BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia mempunyai derajat yang mulia, agung, dan tinggi, karena
Islam telah memuliakannya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa ayat al-Qur’an
yang menjelaskan tentang posisi manusia dibanding makhluk-makhluk yang lain,
sehingga ayat-ayat itu mengukuhkan kehormatannya dan mengangkat drajadnya serta
kedudukannya. Allah memuliakan manusia
melebihi semua makhluk lainnya dan memilihnya untuk menjadi makhluk yang
paling mulia di alamsemesta ini, mendidiknya serta mentakdirkannya menjadi
kholifah (pemimpin), sehingga kedudukannya melebihi malaikat, karena
dianugrahkan kepadanya akal, kemudian menjadi berilmu, berfikir (ulul albab),
makhluk yang intelektual. Hingga pada akhirnya di berikanlah amanah, beban tangung
jawab yang besarnya melebihi gunung, bumi dan langit. Karena Allah telah mengistimewakannya dengan pengetahuan yang tidak
dimiliki oleh malaikat, maka ia dimintai tanggung jawab dan diharuskan memikul
amanah dimana langit yang luas dan gunung-gunung yang besar pun enggan
mengembannya, harapanya manusia mampu memikul amanah tersebut, dengan menanami benih-benih kebajikan dan membangunnya dengan keadilan,
kasih sayang serta perdamaian untuk kebaikan alam dan sekitarnya.
Untuk mewujudkan harapan yang mulia tersebut, maka tidaklah salah adanya
aturan-aturan yang tegas di dalam Al-Qur’an terkait masalah pelanggaran HAM
(hak asasi manusia). Diantaranya aturan tentang tindak pidana pembunuhan
(qishash atau diyat), tindak pidana pencurian (potong tangan), tindak pidana
bagi pelaku zina (hukum cambuk atau rajam), serta tindak pidana-pidana yang
lain sebagai upaya untuk menjaga dan melestarikan hak-hak asasi manusia,
sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dan dapat menjalankan tugasnya
sebagai pemimpin dengan sebaik-baiknya.
Adanya aturan-aturan yang tegas didalam Al-Qur’an tersebut,
tampaknya menimbulkan pro dan kontra, baik di kalngan umat Islam sendiri maupun
di kalangan orientalis. Alasan bagi yang setuju dengan aturan tersebut, mereka
menganggap dengan ditegakkanya hukuman sebagaimana yang telah terdapat pada al-Quran
dengan gamblang dan jelas dari segi lafadznya, maka kehidupan ini akan teratur,
damai, dan sejahtera karena tidak akan ada satupun manusia yang berani berbuat
tindak kejahatan (kriminal) di bumi ini. Sedangkan disisi lain nampaknya
terdapat banyak argumen-argumen, alasan-alasan bagi yang kontra dengan
diterapakanya aturan tersebut, salah satunya adalah karena melanggar HAM, anggapan
mereka aturan tersebut sangatlah sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Oleh sebab
itu, penulis pada makalah ini akan mencoba memaparkan sisi humanisme dibalik
ayat-ayat tindak pidana yang terdapat dalam Al-Qur’an.
B. Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di paparkan di
atas, maka timbullah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana tafsir ayat yang termasuk kategori pidana pencederaan dalam
al-Qur’an perspektif analitik dan tematik?
2. Apa pesan-pesan humanisme yang terdapat pada ayat tindak pidana
pencederaan tersebut?
C. Tujuan penulisan
1. Mendeskripsikan tafsir ayat yang termasuk kategori pidana pencederaan
dalam al-Qur’an perspektif analitik dan tematik.
2. Mengungkap pesan-pesan humanisme yang terdapat pada ayat tindak pidana
pencederaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tafsir ayat yang termasuk kategori
pidana pencederaan dalam al-Qur’an perspektif analitik dan tematik
1.
Pengertian tafsir analitik (tahlili)
Tafsir tahlili (analitik) merupakan metode tafsir
ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam
ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan
ayat-ayat tersebut.[1]
Maka, tafsir tahlili merupakan ilmu tafsir yang
menafsirka ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dari ayat per ayat sesuai
urutan pada mushaf utsmani, menjelaskan setiap ayatnya secara
detail yang meliputi beberapa hal antara lain, isi kandungan ayatnya, asbab
al nuzulnya, dan lain-lain.
Metode tafsir Tahlili (analitik) ini sering
dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Namun, sekarangpun
masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas
dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razy,
Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan secara singkat
(ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan
Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan (musawah),
seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury. Semua ulama di
atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan
metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing
berbeda.[2]
2.
Pengertian tafsir tematik (maudhu’i)
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari
kata موضوع yang merupakan isim
maf’ul dari kata وضع yang artinya masalan atau pokok
pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang
dibentangkan ayat-ayat al-Quran. Sehingga berdasarkan perspektif bahasa, secara
sederhana metode tafsir maudhu’i adalah menafsirkan ayat-ayat
al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan.
Bentuk defenisi sesuai kaidah terkait tafsir maudhu’i atau
tematik ini, lebih rinci termaktub dalam rumusan yang dikemukakan oleh Abd
al-Hayy al-Farmawi, yaitu:
جمع الآيات القرآنية ذات الهدف الواحد التي اشتركت في موضوع ما
وترتيبها حسب النزول ما امكن ذلك مع الوقوف على أسباب نزولها ثم تناولها بالشرح
والتعليق والإستــــنــــباط
Tafsir maudhu’i adalah
mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti
sama-sama membahas satu topik masalah dan manyusunnya berdasarkan kronologis
dan sebab turunnya ayta-ayat tersebut, selanjutnya mufassir mulai memberikan
keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.
Sesuai defenisi di atas, baik secara etimologi maupun secara
terminologi dapat difahami bahwa sentral dari metode maudhu’i ini
adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan
memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi
antara satu ayat dengan ayat yang lain serta hal-hal lain yang dapat membantu
memahami ayat, kemudian menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.[3]
3.
Tafsiran ayat yang termasuk kategori
pidana pencedaraan
Ayat yang termasuk kategori pidana
pencedaraan terdapat dalam Q.S. Al-Maidah: 45.
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka
di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
luka (pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, Maka
melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang
yang zalim.
a. Asbabun Nuzul
Di dalam taurat, telah ditetapkan bahwa nyawa harus dibayar nyawa. Orang
yang membunuh tidak dengan alasan yang benar dia dia harus dibunuh pula dengan
tidak memandang siapa yang membunuh dan siapa yang dibunuh: “harus memberi
nyawa nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan,
kaki ganti kaki, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak”.
Sekalipun penetapan tersebut diketahui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi,
namun mereka tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap
memandang adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka
menganggap bahwa golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan
kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah, sehingga apabila seorang dari
golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak
dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu
seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang dari bani Nadir, maka dia harus
dibunuh.
Hal ini merupakan pembangkangan dan
penolakan terhadap petunjuk hukum-hukum Allah yang ada di dalam kitab Taurat
berjalan terus sampai datangnya agama Islam. Setelah Bani Quraizah mengadukan
adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat mereka, kepada Muhammad, oleh beliau
diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A dan si B, antara si golongan A
dan si golongan B di dalam penerapan hukum. Hukum tidak memandang bulu semua
orang harus diperlakukan sama. Mendengar keputusan Rasulullah saw ini, golongan
Bani Nadir merasa diturunkan derajatnya karena telah diperlakukan sama dengan
golongan Bani Quraizah, maka turunlah ayat ini.[4]
Sehingga lebih tepatnya ayat ini pun termasuk cemoohan yang
ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka,
karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan
bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan
sengaja dan menentang. Sebagiamana crita diatas, mereka menghukum qisas seorang
Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang
Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat.
Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan pada
kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan, lalu mereka
menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan mereka sendiri,
yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan.
b. Tafsirnya
Dalam tafsir jalalain telah di jelaskan
(Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka d dalamnya) maksudnya di dalam
Taurat (bahwa jiwa) dibunuh (karena jiwa) yang dibunuhnya (mata) dicongkel
(karena mata, hidung) dipancung (karena hidung, telinga) dipotong (karena
telinga, gigi) dicabut (karena gigi) menurut satu qiraat dengan marfu'nya keempat
anggota tubuh tersebut (dan luka-luka pun) manshub atau marfu' (berlaku qisas)
artinya dilaksanakan padanya hukum balas jika mungkin; seperti tangan, kaki,
kemaluan dan sebagainya. Hukuman ini walaupun diwajibkan atas mereka tetapi
ditaqrirkan atau diakui tetap berlaku dalam syariat kita. (Siapa
menyedekahkannya) maksudnya menguasai dirinya dengan melepas hak qisasnya itu
(maka itu menjadi penebus dosanya) atas kesalahannya (dan siapa yang tidak
memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah) seperti qisas dan lain-lain
(merekalah orang-orang yang aniaya).[5]
Qurais asy-syihab dalam tafsir misbahnya
menjelaskan di dalam
Tawrât, kami mewajibkan hukum qisas kepada orang-orang Yahudi agar kami
memelihara kelangsungan hidup manusia. Kami tetapkan bahwa nyawa dibalas dengan
nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan gigi dengan gigi. Luka-luka
pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula. Barangsiapa memaafkan dan
menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku kejahatan, maka sedekah itu
merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian dosanya. Barangsiapa yang tidak
menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang telah ditetapkan Allah, akan
termasuk orang-orang yang zalim.
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/
Ini adalah ketetapan hukum yang ada di
dalam Taurat dan sekarang isinya juga ada dalam Quran, maka inilah hukum Hudud
yang kita kena pegang dan jalankan. Nyawa yang di bunuh hendaknya dibalas
dengan nyawa juga.
û÷üyèø9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur
Mata dengan mata, maksudnya kalau kita
butakan mata orang lain, maka mata kita akan dibutakan.
y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/
Konsep yang sama juga: hidung dibalas
dengan hidung, telinga dibalas dengan telinga dan gigi dibalas dengan gigi.
Yakni dengan me-nasab-kan lafaz an-nafs dan me-rafa'-kan
lafaz al-‘ain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam
Turmuzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abdullah
ibnul Mubarak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Imam
Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid.
Banyak kalangan ulama ahli usul (ushul fiqih) dan ahli ilmu fiqih
yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah
syariat kita juga apabila diulangi kisahnya (tidak di-mansukh), seperti
pendapat yang terkenal dari jumhur ulama; juga seperti apa yang diriwayatkan
oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas
murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan
kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah menurut
semua imam adalah sejalan dengan ayat tersebut.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab)
dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu
Abu Hatim.
Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat
sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi
Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria
An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi
selainnya. Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam
Syafii dan sebagian besar muridnya, Ia menguatkan pendapat yang mengatakan
sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).
Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam kitab Asy-Syamil
adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang
ditunjukkan oleh maknanya. Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh
karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini.[6]
Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh
Imam Nasai dan lain-lainnya, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw.
menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain
disebutkan padanya:
"أَنَّ الرَّجُلَ
يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ"
Bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita.
"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) darahnya.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib, "Apabila
seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya,
terkecuali jika wali si terbunuh membayar separo diat kepada wali si pembunuh;
karena diat seorang wanita adalah separo diat lelaki." Pendapat inilah
yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya.
Di dalam hadis lain disebutkan:
Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ata, Usman Al-Basti, dan suatu
riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang
wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."
Imam Abu Hanifah
rahimahullah berhujah melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim
dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi, dan seorang yang merdeka dibunuh
karena membunuh seorang budak. Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dengan Abu
Hanifah dalam kedua masalah tersebut. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari
Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Seorang muslim tidak
boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.[7]
Adapun
sehubungan dengan masalah budak, maka banyak dampak yang beraneka ragam dari
ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka
karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh
seorang budak. Banyak hadis yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi
predikatnya tidak sahih. Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang
bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi
dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi)
kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis makna ayat yang mulia ini.
Apa yang
dikatakan oleh Ibnus Sabbag, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh
hadis yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam
Ahmad.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيّ، حَدَّثَنَا حُمَيْد، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ:
أَنَّ الرُّبَيع عَمّة أَنَسٍ كَسَرَتْ ثَنيَّة جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا إِلَى
الْقَوْمِ الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "الْقِصَاصُ". فَقَالَ أَخُوهَا أَنَسُ
بْنُ النَّضْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ؟! فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا
أَنَسُ، كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". قَالَ: فَقَالَ: لَا وَالَّذِي
بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ. قَالَ: فَرَضِيَ
الْقَوْمُ، فَعَفَوْا وَتَرَكُوا الْقِصَاصَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ
عَلَى اللَّهِ لأبَّره".
Disebutkan
bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah
menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' (bibi
Anas) pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi'
meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak.
Kemudian kaum Ar-Rabi" datang kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw.
bersabda, "Hukum qisas." Lalu Saudara lelaki Ar-Rabi' yaitu Anas
ibnun Nadr berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan
merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah Saw. menjawab melalui
sabdanya, "Hai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas
ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan
benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada
akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan
hukum qisas-nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara
hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama
Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafaz yang
semisal.
حَدَّثَنَا
أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ
قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضرة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ غُلَامًا
لِأُنَاسٍ فُقَرَاءَ قَطَعَ أُذُنَ غُلَامٍ لِأُنَاسٍ أَغْنِيَاءَ، فَأَتَى
أَهْلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، إِنَّا أُنَاسٌ فُقَرَاءُ، فَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ شَيْئًا
Imam Abu Daud
meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah
menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami
ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada
seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang
budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak
pidana itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya
kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan
sanksi apa pun terhadapnya.
Hal yang sama
telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu
Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafaz yang sama. Sanad
hadis ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang tsiqah.
Tetapi hadis ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa
sesungguhnya pelaku tindak pidana adalah orang yang usianya belum mencapai
balig, maka ia tidak terkena hukum qisas. Dan barangkali Nabi Saw. sendirilah
yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum yang miskin
untuk diberikan kepada budak kaum yang hartawan, atau barangkali Nabi Saw.
sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum yang
miskin.
Kemudian
lanjutanya ayat:
y ÒÉ$|ÁÏ%yrãàfø9$#ur
Semua luka-luka pada badan ada qisasnya.
Kalau menjadikan orang lain luka di perut, orang yang dilukai tersebut juga
boleh melukan kembali kepada orang yang melukainya di perut juga.
Ali ibnu Abu
Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena
membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain,
hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan
karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi
sebagai hukum qisas.
Dalam ketentuan
hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka (baik yang laki-laki maupun
yang wanita) disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana
dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun sebawahnya. Para
budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara
sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang
menyangkut jiwa atau sebawahnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Pelukaan adakalanya
terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya
hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau
telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi.
Adapun jika
pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut
Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali
jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena
dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.
Imam Abu
Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun
dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi. Imam Abu
Hanifah berpedoman pada hadis Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia
menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang
kecuali mengenai gigi.
Imam Syafii
mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa
pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang
diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas. Hal yang sama telah dikatakan
oleh Ata, Asy-Sya'bi, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan
Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan As-Sauri, Al-Lais ibnu
Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad. Tetapi hadis Ar-Rabi'
tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi “mematahkan gigi seri
seorang budak wanita”. Padahal gigi dapat tertanggalkan tanpa
mengalami patah; maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut
kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh
Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari
Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi.[8]
أَنَّ رَجُلًا
ضَرَبَ رَجُلًا عَلَى سَاعِدِهِ بِالسَّيْفِ مِنْ غَيْرِ الْمَفْصِلِ،
فَقَطَعَهَا، فَاسْتَعْدَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
فَأَمَرَ لَهُ بِالدِّيَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُريد الْقِصَاصَ.
فَقَالَ: "خُذِ الدِّيَةَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا". وَلَمْ يَقْضِ
لَهُ بِالْقِصَاصِ.
Disebutkan
bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada
bagian lengannya, bukan pada pergelangannya,hingga lengannya patah. Kemudian
lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw.
memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai
Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi Saw. bersabda, "Terimalah
diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah Saw.
tidak memutuskan hukum qisas baginya.
Syekh Abu Umar
ibnu Abdul Bar mengatakan, hadis ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad
ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai daif,
hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun
seorang Badui yang berpredikat daif, tetapi ayahnya yaitu Jariyah ibnu Zafar
disebutkan berpredikat sahabat.
Kemudian mereka
mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan
sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh); karena jika dia melakukan
hukum qisas (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu
bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya.
Dalil yang
menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَنَّ رَجُلًا
طَعَنَ رَجُلًا بِقَرْنٍ فِي رُكْبَتِهِ، فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَقِدْنِي. فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: "لَا تَعْجَلْ حَتَّى يَبْرَأَ جُرْحُكَ". قَالَ: فَأَبَى
الرَّجُلُ إِلَّا أَنْ يَسْتَقِيدَ، فَأَقَادَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ، قَالَ: فَعَرَجَ الْمُسْتَقِيدُ وَبَرَأَ الْمُسْتَقَادُ مِنْهُ، فَأَتَى
الْمُسْتَقِيدُ إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لَهُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، عَرَجْتُ وَبَرَأَ صَاحِبِي. فَقَالَ: "قَدْ نَهَيْتُكَ
فَعَصَيْتَنِي، فَأَبْعَدَكَ اللَّهُ وَبَطَلَ عَرَجُكَ". ثُمَّ نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ جُرْحٍ
حَتَّى يَبْرَأَ صَاحِبُهُ.
bahwa pernah
terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang
ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qisas
kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh."
Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas" maka
Nabi Saw. memberikan hak qisas kepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata,
"Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw.
bersabda: Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu
mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan
membatalkan (hak qisas) kepincanganmu. Kemudian Rasulullah Saw. melarang
melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah
sembuh dari lukanya.
Hadis
diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Seandainya orang yang dilukai
melakukan hukum qisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang
yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada
kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik,
Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh
jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam
Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang
melakukan hukum qisas.
Amir,
Asy-Sya'bi, Ata,Tawus; Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila,
Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan, wajib diat yang
dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas. Ibnu
Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti
mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukum qisas diat yang
seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari
harta benda miliknya.
Kemudian
lanjutanya ayat:
`yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©!
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus
dosa baginya. Maksudnya, setiap yang dimaafkan, maka dia kena bayar diyat
kepada orang yang dizalimi itu. Pembayaran diyat itu sebagai penutup dosa bagi
dia. Ia hanya membayar kaffarah. Dan mereka yang memaafkan, akan
mendapat pahala kerana memberi maaf itu. maksudnya, apabila seseorang itu
memberi maaf, dosanya akan diampunkan kerana memberi maaf itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Qais
ibnu Muslim; telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan
Syu'bah.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ،
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ مُحَمَّدٍ المُجَاشِعي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ
بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
سُلَيْمَانَ الجُعْفي، حَدَّثَنَا مُعلَّى -يَعْنِي ابْنَ هِلَالٍ -أَنَّهُ سَمِعَ
أَبَانَ بْنَ تَغْلِبَ، عَنْ أَبِي الْعُرْيَانِ الْهَيْثَمِ بْنِ الْأَسْوَدِ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -وَعَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنِ
الشَّعْبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ}
قَالَ: هُوَ الَّذِي تُكْسَرُ سِنَّهُ، أَوْ تُقْطَعُ يَدُهُ، أَوْ يُقْطَعُ
الشَّيْءُ مِنْهُ، أَوْ يُجْرَحُ فِي بَدَنِهِ فَيَعْفُو عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ
فَيُحَطّ عَنْهُ قَدْرُ خَطَايَاهُ، فَإِنْ كَانَ رُبْعُ الدِّيَةِ فَرُبْعُ
خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَ الثُّلْثُ فَثُلْثُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتِ
الدِّيَةُ حَطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَذَلِكَ
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad
ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad
Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj
Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah
menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar
Aban ibnu Taglab menceritakan hadis berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul
Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari
seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna
firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Nabi Saw. bersabda: Dia
adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari
tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, Maka
dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang
dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya:
jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya: dan jika
seluruh diat. maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.
Kemudian lanjutanya ayat:
`tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$#
Dan barang siapa yang tidak menghukum
dengan hukum yang Allah telah barikan sebagiamana yang telah termaktub dalam
ayat tersebut, maka dianggap sebagai kedzaliman. Ayat ini tentang keadilan dan
dianggap sebagai orang yang zalim apabila tidak melakukan keadilan. Kerana ada
hak orang lain yang tidak dipenuhi, yaitu orang yang patut dan pantas mendapat
hak untuk balas balik, tidak mendapat hak itu. Dalam perkara yang telah
diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan memberlakukan secara sama
diantara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan dan berbuat dzalim.[9]
Pada ayat ini terlihat bagaimana watak orang yahudi yang menyalahi
hukum Allah sebagaimana yang tertera dalam kitab Taurat dengan menentang secara
sengaja. Hal demikian terlihat ketika mereka melaksanakan denda terhadap Bani
Nadzir jika membunuh seorang Bani Quraidhah, karena itu apabila bani quraidhah
membunuh Bani Nadzir, mereka tidak dibenarkan membayar denda, melainkan mesti
diqishas. Disini jelas-jelas tidak adil karena mereka memakai hukum sendiri
yang cenderung mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan hukum yang telah
ditetapkan Allah dalam kitab Taurat. Juga merekatelah menyalahi hukum
rajam yang tersebut dalam Taurat terhadap perzinaan muhshan dan mereka ganti
dengan dera dan membuat malu dengan dibedaki hitam dan dibawa keliling di
pasar-pasar. Karena itu Allah berfirman “ siapa yang tidak berhukum menurut
apa yang telah diturunkan Allah dengan sengaja mengingkarinya, maka mereka
kafir” Karena kesengajaan dan tantangannya terhadap hukum Allah dan disini
Allah menyebut : “Waman lam yahkum bimaa anzala Allahu fa ulaaika humudh
dhalimun.” Mereka dianggap zalim, karena mereka tidak berlaku adil terhadap
orang-orang yang dianiaya untuk dimintakan haknya dari penganiayaannya.[10]
Memang hukuman qisas tercantum dalam kitab Taurat yang sekarang
beredar dapat ditemui hukum-hukum itu, yang tersebut di dalam kitab keluaran
fasal 21, ayat 23-25.
23. Tetapi jikalau
ada bahaya kematian sertanya, maka seharusnya jiwa diganti dengan jiwa
24. Mata diganti
mata, gigi di ganti gigi, tangan diganti tangan, kaki diganti kaki
25. Keturunan diganti keturunan, luka diganti luka, bincut diganti bincut.[11]
Sedang
pada kitab imamat orang Lewi, pasal 24 dikatakan:
·
Barang siapa yang memalu orang sampai mati, maka ia pun harus mati
dibunuh.
·
Barang siapa yang telah membunuh binatang orang lain, ia akan
memberi gantinya, binatang diganti binatang.
·
Barang siapa yang telah merusakkan tubuh sesama manusia, maka
sekedar perbuatanya hendaklah di perbuat untuk dia juga.
·
Luka diganti luka, mata diganti mata, gigi diganti gigi, barang
siapa yang mencelakai tubuh orang, maka harus di datangkan celaka atasnya.[12]
Akan tetapi ayat tersebut
mengatakan “Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, Maka melepaskan hak itu
(menjadi) penebus dosa baginya”. Yakni bahwa Allah mengahpuskan dosa-dosa dan
memaafkanya, sebagaimana dia telah memaafkan saudaranya. Sebagimana firman
Allah yang berbunyi:
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)G=Ï9
Dan sikapmu yang memaafkan itu lebih dekat kepada taqwa.
Ubadah
bin samit meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. Bersabda :
مَنْ تَصَدَّقَ
مِنْ جَسَدِهِ بِشَيْءٍ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَدْرِهِ مِنْ ذُنُوبِهِ
Barang siapa
melepaskan hak qisas akan sebagian dari tubuhnya, maka Allah ta’ala
menghapuskan dosa-dosanya seukuran bagian tubuhnya itu.[13]
B.
Mengungkap pesan-pesan humanisme yang
terdapat pada ayat tindak pidana pencederaan.
1.
Pengertian Humanisme
Humanisme sebagai sebuah aliran filsafat yang bertolak dari faham
antropomorfisme.[14]
Sering dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang bertolak dari keimanan dan kepercayaan adanya
Allah. Kalangan humanis memandang manusia sebagai penguasa alam semesta
sehingga menolak eksistensi Tuhan. Mereka bahkan “menuhankan” manusia.
Humanisme berasal dari latin, yaitu humanis yang artinya manusia,
dan isme yang berarti paham atau aliran. Humanisme menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia yaitu aliran yg bertujuan menghidupkan rasa prikemanusiaan dan
mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.[15]
Humanisme (kemanusiaan), dalam kamus umum diartikan sebagai “sebuah sistem
pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk
yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural
manapun”.[16]
Dari definisi humanisme di atas, para humanis menganggap bahwa manusia
adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam
kehidupannya. Di Eropa, sudut pandang ini pada hakikatnya telah melahirkan,
bahkan memperkuat,pandangan materialistik yang berujung pada pencarian
kenikmatan hidup (hedonisme) yang muara akhirnya adalah menciptakan absurdisme
yang merasuki seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat. Kalau
pandangan tentang dunia religius ortodoks akan melahirkan cara pandang yang
serba keakhiratan dan pengkerdilan peran manusia, maka pandangan materialistik
hanya mendasarkan semata-mata pada ilmu. Pandangan tentang dunia materialistik
menemukan alam semesta sebagai absurd, tanpa pemilik dan tanpa makna, sedangkan
pandangan hidup religius ekstrim memerosotkan manusia menjadi makhluk yang
sepele.[17]
2.
Tindak pidana pencederaan
Dalam KUHP tidak ada penjelsan tentang tindak pidana pencederaan, yang ada
adalah tindak pidana penganiayaan, secara umum tindak pidana terhadap tubuh
disebut penganiayaan. Menurut ilmu pengetahuan, penganiayaan ialah dengan
sengaja menimbulkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain.[18]
Dalam hukum Islam ada dua istilah yang biasa digunakan untuk tindak pidana
yaitu jarimah dan jinayah. Jarimah
adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam Allah dengan
hukuman had atau ta’zir, sedangkan jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh
syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Akan tetapi
kebanyakan fuqaha’ menggunakan istilah jinayah hanya untuk perbuatan-perbuatan
yang mengancam keselamatan jiwa, seperti penganiayaan, pembunuhan, dan
sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha’ yang membatasi istilah jinayah kepada
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan
hukuman hudud dan qisas saja.[19] Suatu
perbuatan dianggap sebagai jarimah karena perbuatan tersebut merugikan terhadap
tata aturan masyarakat, kepercayaan dan agamanya, harta benda, nama baiknya,
serta pada umumnya merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat.[20]
Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang
berasal dari kata عقب , yaitu sesuatu yang datang setelah yang
lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya
pelanggaran atas ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang
yang melakukan kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh
orang muslim atau yang lainnya.[21] Hukuman merupakan suatu
cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara ketertiban dan
ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan sebagai alat penegak
untuk kepentingan masyarakat.[22]
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari
perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun
untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya
hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika
kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat
begitu pula sebaliknya.[23]
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai
berikut:[24]
1.
Pelaku berakal
2.
Sudah mencapai umur baligh
3.
Motivasi kejahatan disengaja
4.
Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan orang yang
melukai.
Yang dimaksud
dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh
sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau
memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir
zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara
sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di
dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya
terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong,
melukai serupa dengan anggota yang terluka.[25] Kecuali jika korban
menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat
disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:
1.
Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada
kebohongan maka tidak boleh diqisas,
2.
Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin
dilakukan, maka diganti dengan diyat,
3.
Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik
dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan
karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong
jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
4.
Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal
kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena
memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai
mata yang sudah buta
5.
Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka
tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan
setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak
dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam
jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.
3.
Pesan-pesan humanisme yang terdapat dalam
Q.S. Al-Maidah: 45
Al Qur`an mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang salah
satunya adalah mengatur tentang tindak pidana atau disebut dengan jinayah. Jinayah
yang termaktub dalam Al Qur`an mengatur secara rinci baik kategori, hukuman,
maupun proses penetapan hukum terhadap pelaku tindak pidana (jinayah), dalam
hal ini sesuai dengan Q.S Al-Maidah :45 adalah tindak pidana yang berupa
Jaraimul qishash, yaitu kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau
diyat.
Allah Maha adil dan tidak ingin ada hambanya yang berlaku dzalim terhadap
yang lain, sehingga pada potongan ayat dinyatakan “ Wal juruukha
qishash : Dan semua kejahatan dibalas sesuai dengan perbuatan, yakni
pembunuhan dengan pembunuhan, mencungkil mata dibalas dengan cungkil mata,
memotong telinga dibalas dengan memotong telinga, mencabut gigi dibalas dengan
dicabut gigi dan melukai dibalas dengan dilukai. Adanya tindakan dengan
memberikan setiap pembalasan yang setimpal atas penganiayaan yang dilakukan
dengan sengaja terhadap seseorang yang akan di qishash, kecuali pihak yang
bersangkutan memaafkannya. Jadi, semua telah terdapat kadar dan batasan yang
telah Allah tetapkan.
Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana bukan bermaksud balas
dendam atau kebencian, tetapi sebagai pemberian hak. Baik hak Allah, hak yang
ter-aniaya, maupun hak yang menganiaya. Sehingga Allah menurunkan mengenai qishash, dengan didasarkan pada rumus keadilan
dan perasaan hak antara sesama manusia. Sebagaimana Allah berfirman
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan ( yang menengah ) agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu.
Dalam ayat tersebut terdapat kalimat “ faman tashoddaqo bihii
fahuwa kaffarotun lahuu” yang artinya Barangsiapa yang melepaskan (hak
qisas)nya, maka dengan melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya,
Maksudnya, setiap yang dimaafkan, maka dia kena bayar diyat kepada orang yang
dizalimi itu. Pembayaran diyat itu sebagai penutup dosa baginya dengan hanya
membayar kaffarah. Dan bagi mereka yang memaafkan (memberi maaf), akan
mendapat pahala dan diampuni dosanya karena pemberian maaf tersebut.
Kesimpulan ayat 45 surat Al-Maidah ini selain memberikan aturan
hukum yang tegas, juga memberikan peluang yang sangat besar bagi orang yang ter-aniaya
untuk memberikan maaf kepada orang yang meng-aniaya, sehingga ayat ini sangat
memberikan pesan humanisme, dimana mampu beralaku adil kepada semua pihak yang
bersangkutan, baik yang teraniaya maupun yang menganiaya (dalam kasus pencederaan).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1. Penjatuhan hukuman qisas tidak pandang bulu, tidak mengenal adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Sebagiamana yang
dianggap oleh golongan yahudi dengan anggapan bahwa golongan Yahudi Bani Nadir
lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah,
sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari
golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat.
Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah membunuh
seorang dari bani Nadir, maka dia harus dibunuh. ini hanyalah alasan
pembangkangan dan penolakan mereka Bani Nadir terhadap petunjuk hukum-hukum
Allah yang ada di dalam kitab Taurat.
2. Q.S. surat Al-Maidah ayat 45 menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang
telah berbuat dzalim kepada saudaranya (orang lain), dengan hukuman yang
setimpal atau yang sejenis dengan perbuatan dzalimnya yang biasa dikenal dengan
sebutan qishah.
Hukuman qishah yang terdapat dalam ayat
tersebut merupakan wujud keadilan Allah swt. Terhadap semua hambanya, agar
tidak saling mendzalimi antara yang satu dengan yang lain. Disamping memberikan
hukuman qishas, ayat tersebut juga memberikan tawaran kepada orang yang
teraniaya untuk memberikan maaf kepada orang yang menganiaya (mencederai)
dengan imbalan ampunan dosa dan pemberian pahala sesuai kadar penganiayaan yang
dialaminya. Sehingga dengan demikian ayat tersebut mampu berlaku adil baik bagi
yang teraniaya maupun yang menganiaya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Shari’ati, Man In
Islam,terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2001.
Abdurrahman I
Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Djazuli, Ahmad. Fiqih
Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1997.
Hatsin, Abu. Kata
Pengantar buku Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Hasan, Ali
Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1994.
Imam jalaluddin
muhammad bin ahmad al-mahlly, Tafsir jalalain, Jakarta: al- Haromain
Jaya Indonesia, 2008, juz 1.
Jalaluddin,
Imam Al-Mahalli,dkk. Tafsir Jalalain,Bandung, Sinar Baru Algesindo,
2003.
Jean Paul Sartre,
Eksistensialisme dan Humanisme terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Mushthafa,
Ahmad Al-Maraghi, terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha
Putra, 1993, cet. Kedua.
M. Abdul Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor:
Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003, Juz 6.
Nashruddin
Ba’idan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh UHIV ,
1998.
Nushruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka
Pelajar, 1988.
Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015. Cet. Pertama.
Syaikh
Syafiyurrahman Al-Mubaraq, terj. Tafsir Ibnu Katsir,Bogor,Pustaka
Ibnu Katsir,2006.
The Encyclopaedia
Britannica, Vol. 13,New York: The Encyclopaedia Britannica, Inc., 1911.
Wardi, Ahmad Muslich, Pengantar
dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
[1] Nashruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh UHIV,
1998, hal. 31
[2] Ali Hasan
Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada,1994 , hal. 41-42
[3] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran
al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar 1988, hal. 2
[5] Imam
jalaluddin muhammad bin ahmad al-mahlly, Tafsir jalalain, Jakarta: al-
Haromain Jaya Indonesia, 2008, juz 1, hal. 102
[6] M.Abdul
Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam
Asy-Syafi’i, 2003, Juz 6, hal. 95-96
[7] Imam
Jalaluddin Al-Mahalli,dkk,Tafsir Jalalain, Bandung :Sinar Baru
Algesindo,2003, hal.190
[8] M.Abdul
Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Juz 6, hal. 96-97
[9] M.Abdul
Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, juz 6, hal. 95
[10] Syaikh
Syafiyurrahman Al-Mubaraq, terj. Tafsir Ibnu Katsir, Bogor,Pustaka
Ibnu Katsir,2006, hal.103
[11] Prof. Dr.
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015. Cet. Pertama, hal. 702
[12] Ahmad
Mushthafa Al-Maraghi, terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya
Toha Putra, 1993, cet. Kedua, hal. 231
[13] Ibid. hal. 232
[14] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme
dan Humanisme terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002, hal. 103
[16] The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13,New York: The Encyclopaedia
Britannica, Inc., 1911, hal. 872
[17] Ali Shari’ati, Man In Islam,terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan
Muslim, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 22-24
[18] R Soesilo,
KUHP serta komentar lengkap, bogor: politea, hal. 245
[19] Ahmad Djazuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 1
[20] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih
Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 14
[21] Abdurrahman I
Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992,
hal. 6
[22] A. Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana., hal. 55
[23] Ahmad Jazuli, Fiqh
Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam, hal. 26-27
[24] As-Sayyid
Sabiq, Fiqh., III :hal. 38
[25] Abu Bakar
Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hal. 425.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar