Senin, 02 April 2018

ushul fiqih tentang Niat


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Niat yang terkandung dalam hati sanubari seseorang sewaktu melakukan amal perbuatan menjadi kriteria yang menentukan nilai dan status hukum amal yang dilakukannya. Apakah nilai dari perbuatan itu sebagai amal syariat atau perbuatan kebiasaan serta bagaimana status hukumnya. Niat menjadi syarat mutlak bagi kita semua dalam segala aspek perbuatan, karena dengan niat dapat menentukan kualitas individu seseorang. Hal ini merupakan sebuah hal mudah untuk dia pelajari, tapi dalam prakiknya tidak menutup kemungkinan banyak orang sering mengabaikanya.
Kaidah yang dibahas dalam makalah ini adalah salah satu dari kelima kaidah yang ada. Al-Umuru bi Maqashidiha merupakan tema yang cukup menarik perhatian untuk segala aspek. Betapa pentingnya sebuah dorongan (motivation) yang ada dalam diri seseorang ketika ingin bekerja. Segala pekerjaan, perbuatan ataupun yang hal lainnya tidak akan memberikan pengaruh yang cukup signifikan jika tidak adanya sebuah motivasi di dalam diri seseorang. Motivasi bisa diidentikkan dengan niat dalam hal sama-sama bisa menjadi pendorong untuk melakukan sesuatu. Namun, niat lebih kompleks daripada motivasi, sebab niat itu menyatunya keinginan yang kuat(Azimah), rencana yang matang, dan dibarengi dengan aksi atau perbuatan. Meski demikian, membangun sebuah motivasi yang benar sama dengan memasang niat yang benar dan tulus, agar ia juga terdorong untuk bekerja dengan benar.[1]
Dalam mendudukkan niat, para fuqaha berbeda pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang Imam Syafii mendudukkannya sebagai rukun perbuatan. Syarat adalah ketentuan yang harus dilakukan mukallaf sebelum terjadinya perbuatan sedang rukun adalah ketentuan yang harus dilakukan bersama dengan perbuatan. Sehingga akibat dari perselisihan tersebut akan membawa dampak hukum.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pengertian dan landasan hukumnya?
2.  Bagaimana waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, status, hal-hal yang membatalakn, tata cara melakukan, syarat, serta fungsinya?
3.      Apasajakah kaidah-kaidah cabang serta pengecualianya?
4.      Bagaimana aplikasi kaidah tersebut?

C.  Tujuan penulisan
1.      Mendeskripsikan pengertian dan landasan hukumnya.
2.     Mendeskripsikan waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, status, hal-hal yang membatalakn, tata cara melakukan, syarat,  serta fungsinya.
  1. Mendeskripsikan kaidah-kaidah cabang serta pengecualianya.
  2. Mendeskripsikan aplikasi kaidah tersebut.


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan landasan hukumnya
1.      Pengertian
lafadzالأمور بمقاصدها  terbentuk dari dua unsur yakni lafadz الأمور  dan lafadz المقاصد  yang merupakan bentuk plural yang terbentuk dari lafadh الأمر  dan المقصد. Secara etimologi lafadzالأمور  merupakan bentuk plural dari lafad الأمر  yang berarti keadaan, kebutuhan, peristiwa dan perbuatan.[2] Jadi, dalam bab ini lafadz الأمور بمقاصدها  diartikan sebagai perbuatan dari salah satu anggota.
Sedangkan المقاصد merupakan murodif dari kata niat. النية فتربيط بالمقاصد, Niat adalah memiliki hubungan atau memiliki keterkaitan dengan tujuan atau maksud.[3] Sehingga Orang yang berniat adalah orang yang bertekad bulat atau berketetapan hati untuk mengarah pada sesuatu, yaitu bermaksud untuk melakukan suatu tindakan dan arah yang dituju.[4]
Sedangkan menurut terminologi berarti perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud pekerjaan yang dilakukan. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan ataupun adat-kebiasaan.[5]
Kaidah ini memiliki arti bahwasanya setiap perbuatan yang dilakukan tergantung pada niat yang dimunculkan, artinya setiap niat yang terefleksikan dalam tindakan nyata, maka niat yang tidak terealisasikan dalam bentuk dlhohir maka tidak akan berimplikasi pada wujud syar’i. Hukum perbuatan dikembalikan pada niat, apabila seseorang meningggalkan hal-hal yang dilarang demi melaksanakan perintah, maka dia diberi pahala atas perbuatannya., tapi apabila dia meninggalkan hal-hal yang dilarang tersebut hanya berdasarkan kebiasaan maka tidak ada pahala baginya. Contoh:
 حرمت عليكم الميتة Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, “ Apabila seseoraang meninggalkan makan bangkai karena dia jijik, maka tidak ada pahala baginya, tapi apabila dia tidak makan bangkai karena ada larangan syara’ maka Allah memberi pahala baginya.

2.      Landasan hukumnya
Mengenai keharusan melakukan niat dalam beribadah, Allah SWT menyatakan dalam Al-Qur’an surah Al-Bayyinah: 5,
!$tBur (#ÿrâÉDé& žwÎ) (#rßç6÷èuÏ9 ©!$# tûüÅÁÎ=øƒèC ã&s! tûïÏe$!$# u
 Mereka (orang-orang kafir) tidak diperintahkan kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah, seraya memurnikan ikhlas dalam beragama (beribadah)”. 
Al-Qurthubi menafsikan ayat in bahwa ikhlas yang termuat dalam lafadz mukhlisin, adalah perbuatan hati yang hanya dilakukan dalam rangka beribadah. Ikhlas sendiri adalah pekerjaan hati yang hanya bisa terwujud melalui perantara hati.
Kemudian dalam surat Ali-Imran: 145,
ÆtBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO $u÷R9$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB `tBur ÷ŠÌãƒ z>#uqrO ÍotÅzFy$# ¾ÏmÏ?÷sçR $pk÷]ÏB 4
“Barang siapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala dunia itu, dan barang siapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala akhirat.”
Disamping penjelasan dalam Al-Qur’an, terdapat pula dalam hadis
أنما الأعمال بالنيات وأنما لكل أمرئ ما نوى
Sesungguhnya sahnya amal adalah tergantung pada niat”.
Pada penerapan awal pemahaman makna hadits ini, mungkin akan menimbulkan interpretasi bahwa ibadah tidak akan ada tanpa niat. Namun hadits ini tidak bisa dimaknai secara sepintas, lantaran sebuah pekerjaan tidak lantas menjadi tiada dengan tanpa adanya niat, karena jika hadits ini diterjemahkan seadanya; tanpa proses penafsiran lebih dalam, maka akan mempunyai arti “sebuah perbuatan tidak akan ada dan wujud tanpa niat”. Padahal, tentu sangat banyak perbuatan yang bisa “ada” tanpa melalui niat.[6]
Dalam hadis lain juga dijelaskan,
انك لن تنفق نفقة تبتغى بها وجه الله الا أجرن عليها حتى ما يجعل في فم امرأتك
Sesungguhnya tidaklah kamu menafkahkan sesuatu dengan maksud mencari keridhaan Allah swt diberi pahala walaupun sekedar sesuap kedalam mulut istrimu. (HR. Bukhari).[7]
Dalam hadis lain juga dijelaskan,
انما بعث الناس على نياتهم
Sesungguhnya manusia itu di bangkitkan menurut niatnya. (HR.Ibn Majah dan Abu Hurairah ra).[8]

B.     Waktu pelaksanaan, tempat pelaksanaan, status, hal-hal yang membatalkan, tata cara melakukan, syarat, serta fungsinya

1.        Waktu pelaksanaan
Pelaksanaan niat secara umum adalah pada awal ibadah. Hal ini di dasarkan penelitian ulama yang menyatakan bahwa huruf “ب” yang terdapat pada kata بِالنِّيَّاتِ  mempunyai makna mushahabah (membersamakan). Sehingga yang tergantung di dalamnya adalah “niat itu merupakan bagian dari amal amaliyah itu sendiri”.[9]
2.         Tempat pelaksanaan

Dalam Fath Al-Bari karya Ibnu Hajar Al-Asqalani disebutkan dalam hadis إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ, terdapat kata النِّيَّاتِ  yang sebagian redaksinya menggunakan kata benda tunggal (singular ; mufrad) yaitu النية, tidak dengan redaksi النِّيَّاتِ  (kata benda jamak/plural). Maka layak sekali bila dalam redaksinya menggunakan kata benda tunggal karena pekerjaan hati dalam ibadah memang hanya satu yaitu niat.[10]

3.        Status Niat
       Fuqaha’ berbeda pendapat dalam menentukan status niat dalam ibadah, apakah ia rukun atau syarat. Perbedaan ini bermula dari perbedaan sudut pandang dan latar belakang masalah yang mereka hadapi. Ulama yang melihat dari sisi penyebutan niat harus dilakukan pada permulaan ibadah, akan menyimpulkan bahwa niat adalah rukun. Sementara mereka yang memandang bahwa niat harus tetap ada (tidak ada perbuatan yang bertentangan atau menegasikan dan memutus niat), akan memberi status niat sebagai syarat.[11] 
       Dikalangan ulama-ulama syafi’iyyah diartikan dengan bermaksud melakukan sesuatu disertai dengan pelaksanaannya.[12]  
قصد الشيء مقترنا بفعله قصد الشيء مقترنا بفعله 
       Dalam shalat misalnya, yang dimaksud dengan niat adalah bermaksud di dalam hati dan wajib niat disertai dengan takbiratul ihram.[13] Sedangkan menurut kalangan madzhab hambali dan hanfiyah mengatakan:
القصد بالقلب ويجب ان تكون النية مقارنة لتكبير
       Bahwa tempat niat ada didalam hati, karena niat adalah perwujudan dari maksud dan tempat dari maksud adalah hati. Jadi, apabila meyakini didalam hatinya, itupun sudah cukup dan wajib niat didahulukan dari perbuatan. Akan tetapi yang lebih utama niat bersama-sama dengan takbiratul ihram di dalam shalat, agar niat ikhlas menyertai dengan ibadah.
4.        Hal-hal yang membatalakan Niat
Hal-hal yang membatalkan niat, diantaranya:
a.       Riddah atau Murtad; yaitu terputusnya agama islam seseorang, baik yang ditimbulkan dari i’tiqad (niat),ucapan atau perbuatan yang yang menyebabkannya kufur.
b.      Berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan.
c.       Niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain.
d.       Ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.
5.        Tata cara melakukan Niat
       Dalam pelaksanaanya, niat adalah suatu yang kondisional tergantung pada manwi (objek yang di niati). Jika kita mengerjakan wudhu, maka yang kita niati adalah menghilangkan ‘penghalang’ sholat seperti hadats. Lain lagi dengan sholat, dalam sholat yang di niati adalah melakukan beberapa pekerjaan dan ucapan tertentu yang di mulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam.
       Tata cara berniat ketika dikaitkan dengan masalah shalat itu berbeda-beda tergantung status shalat yang dikerjakan:
§  apabila yang dilakukan berstatus Fardlah maka ada 3 hal yang harus terpenuhi yaitu : Qashdul fiil, Ta’yin dan niat fardlu.
§  apabila berstatus sunnah baik yang disandarkan pada waktu-waktu dan sebab tertentu maka ada 2 hal yang harus terpenuhi diantaranya : Qashdul fiil dan Ta’yin. Apabila berstatus sunnah mutlak maka yang harus terpenuhi hanyalah Qashdul fiil.  

6.        Syarat-syarat Niat[14]
       Pada dasarnya Niat adalah ibadah yang tentunya mempunyai syarat-syarat tertentu. Tanpa syarat-syarat itu, seorang tidak dapat di sebut berniat, diantaranya:
a.       Islam,
Disyaratkan bagi orang yang berniat adalah seorang muslim, karena niat merupakan ibadah dan niat ibadah tidak sah jika dari orang kafir karena syarat sah diterimanya sebuah ibadah adalah islam dan iman kepada Allah SWT.
b.      Tamyiz,
kekuatan otak untuk mengambil kesimpulan terhadap sebuah esensi. Maka tidak sah ibadahnya anak kecil dan orang gila, karena akal merupakan tempat bergantungnya sebuah taklif. Seperti dalam hadits rasul dikatakan:
رفع القلم عن ثلاث: عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبي حتى يبلغ وعن المجنون حتى يعقل أو يفيق
“Diangkat sebuah hukum terhadap tiga perkara: orang yang tidur sampai dia bangun dan anak kecil sampai dia baligh dan orang gila sampai dia berakal atau sadar”.
c.       Mengetahui apa yang diniati
Orang yang berniat harus mengetahui apa yang diniatinya apakah itu fardlu ataukah sunnah, ibadah ataukah yang lainnya, jika tidak mengetahui fardlu-fardlunya sholat atau wudlu maka tidak sah apa yang dikerjakannya, tetapi yang tidak membedakan fardlu-fardlu dengan yang sunnah, maka sah ibadahnya dengan syarat tidak menganggap sunnah hal-hal yang sebenarnya fardlu.[15]
d.      Tidak bertentangan antara niat dan yang diniati
tidak adanya kontradiktif antara niat seseorang dengan apa yang akan dikerjakannya, maka tidak orang yang berniat ibadah kemudian dia murtad. Begitu juga mengubah niat fardlu dengan sunnah sebelum yang fardlu selesai, maka batal ibadahnya. Dan juga dari suatu yang kontradiktif adalah ragu-ragu dan tidak ketetapan dalam niatnya, tidak mampu terhadap apa yang diniati secara akal, syariat dan secara sosial budaya.[16]
7.        Fungsi Niat
  • Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan.[17]
seperti halnya makan, minum, tidur dan lain-lain. hal ini merupakan suatu keniscayaan bagi kita sebagai manusia, disadari atau tidak kita butuh keberadaanya karena hal yang seperti itu termasuk kategori kebutuhan primer. Akan tetapi jika dalam aktualisasinya kita iringi dengan niat untuk mempertegar tubuh sehingga lebih konsentrasi dalam berinteraksi dengan Tuhan maka disamping kita bisa memenuhi kebutuhan juga akan bernilai ibadah di sisi Allah. Akan tetapi bagi amalan-amalan yang secara eksplisit sudah berbeda dengan amalan yang tidak bernilai ibadah maka tidak diperlukan adanya niat seperti halnya iman, dzikir dan membaca al-Qur’an dan sebagainya. Dan juga termasuk amalan yang tidak membutuhkan niat adalah meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama.
  • Untuk membedakan kualitas perbuatan, baik perbuatan itu kebaikan ataupun kejahatan.
  • Untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
C.    kaidah-kaidah cabang serta pengecualianya
1.        kaidah-kaidah cabang
       Dari kaidah pokok ini, terpancar beberapa kaidah cabang yang juga merupakan kaidah yang melandasi penetapan hukum terhadap berbagai wacana fiqh, namun tetap berada dalam cakupan kaidah pokok, yaitu:
a.       لاثواب الابالنية
Tidak ada pahala kecuali dengan niat.[18]
       Kaidah ini merupakan sebuah penjelasan yang cukup jelas mengenai perbedaan antara amal perbuatan yang mengharapkan wajah Allah SWT dan pahala darinya, dan amal perbuatan yang tidak bermaksud demikian, walau nampaknya perbuatan itu adalah ketaatan dan ibadah. Sehingga posisi niat merupakan suatu yang bersifat ḍaruri (penting) dalam setiap amalan, walau amalan wajib sekalipun. Selama perbuatan-perbuatan itu tidak di anggap baik atau buruk jika tanpa niat dari pelakunya, maka amal itu tidak akan memperoleh pahala selama tidak diniatkan yang baik, ketetapan semacam ini telah disepakati oleh seluruh ulama. Adapun mengenai sahnya amal, ada yang disepakati oleh para ulama bahwa niat itu sebagai syaratnya, separti niat didalam wudhu. Ulama syafi’iyyah dan malikiyah menganggap niat itui fardhu  (wajib), ulama hambaliyah menganggapnya sebagai syarat sahnya dan ulama hanafiyah menetapkan sebagai sunat muakkadah. Artinya jika tidak, tidak dipahalai, sekalipun shalatnya juga sah.
       Contoh aplikasi kaidah tersebut: seorang suami yang memberi nafkah kepada anak dan istrinya yang wajib hukumnya dalam syari’at, apabila hal itu diniatkan sebagai ibadah untuk mendapatkan ganjaran dan keridaan Allah SWT maka ia akan mendapatkannya, namun jika hanya sekedar untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang suami tanpa adanya niat taqarrub kepada Allah SWT maka ia tidak mendapatkan pahala dari Allah SWT. 
b.      ما يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل 
Dalam amal yang di syari’atkan mensyaratkan niat, maka kekeliruan pernyataanya membatalkan amalanya”. Hal ini senada dengan kaidah berikutnya.
c.       ﻜُﻞﱡ ﻣَﺎ ﻜَﺎﻦَ ﻠﻪُ ﺃﺻْﻞٌ ﻔَﻼَ ﻴَﻨْﺗَﻘِﻞُ ﻋَﻦْ ﺃَﺻْﻟِﻪِ ﺒِﻣُﺠَﺮﱠﺪِ ﺍﻠﻨﱢﻴَﺔ
“Setiap perbuatan asal/pokok, maka tidak bisa berpindah dari yang asal karena semata-mata niat”.
       Misalnya kekeliruan menyatakan niat: dalam shalat zuhur dengan shalat asahar, dalam shalat rawatib zuhur dengan shalat rawatib ashar, dalam shalat dua raka’at ihram denga shalat dua raka’at tawaf dan sebaliknya, dalam berpuasa ‘Arafah dengan puasa ‘Asyura, dan sebagainya.
       Menjadikan tidak sahnya amal perbuatan yang dilakukan disebabkan masing-masing dari perbuatan itu di tuntut adanya pernyataan niat itu untuk membedakan ibadah yang satu dengan yang lainya.[19]
d.      لواختلف اللســـان والقلب فالمعتبرمافى القلب
Apabila berbeda antara apa yang diucapkan dengan apa yang ada di dalam hati (diniatkan), maka yang dianggap benar adalah apa yang ada dalam hati.[20] Hal ini senada dengan kaidah berikutnya.
e.       العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
Yang menjadi ’ibrah (dasar hukum) dalam perjanjian adalah dengan maksud dan makna yang terkandung, bukan berdasarkan lafaz-lafaz dan cara penyampaian (ekspresi)”. Hal ini senada pula dengan kaidah berikutnya.
f.       مقاصد اللفظ على نية اللافظ
“Maksud lafadz itu tergantung pada niat orang yang mengatakannya”.
       Makna kaidah ini, bahwasanya dalam perjanjian (al-uqud) tidak terikat pada sigah atau lafaz tertentu selama tidak ada ketetapan syar’ī mengenai hal itu, namun yang menjadi dasar perjanjian adalah maksud yang diinginkan oleh kedua orang yang mengadakan perjanjian tersebut.[21] Dan bukan pada apa yang mereka lafazkan, sehingga tidak disyaratkan adanya lafaz-lafaz yang khusus dalam proses transaksi (ijab dan qabul) tersebut, bahkan akad perjanjiannya tetap sah dengan menggunakan lafaz atau perbuatan apapun yang dilakukan oleh dua orang yang bertransaksi yang dapat menunjukkan maksud yang diinginkan oleh kedua belah pihak selama hal tersebut merupakan sesuatu yang menjadi kebiasaan (al-’urf) yang sudah biasa terjadi di kalangan masyarakat pada negeri di mana mereka berada.
       Misalnya: apabila seseorang berkata: "Saya hibahkan barang ini untukmu selamanya, tapi saya minta uang satu juta rupiah", meskipun katanya adalah hibah, tapi dengan permintaan uang, maka akad tersebut bukan hibah, tetapi merupakan akad jual beli dengan segala akibatnya.
g.      ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظأ ضر
"Perbuatan yang secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di haruskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, mudzarat”.
       Misalnya: Seseorang sholat jama’ah dengan niat ma’mum kepada Muktafi,  ternyata orang yang menjadi imamnya bukan Muktafi, tetapi Soni. Shalat jama’ahnya orang tersebut tidak sah, sebab keimamahannya telah digugurkan oleh Soni sedang niat kema’mumannya telah digugurkam oleh Muktafi, lantaran berma’mumannya dengan Soni tanpa diniatkan. Menyatakan siapa imamnya dalam sholat berjamaah tidak disyari’atkan, tetapi yang disyari’atkan adalah niatnya berjamaah. Contoh lain: Orang yang sholat zhuhur dengan menyatakan niat­nya 3 atau 5 raka'at. Maka shalatnya tidak sah, sebab menyata­kan bilangan raka'at shalat itu bukan merupakan syarat mutlak.
h.      ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظ لم يضر
"Perbuatan yang secara keseluruhan di haruskan niat tetapi secara terperinci tidak di haruskan menyatakan niatnya, maka bila dinyatakan niatnya dan ternyata keliru, tidak mudzarat”.
       Misalnya: Seseorang sholat dengan menyatakan pada niatnya pada hari kamis, padahal hari yang ia sholat itu adalah hari jum’at, maka sholatnya tidak batal sama sekali, sebab menyatakan hari dan tanggal dalam sholat tidak disyari’atkan.[22] Contoh lain: Seseorang sholat maghrib dengan menyatakan niatnya berjamaah di Masjid Raden Patah (MRP UB), padahal ia sholatnya di masjid Asy-Syifa’, sholatnya orang tersebut tidak batal. Sebab niat dalam sholatnya sudah dipenuhi dan benar sedang yang keliru adalah pernyataan tentang tempatnya. Kekeliruan tentang pernyataan tempat sholat tidak ada hubungannya dengan niat shalat baik secara garis besarnya maupun secara terperinci.
i.        لأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
“Sumpah itu harus berdasarkan kata-kata dan maksud”. [23]
Menurut mażhab Syāfi’ī, sumpah atau janji didasarkan pada lafaz-lafaz jika sekiranya memungkinkan penggunaannya, jika tidak, maka sumpah tersebut didasarkan  atas maksud yang diinginkan. Misalnya: jika seseorang marah kepada orang lain, kemudian ia bersumpah bahwasanya ia tidak akan membeli sesuatu pun dari orang yang dimarahinya tersebut dengan harga satu dolar, namun ternyata ia membeli sesuatu dari orang tersebut dengan mata uang Mesir, maka ia tidak berdosa. Dan jika ia bersumpah tidak menjual kepadanya dengan harga sepuluh dolar, namun ia menjualnya dengan harga sebelas atau sembilan dolar, maka ia juga tidak berdosa, walaupun maksudnya sebagai penambahan atas apa yang telah disumpahnya, akan tetapi tidak ada dosa terhadap apa yang belum sempat dilafazkan.[24]
j.        النِّيَّةُ فِيْ الْيَمِيْنِ تُخَصِّصُ اللَّفْظَ الْعَامَّ, وَلاَ تُعَمِّمُ الْخَاصَّ
“Niat dalam permasalahan sumpah mengkhususkan lafaz yang bersifat umum, dan tidak menjadikan umum lafaz yang khusus”.
       Jika seseorang berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan berbicara dengan seorang pun”, dan yang ia maksud adalah Zaid. Atau seseorang yang mendapat pemberian dari orang lain, lalu ia berkata: ”Demi Allah, saya tidak akan meminum air darinya ketika haus”, maka sumpah tersebut hanya berlaku pada pemberian air ketika haus saja, dan tidak berlaku pada pemberian lainnya seperti makanan atau pakaian, walau ia berniat untuk tidak mengambil manfaat sedikit pun darinya, dan walaupun perselisihan dalam masalah ini juga mengarah ke persoalan tersebut. Hal itu disebabkan karena niat hanya dapat berpengaruh jika lafaz mengindikasikan apa yang ia niatkan.[25] Demikian pula, apabila seseorang bersumpah untuk tidak berbicara dengan si fulan, namun ternyata ia berbicara dengannya dalam kondisi tertidur (sambil tidur), atau dalam kondisi tidak sadar, maka ia tidak berdosa atas perbuatan tersebut, sebagaimana menurut al-Rafi’i.
2.        Pengecualianya
Diantara pengecualian kaidah diatas adalah:
a)      Sesuatu perbuatan yang sudah jelas-jelas ibadah bukan adat, sehingga tidak bercampur dengan yang lain. Dalam hal ini tidak diperlukan niat, seperti iman kepada Allah, Malaikat, khauf ,raja’, iqamah, azan, zikir  dan membaca Al-Quran kecuali membacanya dalam rangka nazar.
b)      Tidak diperlukan niat dalam meninggalkan perbuatan seperti meninggalkan perbuatan zina dan perbuatan-perbuatan lain yang dilarang (haram) karena tidak melakukan perbuatan tersebut maksudnya sudah tercapai, memang betul, diperlukan niat apabila mengharapkan pahala dengan meninggalkan larangan.
c)      Keluar dari shalat tidak diperlukan niat, karena niat diperlukan dalam melakukan suatu perbuatan bukan meninggalkan suatu perbuatan.[26]
d)     Hadis riwayat Abu hurairah, rosulullah saw. Bersabda:
ﺛﻼﺙ ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ[27]
“Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju’.”
       Bahkan para ulama sepakat akan sahnya talak dari orang yang bercanda, bergurau atau sekedar main-main, asalkan ia memaksudkan tegas dengan lafazh talak.[28]Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Para ulama dari yang saya ketahui berijma’ (sepakat) bahwa talak yang diucapkan serius maupun bercanda adalah sama saja (tetap jatuh talak)”.[29]Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Orang yang mentalak dalam keadaan ridho, marah, serius maupun bercanda, talaknya teranggap”.[30]

D.    Aplikasi kaidah
Kaidah ini mencakup semua permasalahan syar’i dalam kehidupan sehari-hari, namun sebagai gambaran untuk penerapanya semua kaidah ushul dan cabangnya sebagai berikut:
1.         Barang siapa yang mengambil sebuah barang yang terjatuh dijalanan dengan niat untuk dimilikinya, maka dia itu disebut Ghosob (orang yang mengambil harta orang lain dengan jalan haram), yang karena itu maka dia wajib untuk mengembalikannya, kalau benda itu rusak ditangannya, baik rusaknya karena kesengajaan dari dia ataukah tidak, namun kalau dia mengambilnya dengan niat untuk menyimpannya dan akan mengembalikannya kepada pemiliknya maka dia menjadi seorang amin (orang yang mendapatkan kepercayaan untuk menjaga sebuah benda), maka atas dasar ini dia itu tidak menggantinya meskipun rusak ditangannya kecuali kalau sengaja dia merusaknya.[31]
Begitu juga Seseorang yang dititipi sebuah barang untuk dijaganya, lalu dia memakainya, maka berarti dia telah berbuat melampaui batas terhadap benda tersebut, yang mana dia harus menggantinya apabila rusak. Lalu jika dia menyimpannya kembali tapi dengan niat akan memakainya kembali maka dia tetap wajib menggantinya apabila rusak ditangannya meskipun tanpa ada unsur kesengajaan darinya. Namun kalau setelah dia pakai  itu lalu dia simpan kembali dengan niat tidak akan memakainya lagi, maka dia tidak menggantinya kalau rusak tanpa ada unsur kesengajaan darinya.
2.         Barang siapa yang membunuh seorang muslim tanpa ada sebab syar’i yang membolehkannya, maka kalau dia melakukannya karena unsur kesengajaan maka ada hukum tersendiri, sedangkan kalau tanpa sengaja maka hukumannya pun lain.
Begitu juga barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
3.         Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Allah, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah.[32]
4.         Kalau ada seseorang yang tidur sebelum dhuhur, lalu bangun saat jam satu siang, namun dia menyangka kalau saat itu sudah jam lima sore, kemudian dia sholat empat rokaat dengan niat sholat ashar, maka sholatnya tidak sah dan dia harus mengulang sholat dhuhur lagi, juga dia harus mengerjakan sholat ashar kalau sudah masuk waktunya. Tidak sahnya sholat dhuhur karena dia berniat sholat ashar dan bukan sholat dhuhur, sedangkan tidak sah sholat asharnya karena belum masuk waktunya. Namun kalau dia sholat tadi dengan niat sholat dhuhur maka sholatnya sah.






























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.           الأمور بمقاصدها  menurut terminologi berarti perbuatan dan tindakan mukallaf baik ucapan atau tingkah laku, yang dikenai hukum syara’ sesuai dengan maksud pekerjaan yang dilakukan. Maksudnya adalah niat atau motif yang terkandung didalam seseorang saat melakukan perbuatan, menjadi kriteria yang dapat menentukan nilai dan status hukum amal perbuatan yang telah dilakukan, baik berhubungan dengan peribadatan ataupun adat-kebiasaan.
Landasan hukumnya Al-Qur’an surah Al-Bayyinah: 5, Ali-Imran: 145, dan hadis riwayat Bukhori.
2.      a. Waktu niat diawal Ibadah.
b.      Tempat niat dalam hati.
c.       Status niat pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hanbal mendudukkan niat sebagai syarat perbuatan. Sedang Imam Syafii mendudukkannya sebagai rukun perbuatan.
d.      Hal-hal yang membatalakan niat: riddah/murtad, berniat memutus atau tidak melanjutkan ibadah yang sedang dijalankan, niat mengganti atau memindah satu ibadah dengan ibadah yang lain, ketidakmampuan orang yang berniat untuk melaksanakan ibadah yang diniati.
e.       Tata cara melakukan Niat kondisional tergantung pada manwi (objek yang di niati).
f.       Syarat-syarat Niat: islam, tamyiz, mengetahui apa yang diniati, tidak bertentangan antara niat dan yang diniati.
g.      Fungsi Niat: Untuk membedakan antara ibadah dan adat kebiasaan, untuk membedakan kualitas perbuatan baik perbuatan itu kebaikan ataupun kejahatan, dan untuk menentukan sah tidaknya suatu perbuatan ibadah tertentu serta membedakan yang wajib dari yang sunnah.
3.  Kaidah-kaidah cabang diantaranya:
a.       لاثواب الابالنية
b.      ما يشترط فيه التعيين فالخطأ فيه مبطل 
c.       العبرة فى العقــود للمقاصد والمعاني للألفاظ والمباني
d.      ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظأ ضر
e.       ما يشترط التعرض له جملة ولا تفصيلا اذا عينه وأخظ لم يضر
f.       لأيمان مبنية على الألفاظ والمقاصد
Pengecualian kaidah: ﺛﻼﺙ ﺟﺪﻫﻦ ﺟﺪ ﻭﻫﺰﻟﻬﻦ ﺟﺪ: ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ ﻭﺍﻟﻄﻼﻕ ﻭﺍﻟﺮﺟﻌﺔ
4.  Aplikasi kaidah secara umum:
ü  Barang siapa yang menjual anggur atau lainnya dengan niat untuk dijadikan sesuatu yang haram, seperti akan dijadikan sebagai khomer, maka hukumnya haram, sedangkan kalau tidak ada niat dan tujuan seperti itu maka hukumnya halal.
ü  Orang yang makan, kalau dia berniat dengan makannya untuk bisa menjalankan ibadah kepada Allah, maka makannya berubah menjadi ibadah yang berpahala, namun kalau tidak berniat sama sekali dan cuma karena sudah kebiasaannya dia makan, maka dia tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga amal perbuatan lain yang asalnya mubah.

















DAFTAR PUSTAKA

Abdul, Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah , Jakarta: Kalam Mulia. 2005.
Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab, ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1.
Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah,t.Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999.
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.
Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 373.
Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, keluaran Mawqi’ Ya’sub, 17: 68.
Haq Abdul, Mubarok Ahmad, Ro’uf Agus, Formulasi Nalar Fiqh,cet. ke-2, Surabaya: Khalista, 2006.
HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039.
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus.Wa Zurriat, 1972 M.
Kementerian Agama RI, 2010 M/1431 H,  at-Tafsir Maudhu’I  – Kerja dan Ketenagakerjaan, Bab. Membangun Etos Kerja.
Prof. H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana. 2006.
Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Edisi 1, Cet. IV,  Jakarta: Kencana, 2011.
Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I, Bandung; Al-Ma’arif, 1986.
Qulyubi Wa Amirah, Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Singapura: Maktabah Wa Mathba’ah Mar’i, tt Juz, 1.
Syafi’ie, Rahmat,. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007.
Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah. Ploso: Mahfudhat Linnasyir, t.th
Tamrin, Dahlan M.Ag,. Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), cet. Ke-1, Malang: UIN-Maliki Press, 2010.
Zubair, Maimun,. Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2015
Zainy Al-Hasimy, Ma’shum, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, cet. ke-1, Jombang: Darul Hikmah, 2010.
Zain bin Ibrahim bin Zain bin Syith. At-Taqrirath as-Sadidah  fi al-Masa’il al-Mufidah. Surabaya: Dar  al-‘Ulum al-Islamiyah, 2006.



[1] Kementerian Agama RI, 2010 M/1431 H,  at-Tafsir Maudhu’I  – Kerja dan Ketenagakerjaan, Bab. Membangun Etos Kerja, Hal. 139
[2] Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Mahmud Yunus.Wa Zurriat, 1972 M, hal. 50
[3] Syaikh ‘Ali Maliki, 1384 H,  Al-Asbah Wa An-Nazhair Fi Al-Furu’, hal. 35
[4] Wahyu Setiawan, M.Ag. 2009, Qawa’id Fiqhiyyah, Pustaka: Amzah, hal. 28
[5] Ma’shum Zainy Al-Hasimy, Pengantar Memahami Nadzom Faroidul Bahiyyah, Jombang: Darul Hikmah, 2010, cet. ke-1, hal. 26
[6] Abdul Haq, Ahmad Mubarok, Agus Ro’uf, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2006, cet. ke-2, hal. 92
[7] Dahlan Tamrin M.Ag, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), Malang: UIN-Maliki Press, 2010, cet. Ke-1, hal. 27
[8] Rahmat Syafi’ie. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2007, hal. 276
[9] Dahlan Tamrin M.Ag, Kaidah-Kaidah Hukum Islam (Kulliyah Al- Khamsah), hal. 52
[10] Ibid. hal. 60
[11] Maimun Zubair, Formulasi Nalar Fiqh, Surabaya: Khalista, 2015, hal. 97
[12] Qulyubi Wa Amirah, Hasyiah Syihabuddin Al-Qulyubi Wa Amirah, Singapura: Maktabah Wa Mathba’ah Mar’i, tt Juz, 1, hal. 45
[13] Abu Ishak Al- Syirazi, Al-Muhadzdzab, ttp, Dar Al-Fikr, tt, Juz. 1, hal. 70
[14] Zain bin Ibrahim bin Zain bin Syith. At-Taqrirath as-Sadidah  fi al-Masa’il al-Mufidah. Surabaya: Dar  al-‘Ulum al-Islamiyah, 2006, hal. 83
[15] DR. Abdul Aziz bin Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyah, Pustaka: Darul Hadits, hal. 87
[16] Ibid. hal. 88
[17] Sayyid Abu Bakar al-Ahdal al-Yamani asy-Syafi’ie. Faro’id al-Bahiyah fi al-Qowa’id al-Fiqhiyah.  (Ploso: Mahfudhat Linnasyir, t.th), hal. 11
[18] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana. 2006, cet. ke-1, hal. 40
[19] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. I, Bandung; Al-Ma’arif, 1986, hal. 492
[20] H.A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, hal. 41
[21] Dikecualikan pada beberapa akad yang dalam ketentuan syari’at terdapat beberapa lafaz yang menyebabkan sahnya akad tersebut, seperti: talaq, ‘itaq, dan nikaḥ.
[22] Prof. Dr. Mukhtar Yahya, prof. Drs. Fathur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, hal. 492
[23] Abdul Mudjib, Kaidah-kaidah Ilmu Fiqih :al-Qawâ'idul Fiqhiyyah, Jakarta: Kalam Mulia. 2005, cet. ke-6, hal. 17
[24] Abdul Azīz Muḥammad Azzām, Qawā’idu al-Fiqhi al-Islāmī: Dirāsah ‘Ilmiyyah Taḥlīliyyah Muqāranah, t. Cet; ‘Ain Syams: Maktab al-Risālah al-Dauliyyah, 1998-1999, hal. 77
[25] Kementrian Urusan Agama Islam, Wakaf, Da’wah dan Irsyād Kerajaan Saudi Arabia, op. cit., hal. 157

[26] Prof. H. A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fiqh, Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah Yang Praktis, Edisi 1, Cet. IV, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 36
[27] HR. Abu Daud no. 2194, At Tirmidzi no. 1184 dan Ibnu Majah no. 2039. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
[28] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 29: 16.
[29] Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Maqdisi, tahqiq: ‘Abdullah bin ‘Abdil Muhsin At Turki dan ‘Abdul Fatah Muhammad Al Halwu, terbitan ‘Alam Al Kutub, cetakan ketiga, 1417 H, 10: 373.
[30] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, keluaran Mawqi’ Ya’sub, 17: 68.
[31] Lihat Al Wajiz Fi Idlohi Qowaidil Fiqh oleh DR. Muhammad Shidqi hal : 124
[32] Lihat Bahjah Qulubil Abror hal : 14