BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Niat yang terkandung
dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria
yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apakah nilai
dari perbuatan itu sebagai amal syariat atau perbuatan kebiasaan serta
bagaimana status hukumnya. Niat menjadi syarat mutlak bagi kita semua dalam
segala aspek perbuatan, karena dengan niat dapat menentukan kualitas individu
seseorang. Hal ini merupakan sebuah hal mudah untuk dia pelajari, tapi dalam
prakiknya tidak menutup kemungkinan banyak orang sering mengabaikanya.
Kaidah yang dibahas
dalam makalah ini adalah salah satu dari kelima kaidah yang ada. Al-Umuru
bi Maqashidiha merupakan tema yang cukup menarik perhatian untuk segala
aspek. Betapa pentingnya sebuah dorongan (motivation) yang ada dalam
diri seseorang ketika ingin bekerja. Segala pekerjaan, perbuatan ataupun yang
hal lainnya tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan jika tidak
adanya sebuah motivasi di dalam diri seseorang. Motivasi bisa diidentikkan
dengan niat dalam hal sama-sama bisa menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu.
Namun, niat lebih kompleks daripada motivasi, sebab niat itu menyatunya
keinginan yang kuat(Azimah), rencana yang matang, dan dibarengi dengan
aksi atau perbuatan. Meski demikian, membangun sebuah motivasi yang benar sama
dengan memasang niat yang benar dan tulus, agar ia juga terdorong untuk bekerja
dengan benar.[1]
Dalam mendudukkan niat,
para fuqaha berbeda pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal
mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang Imam Syafii mendudukkannya
sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf
sebelum terjadinya perbuatan sedang rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan
bersama dengan perbuatan. Sehingga akibat dari perselisihan tersebut akan
membawa dampak hukum.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana pengertian dan landasan hukumnya?
2. Bagaimana waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan,
status, hal-hal yang membatalakn, tata cara melakukan, syarat, serta fungsinya?
3.
Apasajakah kaidah-kaidah cabang serta
pengecualianya?
4.
Bagaimana aplikasi kaidah tersebut?
C. Tujuan
penulisan
1.
Mendeskripsikan pengertian dan landasan hukumnya.
2. Mendeskripsikan waktu pelaksanaan, tempat
pelaksanaan, status, hal-hal yang membatalakn, tata cara melakukan, syarat, serta fungsinya.
- Mendeskripsikan kaidah-kaidah cabang serta
pengecualianya.
- Mendeskripsikan aplikasi kaidah tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian dan landasan hukumnya
1.
Pengertian
lafadzالأمور بمقاصدها
terbentuk
dari dua unsur yakni lafadz الأمور dan lafadz المقاصد
yang
merupakan bentuk plural yang terbentuk dari lafadh الأمر
dan المقصد. Secara etimologi lafadzالأمور merupakan bentuk plural dari lafad الأمر yang berarti keadaan, kebutuhan,
peristiwa dan perbuatan.[2]
Jadi, dalam bab ini lafadz الأمور
بمقاصدها diartikan sebagai perbuatan dari salah satu
anggota.
Sedangkan المقاصد merupakan murodif
dari kata niat. النية فتربيط بالمقاصد, Niat adalah memiliki hubungan atau memiliki keterkaitan
dengan tujuan atau maksud.[3] Sehingga Orang yang berniat adalah orang
yang bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu
bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang dituju.[4]
Sedangkan menurut terminologi berarti perbuatan
dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’
sesuai dengan maksud pekerjaan yang dilakukan. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang saat
melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status
hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan
ataupun adat-kebiasaan.[5]
Kaidah ini memiliki arti bahwasanya
setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya
setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak
terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud
syar’i. Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan
hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas
perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut
hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya. Contoh:
حرمت
عليكم الميتة “ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai,
“ Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak
ada pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan
syara’ maka Allah memberi pahala baginya.
2.
Landasan hukumnya
Mengenai
keharusan melakukan niat dalam beribadah, Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an
surah Al-Bayyinah: 5,
!$tBur
(#ÿrâÉDé& wÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øèC
ã&s! tûïÏe$!$# u
“Mereka (orang-orang kafir) tidak
diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya
memurnikan ikhlas dalam beragama (beribadah)”.
Al-Qurthubi
menafsikan ayat in bahwa ikhlas yang termuat dalam lafadz mukhlisin, adalah
perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri
adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara hati.
Kemudian dalam
surat Ali-Imran: 145,
ÆtBur ÷Ìã z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur
÷Ìã z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
“Barang
siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia
itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya
pahala akhirat.”
Disamping penjelasan
dalam Al-Qur’an, terdapat pula dalam hadis
أنما الأعمال بالنيات
وأنما لكل أمرئ ما نوى
“Sesungguhnya sahnya amal adalah tergantung pada
niat”.
Pada penerapan
awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa
ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas,
lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi tiada dengan tanpa adanya niat,
karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih
dalam, maka akan mempunyai arti “sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud
tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa “ada” tanpa
melalui niat.[6]
Dalam hadis lain juga dijelaskan,
انك لن تنفق نفقة تبتغى
بها وجه الله الا أجرن عليها حتى ما يجعل في فم امرأتك
Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan
sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah swt diberi pahala walaupun
sekedar sesuap kedalam mulut istrimu. (HR. Bukhari).[7]
Dalam hadis lain juga dijelaskan,
انما بعث الناس على
نياتهم
Sesungguhnya
manusia itu di bangkitkan menurut niatnya.
(HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra).[8]
B.
Waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, status, hal-hal
yang membatalkan, tata cara melakukan, syarat, serta fungsinya
1.
Waktu pelaksanaan
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal
ibadah. Hal ini di dasarkan penelitian ulama yang menyatakan bahwa huruf “ب” yang terdapat pada kata بِالنِّيَّاتِ mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Sehingga
yang tergantung di dalamnya adalah “niat itu merupakan bagian dari amal
amaliyah itu sendiri”.[9]
2.
Tempat pelaksanaan
Dalam Fath
Al-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani disebutkan dalam hadis إِنَّمَا
الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, terdapat kata النِّيَّاتِ yang sebagian redaksinya
menggunakan kata benda tunggal (singular ; mufrad) yaitu النية, tidak dengan redaksi النِّيَّاتِ (kata benda jamak/plural). Maka layak sekali
bila dalam redaksinya menggunakan kata benda tunggal karena pekerjaan hati
dalam ibadah memang hanya satu yaitu niat.[10]
3.
Status Niat
Fuqaha’ berbeda pendapat dalam menentukan status niat
dalam ibadah, apakah ia rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan
sudut pandang dan latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang
melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada
permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka
yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang
bertentangan atau menegasikan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai
syarat.[11]
Dikalangan
ulama-ulama syafi’iyyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai
dengan pelaksanaannya.[12]
قصد الشيء مقترنا
بفعله قصد الشيء مقترنا بفعله
Dalam
shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan
wajib niat disertai dengan takbiratul ihram.[13]
Sedangkan menurut kalangan madzhab hambali dan hanfiyah mengatakan:
القصد بالقلب
ويجب ان تكون النية مقارنة لتكبير
Bahwa
tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat
dari maksud adalah hati. Jadi, apabila meyakini didalam hatinya, itupun sudah
cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Akan tetapi yang lebih utama
niat bersama-sama dengan takbiratul ihram di dalam shalat, agar niat
ikhlas menyertai dengan ibadah.
4.
Hal-hal yang
membatalakan Niat
Hal-hal yang membatalkan niat,
diantaranya:
a.
Riddah
atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan
dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur.
b.
Berniat
memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
c.
Niat
mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain.
d.
Ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan
ibadah yang diniati.
5.
Tata cara
melakukan Niat
Dalam
pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada manwi
(objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah
menghilangkan ‘penghalang’ sholat seperti hadats. Lain lagi dengan sholat,
dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan
tertentu yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
Tata
cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda tergantung
status shalat yang dikerjakan:
§ apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3
hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Ta’yin dan niat fardlu.
§ apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada
waktu-waktu dan sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya
: Qashdul fiil dan Ta’yin. Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus
terpenuhi hanyalah Qashdul fiil.
6.
Syarat-syarat
Niat[14]
Pada
dasarnya Niat adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu.
Tanpa syarat-syarat itu, seorang tidak dapat di sebut berniat, diantaranya:
a.
Islam,
Disyaratkan bagi orang yang berniat
adalah seorang muslim, karena niat merupakan ibadah dan niat ibadah tidak sah
jika dari orang kafir karena syarat sah diterimanya sebuah ibadah adalah islam
dan iman kepada Allah SWT.
b.
Tamyiz,
kekuatan otak untuk mengambil kesimpulan
terhadap sebuah esensi. Maka tidak sah ibadahnya anak kecil dan orang gila,
karena akal merupakan tempat bergantungnya sebuah taklif. Seperti
dalam hadits rasul dikatakan:
رفع القلم عن
ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق
“Diangkat
sebuah hukum terhadap tiga perkara: orang yang tidur sampai dia bangun dan anak
kecil sampai dia baligh dan orang gila sampai dia berakal atau sadar”.
c.
Mengetahui
apa yang diniati
Orang yang berniat harus mengetahui apa
yang diniatinya apakah itu fardlu ataukah sunnah, ibadah ataukah yang lainnya,
jika tidak mengetahui fardlu-fardlunya sholat atau wudlu maka tidak sah apa
yang dikerjakannya, tetapi yang tidak membedakan fardlu-fardlu dengan yang
sunnah, maka sah ibadahnya dengan syarat tidak menganggap sunnah hal-hal yang
sebenarnya fardlu.[15]
d.
Tidak
bertentangan antara niat dan yang diniati
tidak adanya kontradiktif antara niat
seseorang dengan apa yang akan dikerjakannya, maka tidak orang yang berniat
ibadah kemudian dia murtad. Begitu juga mengubah niat fardlu dengan sunnah
sebelum yang fardlu selesai, maka batal ibadahnya. Dan juga dari suatu yang
kontradiktif adalah ragu-ragu dan tidak ketetapan dalam niatnya, tidak mampu
terhadap apa yang diniati secara akal, syariat dan secara sosial budaya.[16]
7.
Fungsi Niat
- Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.[17]
seperti
halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal ini merupakan suatu keniscayaan
bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena
hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam
aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih
konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi
kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Akan
tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan
yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya
iman, dzikir dan membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dan juga termasuk amalan
yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh
agama.
- Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik perbuatan
itu kebaikan ataupun
kejahatan.
- Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan
ibadah tertentu serta
membedakan yang wajib dari yang sunnah.
C.
kaidah-kaidah cabang serta pengecualianya
1.
kaidah-kaidah
cabang
Dari kaidah pokok ini, terpancar beberapa kaidah
cabang yang juga merupakan kaidah yang melandasi penetapan hukum terhadap
berbagai wacana fiqh, namun tetap berada dalam cakupan kaidah pokok, yaitu:
a.
لاثواب الابالنية
Kaidah ini merupakan sebuah
penjelasan yang cukup jelas mengenai perbedaan antara amal perbuatan yang
mengharapkan wajah Allah SWT dan pahala darinya, dan amal perbuatan yang tidak bermaksud demikian,
walau nampaknya perbuatan itu adalah ketaatan dan ibadah. Sehingga posisi niat
merupakan suatu yang bersifat ḍaruri (penting) dalam setiap amalan, walau amalan wajib
sekalipun. Selama
perbuatan-perbuatan itu tidak di anggap baik atau buruk jika tanpa niat dari
pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan
yang baik, ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama. Adapun
mengenai sahnya amal, ada yang disepakati oleh para ulama bahwa niat itu
sebagai syaratnya, separti niat didalam wudhu. Ulama syafi’iyyah dan malikiyah
menganggap niat itui fardhu (wajib),
ulama hambaliyah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama hanafiyah
menetapkan sebagai sunat muakkadah. Artinya jika tidak, tidak dipahalai,
sekalipun shalatnya juga sah.
Contoh
aplikasi kaidah tersebut: seorang suami yang memberi nafkah kepada anak dan
istrinya yang wajib hukumnya dalam syari’at, apabila hal itu diniatkan
sebagai ibadah untuk mendapatkan ganjaran dan keridaan Allah SWT maka ia akan
mendapatkannya, namun jika hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban sebagai
seorang suami tanpa adanya niat taqarrub kepada Allah SWT maka ia tidak
mendapatkan pahala dari Allah SWT.
b.
ما
يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
“Dalam amal yang di syari’atkan mensyaratkan niat,
maka kekeliruan pernyataanya membatalkan amalanya”. Hal ini senada dengan
kaidah berikutnya.
c.
ﻜُﻞﱡ
ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔ
“Setiap
perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena
semata-mata niat”.
Misalnya
kekeliruan menyatakan niat: dalam shalat zuhur dengan shalat asahar, dalam
shalat rawatib zuhur dengan shalat rawatib ashar, dalam shalat dua raka’at
ihram denga shalat dua raka’at tawaf dan sebaliknya, dalam berpuasa ‘Arafah
dengan puasa ‘Asyura, dan sebagainya.
Menjadikan
tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan disebabkan masing-masing dari
perbuatan itu di tuntut adanya pernyataan niat itu untuk membedakan ibadah yang
satu dengan yang lainya.[19]
d.
لواختلف
اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
“Apabila
berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati
(diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati”.[20]
Hal ini senada dengan kaidah berikutnya.
e.
العبرة
فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
”Yang menjadi ’ibrah (dasar hukum) dalam perjanjian
adalah dengan maksud dan makna yang terkandung, bukan berdasarkan lafaz-lafaz
dan cara penyampaian (ekspresi)”. Hal ini senada pula dengan kaidah
berikutnya.
f.
مقاصد
اللفظ على نية اللافظ
“Maksud
lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
Makna
kaidah ini, bahwasanya dalam perjanjian (al-uqud) tidak terikat pada sigah atau
lafaz tertentu selama tidak ada ketetapan syar’ī mengenai hal itu, namun yang
menjadi dasar perjanjian adalah maksud yang diinginkan oleh kedua orang yang
mengadakan perjanjian tersebut.[21]
Dan bukan pada apa yang mereka
lafazkan, sehingga tidak disyaratkan adanya lafaz-lafaz yang khusus dalam
proses transaksi (ijab dan qabul) tersebut, bahkan akad perjanjiannya tetap sah
dengan menggunakan lafaz atau perbuatan apapun yang dilakukan oleh dua orang
yang bertransaksi yang dapat menunjukkan maksud yang diinginkan oleh kedua
belah pihak selama hal tersebut merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan (al-’urf)
yang sudah biasa terjadi di kalangan masyarakat pada negeri di mana mereka
berada.
Misalnya: apabila
seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya
minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan
permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual
beli dengan segala akibatnya.
g. ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا
اذا عينه وأخظأ ضر
"Perbuatan
yang secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di
haruskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru,
mudzarat”.
Misalnya:
Seseorang sholat jama’ah dengan niat ma’mum kepada Muktafi, ternyata orang yang menjadi imamnya bukan
Muktafi, tetapi Soni. Shalat jama’ahnya orang tersebut tidak sah, sebab
keimamahannya telah digugurkan oleh Soni sedang niat kema’mumannya telah
digugurkam oleh Muktafi, lantaran berma’mumannya dengan Soni tanpa diniatkan.
Menyatakan siapa imamnya dalam sholat berjamaah tidak disyari’atkan, tetapi
yang disyari’atkan adalah niatnya berjamaah. Contoh lain: Orang yang sholat
zhuhur dengan menyatakan niatnya 3 atau 5 raka'at. Maka shalatnya tidak sah,
sebab menyatakan bilangan raka'at shalat itu bukan merupakan syarat mutlak.
h.
ما
يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظ لم يضر
"Perbuatan
yang secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di
haruskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru,
tidak mudzarat”.
Misalnya:
Seseorang sholat dengan menyatakan pada niatnya pada hari kamis, padahal hari
yang ia sholat itu adalah hari jum’at, maka sholatnya tidak batal sama sekali,
sebab menyatakan hari dan tanggal dalam sholat tidak disyari’atkan.[22]
Contoh lain: Seseorang sholat maghrib dengan menyatakan niatnya berjamaah di Masjid
Raden Patah (MRP UB), padahal ia sholatnya di masjid Asy-Syifa’, sholatnya
orang tersebut tidak batal. Sebab niat dalam sholatnya sudah dipenuhi dan benar
sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang
pernyataan tempat sholat tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara
garis besarnya maupun secara terperinci.
i.
لأيمان
مبنية على الألفاظ والمقاصد
“Sumpah
itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”.
[23]
Menurut mażhab Syāfi’ī, sumpah atau
janji didasarkan pada lafaz-lafaz jika sekiranya memungkinkan penggunaannya,
jika tidak, maka sumpah tersebut didasarkan
atas maksud yang diinginkan. Misalnya: jika seseorang marah kepada orang
lain, kemudian ia bersumpah bahwasanya ia tidak akan membeli sesuatu pun dari
orang yang dimarahinya tersebut dengan harga satu dolar, namun ternyata ia
membeli sesuatu dari orang tersebut dengan mata uang Mesir, maka ia tidak
berdosa. Dan jika ia bersumpah tidak menjual kepadanya dengan harga sepuluh dolar,
namun ia menjualnya dengan harga sebelas atau sembilan dolar, maka ia juga
tidak berdosa, walaupun maksudnya sebagai penambahan atas apa yang telah
disumpahnya, akan tetapi tidak ada dosa terhadap apa yang belum sempat
dilafazkan.[24]
j.
النِّيَّةُ
فِيْ الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ, وَلاَ تُعَمِّمُ الْخَاصَّ
“Niat
dalam permasalahan sumpah mengkhususkan lafaz yang bersifat umum, dan tidak
menjadikan umum lafaz yang khusus”.
Jika
seseorang berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan seorang pun”,
dan yang ia maksud adalah Zaid. Atau seseorang yang mendapat pemberian dari
orang lain, lalu ia berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan meminum air darinya
ketika haus”, maka sumpah tersebut hanya berlaku pada pemberian air ketika haus
saja, dan tidak berlaku pada pemberian lainnya seperti makanan atau pakaian,
walau ia berniat untuk tidak mengambil manfaat sedikit pun darinya, dan
walaupun perselisihan dalam masalah ini juga mengarah ke persoalan tersebut.
Hal itu disebabkan karena niat hanya dapat berpengaruh jika lafaz
mengindikasikan apa yang ia niatkan.[25]
Demikian pula, apabila seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan si
fulan, namun ternyata ia berbicara dengannya dalam kondisi tertidur (sambil
tidur), atau dalam kondisi tidak sadar, maka ia tidak berdosa atas perbuatan
tersebut, sebagaimana menurut al-Rafi’i.
2.
Pengecualianya
Diantara pengecualian kaidah diatas adalah:
a) Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas
ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini
tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, Malaikat, khauf ,raja’,
iqamah, azan, zikir dan membaca Al-Quran
kecuali membacanya dalam rangka nazar.
b) Tidak diperlukan niat dalam meninggalkan
perbuatan seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang
dilarang (haram) karena tidak melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah
tercapai, memang betul, diperlukan niat apabila mengharapkan pahala dengan
meninggalkan larangan.
c)
Keluar
dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu
perbuatan bukan meninggalkan suatu perbuatan.[26]
d)
Hadis
riwayat Abu hurairah, rosulullah saw. Bersabda:
ﺛﻼﺙ ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ
ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ[27]
“Tiga hal yang seriusnya dianggap
benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju’.”
Bahkan
para ulama sepakat akan sahnya talak dari orang yang bercanda, bergurau atau
sekedar main-main, asalkan ia memaksudkan tegas dengan lafazh talak.[28]Ibnul
Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama dari yang saya ketahui
berijma’ (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah
sama saja (tetap jatuh talak)”.[29]Imam
Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang mentalak dalam keadaan ridho,
marah, serius maupun bercanda, talaknya teranggap”.[30]
D.
Aplikasi kaidah
Kaidah ini mencakup semua permasalahan syar’i dalam kehidupan
sehari-hari, namun sebagai gambaran untuk penerapanya semua kaidah ushul dan
cabangnya sebagai berikut:
1.
Barang
siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk
dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosob (orang yang mengambil harta
orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk
mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena
kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat
untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi
seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda),
maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali
kalau sengaja dia merusaknya.[31]
Begitu juga Seseorang yang dititipi
sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah
berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus
menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat
akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak
ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah
dia pakai itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya
lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan
darinya.
2.
Barang
siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya,
maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri,
sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
Begitu juga barang siapa yang menjual
anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti
akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau
tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
3.
Orang
yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah
kepada Allah, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau
tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka
dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya
mubah.[32]
4.
Kalau
ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun
dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat
rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus
mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau
sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat
ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum
masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka
sholatnya sah.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
الأمور بمقاصدها
menurut terminologi berarti perbuatan dan
tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’
sesuai dengan maksud pekerjaan yang dilakukan. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang saat
melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status
hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan
ataupun adat-kebiasaan.
Landasan
hukumnya Al-Qur’an surah Al-Bayyinah: 5, Ali-Imran: 145, dan hadis riwayat
Bukhori.
2.
a. Waktu niat diawal Ibadah.
b.
Tempat niat dalam hati.
c.
Status niat pendapat Imam
Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukkan niat sebagai syarat
perbuatan. Sedang Imam Syafii mendudukkannya sebagai rukun perbuatan.
d.
Hal-hal yang
membatalakan niat: riddah/murtad, berniat memutus atau tidak
melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan, niat mengganti atau memindah satu ibadah
dengan ibadah yang lain, ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan
ibadah yang diniati.
e.
Tata cara
melakukan Niat kondisional tergantung pada manwi
(objek yang di niati).
f.
Syarat-syarat
Niat: islam, tamyiz, mengetahui apa yang diniati, tidak bertentangan antara
niat dan yang diniati.
g.
Fungsi Niat:
Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan, untuk membedakan kualitas
perbuatan baik perbuatan itu kebaikan ataupun kejahatan, dan untuk menentukan
sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari
yang sunnah.
3. Kaidah-kaidah cabang diantaranya:
a.
لاثواب الابالنية
b.
ما
يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل
c.
العبرة
فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
d. ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا
اذا عينه وأخظأ ضر
e.
ما
يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظ لم يضر
f.
لأيمان
مبنية على الألفاظ والمقاصد
Pengecualian kaidah: ﺛﻼﺙ
ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
4. Aplikasi kaidah secara umum:
ü Barang siapa yang menjual anggur atau
lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan
sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan
tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
ü
Orang
yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah
kepada Allah, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau
tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka
dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya
mubah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih
:al-Qawâ'idul Fiqhiyyah , Jakarta: Kalam Mulia. 2005.
Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab,
ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1.
Abdul Azīz Muḥammad
Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah,t.Cet;
‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999.
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan
Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi,
tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al
Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 373.
Al Majmu’, Yahya bin Syarf An
Nawawi, keluaran Mawqi’ Ya’sub, 17: 68.
Haq Abdul, Mubarok Ahmad, Ro’uf Agus, Formulasi
Nalar Fiqh,cet. ke-2, Surabaya: Khalista, 2006.
HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no.
1184 dan Ibnu Majah no. 2039.
Mahmud Yunus, Kamus Arab
Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus.Wa Zurriat, 1972 M.
Kementerian Agama RI, 2010 M/1431
H, at-Tafsir Maudhu’I – Kerja dan Ketenagakerjaan, Bab.
Membangun Etos Kerja.
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih:
Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis,
Jakarta: Kencana. 2006.
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang
Praktis, Edisi 1, Cet. IV, Jakarta:
Kencana, 2011.
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs.
Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I, Bandung;
Al-Ma’arif, 1986.
Qulyubi Wa Amirah, Hasyiah
Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Singapura: Maktabah Wa Mathba’ah Mar’i,
tt Juz, 1.
Syafi’ie, Rahmat,. Ilmu Ushul
Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie.
Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah. Ploso: Mahfudhat
Linnasyir, t.th
Tamrin, Dahlan M.Ag,. Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), cet. Ke-1, Malang: UIN-Maliki Press,
2010.
Zubair, Maimun,. Formulasi Nalar
Fiqh, Surabaya: Khalista, 2015
Zainy Al-Hasimy, Ma’shum, Pengantar
Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, cet. ke-1, Jombang: Darul Hikmah, 2010.
Zain bin Ibrahim bin Zain bin Syith. At-Taqrirath
as-Sadidah fi al-Masa’il al-Mufidah. Surabaya: Dar al-‘Ulum
al-Islamiyah, 2006.
[1] Kementerian Agama RI,
2010 M/1431 H, at-Tafsir Maudhu’I – Kerja dan Ketenagakerjaan, Bab.
Membangun Etos Kerja, Hal. 139
[3] Syaikh ‘Ali Maliki, 1384
H, Al-Asbah Wa An-Nazhair Fi Al-Furu’, hal. 35
[4] Wahyu Setiawan, M.Ag.
2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, hal. 28
[5] Ma’shum
Zainy Al-Hasimy, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, Jombang:
Darul Hikmah, 2010, cet. ke-1, hal. 26
[6] Abdul Haq, Ahmad
Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2006,
cet. ke-2, hal. 92
[7] Dahlan Tamrin M.Ag, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), Malang: UIN-Maliki Press, 2010, cet.
Ke-1, hal. 27
[8] Rahmat Syafi’ie. Ilmu
Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 276
[9] Dahlan Tamrin M.Ag, Kaidah-Kaidah
Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), hal. 52
[10] Ibid. hal. 60
[12] Qulyubi Wa Amirah, Hasyiah
Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Singapura: Maktabah Wa Mathba’ah Mar’i,
tt Juz, 1, hal. 45
[13] Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab,
ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1, hal. 70
[14] Zain bin Ibrahim bin
Zain bin Syith. At-Taqrirath as-Sadidah fi al-Masa’il al-Mufidah.
Surabaya: Dar al-‘Ulum al-Islamiyah, 2006, hal. 83
[15] DR. Abdul Aziz bin
Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, Pustaka: Darul Hadits, hal. 87
[16] Ibid. hal. 88
[17] Sayyid Abu Bakar
al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id
al-Fiqhiyah. (Ploso: Mahfudhat Linnasyir, t.th), hal. 11
[18] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, Jakarta: Kencana. 2006, cet. ke-1, hal. 40
[19] Prof. Dr. Mukhtar Yahya,
prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I,
Bandung; Al-Ma’arif, 1986, hal. 492
[20] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah
Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang
Praktis, hal. 41
[21] Dikecualikan pada
beberapa akad yang dalam ketentuan syari’at terdapat beberapa lafaz yang menyebabkan
sahnya akad tersebut, seperti: talaq,
‘itaq, dan nikaḥ.
[22] Prof. Dr. Mukhtar Yahya,
prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, hal. 492
[23] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah
Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia. 2005, cet. ke-6,
hal. 17
[24] Abdul Azīz
Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah
Muqāranah, t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999, hal. 77
[25] Kementrian Urusan Agama
Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., hal.
157
[26] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang
Praktis, Edisi 1, Cet. IV, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 36
[27] HR. Abu Daud no. 2194,
At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan
[28] Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.
[29] Al Mughni, Ibnu Qudamah
Al Maqdisi, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah
Muhammad Al Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 373.
[30] Al Majmu’, Yahya bin
Syarf An Nawawi, keluaran Mawqi’ Ya’sub, 17: 68.
[31] Lihat Al Wajiz Fi Idlohi
Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124