasajakah Etika dalam aksiologi Ilmu?
5.      Bagaimanakah prinsip dasar Etika Islam?
6.      Bagaiamana Etika keilmuan?

C.  Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan kegelisahan akademik penulis jurnal yang berjudul Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat ilmu.
2.      Agar mengetahui logika dan sistematis penulisan jurnal Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat Ilmu.
3.      Mendeskripsikan landasan aksiologi Ilmu.
4.      Mengetahui jenis-jenis Etika dalam aksiologi Ilmu.
5.      Mengetahui  prinsip dasar Etika Islam.
6.      Mendeskripsikan Etika keilmuan.













BAB II
PEMBAHASAN

A.    Kegelisahan Akademik
Seharusnya bagi seorang ilmuwan dalam dirinya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Keharusan pula seorang ilmuan setalah mengembangkan potenti dirinya secara kokoh dan kuat, kemudian menjadi penyelamat manusia bukan malah sebaliknya yaitu dimanfaatkan untuk memperdaya manusia. Karena dengan ilmu pengetahuan manusia akan mampu berbuat apa saja yang diinginkan, namun pertimbangannya tidak hanya pada apa yang dapat diperbuat oleh manusia, akan tetapi mempertimbangkan etika apa yang harus dilakukan oleh manusia dengan tujuan kebaikan manusia. Dengan demikian maka Ia telah melaksanakan tanggung jawabnya sebagai seorang ilmuan.

B.     Logika Sistematika Penulisan Jurnal
Dalam penulisan jurnal ini memuat tujuh pembahasan, diantaranya:
1.      Pendahuluan
2.      Landasan Aksiologi Ilmu
3.      Etika dalam aksiologi Ilmu, yang terdiri dari:
a.       Nilai logika: benar/salah
b.      Nilai Etika: baik/tidak baik
c.       Nilai Estetika: indah/tidak indah
4.      Aliran-aliran Etika: hedonisme, utilitarisme, dan deontologi.
5.      Prinsip dasar Etika Islam
6.      Etika keilmuan
7.      Penutup
C.    Landasan Aksiologi Ilmu
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang di dalamnya memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal ini merupakan keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Selain itu juga masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh dan kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi dengan perubahan tersebut dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya?. Di sinilah letak tanggungjawab seorang ilmuwan.[2]
Dalam masalah aksiologi terdapat tiga pertanyaan pokok: pertama, apakah yang ingin kita ketahui; kedua, bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut maka seorang ilmuwan harus memliki sikap ilmiah sebagai bagian intergral dari sifat ilmu. Karena sikap ilmiah adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras antara kehendak manusia dan kehendak Tuhan. Antara lain: nilai moral (etika), nilai agama, nilai keindahan (estetika).[3]
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah pertama, tidak ada rasa pamrih (disinterestedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau tujuan kesenangan pribadi; kedua, bersikap selektif, artinya suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap panca indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset, sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya; keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (moral) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu demi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.[4]
D.    Jenis-jenis Etika dalam aksiologi Ilmu
Dalam pembahasan aksiologi ilmu, sangat terkait dengan persoalan nilai ilmu pengetahuan yang dalam kajian filsafat dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu :
1.      Nilai Logika: benar/salah
Yaitu nilai mengenai benar atau salahnya tindakan/kejadian. Dalam hal ini nilai logika berkaitan dengan tindakan/kejadian yang dilakukan oleh seseorang. Misalnya: seorang mahasiswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh dusenya, kemudian ia berhasil menjawab dengan tepat, maka secara logika jawaban tersebut dianggap benar bukan baik, dan seandainya  jawabannya keliru maka secara logika jawaban tersebut dianggap salah bukan buruk.
2.      Nilai Etika: baik/tidak baik
Menilai tentang baik-buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia, bukan dari bentuk fisiknya. Jadi, kalu kita mengatakan etika orang itu buruk, bukan berarti wajahnya buruk, akan tetapi dasar dari penilaian buruk tersebut merujuk terhadap perilakunya. Begitu juga sebaliknya.
3.      Nilai Estetika: indah/tidak indah
Merupakan keterbalikan dari Etika, mengenai masalah penilaian terhadap seseorang, menilai tentang indah/tidaknya berkaitan dengan bentuk fisiknya, bukan dari perilaku manusia. Jadi kalu kita mengatakan orang itu tampan, bukan berarti prilakunya, akan tetapi dasar dari penilaian tampan tersebut merujuk terhadap bentuk fisiknya. Begitu juga sebaliknya.
Sejarah kemunculannya Etika dimulai dari periode klasik, akan tetapi berdasarkan naskah-naskah kuno yang ditemukan dan diterjemahkan ternyata karya-karya pemikiran Yunani klasik jauh lebih dulu ditulis. Itu diketahui berdasarkan konteks mata rantai sejarah ketika bangsa Arab menaklukan sebuah wilayah, bahasa asli Negara tersebut tidak dihilangkan perjalan sejarah tersebut. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a system of moral principles or rules of behaviour,[5] atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak,melainkan manakah norma-norma untuk menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban.Untuk mencapai suatu pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika diperlukan.[6]
Banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika” berasal dari bahasa Yunani kunoethos. Kata ethos dalam bentuk tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf Yunani besar Aristoteles (284-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti: ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[7]
Secara etimologis, ethic berarti system of moral principles[8]atau a system of moral standard values.[9] Secara terminologi etika didefinisikan sebagai: the normatif science of the conduct of human being living societies. A science which judge this conduct to be right or wrong, to be good or bad.[10]Secara singkat etika didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral).
Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Moral merupakan  ajaran-ajaran atau wejangan-wejangan atau khutbah-khutbah atau patokan-patokan tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber langsung ajaran moral dapat berupa ajaran agama, nasihat para bijak, orang tua, guru dan sebagainya. Pendek kata sumber ajaran moral meliputi agama, tradisi, adat-istiadat dan ideologi-ideologi tertentu.[11]
Dalam filsafat moral, etika berkedudukan sebagai ilmu, bukan sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Ajaran moral mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin mengetahui mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita mengambil sikap yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral. Aristoteles dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang pembahasan etika kedalam dua hal penting, pertama, etika sebagai terminus techius. Pengertian etika dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari masalah perbuatan atau tindakan manusia. Kedua, etika dimaknai sebagai manner dan custom, dimana etika dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia ( Inherent in human nature) yang terikat dengan pengertian “ baik dan buruk ” suatu tingkah laku atau perbuatan manusia.[12]
Sebagai salah satu cabang aksiologi ilmu yang banyak membahas masalah nilai baik atau buruk, etika mempeunyai tiga jenis: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan Metaetika.
1.      Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan yang diperbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan. Etika deskriptif lebih bersifat netral.
2.      Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Etika normatif ini dibagi menjadi dua, yaitu:
a.       Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang dimaksud norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan antara tanggungjawab dengan kebebasan?
b.      Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke dalam perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
3.      Metaetika yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan etis. Bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan “baik” atau “buruk”.
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
a.       Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.
b.      Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama dengan filsafat moral.[13]
Etika tidak hanya berorientasi pada hal-hal teoritis saja, namun juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret, diantaranya:
1.      Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: etika medis tentang masalah aborsi, bayi tabung, kloning, dan lain sebagainya.
2.      Gelombang modernisasi yang melanda segala bidang kehidupan masyarakat, sehingga cara berpikir masyarakat juga ikut berubah. Misalnya: cara berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain sebagainya.
3.      Etika juga menjadikan kita mampu menghadapi ideologi-ideologi barat  yang berebutan mempengaruhi kehidupan, supaya tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak boleh tergesa-gesa mengikuti pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4.      Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar keyakinan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.[14]
E.     Prinsip Dasar Etika Islam
Etika menjadi salah satu ajaran yang amat penting dalam agama apapun, rasanya semua agama sepakat mempunyai pandangan yang sama, yaitu semua agama memerintahkan pemeluknya berbuat baik dan melarang berbuat jahat.
Dalam Islam, Al-Quran dan hadis sebagai sumber yang dapat dijadikan acuan didalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Yang perlu dikaji adalah bagaimana Islam mengatur prinsip dasar etika sosial yang berhubungan dengan pembangunan, politik, ekonomi dan keilmuan yang semua itu merupakan aspek-aspek dari kehidupan modern.
Etika Al-Quran merupakan bagian dari etika dunia dan agama yang diharapkan dapat menjawab harapan dan optimisme. Setidaknya etika Al-Quran menjawabnya atau bertahan di tengah kompleksitas dan relativitas multikulturalisme, hal ini menarik untuk ditelusuri lebih dalam.
Etika Al-Quran yang dimaksudkan disini hanya terbatas pada konsep etika Al-Quran sebagaimana diuraikan oleh Toshihiko Izutsu, yang oleh Majid Fakhry disebut sebagai etika skriptural.[15] Sedangkan menurut Toshihiko Izutsu, konsep etika al-Quran dapat direpresentasikan dalam istilah yang disebutnya sebagai ethico religiuos consepts in the Qur’an. Konsep-konsep tersebut meliputi istilah-istilah salih, birr, ma’ruf, khayr dan hasan.[16]
1.      Al-Salih
Kata salih menurut Izutsu merupakan istilah yang paling umum dipakai sebagai ungkapan etika religius dalam Al-Quran. Tidak ada yang menunjukkan karakter religius tentang konsep kebaikan moral yang secara empatik lebih baik dari pada kata salih. Kata salih secara umum diartikan sebagai "kebajikan" (righteous). Kata salih ini paling sering disandingkan dengan kata iman. Tidak kurang dari lima puluh ayat, kata iman disandingkan sebelum kata salih khususnya dalam kalimat "orang-orang yang beriman dan beramal saleh (good works)". sehingga dapat dikatakan bahwa salih merupakan manifestasi dari iman, iman menjadi tidak bermakna tanpa kesalihan.
2.      Al-Birr
Kata birr adalah satu dari sekian banyak kata yang merupakan ungkapan etika keagamaan dalam Al-Quran. Izutsu menyebutnya sebagai istilah moral al-Quran yang paling sulit dipahami (the most elusive of the Qur’anic moral terms). Istilah “birr” memiliki makna yang strategis bagi upaya pengembangan kesalihan sosial dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari maknanya yang tidak saja berdimensi kebaikan vertikal (the act of rendering religious service to God). Namun juga berdimensi horizontal (emphasis to justice and love in social life). Bahkan maknanya disejajarkan dengan ketaqwaan (fear of God) dan kedermawanan (almsgiving).
3.      Al-Ma’ruf
Akar kata ma’ruf adalah ’arafa yang berarti ”mengetahui” (to know), mengenal dan mengetahui (to recognize), melihat dengan tajam. Sebagai kata benda maka ma'ruf  berarti yang diketahui, yang dikenal, patut atau pantas secara nalar "baik" (good), apa yang diakui diterima oleh hukum Allah (what is a knowlegde and approved by divine law). Karena makna akar kata ini ”mengetahui” maka ma'ruf dalam konteknya memiliki makna kebaikan dan dikenal oleh masyarakat setempat bahkan akar kata ini mirip dengan urf yang berarti adat kebiasaan. Dari penggunaan kata ini menujukan bahwa al-Quran mengadopsi terminologi moral kesukuan dan menjadikannya bagian integral dan sistem etika baru.
Toshihiko mengatakan bahwa ma’ruf secara harfiah berarti diketahui (know) yaitu apa yang dipandang sebagai diketahui dan dikenal. Dengan demikian secara sosial dapat diterima. Anti tesisnya yaitu munkar yang berati apa yang tidak diterima dengan baik karena hal itu tidak diketahui (asing). Masyarakat kesukuan Arab jahiliyah akan memandang hal yang dikenal dan diketahui sebagai hal yang baik (ma’ruf) dan memandang sesuatu yang asing (tak dikenal) sebagai hal yang buruk (munkar).
Ma’ruf secara formal bertentangan dengan munkar yang secara harfiyah berarti tidak diketahui (unknown), asing (foreign), tidak diterima (disapproved) dan buruk (bad). Al-Quran berkali-kali mengingatkan Nabi dan orang-orang yang beriman dengan penekanan yang kuat untuk mengajak ma'ruf dan mencegah yang munkar. Dalam bentuk kombinasi tersebut kedua istilah ini nampak mengandung ide umum dan komprehansif yaitu baik, dan buruk secara religius. Ma’ruf berarti tindakan apapun yang timbul dari keyakinan sekaligus sesuai dengan keyakinan yang sebenar-benarnya. Sedangkan munkar adalah perbuatan yang bertentangan dengan perintah Allah.
4.      Al-Khayr
Kata ini juga paling dekat dengan makna baik (good), juga memiliki makna yang terkait dengan harta, yaitu harta sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 237. Pada level kedua khayr memiliki makna sebagai karunia Tuhan (God’s bounty), rahmat Tuhan atau wahyu (God special favour /revelation), keimanan dan keyakinan yang tulus (belief genuine .faith), perbuatan baik (good work) dan kualitas kebaikan seorang mukmin (excellent believer). Kebaikan dalam konteks khayr memiliki dua dimensi yakni kebaikan Ilahiyah (kebaikan yang berasal dari Tuhan) dan kebaikan insaniyah (kebaikan yang berasal dari manusia). Kata itu berarti sesuatu yang dinilai dengan benar sebagai hal yang bernilai jika dilihat dari sudut pandang agama yang diwahyukan.
5.      Al-Hasan/Hasanah
Hasan digunakan untuk pengertian menguntungkan dalam masalah usaha atau perdagangan. Al-Quran menggunakan kata ini secara viguratif dalam hubungannya dengan perbuatan. Dengan berbuat baik manusia memberikan dagangan yang banyak bagi Allah. Sebagaimana terlihat QS. Al-Baqarah dan Al-Hadid: 18.[17]
F.     Etika Keilmuan
Ilmu dan teknologi telah banyak membantu manusia, tetapi juga banya dampak negatifnya. Manusia harus dapat mengendalikan keduanya, dalam artian manusia tidak seharusnya menjadi budak teknologi. Sehingga keduanya dapat dikembangkan dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan manusia.
AGM Van Nelsen memandang bahwa ilmu dikembangkan pada mulanya sebagai teori yaitu untuk mendalami pengertian diri manusia dan alam sekitar, sehingga manusia sampai pada inti dirinya. Pada tahap ini ilmu manusia lebih bersifat mendeskrispsikan realitas. Ilmu pengetahuan dimaksudkan agar manusia mampu menjadi manusia yang menyadari dengan sungguh, bahwa diri dan kedudukannya yang unik dalam kosmos.[18]Dalam hal ini problem etis ilmu pengetahuan adalah menyangkut adanya ketegangan-ketegangan antara realitas yang ada (das sein) dan relitas yang seharusnya ada (das solen).[19]
Selanjutnya perkembangan ilmu dan teknologi dalam obyek-tifitas dan otonominya tidak mungkin lepas dari pengaruh pola-pola kebudayaan dan pranggapan di luar kegiatan keilmuan. Oleh karena itu manusia dituntut harus mampu mengendalikan dan bertanggungjawab atas ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ciptaannya demi keselamatan, kelestarian kehidupannya sendiri.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Karena kebenaran memang merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Ilmu bukanlah tujuan tetapi hanya sebatas sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya tidak perlu memperhitungkan adanya dua faktor, yaitu: ilmu dan tanggungjawab, karena yang keduanya sudah lengket dengan yang pertama.
Ilmu lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang transenden. Maka titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia.[20]
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu. Untuk itu adanya keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab atas  kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat spiritual dan universal.
Sedangkan Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena adanya  penolakan terhadap etika pragmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan dan kemandirian. Ilmuwan ini biasanya bekerjasama dengan para rohaniawan dan rakyat kecil pada umumnya, sehingga menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang bertumpu pada kekuasaan birokrasi politik yang sudah mapan.[21]
Usaha untuk menghindari dampak negative dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka perlu adanya kode etik yang bersifat universal sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diterima oleh semua pihak, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak lain dan tanpa merusak lingkungan, serta tanpa adanya kejahatan intelektual. Berbagai kajian Islam muncul untuk merumuskan etika keilmuan, dengan harapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi betul-betul utuh. Konsep sains yang utuh setidaknya harus memiliki tiga karakteristik pokok:
1.      Sains harus berorientasi kepada nilai-nilai dasar, yang dapat ditemukan melalui metode ilmiah atau wahyu yang dihubungkan dengan konsep segitiga piramida, yaitu: Allah, manusia, dan alam.
2.      Dengan sains Islami, perkembangan ilmu pengetahuan akan memiliki tujuan yang berorientasi pada nilai dan membangkitkan dirinya pada pembaharuan masyarakat yang bergerak kedepan melalui penemuan ilmiah.
3.      Sains Islami yang berada didalam maupun diluar lembaga struktural, harus berguna bagi tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebenaran untuk menunjang perubahan dan pembangunan serta membantu perbaikan manusia.[22]










BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.      Kegelisahan Akademik
Keharusan seorang ilmuwan untuk memiliki karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka serta menjadi penyelamat manusia bukan malah sebaliknya yaitu memanfaatkan ilmunya untuk memperdaya manusia.
2.      Logika dan sistematika pembahasan
Terdiri tujuh pembahasan, pertama, Pendahuluan; kedua, Landasan Aksiologi Ilmu; ketiga, Etika dalam aksiologi Ilmu; keempat, Aliran-aliran Etika; kelima, Prinsip dasar Etika Islam; keenam, Etika keilmuan; dan ketujuh, Penutup. 
3.      Landasan Aksiologi Ilmu
Dalam masalah aksiologi terdapat tiga pertanyaan pokok: pertama, apakah yang ingin kita ketahui; kedua, bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita. Untuk menjawab ketiga pertanyaan tersebut maka seorang ilmuwan harus memliki sikap ilmiah sebagai bagian intergral dari sifat ilmu.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain adalah pertama, tidak ada rasa pamrih (disinterestedness); kedua, bersikap selektif; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap panca indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan; keenam, seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (moral).
4.      Jenis-jenis Etika dalam filsafat ilmu
Sebagai salah satu cabang aksiologi ilmu yang banyak membahas masalah nilai baik atau buruk, etika mempunyai tiga jenis: Etika Deskriptif, Etika Normatif, dan Metaetika.
5.      prinsip dasar Etika Islam
Dalam Islam, Al-Quran dan hadis sebagai sumber yang dapat dijadikan acuan didalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial .
Menurut Toshihiko Izutsu, konsep etika Al-Quran dapat direpresentasikan dalam istilah yang disebutnya sebagai ethico religiuos consepts in the Qur’an. Konsep-konsep tersebut meliputi istilah-istilah salih, birr, ma’ruf, khayr dan hasan.
6.      Etika Keilmuan
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat spiritual dan universal.
Sedangkan Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena adanya  penolakan terhadap etika pragmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran, kebebasan dan kemandirian.
Ilmu bukanlah tujuan tetapi sebatas sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab secara agama. karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Oleh karena itu, manusia diharapakan mampu mengendalikan ilmu dan teknologi bukan malah menjadi budaknya, sehingga pada akhirnya dapat mengembangkanya untuk kepentingan kesejahteraan manusia.




DAFTAR PUSTAKA

A.Susanto, Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Cet. Pertama.
A.P Cowie (ed.), Oxford Learner’s Pocked Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1987.
A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia, 1992.
A.M.Saefuddin A.M. et al., Desekularisasi Pemikiran,Bandung: Mizan,1987.
Frans Magnis Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,  Yogyakarta: Kanisius,1989.
Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.
Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995.
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2007.
Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhowy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.
Mokh. Sya’roni, Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat, Teologia vol (25), 1, Januari-Juni  2014.
Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESPI, Yogyakarta, 2002.
Rizal Mustansyir dan MisnalMunir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, Canada: McGill University Press, 1966.
Victoria Neufeld (ed.), Webster’s New World Dictionary, Third Edition, New York: Simon & Schuster Macmillan Company, 1999.
William Lillie, an Introduction to Ethics, New York: Barnes Nable, 1957.


[1]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal. 3

[2]Mokh. Sya’roni, Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat, Teologia vol (25), 1, Januari-Juni  2014, hal. 3
[3] Drs. A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. Cet pertama, hal. 116
[4] Mokh. Sya’roni, Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat, hal. 5
[5] Jonathan Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford University Press, 1995. hal. 393
[6] Frans Magnis Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral,  Yogyakarta: Kanisius,1989, hal. 15
[7] K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 4
[8] A.P Cowie (ed.), Oxford Learner’s Pocked Dictionary, Oxford: Oxford University Press, 1987, hal. 127
[9] Victoria Neufeld (ed.), Webster’s New World Dictionary, Third Edition, New York: Simon & Schuster Macmillan Company, 1999, hal. 400.
[10] William Lillie, an Introduction to Ethics, New York: Barnes Nable, 1957, hal. 1
[11] Frans Magnis Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, hal. 14
[12]A.Susanto,Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011,hal.172
[13] Rizal Mustansyir dan MisnalMunir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 29
[14] K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 15-22
[15]Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhowy, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 1
[16] Toshihiko Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, Canada: McGill University Press, 1966, hal. 203
[17] Ibid, hal. 221
[18]A.G.M. van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 4-5
[19] Ibid, hal. 72
[20]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu, hal. 235-236
[21]Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESPI, Yogyakarta, 2002, hal. 85
[22]A.M.Saefuddin A.M. et al., Desekularisasi Pemikiran,Bandung: Mizan,1987, hal. 60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar