Senin, 02 April 2018

humanisme al-quran dibalik tindak pidana pencederaan


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Manusia mempunyai derajat yang mulia, agung, dan tinggi, karena Islam telah memuliakannya. Hal ini ditunjukkan melalui beberapa ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang posisi manusia dibanding makhluk-makhluk yang lain, sehingga ayat-ayat itu mengukuhkan kehormatannya dan mengangkat drajadnya serta kedudukannya. Allah memuliakan manusia  melebihi semua makhluk lainnya dan memilihnya untuk menjadi makhluk yang paling mulia di alamsemesta ini, mendidiknya serta mentakdirkannya menjadi kholifah (pemimpin), sehingga kedudukannya melebihi malaikat, karena dianugrahkan kepadanya akal, kemudian menjadi berilmu, berfikir (ulul albab), makhluk yang intelektual. Hingga pada akhirnya di berikanlah amanah, beban tangung jawab yang besarnya melebihi gunung, bumi dan langit. Karena Allah telah mengistimewakannya dengan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh malaikat, maka ia dimintai tanggung jawab dan diharuskan memikul amanah dimana langit yang luas dan gunung-gunung yang besar pun enggan mengembannya, harapanya manusia mampu memikul amanah tersebut, dengan menanami benih-benih kebajikan dan membangunnya dengan keadilan, kasih sayang serta perdamaian untuk kebaikan alam dan sekitarnya.
Untuk mewujudkan harapan yang mulia tersebut, maka tidaklah salah adanya aturan-aturan yang tegas di dalam Al-Qur’an terkait masalah pelanggaran HAM (hak asasi manusia). Diantaranya aturan tentang tindak pidana pembunuhan (qishash atau diyat), tindak pidana pencurian (potong tangan), tindak pidana bagi pelaku zina (hukum cambuk atau rajam), serta tindak pidana-pidana yang lain sebagai upaya untuk menjaga dan melestarikan hak-hak asasi manusia, sehingga terciptanya kehidupan yang harmonis dan dapat menjalankan tugasnya sebagai pemimpin dengan sebaik-baiknya.
Adanya aturan-aturan yang tegas didalam Al-Qur’an tersebut, tampaknya menimbulkan pro dan kontra, baik di kalngan umat Islam sendiri maupun di kalangan orientalis. Alasan bagi yang setuju dengan aturan tersebut, mereka menganggap dengan ditegakkanya hukuman sebagaimana yang telah terdapat pada al-Quran dengan gamblang dan jelas dari segi lafadznya, maka kehidupan ini akan teratur, damai, dan sejahtera karena tidak akan ada satupun manusia yang berani berbuat tindak kejahatan (kriminal) di bumi ini. Sedangkan disisi lain nampaknya terdapat banyak argumen-argumen, alasan-alasan bagi yang kontra dengan diterapakanya aturan tersebut, salah satunya adalah karena melanggar HAM, anggapan mereka aturan tersebut sangatlah sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Oleh sebab itu, penulis pada makalah ini akan mencoba memaparkan sisi humanisme dibalik ayat-ayat tindak pidana yang terdapat dalam Al-Qur’an.

B.     Rumusan Masalah
Sesuai dengan latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka timbullah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana tafsir ayat yang termasuk kategori pidana pencederaan dalam al-Qur’an perspektif analitik dan tematik?
2.      Apa pesan-pesan humanisme yang terdapat pada ayat tindak pidana pencederaan tersebut?
C.  Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan tafsir ayat yang termasuk kategori pidana pencederaan dalam al-Qur’an perspektif analitik dan tematik.
2.      Mengungkap pesan-pesan humanisme yang terdapat pada ayat tindak pidana pencederaan.










BAB II
PEMBAHASAN

A.    Tafsir ayat yang termasuk kategori pidana pencederaan dalam al-Qur’an perspektif analitik dan tematik
1.        Pengertian tafsir analitik (tahlili)
Tafsir tahlili (analitik) merupakan metode tafsir ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala aspek yang terkandung di dalam ayat-ayat yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya, sesuai dengan keahlian dan kecenderungan mufasir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut.[1]
Maka, tafsir tahlili merupakan ilmu tafsir yang menafsirka ayat-ayat Al-Qur’an secara berurutan dari ayat per ayat sesuai urutan pada mushaf utsmani, menjelaskan setiap ayatnya secara detail yang meliputi beberapa hal antara lain, isi kandungan ayatnya, asbab al nuzulnya, dan lain-lain.
Metode tafsir Tahlili (analitik) ini sering dipergunakan oleh kebanyakan ulama pada masa-masa dahulu. Namun, sekarangpun masih digunakan. Para ulama ada yang mengemukakan kesemua hal tersebut di atas dengan panjang lebar (ithnab), seperti Al-Alusy, Al-Fakhr Al-Razy, Al-Qurthuby dan Ibn Jarir Al-Thabary. Ada juga yang menemukakan secara singkat (ijaz), seperti Jalal al-Din Al-Shuyuthy, Jalal al-Din Al-Mahally dan Al-Sayyid Muhammad Farid Wajdi. Ada pula yang mengambil pertengahan (musawah), seperti Imam Al-Baydlawy, Syeikh Muhammad ‘Abduh, Al-Naysabury. Semua ulama di atas sekalipun mereka sama-sama menafsirkan Al-Qur’an dengan menggunakan metode Tahlili, akan tetapi corak Tahlili masing-masing berbeda.[2]
2.        Pengertian tafsir tematik (maudhu’i)
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yang merupakan isim maf’ul dari kata وضع yang artinya masalan atau pokok pembicaraan, yang berkaitan dengan aspek-aspek kehidupan manusia yang dibentangkan ayat-ayat al-Quran. Sehingga berdasarkan perspektif bahasa, secara sederhana metode tafsir maudhu’i  adalah menafsirkan ayat-ayat al-Quran berdasarkan tema atau topik pemasalahan.
Bentuk defenisi sesuai kaidah terkait tafsir maudhu’i atau tematik ini, lebih rinci termaktub dalam rumusan yang dikemukakan oleh Abd al-Hayy al-Farmawi, yaitu:
جمع الآيات القرآنية ذات الهدف الواحد التي اشتركت في موضوع ما وترتيبها حسب النزول ما امكن ذلك مع الوقوف على أسباب نزولها ثم تناولها بالشرح والتعليق والإستــــنــــباط
Tafsir maudhu’i  adalah mengumpulkan ayat-ayat al-Quran yang mempunyai maksud yang sama, dalam arti sama-sama membahas satu topik masalah dan manyusunnya berdasarkan kronologis dan sebab turunnya ayta-ayat tersebut, selanjutnya mufassir mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil  kesimpulan.
Sesuai defenisi di atas, baik secara etimologi maupun secara terminologi dapat difahami bahwa sentral dari metode maudhu’i  ini adalah menjelaskan ayat-ayat yang terhimpun dalam satu tema dengan memperhatikan urutan tertib turunnya ayat tersebut, sebab turunnya, korelasi antara satu ayat dengan ayat yang lain serta hal-hal lain yang dapat membantu memahami ayat, kemudian menganalisnaya secara cermat dan menyeluruh.[3]
3.        Tafsiran ayat yang termasuk kategori pidana pencedaraan
Ayat yang termasuk kategori pidana pencedaraan terdapat dalam Q.S. Al-Maidah: 45.
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ  
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
a.       Asbabun Nuzul
Di dalam taurat, telah ditetapkan bahwa nyawa harus dibayar nyawa. Orang yang membunuh tidak dengan alasan yang benar dia dia harus dibunuh pula dengan tidak memandang siapa yang membunuh dan siapa yang dibunuh: “harus memberi nyawa nyawa ganti nyawa, mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak”.
Sekalipun penetapan tersebut diketahui oleh orang-orang Nasrani dan Yahudi, namun mereka tetap tidak mau menjalankan dan melaksanakannya. Mereka tetap memandang adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Mereka menganggap bahwa golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah, sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang dari bani Nadir, maka dia harus dibunuh.
 Hal ini merupakan pembangkangan dan penolakan terhadap petunjuk hukum-hukum Allah yang ada di dalam kitab Taurat berjalan terus sampai datangnya agama Islam. Setelah Bani Quraizah mengadukan adanya perbedaan kelas di dalam masyarakat mereka, kepada Muhammad, oleh beliau diputuskan bahwa tidak ada perbedaan antara si A dan si B, antara si golongan A dan si golongan B di dalam penerapan hukum. Hukum tidak memandang bulu semua orang harus diperlakukan sama. Mendengar keputusan Rasulullah saw ini, golongan Bani Nadir merasa diturunkan derajatnya karena telah diperlakukan sama dengan golongan Bani Quraizah, maka turunlah ayat ini.[4]
Sehingga lebih tepatnya ayat ini pun termasuk cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan sengaja dan menentang. Sebagiamana crita diatas, mereka menghukum qisas seorang Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat. Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan pada kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan, lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan.
b.      Tafsirnya
Dalam tafsir jalalain telah di jelaskan
(Dan telah Kami tetapkan terhadap mereka d dalamnya) maksudnya di dalam Taurat (bahwa jiwa) dibunuh (karena jiwa) yang dibunuhnya (mata) dicongkel (karena mata, hidung) dipancung (karena hidung, telinga) dipotong (karena telinga, gigi) dicabut (karena gigi) menurut satu qiraat dengan marfu'nya keempat anggota tubuh tersebut (dan luka-luka pun) manshub atau marfu' (berlaku qisas) artinya dilaksanakan padanya hukum balas jika mungkin; seperti tangan, kaki, kemaluan dan sebagainya. Hukuman ini walaupun diwajibkan atas mereka tetapi ditaqrirkan atau diakui tetap berlaku dalam syariat kita. (Siapa menyedekahkannya) maksudnya menguasai dirinya dengan melepas hak qisasnya itu (maka itu menjadi penebus dosanya) atas kesalahannya (dan siapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah) seperti qisas dan lain-lain (merekalah orang-orang yang aniaya).[5]
Qurais asy-syihab dalam tafsir misbahnya menjelaskan di dalam Tawrât, kami mewajibkan hukum qisas kepada orang-orang Yahudi agar kami memelihara kelangsungan hidup manusia. Kami tetapkan bahwa nyawa dibalas dengan nyawa, mata dengan mata, hidung dengan hidung dan gigi dengan gigi. Luka-luka pun sedapat mungkin dikenakan kisas pula. Barangsiapa memaafkan dan menyedekahkan hak kisasnya terhadap pelaku kejahatan, maka sedekah itu merupakan kafarat yang dapat menghapus sebagian dosanya. Barangsiapa yang tidak menerapkan hukum kisas dan lain-lainnya yang telah ditetapkan Allah, akan termasuk orang-orang yang zalim.
$oYö;tFx.ur öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/
Ini adalah ketetapan hukum yang ada di dalam Taurat dan sekarang isinya juga ada dalam Quran, maka inilah hukum Hudud yang kita kena pegang dan jalankan. Nyawa yang di bunuh hendaknya dibalas dengan nyawa juga.
û÷üyèø9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur
Mata dengan mata, maksudnya kalau kita butakan mata orang lain, maka mata kita akan dibutakan.
y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/
Konsep yang sama juga: hidung dibalas dengan hidung, telinga dibalas dengan telinga dan gigi dibalas dengan gigi.
Yakni dengan me-nasab-kan lafaz an-nafs dan me-rafa'-kan lafaz al-‘ain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib. Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid.
Banyak kalangan ulama ahli usul (ushul fiqih) dan ahli ilmu fiqih yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita juga apabila diulangi kisahnya (tidak di-mansukh), seperti pendapat yang terkenal dari jumhur ulama; juga seperti apa yang diriwayatkan oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah menurut semua imam adalah sejalan dengan ayat tersebut.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab) dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi selainnya. Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam Syafii dan sebagian besar muridnya, Ia menguatkan pendapat yang mengatakan sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).
Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam ki­tab Asy-Syamil adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang ditunjukkan oleh maknanya. Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini.[6]
Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dan lain-lainnya, yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain disebutkan padanya:
"أَنَّ الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ"
Bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita.
"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"
Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) darahnya.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya, terkecuali jika wali si terbunuh membayar separo diat kepada wali si pembunuh; karena diat seorang wanita adalah separo diat lelaki." Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya. Di dalam hadis lain disebutkan:
Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ata, Usman Al-Basti, dan suatu riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."
Imam Abu Hanifah rahimahullah berhujah melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi, dan seorang yang merdeka dibunuh karena membunuh seorang budak. Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dengan Abu Hanifah dalam kedua masalah tersebut. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:
"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"
Seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.[7]
Adapun sehubungan dengan masalah budak, maka banyak dampak yang beraneka ragam dari ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh seorang budak. Banyak hadis yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi predikatnya tidak sahih. Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi) kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis makna ayat yang mulia ini.
Apa yang dikatakan oleh Ibnus Sabbag, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh hadis yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيّ، حَدَّثَنَا حُمَيْد، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ الرُّبَيع عَمّة أَنَسٍ كَسَرَتْ ثَنيَّة جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا إِلَى الْقَوْمِ الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "الْقِصَاصُ". فَقَالَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَنَسُ، كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". قَالَ: فَقَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ. قَالَ: فَرَضِيَ الْقَوْمُ، فَعَفَوْا وَتَرَكُوا الْقِصَاصَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأبَّره".
Disebutkan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' (bibi Anas) pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi' meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak. Kemudian kaum Ar-Rabi" datang kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hukum qisas." Lalu Saudara lelaki Ar-Rabi' yaitu Anas ibnun Nadr berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya, "Hai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus­mu dengan benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan hukum qisas-nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.
Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafaz yang semisal.
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضرة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ غُلَامًا لِأُنَاسٍ فُقَرَاءَ قَطَعَ أُذُنَ غُلَامٍ لِأُنَاسٍ أَغْنِيَاءَ، فَأَتَى أَهْلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا أُنَاسٌ فُقَرَاءُ، فَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ شَيْئًا
Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak pidana itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadapnya.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafaz yang sama. Sanad hadis ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang tsiqah. Tetapi hadis ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya pelaku tindak pidana ada­lah orang yang usianya belum mencapai balig, maka ia tidak terkena hukum qisas. Dan barangkali Nabi Saw. sendirilah yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum yang miskin untuk diberikan kepada budak kaum yang hartawan, atau barangkali Nabi Saw. sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum yang miskin.
Kemudian lanjutanya ayat:
y ÒÉ$|ÁÏ%yrãàfø9$#ur
Semua luka-luka pada badan ada qisasnya. Kalau menjadikan orang lain luka di perut, orang yang dilukai tersebut juga boleh melukan kembali kepada orang yang melukainya di perut juga.
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain, hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi sebagai hukum qisas.
Dalam ketentuan hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka (baik yang laki-laki maupun yang wanita) disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun sebawahnya. Para budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa atau sebawahnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.
Pelukaan adakalanya terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi.
Adapun jika pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.
Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi. Imam Abu Hanifah berpedoman pada hadis Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang kecuali mengenai gigi.
Imam Syafii mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Asy-Sya'bi, Al-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad. Tetapi hadis Ar-Rabi' tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi “mematahkan gigi seri seorang budak wanita”. Padahal gigi  dapat tertanggalkan tanpa mengalami patah; maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi.[8]
أَنَّ رَجُلًا ضَرَبَ رَجُلًا عَلَى سَاعِدِهِ بِالسَّيْفِ مِنْ غَيْرِ الْمَفْصِلِ، فَقَطَعَهَا، فَاسْتَعْدَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَ لَهُ بِالدِّيَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُريد الْقِصَاصَ. فَقَالَ: "خُذِ الدِّيَةَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا". وَلَمْ يَقْضِ لَهُ بِالْقِصَاصِ.
Disebutkan bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada bagian lengannya, bukan pada pergelangannya,hingga lengannya patah. Kemudian lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi Saw. bersabda, "Terimalah diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah Saw. tidak memutuskan hukum qisas baginya.
Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, hadis ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai daif, hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun se­orang Badui yang berpredikat daif, tetapi ayahnya yaitu Jariyah ibnu Zafar disebutkan berpredikat sahabat.
Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh); karena jika dia melakukan hukum qisas (pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya.
Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:
أَنَّ رَجُلًا طَعَنَ رَجُلًا بِقَرْنٍ فِي رُكْبَتِهِ، فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَقِدْنِي. فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَعْجَلْ حَتَّى يَبْرَأَ جُرْحُكَ". قَالَ: فَأَبَى الرَّجُلُ إِلَّا أَنْ يَسْتَقِيدَ، فَأَقَادَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ، قَالَ: فَعَرَجَ الْمُسْتَقِيدُ وَبَرَأَ الْمُسْتَقَادُ مِنْهُ، فَأَتَى الْمُسْتَقِيدُ إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عَرَجْتُ وَبَرَأَ صَاحِبِي. فَقَالَ: "قَدْ نَهَيْتُكَ فَعَصَيْتَنِي، فَأَبْعَدَكَ اللَّهُ وَبَطَلَ عَرَجُكَ". ثُمَّ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ جُرْحٍ حَتَّى يَبْرَأَ صَاحِبُهُ.
bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qisas kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas" maka Nabi Saw. memberikan hak qisas kepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarangmu (cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qisas) kepincanganmu. Kemudian Rasulullah Saw. melarang melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya.
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid. Seandainya orang yang dilukai melakukan hukum qisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang melakukan hukum qisas.
Amir, Asy-Sya'bi, Ata,Tawus; Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila, Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan, wajib diat yang dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas. Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukum qisas diat yang seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari harta benda miliknya.
Kemudian lanjutanya ayat:
`yJsù šX£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿŸ2 ¼ã&©!
Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Maksudnya, setiap yang dimaafkan, maka dia kena bayar diyat kepada orang yang dizalimi itu. Pembayaran diyat itu sebagai penutup dosa bagi dia. Ia hanya membayar kaffarah. Dan mereka yang memaafkan, akan mendapat pahala kerana memberi maaf itu. maksudnya, apabila seseorang itu memberi maaf, dosanya akan diampunkan kerana memberi maaf itu.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Qais ibnu Muslim; telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan Syu'bah.
قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ مُحَمَّدٍ المُجَاشِعي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الجُعْفي، حَدَّثَنَا مُعلَّى -يَعْنِي ابْنَ هِلَالٍ -أَنَّهُ سَمِعَ أَبَانَ بْنَ تَغْلِبَ، عَنْ أَبِي الْعُرْيَانِ الْهَيْثَمِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -وَعَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ} قَالَ: هُوَ الَّذِي تُكْسَرُ سِنَّهُ، أَوْ تُقْطَعُ يَدُهُ، أَوْ يُقْطَعُ الشَّيْءُ مِنْهُ، أَوْ يُجْرَحُ فِي بَدَنِهِ فَيَعْفُو عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ فَيُحَطّ عَنْهُ قَدْرُ خَطَايَاهُ، فَإِنْ كَانَ رُبْعُ الدِّيَةِ فَرُبْعُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَ الثُّلْثُ فَثُلْثُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ حَطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَذَلِكَ
Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar Aban ibnu Taglab menceritakan hadis berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Nabi Saw. bersabda: Dia adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, Maka dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya: jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya: dan jika seluruh diat. maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.
Kemudian lanjutanya ayat:
`tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# 
Dan barang siapa yang tidak menghukum dengan hukum yang Allah telah barikan sebagiamana yang telah termaktub dalam ayat tersebut, maka dianggap sebagai kedzaliman. Ayat ini tentang keadilan dan dianggap sebagai orang yang zalim apabila tidak melakukan keadilan. Kerana ada hak orang lain yang tidak dipenuhi, yaitu orang yang patut dan pantas mendapat hak untuk balas balik, tidak mendapat hak itu. Dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan memberlakukan secara sama diantara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan dan berbuat dzalim.[9]
Pada ayat ini terlihat bagaimana watak orang yahudi yang menyalahi hukum Allah sebagaimana yang tertera dalam kitab Taurat dengan menentang secara sengaja. Hal demikian terlihat ketika mereka melaksanakan denda terhadap Bani Nadzir jika membunuh seorang Bani Quraidhah, karena itu apabila bani quraidhah membunuh Bani Nadzir, mereka tidak dibenarkan membayar denda, melainkan mesti diqishas. Disini jelas-jelas tidak adil karena mereka memakai hukum sendiri yang cenderung mengikuti hawa nafsu dan meninggalkan hukum yang telah ditetapkan Allah dalam kitab Taurat. Juga merekatelah menyalahi hukum rajam yang tersebut dalam Taurat terhadap perzinaan muhshan dan mereka ganti dengan dera dan membuat malu dengan dibedaki hitam dan dibawa keliling di pasar-pasar. Karena itu Allah berfirman “ siapa yang tidak berhukum menurut apa yang telah diturunkan Allah dengan sengaja mengingkarinya, maka mereka kafir” Karena kesengajaan dan tantangannya terhadap hukum Allah dan disini Allah menyebut : “Waman lam yahkum bimaa anzala Allahu fa ulaaika humudh dhalimun.” Mereka dianggap zalim, karena mereka tidak berlaku adil terhadap orang-orang yang dianiaya untuk dimintakan haknya dari penganiayaannya.[10]
Memang hukuman qisas tercantum dalam kitab Taurat yang sekarang beredar dapat ditemui hukum-hukum itu, yang tersebut di dalam kitab keluaran fasal 21, ayat 23-25.
23.  Tetapi jikalau ada bahaya kematian sertanya, maka seharusnya jiwa diganti dengan jiwa
24.  Mata diganti mata, gigi di ganti gigi, tangan diganti tangan, kaki diganti kaki
25.  Keturunan diganti keturunan, luka diganti luka, bincut diganti bincut.[11]
Sedang pada kitab imamat orang Lewi, pasal 24 dikatakan:
·         Barang siapa yang memalu orang sampai mati, maka ia pun harus mati dibunuh.
·         Barang siapa yang telah membunuh binatang orang lain, ia akan memberi gantinya, binatang diganti binatang.
·         Barang siapa yang telah merusakkan tubuh sesama manusia, maka sekedar perbuatanya hendaklah di perbuat untuk dia juga.
·         Luka diganti luka, mata diganti mata, gigi diganti gigi, barang siapa yang mencelakai tubuh orang, maka harus di datangkan celaka atasnya.[12]
Akan tetapi  ayat tersebut mengatakan “Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya”. Yakni bahwa Allah mengahpuskan dosa-dosa dan memaafkanya, sebagaimana dia telah memaafkan saudaranya. Sebagimana firman Allah yang berbunyi:
br&ur (#þqàÿ÷ès? ÛUtø%r& 3uqø)­G=Ï9                                                                                 
Dan sikapmu yang memaafkan itu lebih dekat kepada taqwa.
Ubadah bin samit meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw. Bersabda :

مَنْ تَصَدَّقَ مِنْ جَسَدِهِ بِشَيْءٍ كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ بِقَدْرِهِ مِنْ ذُنُوبِهِ
Barang siapa melepaskan hak qisas akan sebagian dari tubuhnya, maka Allah ta’ala menghapuskan dosa-dosanya seukuran bagian tubuhnya itu.[13]

B.     Mengungkap pesan-pesan humanisme yang terdapat pada ayat tindak pidana pencederaan.
1.        Pengertian Humanisme
Humanisme sebagai sebuah aliran filsafat yang bertolak dari faham antropomorfisme.[14] Sering dipandang bertentangan dengan ajaran Islam yang  bertolak dari keimanan dan kepercayaan adanya Allah. Kalangan humanis memandang manusia sebagai penguasa alam semesta sehingga menolak eksistensi Tuhan. Mereka bahkan “menuhankan” manusia.
Humanisme berasal dari latin, yaitu humanis yang artinya manusia, dan isme yang berarti paham atau aliran. Humanisme menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu aliran yg bertujuan menghidupkan rasa prikemanusiaan dan mencita-citakan pergaulan hidup yang lebih baik.[15] Humanisme (kemanusiaan), dalam kamus umum diartikan sebagai “sebuah sistem pemikiran yang berdasarkan pada berbagai nilai, karakteristik, dan tindak tanduk yang dipercaya terbaik bagi manusia, bukannya pada otoritas supernatural manapun”.[16]
Dari definisi humanisme di atas, para humanis menganggap bahwa manusia adalah segala pusat aktifitas dengan meninggalkan peran Tuhan dalam kehidupannya. Di Eropa, sudut pandang ini pada hakikatnya telah melahirkan, bahkan memperkuat,pandangan materialistik yang berujung pada pencarian kenikmatan hidup (hedonisme) yang muara akhirnya adalah menciptakan absurdisme yang merasuki seluruh bidang ilmu seperti seni, sastra dan filsafat. Kalau pandangan tentang dunia religius ortodoks akan melahirkan cara pandang yang serba keakhiratan dan pengkerdilan peran manusia, maka pandangan materialistik hanya mendasarkan semata-mata pada ilmu. Pandangan tentang dunia materialistik menemukan alam semesta sebagai absurd, tanpa pemilik dan tanpa makna, sedangkan pandangan hidup religius ekstrim memerosotkan manusia menjadi makhluk yang sepele.[17]
2.        Tindak pidana pencederaan
Dalam KUHP tidak ada penjelsan tentang tindak pidana pencederaan, yang ada adalah tindak pidana penganiayaan, secara umum tindak pidana terhadap tubuh disebut penganiayaan. Menurut ilmu pengetahuan, penganiayaan ialah dengan sengaja menimbulkan rasa sakit, luka atau merusak kesehatan orang lain.[18]
Dalam hukum Islam ada dua istilah yang biasa digunakan untuk tindak pidana yaitu jarimah  dan jinayah. Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’ yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir, sedangkan jinayah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta, atau lainnya. Akan tetapi kebanyakan fuqaha’ menggunakan istilah jinayah hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti penganiayaan, pembunuhan, dan sebagainya. Selain itu terdapat fuqaha’ yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-perbuatan  yang diancam dengan hukuman hudud dan qisas saja.[19] Suatu perbuatan dianggap sebagai jarimah karena perbuatan tersebut merugikan terhadap tata aturan masyarakat, kepercayaan dan agamanya, harta benda, nama baiknya, serta pada umumnya merugikan kepentingan dan ketentraman masyarakat.[20]
Sanksi pidana dalam hukum Islam disebut dengan al-'Uqubah yang berasal dari kata عقب , yaitu sesuatu yang datang setelah yang lainnya, maksudnya adalah bahwa hukuman dapat dikenakan setelah adanya pelanggaran atas ketentuan hukum. 'Uqubah dapat dikenakan pada setiap orang yang melakukan kejahatan yang dapat merugikan orang lain baik dilakukan oleh orang muslim atau yang lainnya.[21] Hukuman merupakan suatu cara pembebanan pertanggungjawaban pidana guna memelihara ketertiban dan ketentraman masyarakat. Dengan kata lain hukuman dijadikan sebagai alat penegak untuk kepentingan masyarakat.[22]
Dengan demikian hukuman yang baik adalah harus mampu mencegah dari perbuatan maksiat, baik mencegah sebelum terjadinya perbuatan pidana maupun untuk menjerakan pelaku setelah terjadinya jarimah tersebut. Dan besar kecilnya hukuman sangat tergantung pada kebutuhan kemaslahatan masyarakat, jika kemaslahatan masyarakat menghendaki diperberat maka hukuman dapat diperberat begitu pula sebaliknya.[23]
Qisas terhadap selain jiwa (penganiayaan) mempunyai syarat sebagai berikut:[24]
1.       Pelaku berakal
2.       Sudah mencapai umur baligh
3.       Motivasi kejahatan disengaja
4.       Hendaknya darah orang yang dilukai sederajat dengan orang yang melukai.
Yang dimaksud dengan sederajat disini adalah hanya dalam hal kehambaan dan kekafiran. Oleh sebab itu maka tidak diqisas seorang merdeka yang melukai hamba sahaya atau memotong anggotanya. Dan tidak pula diqisas seorang muslim yang melukai kafir zimmi atau memotong anggotanya.
Apabila pelaku melakukan perbuatan pelukaan tersebut secara sengaja, dan korban tidak memiliki anak, serta korban dengan pelaku sama di dalam keislaman dan kemerdekaan, maka pelaku diqisas berdasarkan perbuatannya terhadap korban, misalnya dipotong anggota berdasarkan onggota yang terpotong, melukai serupa dengan anggota yang terluka.[25] Kecuali jika korban menghendaki untuk pembayaran diyat atau memaafkan pelaku. Besarnya diyat disesuaikan dengan jenis dari perbuatan yang dilakukannya terhadap korban.
Syarat-syarat qisas dalam pelukaan:
1.      Tidak adanya kebohongan di dalam pelaksanaan, maka apabila ada kebohongan maka tidak boleh diqisas,
2.      Memungkinkan untuk dilakukan qisas, apabila qisas itu tidak mungkin dilakukan, maka diganti dengan diyat,
3.      Anggota yang hendak dipotong serupa dengan yang terpotong, baik dalam nama atau bagian yang telah dilukai, maka tidak dipotong anggota kanan karena anggota kiri, tidak dipotong tangan karena memotong kaki, tidak dipotong jari-jari yang asli (sehat) karena memotong jari-jari tambahan,
4.      Adanya kesamaan 2 (dua) anggota, maksudnya adalah dalam hal kesehatan dan kesempurnaan, maka tidak dipotong tangan yang sehat karena memotong tangan yang cacat dan tidak diqisas mata yang sehat karena melukai mata yang sudah buta
5.      Apabila pelukaan itu pada kepala atau wajah (asy-syijjaj), maka tidak dilaksanakan qisas, kecuali anggota itu tidak berakhir pada tulang, dan setiap pelukaan yang tidak memungkinkan untuk dilaksanakan qisas, maka tidak dilaksanakan qisas dalam pelukaan yang mengakibatkan patahnya tulang juga dalam jaifah, akan tetapi diwajibkan diyat atas hal tersebut.
3.        Pesan-pesan humanisme yang terdapat dalam Q.S. Al-Maidah: 45
Al Qur`an mencakup seluruh aspek kehidupan manusia yang salah satunya adalah mengatur tentang tindak pidana atau disebut dengan jinayah. Jinayah yang termaktub dalam Al Qur`an mengatur secara rinci baik kategori, hukuman, maupun proses penetapan hukum terhadap pelaku tindak pidana (jinayah), dalam hal ini sesuai dengan Q.S Al-Maidah :45 adalah tindak pidana yang berupa Jaraimul qishash, yaitu kejahatan yang dapat dikenai hukuman qishash atau diyat.
Allah Maha adil dan tidak ingin ada hambanya yang berlaku dzalim terhadap yang lain, sehingga pada potongan ayat dinyatakan  “ Wal juruukha qishash : Dan semua kejahatan dibalas sesuai dengan perbuatan, yakni pembunuhan dengan pembunuhan, mencungkil mata dibalas dengan cungkil mata, memotong telinga dibalas dengan memotong telinga, mencabut gigi dibalas dengan dicabut gigi dan melukai dibalas dengan dilukai. Adanya tindakan dengan memberikan setiap pembalasan yang setimpal atas penganiayaan yang dilakukan dengan sengaja terhadap seseorang yang akan di qishash, kecuali pihak yang bersangkutan memaafkannya. Jadi, semua telah terdapat kadar dan batasan yang telah Allah tetapkan.
Pemberian hukuman terhadap pelaku tindak pidana bukan bermaksud balas dendam atau kebencian, tetapi sebagai pemberian hak. Baik hak Allah, hak yang ter-aniaya, maupun hak yang menganiaya. Sehingga Allah menurunkan mengenai qishash, dengan didasarkan pada rumus keadilan dan perasaan hak antara sesama manusia. Sebagaimana Allah berfirman
 Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan ( yang menengah ) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Dalam ayat tersebut terdapat kalimat “ faman tashoddaqo bihii fahuwa kaffarotun lahuu” yang artinya Barangsiapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka dengan melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya, Maksudnya, setiap yang dimaafkan, maka dia kena bayar diyat kepada orang yang dizalimi itu. Pembayaran diyat itu sebagai penutup dosa baginya dengan hanya membayar kaffarah. Dan bagi mereka yang memaafkan (memberi maaf), akan mendapat pahala dan diampuni dosanya karena pemberian maaf tersebut.
Kesimpulan ayat 45 surat Al-Maidah ini selain memberikan aturan hukum yang tegas, juga memberikan peluang yang sangat besar bagi orang yang ter-aniaya untuk memberikan maaf kepada orang yang meng-aniaya, sehingga ayat ini sangat memberikan pesan humanisme, dimana mampu beralaku adil kepada semua pihak yang bersangkutan, baik yang teraniaya maupun yang menganiaya (dalam kasus pencederaan).




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.      Penjatuhan hukuman qisas tidak pandang bulu, tidak mengenal adanya perbedaan derajat dan strata di dalam masyarakat. Sebagiamana yang dianggap oleh golongan yahudi dengan anggapan bahwa golongan Yahudi Bani Nadir lebih tinggi derajat dan kedudukannya dari golongan Yahudi Bani Quraizah, sehingga apabila seorang dari golongan Bani Nadir membunuh seorang dari golongan Bani Quraizah dia tidak dibunuh, karena dianggap tidak sederajat. Tetapi kalau terjadi sebaliknya yaitu seorang dari Bani Quraizah membunuh seorang dari bani Nadir, maka dia harus dibunuh. ini hanyalah alasan pembangkangan dan penolakan mereka Bani Nadir terhadap petunjuk hukum-hukum Allah yang ada di dalam kitab Taurat. 
2.      Q.S. surat Al-Maidah ayat 45 menjelaskan tentang hukuman bagi orang yang telah berbuat dzalim kepada saudaranya (orang lain), dengan hukuman yang setimpal atau yang sejenis dengan perbuatan dzalimnya yang biasa dikenal dengan sebutan qishah.
Hukuman qishah yang terdapat dalam ayat tersebut merupakan wujud keadilan Allah swt. Terhadap semua hambanya, agar tidak saling mendzalimi antara yang satu dengan yang lain. Disamping memberikan hukuman qishas, ayat tersebut juga memberikan tawaran kepada orang yang teraniaya untuk memberikan maaf kepada orang yang menganiaya (mencederai) dengan imbalan ampunan dosa dan pemberian pahala sesuai kadar penganiayaan yang dialaminya. Sehingga dengan demikian ayat tersebut mampu berlaku adil baik bagi yang teraniaya maupun yang menganiaya. 





DAFTAR PUSTAKA

Ali, Shari’ati, Man In Islam,terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992.
Djazuli, Ahmad. Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Hatsin, Abu. Kata Pengantar buku Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2007.
Hasan, Ali Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir,  Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada, 1994.
Imam jalaluddin muhammad bin ahmad al-mahlly, Tafsir jalalain, Jakarta: al- Haromain Jaya Indonesia, 2008, juz 1.
Jalaluddin, Imam Al-Mahalli,dkk. Tafsir Jalalain,Bandung, Sinar Baru Algesindo, 2003.
Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka  Pelajar, 2002.
Mushthafa, Ahmad Al-Maraghi, terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993, cet. Kedua.
M. Abdul Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003, Juz 6.
Nashruddin Ba’idan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh UHIV , 1998.
Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar, 1988.
Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015. Cet. Pertama.
Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubaraq,  terj. Tafsir Ibnu Katsir,Bogor,Pustaka Ibnu Katsir,2006.
The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13,New York: The Encyclopaedia Britannica, Inc., 1911.
Wardi, Ahmad Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004.


[1] Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yogyakarta: Glaguh UHIV, 1998, hal. 31
[2] Ali Hasan Al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, Jakarta: PT  Raja Grafindo Persada,1994 , hal. 41-42
[3] Nushruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, Jakarta: Pustaka Pelajar 1988, hal. 2
[4] Al-Qur’an dan Tafsirnya  jilid II, hal. 406-407
[5] Imam jalaluddin muhammad bin ahmad al-mahlly, Tafsir jalalain, Jakarta: al- Haromain Jaya Indonesia, 2008, juz 1, hal. 102
[6] M.Abdul Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi’i, 2003, Juz 6, hal. 95-96
[7] Imam Jalaluddin Al-Mahalli,dkk,Tafsir Jalalain, Bandung :Sinar Baru Algesindo,2003, hal.190
[8] M.Abdul Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, Juz 6, hal. 96-97
[9] M.Abdul Ghaffar E.M, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3, juz 6, hal. 95
[10] Syaikh Syafiyurrahman Al-Mubaraq,  terj. Tafsir Ibnu Katsir, Bogor,Pustaka Ibnu Katsir,2006, hal.103
[11] Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar, Jakarta: Gema Insani, 2015. Cet. Pertama, hal. 702
[12] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993, cet. Kedua, hal. 231
[13] Ibid. hal. 232
[14] Jean Paul Sartre, Eksistensialisme dan Humanisme terj. Yudhi Murtanto, Yogyakarta: Pustaka  Pelajar, 2002, hal. 103
[15] Abu Hatsin,  Kata Pengantar buku Islam dan Humanisme, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007,  hal. 5
[16] The Encyclopaedia Britannica, Vol. 13,New York: The Encyclopaedia Britannica, Inc., 1911, hal. 872
[17] Ali Shari’ati, Man In Islam,terj. M. Amin Rais, Tugas Cendekiawan Muslim, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal. 22-24
[18] R Soesilo, KUHP serta komentar lengkap, bogor: politea, hal. 245
[19] Ahmad Djazuli, Fiqih Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 1
[20] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam (Fikih Jinayah), Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. 14
[21] Abdurrahman I Doi, Hukum Pidana Menurut Syari'at Islam Jakarta: Rineka Cipta, 1992, hal. 6
[22] A. Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana., hal. 55
[23] Ahmad Jazuli, Fiqh Jinayat, Upaya Menaggulangi Kejahatan dalam Hukum Islam, hal. 26-27
[24] As-Sayyid Sabiq, Fiqh., III :hal. 38
[25] Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, hal. 425.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar