BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ilmu
adalah suatu cara berpikir yang demikian rumit dan mendalam tentang suatu objek
yang khas dengan pendekatan yang khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan
berupa pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka dan teruji
oleh siapapun.
Sesungguhnya
untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya, maka kita harus mengerti
apakah hakikat ilmu itu sebenarnya. Dengan mengetahui hakikat ilmu maka akan
membuka mata kita terhadap berbagai kekurangan yang ada dalam diri kita.[1]
Pada
hakikatnya upaya manusia untuk memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga
masalah pokok: pertama, apakah yang ingin kita ketahui; kedua,
bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan
tersebut bagi kita.
Ranah
tersebut merupakan bagian dari filsafat ilmu Aksiologi, aksiologi memaparkan
tentang hakikat nilai atau kegunaan sebuah ilmu. Dalam hal ini terdapat dua
nilai yaitu etika dan estetika. Dimana etika adalah sebuah nilai yang berkaitan
dengan nilai-nilai moral, sedangkan estetika adalah sebuah nilai yang berkaitan
dengan nilai-nilai keindahan. Kedua nilai inilah yang menjadi ukuran dalam
setiap dimensi kehidupan manusia secara kompleks dalam peranya sebagai makhluk
sosial. Peran seorang manusia di dalam lingkungan sosialnya tidak akan luput
dari kedua nilai tersebut.
Dalam
makalah ini yang dibahas adalah nilai etika tentang bagaimana proses
penyampaian ilmu dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang sedang berlaku
dalam masyarakat dengan tujuan kebaikan manusia.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kegelisahan akademik penulis?
2. Bagaimana logika dan sistematis penulisan jurnal yang berjudul Etika
Keilmuan: sebuah kajian filsafat Ilmu?
3. Bagaimana landasan aksiologi Ilmu?
4. Apasajakah Etika dalam aksiologi Ilmu?
5. Bagaimanakah prinsip dasar Etika Islam?
6. Bagaiamana Etika keilmuan?
C. Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan kegelisahan akademik penulis jurnal yang
berjudul Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat ilmu.
2. Agar mengetahui logika dan sistematis penulisan jurnal Etika Keilmuan:
sebuah kajian filsafat Ilmu.
3. Mendeskripsikan landasan aksiologi Ilmu.
4. Mengetahui jenis-jenis Etika dalam aksiologi Ilmu.
5. Mengetahui prinsip dasar Etika
Islam.
6. Mendeskripsikan Etika keilmuan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Kegelisahan Akademik
Seharusnya bagi seorang ilmuwan dalam dirinya memiliki
karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Keharusan pula
seorang ilmuan setalah mengembangkan potenti dirinya secara kokoh dan kuat,
kemudian menjadi penyelamat manusia bukan malah sebaliknya yaitu dimanfaatkan
untuk memperdaya manusia. Karena dengan ilmu pengetahuan manusia akan mampu
berbuat apa saja yang diinginkan, namun pertimbangannya tidak hanya pada apa yang
dapat diperbuat oleh manusia, akan tetapi mempertimbangkan etika apa yang harus
dilakukan oleh manusia dengan tujuan kebaikan manusia. Dengan demikian maka Ia telah melaksanakan tanggung jawabnya
sebagai seorang ilmuan.
B.
Logika Sistematika Penulisan Jurnal
Dalam penulisan jurnal ini memuat tujuh pembahasan,
diantaranya:
1. Pendahuluan
2. Landasan Aksiologi Ilmu
3. Etika dalam aksiologi Ilmu, yang terdiri dari:
a. Nilai logika: benar/salah
b. Nilai Etika: baik/tidak baik
c. Nilai Estetika: indah/tidak indah
4. Aliran-aliran Etika: hedonisme, utilitarisme, dan deontologi.
5. Prinsip dasar Etika Islam
6. Etika keilmuan
7. Penutup
C.
Landasan Aksiologi Ilmu
Pengetahuan ilmiah merupakan pengetahuan yang di dalamnya memiliki
karakteristik kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal ini merupakan
keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Selain itu juga masalah
mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun suatu bangunan yang kokoh
dan kuat adalah masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan manusia. Memang tak dapat
dipungkiri bahwa ilmu telah membawa manusia kearah perubahan yang cukup besar.
Akan tetapi dengan perubahan tersebut dapatkah ilmu yang kokoh, kuat, dan
mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya?. Di sinilah letak
tanggungjawab seorang ilmuwan.[2]
Dalam masalah aksiologi terdapat tiga pertanyaan pokok: pertama,
apakah yang ingin kita ketahui; kedua, bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita. Untuk
menjawab ketiga pertanyaan tersebut maka seorang ilmuwan harus memliki sikap
ilmiah sebagai bagian intergral dari sifat ilmu. Karena sikap ilmiah adalah
suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai suatu pengetahuan ilmiah yang
bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas tentang
tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu ilmu yang bebas
dari prasangka pribadi dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial untuk
melestarikan dan keseimbangan alam semesta ini, serta dapat
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Artinya selaras antara kehendak manusia dan
kehendak Tuhan. Antara lain: nilai moral (etika), nilai agama, nilai keindahan
(estetika).[3]
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain
adalah pertama, tidak ada rasa pamrih (disinterestedness),
artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
objektif dengan menghilangkan pamrih atau tujuan kesenangan pribadi; kedua,
bersikap selektif, artinya suatu sikap yang bertujuan agar para ilmuwan
mampu mengadakan pemilihan terhadap pelbagai hal yang dihadapi; ketiga,
adanya rasa percaya yang layak baik terhadap kenyataan maupun terhadap panca
indera serta budi (mind); keempat, adanya sikap yang berdasar pada suatu
kepercayaan (belief) dan dengan merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat
atau teori yang terdahulu telah mencapai kepastian; kelima, adanya suatu
kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap
penelitian yang telah dilakukan, sehingga selalu ada dorongan untuk riset,
sebagai aktivitas yang menonjol dalam hidupnya; keenam, seorang ilmuwan
harus memiliki sikap etis (moral) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan
ilmu demi kemajuan ilmu dan untuk kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk
pembangunan bangsa dan negara.[4]
D.
Jenis-jenis Etika dalam aksiologi
Ilmu
Dalam pembahasan aksiologi ilmu, sangat terkait dengan persoalan
nilai ilmu pengetahuan yang dalam kajian filsafat dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga jenis, yaitu :
1. Nilai Logika: benar/salah
Yaitu nilai mengenai benar atau salahnya tindakan/kejadian. Dalam
hal ini nilai logika berkaitan dengan tindakan/kejadian yang dilakukan oleh
seseorang. Misalnya: seorang mahasiswa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh
dusenya, kemudian ia berhasil menjawab dengan tepat, maka secara logika jawaban
tersebut dianggap benar bukan baik, dan seandainya jawabannya keliru maka secara logika jawaban
tersebut dianggap salah bukan buruk.
2. Nilai Etika:
baik/tidak baik
Menilai tentang baik-buruk yang berkaitan dengan perilaku manusia,
bukan dari bentuk fisiknya. Jadi, kalu kita mengatakan etika orang itu buruk,
bukan berarti wajahnya buruk, akan tetapi dasar dari penilaian buruk tersebut
merujuk terhadap perilakunya. Begitu juga sebaliknya.
3. Nilai Estetika: indah/tidak indah
Merupakan keterbalikan dari Etika, mengenai masalah penilaian
terhadap seseorang, menilai tentang indah/tidaknya berkaitan dengan bentuk
fisiknya, bukan dari perilaku manusia. Jadi kalu kita mengatakan orang itu
tampan, bukan berarti prilakunya, akan tetapi dasar dari penilaian tampan
tersebut merujuk terhadap bentuk fisiknya. Begitu juga sebaliknya.
Sejarah kemunculannya Etika dimulai dari periode klasik, akan
tetapi berdasarkan naskah-naskah kuno yang ditemukan dan diterjemahkan ternyata
karya-karya pemikiran Yunani klasik jauh lebih dulu ditulis. Itu diketahui
berdasarkan konteks mata rantai sejarah ketika bangsa Arab menaklukan sebuah
wilayah, bahasa asli Negara tersebut tidak dihilangkan perjalan sejarah
tersebut. Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang berarti a
system of moral principles or rules of behaviour,[5] atau suatu sistem, prinsip
moral, aturan atau cara berperilaku. Yang dipersoalkan bukan hanya apakah yang
merupakan kewajiban saya dan apa yang tidak,melainkan manakah norma-norma untuk
menentukan apa yang harus dianggap sebagai kewajiban.Untuk mencapai suatu
pendirian dalam pergolakan pandangan-pandangan moral ini refleksi kritis etika
diperlukan.[6]
Banyak istilah yang menyangkut konteks ilmiah, istilah “etika”
berasal dari bahasa Yunani kunoethos. Kata ethos dalam bentuk
tunggal mempunyai banyak arti: tempat tinggal yang biasa; pada rumput, kandang;
kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk
jamak (ta etha) artinya adalah: adat kebiasaan. Dan arti terakhir inilah
menjadi latar belakang bagi terbentuknya istilah “etika” yang oleh filsuf
Yunani besar Aristoteles (284-322 SM) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat
moral. Jadi, kita membatasi diri pada asal-usul kata ini, maka “etika” berarti:
ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.[7]
Secara etimologis, ethic berarti system of moral principles[8]atau a system of moral
standard values.[9]
Secara terminologi etika didefinisikan sebagai: the normatif science of the
conduct of human being living societies. A science which judge this conduct to
be right or wrong, to be good or bad.[10]Secara singkat etika
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan tentang kesusilaan (moral).
Kata yang cukup dekat dengan “etika” adalah “moral”. Moral
merupakan ajaran-ajaran atau
wejangan-wejangan atau khutbah-khutbah atau patokan-patokan tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia yang baik. Sumber
langsung ajaran moral dapat berupa ajaran agama, nasihat para bijak, orang tua,
guru dan sebagainya. Pendek kata sumber ajaran moral meliputi agama, tradisi,
adat-istiadat dan ideologi-ideologi tertentu.[11]
Dalam filsafat moral, etika berkedudukan sebagai ilmu, bukan
sebagai ajaran. Etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Ajaran moral mengajarkan bagaimana kita hidup, sedangkan etika ingin mengetahui
mengapa kita mengikuti ajaran moral tertentu atau bagaimana kita mengambil
sikap yang bertanggungjawab ketika berhadapan dengan berbagai ajaran moral.
Aristoteles dalam bukunya Etika Nikomacheia, menjelaskan tentang
pembahasan etika kedalam dua hal penting, pertama, etika sebagai terminus
techius. Pengertian etika dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
masalah perbuatan atau tindakan manusia. Kedua, etika dimaknai sebagai manner
dan custom, dimana etika dipahami sebagai sesuatu yang berkaitan dengan
tata cara dan kebiasaan (adat) yang melekat dalam kodrat manusia ( Inherent
in human nature) yang terikat dengan pengertian “ baik dan buruk ” suatu
tingkah laku atau perbuatan manusia.[12]
Sebagai salah satu cabang aksiologi ilmu yang banyak membahas
masalah nilai baik atau buruk, etika mempeunyai tiga jenis: Etika Deskriptif,
Etika Normatif, dan Metaetika.
1.
Etika deskriptif adalah cara melukiskan tingkah laku moral dalam
arti luas seperti: adat kebiasaan, anggapan tentang baik atau buruk, tindakan
yang diperbolehkan atau tidak. Etika deskriptif mempelajari moralitas yang
terdapat pada individu, kebudayaan atau sub-kultur tertentu. Oleh karena itu
etika deskriptif ini tidak memberikan penilaian apapun, ia hanya memaparkan.
Etika deskriptif lebih bersifat netral.
2.
Etika normatif mendasarkan pendiriannya atas norma. Ia dapat
mempersoalkan norma yang diterima seseorang atau masyarakat secara lebih
kritis. Ia bisa mempersoalkan apakah norma itu benar atau tidak. Etika normatif
berarti sistem-sistem yang dimaksudkan untuk memberikan petunjuk atau penuntun
dalam mengambil keputusan yang menyangkut baik atau buruk. Etika normatif ini
dibagi menjadi dua, yaitu:
a.
Etika umum, yang menekankan pada tema-tema umum seperti: Apa yang
dimaksud norma etis? Mengapa norma moral mengikat kita? Bagaimana hubungan antara
tanggungjawab dengan kebebasan?
b.
Etika khusus, upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip etika umum ke
dalam perilaku manusia yang khusus. Etika khusus juga dinamakan etika terapan.
3.
Metaetika yaitu kajian etika yang ditujukan pada ungkapan-ungkapan
etis. Bahasa etis atau bahasa yang dipergunakan dalam bidang moral dikaji
secara logis. Metaetika menganalisis logika perbuatan dalam kaitan dengan
“baik” atau “buruk”.
Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai atau norma-norma
moral yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.
a.
Etika berarti kumpulan asas atau nilai moral. Misalnya kode etik.
b.
Etika merupakan ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Etika baru
menjadi ilmu bila kemungkinan-kemungkinan etis (asas-asas dan nilai-nilai
tentang yang dianggap baik atau buruk) yang begitu saja diterima dalam suatu
masyarakat seringkali tanpa disadari menjadi bahan refleksi bagi suatu
penelitian sistematis dan metodis. Etika dalam hal ini sama dengan filsafat
moral.[13]
Etika tidak hanya berorientasi pada hal-hal teoritis saja, namun
juga terkait erat dengan kehidupan konkret, oleh karena itu ada beberapa
manfaat etika yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kehidupan konkret,
diantaranya:
1.
Perkembangan hidup masyarakat yang semakin pluralistik menghadapkan
manusia pada sekian banyak pandangan moral yang bermacam-macam, sehingga
diperlukan refleksi kritis dari bidang etika. Contoh: etika medis tentang
masalah aborsi, bayi tabung, kloning, dan lain sebagainya.
2.
Gelombang modernisasi yang melanda segala bidang kehidupan
masyarakat, sehingga cara berpikir masyarakat juga ikut berubah. Misalnya: cara
berpakaian, kebutuhan fasilitas hidup modern, dan lain sebagainya.
3.
Etika juga menjadikan kita mampu menghadapi ideologi-ideologi barat yang berebutan mempengaruhi kehidupan, supaya
tidak mudah terpancing. Artinya kita tidak boleh tergesa-gesa mengikuti
pandangan baru yang belum jelas, namun tidak pula tergesa-gesa menolak
pandangan baru lantaran belum terbiasa.
4.
Etika diperlukan oleh penganut agama manapun untuk menemukan dasar
keyakinan dalam iman dan kepercayaan sekaligus memperluas wawasan terhadap
semua dimensi kehidupan masyarakat yang selalu berubah.[14]
E.
Prinsip Dasar Etika Islam
Etika menjadi salah satu ajaran yang amat penting dalam agama
apapun, rasanya semua agama sepakat mempunyai pandangan yang sama, yaitu semua
agama memerintahkan pemeluknya berbuat baik dan melarang berbuat jahat.
Dalam Islam, Al-Quran dan hadis sebagai sumber yang dapat dijadikan acuan
didalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial. Yang perlu dikaji adalah bagaimana Islam mengatur prinsip dasar
etika sosial yang berhubungan dengan pembangunan, politik, ekonomi dan keilmuan
yang semua itu merupakan aspek-aspek dari kehidupan modern.
Etika Al-Quran merupakan bagian dari etika dunia dan agama yang
diharapkan dapat menjawab harapan dan optimisme. Setidaknya etika Al-Quran
menjawabnya atau bertahan di tengah kompleksitas dan relativitas
multikulturalisme, hal ini menarik untuk ditelusuri lebih dalam.
Etika Al-Quran yang dimaksudkan disini hanya terbatas pada konsep
etika Al-Quran sebagaimana diuraikan oleh Toshihiko Izutsu, yang oleh Majid
Fakhry disebut sebagai etika skriptural.[15] Sedangkan menurut
Toshihiko Izutsu, konsep etika al-Quran dapat direpresentasikan dalam istilah
yang disebutnya sebagai ethico religiuos consepts in the Qur’an.
Konsep-konsep tersebut meliputi istilah-istilah salih, birr, ma’ruf,
khayr dan hasan.[16]
1. Al-Salih
Kata salih menurut
Izutsu merupakan istilah yang paling umum dipakai sebagai ungkapan etika
religius dalam Al-Quran. Tidak ada yang menunjukkan karakter religius tentang
konsep kebaikan moral yang secara empatik lebih baik dari pada kata salih.
Kata salih secara umum diartikan sebagai "kebajikan" (righteous).
Kata salih ini paling sering disandingkan dengan kata iman. Tidak
kurang dari lima puluh ayat, kata iman disandingkan sebelum kata salih
khususnya dalam kalimat "orang-orang yang beriman dan beramal saleh (good
works)". sehingga dapat dikatakan bahwa salih merupakan
manifestasi dari iman, iman menjadi tidak bermakna tanpa kesalihan.
2. Al-Birr
Kata birr
adalah satu dari sekian banyak kata yang merupakan ungkapan etika keagamaan
dalam Al-Quran. Izutsu menyebutnya sebagai istilah moral al-Quran yang paling
sulit dipahami (the most elusive of the Qur’anic moral terms).
Istilah “birr” memiliki makna yang strategis bagi upaya
pengembangan kesalihan sosial dalam Islam. Hal ini dapat dilihat dari maknanya
yang tidak saja berdimensi kebaikan vertikal (the act of rendering religious
service to God). Namun juga berdimensi horizontal (emphasis to justice
and love in social life). Bahkan maknanya disejajarkan dengan ketaqwaan
(fear of God) dan kedermawanan (almsgiving).
3. Al-Ma’ruf
Akar kata ma’ruf
adalah ’arafa yang berarti ”mengetahui” (to know), mengenal
dan mengetahui (to recognize), melihat dengan tajam. Sebagai kata
benda maka ma'ruf berarti yang
diketahui, yang dikenal, patut atau pantas secara nalar "baik" (good),
apa yang diakui diterima oleh hukum Allah (what is a knowlegde and
approved by divine law). Karena makna akar kata ini ”mengetahui” maka ma'ruf
dalam konteknya memiliki makna kebaikan dan dikenal oleh masyarakat setempat
bahkan akar kata ini mirip dengan urf yang berarti adat kebiasaan. Dari
penggunaan kata ini menujukan bahwa al-Quran mengadopsi terminologi
moral kesukuan dan menjadikannya bagian integral dan sistem etika baru.
Toshihiko
mengatakan bahwa ma’ruf secara harfiah berarti diketahui (know)
yaitu apa yang dipandang sebagai diketahui dan dikenal. Dengan demikian secara
sosial dapat diterima. Anti tesisnya yaitu munkar yang berati apa yang
tidak diterima dengan baik karena hal itu tidak diketahui (asing). Masyarakat
kesukuan Arab jahiliyah akan memandang hal yang dikenal dan diketahui sebagai
hal yang baik (ma’ruf) dan memandang sesuatu yang asing (tak dikenal)
sebagai hal yang buruk (munkar).
Ma’ruf secara formal bertentangan dengan munkar yang secara
harfiyah berarti tidak diketahui (unknown), asing (foreign),
tidak diterima (disapproved) dan buruk (bad). Al-Quran
berkali-kali mengingatkan Nabi dan orang-orang yang beriman dengan penekanan
yang kuat untuk mengajak ma'ruf dan mencegah yang munkar. Dalam
bentuk kombinasi tersebut kedua istilah ini nampak mengandung ide umum
dan komprehansif yaitu baik, dan buruk secara religius. Ma’ruf berarti
tindakan apapun yang timbul dari keyakinan sekaligus sesuai dengan keyakinan
yang sebenar-benarnya. Sedangkan munkar adalah perbuatan yang bertentangan
dengan perintah Allah.
4.
Al-Khayr
Kata ini juga
paling dekat dengan makna baik (good), juga memiliki makna yang terkait
dengan harta, yaitu harta sebagaimana terdapat dalam QS. Al-Baqarah: 237. Pada
level kedua khayr memiliki makna sebagai karunia Tuhan (God’s
bounty), rahmat Tuhan atau wahyu (God special favour /revelation),
keimanan dan keyakinan yang tulus (belief genuine .faith),
perbuatan baik (good work) dan kualitas kebaikan seorang mukmin
(excellent believer). Kebaikan dalam konteks khayr memiliki dua
dimensi yakni kebaikan Ilahiyah (kebaikan yang berasal dari Tuhan) dan kebaikan
insaniyah (kebaikan yang berasal dari manusia). Kata itu berarti sesuatu yang
dinilai dengan benar sebagai hal yang bernilai jika dilihat dari sudut pandang
agama yang diwahyukan.
5.
Al-Hasan/Hasanah
Hasan digunakan
untuk pengertian menguntungkan dalam masalah usaha atau perdagangan.
Al-Quran menggunakan kata ini secara viguratif dalam hubungannya dengan
perbuatan. Dengan berbuat baik manusia memberikan dagangan yang banyak bagi Allah.
Sebagaimana terlihat QS. Al-Baqarah dan Al-Hadid: 18.[17]
F.
Etika Keilmuan
Ilmu dan teknologi telah banyak membantu manusia, tetapi juga banya
dampak negatifnya. Manusia harus dapat mengendalikan keduanya, dalam artian
manusia tidak seharusnya menjadi budak teknologi. Sehingga keduanya dapat dikembangkan
dengan baik untuk kepentingan kesejahteraan manusia.
AGM Van Nelsen memandang bahwa ilmu dikembangkan pada mulanya
sebagai teori yaitu untuk mendalami pengertian diri manusia dan alam sekitar,
sehingga manusia sampai pada inti dirinya. Pada tahap ini ilmu manusia lebih
bersifat mendeskrispsikan realitas. Ilmu pengetahuan dimaksudkan agar manusia
mampu menjadi manusia yang menyadari dengan sungguh, bahwa diri dan
kedudukannya yang unik dalam kosmos.[18]Dalam hal ini problem etis
ilmu pengetahuan adalah menyangkut adanya ketegangan-ketegangan antara realitas
yang ada (das sein) dan relitas yang seharusnya ada (das solen).[19]
Selanjutnya perkembangan ilmu dan teknologi dalam obyek-tifitas dan
otonominya tidak mungkin lepas dari pengaruh pola-pola kebudayaan dan
pranggapan di luar kegiatan keilmuan. Oleh karena itu manusia dituntut harus
mampu mengendalikan dan bertanggungjawab atas ilmu pengetahuan dan teknologi
sebagai ciptaannya demi keselamatan, kelestarian kehidupannya sendiri.
Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari
keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Karena kebenaran memang
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak berwarna, dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga
ilmu terpaksa menjadi steril.Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah
semestinya harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Ilmu bukanlah tujuan tetapi hanya sebatas sarana, karena hasrat
akan kebenaran itu berimpit dengan etika pelayanan bagi sesama manusia dan
tanggungjawab secara agama. Sebenarnya ilmuwan dalam gerak kerjanya tidak perlu
memperhitungkan adanya dua faktor, yaitu: ilmu dan tanggungjawab, karena yang
keduanya sudah lengket dengan yang pertama.
Ilmu lengket dengan keberadaan manusia yang transenden dengan
kata-kata lain, keresahan ilmu bertalian dengan hasrat yang terdapat dalam diri
manusia. Di situ terdapat petunjuk mengenai kebenaran yang transenden. Maka
titik henti dari kebenaran itu terdapat di luar jangkauan manusia.[20]
Tanggung jawab etis merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun
penggunaan ilmu. Untuk itu adanya keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia,
martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab atas kepentingan umum, kepentingan generasi
mendatang dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah
untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk
menghancurkan eksistensi manusia.
Dalam realitas kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik
antara etika pragmatik dengan etika pembebasan manusia. Etika pragmatik
berorientasi pada kepentingan-kepentingan elite sebagai wujud kerja sama antara
iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang cenderung menindas untuk
kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik, dengan etika pembebasan
manusia dari penindasan kekuatan elite, etika pembebasan yang bersifat
spiritual dan universal.
Sedangkan Etika pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan
universal itu, bisa muncul dari kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi
karena adanya penolakan terhadap etika
pragmatik yang dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung
tinggi kebenaran, kebebasan dan kemandirian. Ilmuwan ini biasanya bekerjasama
dengan para rohaniawan dan rakyat kecil pada umumnya, sehingga menjadi sebuah
gerakan perlawanan terhadap berlangsungnya etika pragmatik yang bertumpu pada
kekuasaan birokrasi politik yang sudah mapan.[21]
Usaha untuk menghindari dampak negative dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, maka perlu adanya kode etik yang bersifat universal
sehingga kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat diterima oleh semua
pihak, tanpa harus mengorbankan pihak-pihak lain dan tanpa merusak lingkungan,
serta tanpa adanya kejahatan intelektual. Berbagai kajian Islam muncul untuk merumuskan
etika keilmuan, dengan harapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
betul-betul utuh. Konsep sains yang utuh setidaknya harus memiliki tiga
karakteristik pokok:
1.
Sains harus berorientasi kepada nilai-nilai dasar, yang dapat
ditemukan melalui metode ilmiah atau wahyu yang dihubungkan dengan konsep segitiga
piramida, yaitu: Allah, manusia, dan alam.
2.
Dengan sains Islami, perkembangan ilmu pengetahuan akan memiliki
tujuan yang berorientasi pada nilai dan membangkitkan dirinya pada pembaharuan
masyarakat yang bergerak kedepan melalui penemuan ilmiah.
3.
Sains Islami yang berada didalam maupun diluar lembaga struktural,
harus berguna bagi tujuan-tujuan tertentu yang sesuai dengan kebenaran untuk
menunjang perubahan dan pembangunan serta membantu perbaikan manusia.[22]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kegelisahan Akademik
Keharusan seorang ilmuwan untuk memiliki karakteristik kritis,
rasional, logis, objektif dan terbuka serta menjadi penyelamat manusia bukan
malah sebaliknya yaitu memanfaatkan ilmunya untuk memperdaya manusia.
2. Logika dan
sistematika pembahasan
Terdiri tujuh pembahasan, pertama, Pendahuluan; kedua, Landasan Aksiologi Ilmu; ketiga, Etika
dalam aksiologi Ilmu; keempat, Aliran-aliran Etika; kelima,
Prinsip dasar Etika Islam; keenam, Etika keilmuan; dan ketujuh,
Penutup.
3. Landasan Aksiologi Ilmu
Dalam masalah aksiologi terdapat tiga pertanyaan pokok: pertama,
apakah yang ingin kita ketahui; kedua, bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan; ketiga, apa nilai pengetahuan tersebut bagi kita. Untuk
menjawab ketiga pertanyaan tersebut maka seorang ilmuwan harus memliki sikap
ilmiah sebagai bagian intergral dari sifat ilmu.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan itu antara lain
adalah pertama, tidak ada rasa pamrih (disinterestedness); kedua,
bersikap selektif; ketiga, adanya rasa percaya yang layak baik
terhadap kenyataan maupun terhadap panca indera serta budi (mind); keempat,
adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan telah mencapai
kepastian; kelima, adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang ilmuwan
harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan; keenam,
seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis (moral).
4.
Jenis-jenis Etika dalam filsafat ilmu
Sebagai salah satu cabang aksiologi ilmu yang banyak membahas
masalah nilai baik atau buruk, etika mempunyai tiga jenis: Etika Deskriptif,
Etika Normatif, dan Metaetika.
5.
prinsip dasar Etika Islam
Dalam Islam, Al-Quran dan hadis sebagai sumber yang dapat dijadikan acuan
didalam seluruh aspek kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun
makhluk sosial .
Menurut
Toshihiko Izutsu, konsep etika Al-Quran dapat direpresentasikan dalam istilah
yang disebutnya sebagai ethico religiuos consepts in the Qur’an.
Konsep-konsep tersebut meliputi istilah-istilah salih, birr, ma’ruf,
khayr dan hasan.
6.
Etika Keilmuan
Dalam realitas
kehidupan masyarakat dewasa ini, terjadi konflik antara etika pragmatik dengan
etika pembebasan manusia. Etika pragmatik berorientasi pada kepentingan-kepentingan
elite sebagai wujud kerja sama antara iptek, uang, kekuasaan dan kekerasan yang
cenderung menindas untuk kepentingannya sendiri yang bersifat materialistik,
dengan etika pembebasan manusia dari penindasan kekuatan elite, etika
pembebasan yang bersifat spiritual dan universal.
Sedangkan Etika
pembebasan manusia, yang bersifat spiritual dan universal itu, bisa muncul dari
kalangan ilmuwan itu sendiri, yang bisa jadi karena adanya penolakan terhadap etika pragmatik yang
dirasakan telah menodai prinsip-prinsip ilmu yang menjunjung tinggi kebenaran,
kebebasan dan kemandirian.
Ilmu bukanlah
tujuan tetapi sebatas sarana, karena hasrat akan kebenaran itu berimpit dengan
etika pelayanan bagi sesama manusia dan tanggungjawab secara agama. karena pada
dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi
manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Oleh karena itu, manusia
diharapakan mampu mengendalikan ilmu dan teknologi bukan malah menjadi
budaknya, sehingga pada akhirnya dapat mengembangkanya untuk kepentingan
kesejahteraan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
A.Susanto, Filsafat
Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis dan Aksiologis,
Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
A. Susanto, M.pd, Filsafat Ilmu, Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
Cet. Pertama.
A.P
Cowie (ed.), Oxford Learner’s Pocked Dictionary, Oxford: Oxford
University Press, 1987.
A.G.M.
van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens,
Jakarta: Gramedia, 1992.
A.M.Saefuddin A.M. et al., Desekularisasi Pemikiran,Bandung:
Mizan,1987.
Frans
Magnis Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius,1989.
Jujun
S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2006.
Jonathan
Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford
University Press, 1995.
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia, 2007.
Majid
Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhowy, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996.
Mokh.
Sya’roni, Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat, Teologia vol (25), 1,
Januari-Juni 2014.
Musa
Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESPI, Yogyakarta,
2002.
Rizal
Mustansyir dan MisnalMunir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2001.
Toshihiko
Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, Canada: McGill
University Press, 1966.
Victoria
Neufeld (ed.), Webster’s New World Dictionary, Third Edition, New York:
Simon & Schuster Macmillan Company, 1999.
William
Lillie, an Introduction to Ethics, New York: Barnes Nable, 1957.
[1]Jujun S. Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2006, hal. 3
[2]Mokh. Sya’roni, Etika Keilmuan: sebuah kajian filsafat,
Teologia vol (25), 1, Januari-Juni 2014,
hal. 3
[5] Jonathan
Crowther (Ed.), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, London: Oxford
University Press, 1995. hal. 393
[6] Frans Magnis
Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, Yogyakarta: Kanisius,1989, hal. 15
[7] K. Bertens, Etika,
Jakarta: Gramedia, 2007, hal. 4
[8] A.P Cowie
(ed.), Oxford Learner’s Pocked Dictionary, Oxford: Oxford University
Press, 1987, hal. 127
[9] Victoria Neufeld (ed.), Webster’s New World Dictionary,
Third Edition, New York: Simon & Schuster Macmillan Company, 1999, hal.
400.
[10] William Lillie, an Introduction to Ethics, New York: Barnes
Nable, 1957, hal. 1
[11] Frans Magnis
Suseno,Etika Dasar Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, hal. 14
[12]A.Susanto,Filsafat Ilmu:Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis,
Epistimologis dan Aksiologis, Jakarta: Bumi Aksara, 2011,hal.172
[15]Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyudin Baidhowy,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hal. 1
[16] Toshihiko
Izutsu, Ethico Religious Concepts in the Qur’an, Canada: McGill
University Press, 1966, hal. 203
[17] Ibid, hal. 221
[18]A.G.M. van
Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita, terj. K. Bertens,
Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 4-5
[20]Jujun S.
Suriasumantri, Ilmu, hal. 235-236
[21]Musa Asy’arie, Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, LESPI,
Yogyakarta, 2002, hal. 85
[22]A.M.Saefuddin A.M. et al., Desekularisasi Pemikiran,Bandung:
Mizan,1987, hal. 60
Tidak ada komentar:
Posting Komentar